l MAKALAH - ISU-ISU KONTEMPORER DALAM ISLAM | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Minggu, 03 November 2019

MAKALAH - ISU-ISU KONTEMPORER DALAM ISLAM

MAKALAH
PENGANTAR STUDI ISLAM

Tentang:

ISU-ISU KONTEMPORER DALAM ISLAM


Di Susun Oleh:

1.      Merry Lestania                       4. Darmin
2.      Lilis suryani                            5.  Ilham
3.      Ahyadin                                   6.  Mu’amar Kadafi

    Dosen Pengampu  :   Dewi Masita M.Pd

              Jurusan                :   Al-Ahwal Al-syakhsyyiah
      Fakultas                 :   Syariah


INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH BIMA

TAHUN AKADEMIK 2016/2017



KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan limpahan Rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya sebagai penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik, tidaklupa pula shalawat serta salam atas junjungan Alam Nabi Besar Muhammad SAW sang Pembimbing Yang Mulia.
Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini penulis sampaikan ucapan terimakasih yang  sebesar-besarnya atas bantuan dan bimbingan mulai dari guru pembimbing yaitu Dewi Masita serta teman-temanku yang selalu memberikan motivasi kepadaku.
saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari sempurna, hal ini semata-mata karena keterbatasan kemempuan saya. Tidak ada manusia yang sempurna dari kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya saya sebagai  penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi diri penulis dan umumnya bagi para pembaca. Amiin



Bima, 01 Desember 2016


                                                                                             Penulis



BAB II
PENDAHULUAN

      A.     Latar Belakang
          Perkembangan islam di Indonesia memiliki mata rantai yang cukup berliku. Sementara islam di nusantara ini memiliki kompleksitas persoalan, dan dari sini islam hadir dengan membawa wajah tatanan baru dalam masyarakat yang tidak terbentur dengan realitas sosial, budaya, tatanan politik dan tradisi keagamaan. Dalam perkembangannya upaya reaktualisasi diharapkan dapat menjawab problematika kemasyarakatan dan sebagai manifestasi agama yang rahmatan lil ‘alamin. Islam dinamis yanng diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah kontemporer  yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia, semisal terorisme, liberalisme, pluralisme, dan gender, yang akan dibahas dalam makalah ini. 

      B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian isu-isu kontemporer dalam studi islam?
2.      Apa saja isu-isu kontemporer dalam studi islam?
3.      Apa saja Islam Liberal ?
4.      Apa saja Islam dan Terorisme ?

       C.     Tujuan Penulisan
       Agar kita mengetahui apa saja yang tejadi atau isu-isu dalam islam kontemporer sekarang ini, mengetahui apa itu terorisme, apa saja hukuman bagi terorisme, dan yag paling penting islam Liberal.










BAB II
PEMBAHASAN

        A.     PENGERTIAN ISU KONTEMPORER
• Isu-isu global kontemporer adalah isu yang berkembang serta meluas setelah Perang Dingin berakhir pada era 1990-an.
• Pengertian mengenai isu-isu global kontemporer terkait erat dengan sifat dari isu-isu tsb yang tidak lagi didominasi oleh hubungan Timur-Barat, seperti, ancaman perang nuklir, persaingan ideologi antara Demokrasi-Liberal dan Marxisme-Leninisme, diplomasi krisis, dsb.
• Masyarakat internasional kini dihadapkan pada isu-isu global yang terkait dengan “Tatanan Dunia Baru” (New World Order). Isu2 mengenai persoalan2 kesejahteraan ini berhubungan dengan Human Security antara negara2 maju (developed) dengan negara2 berkembang (developing countries) serta masalah lingkungan.
• Isu-isu global kontemporer merupakan isu yang lahir sebagai bentuk baru ancaman keamanan yang mengalami transformasi sejak berakhirnya Perang Dingin menjadi suatu “Agenda Global Baru” (New Global Agenda).
• Transformasi ini erat kaitannya dengan makin besarnya perhatian dunia terhadap bentuk baru ancaman tsb, terutama pasca tragedi 11 September 2001.
• Ancaman dalam bentuk baru ini bukan berupa “serangan militer” yg dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain tetapi tindakan kejahatan yang dilakukan oleh non-state actor dan ditujukan kepada state actor maupun individu atau warga negara yang mengancam keamanan umat manusia (Human Security).
• Ancaman tsb dapat berupa tindakan terorisme atau kejahatan transnasional yg terorganisir (Transnational Organized Crime/TOC), kesejahteraan (kemiskinan), degradasi lingkungan, konflik etnis dan konflik komunal yang berdimensi internasional, hutang luar negeri, dsb.
• Bagi negara2 Dunia Ketiga, isu-isu yg terkait dgn ancaman keamanan dalam bentuk baru (Human Security) ini merupakan “ancaman keamanan yang nyata” karena memiliki relevansi dengan kondisi domestik Negara2 Dunia Ketiga yg masih disibukkan oleh berbagai persoalan mengenai:
1. Situasi transisi politik,
2. Lemahnya kekuasaan pemerintah akibat tidak maksimalnya upaya penegakan hukum,
3. Ketidakpastian politik,
4. Krisis ekonomi,
5. Masalah konflik di wilayah perbatasan,
6. Konflik etnis dan konflik komunal dengan berbagai dimensi internasionalnya,
7. Persoalan disintegrasi bangsa,
8. Peningkatan jumlah pelaku terorisme,
9. Kemampuan melakukan tindakan ancaman terhadap human security, dsb.

• Sifat Isu-isu Global Kontemporer adalah sbb:
1. Nonkonvensional,
2. Nontradisional,
3. Nonmiliter,
4. Multidimensional, dan
5. Transnasional.
• Berkembangnya isu-isu global merupakan akibat dari perkembangan ancaman dan berbagai persoalan kontemporer yang bersifat nonkonvensional, multidimensional, maupun transnasional tsb.
• Meluasnya persoalan global kontemporer ini juga didorong oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dalam era globalisasi pasca Perang Dingin.
• Dengan demikian, isu-isu global kontemporer dengan sifat2 utamanya tsb telah mengalami transformasi yang menggeser persepsi mengenai ancaman keamanan yang bersifat konvensional.
• Berbeda dengan isu-isu global kontemporer yang berkembang setelah Perang Dingin berakhir, ancaman keamanan konvensional sebelumnya telah mendominasi isu-isu politik internasional selama era Perang Dingin dengan hanya berorientasi terhadap ancaman militer atau perluasan ideologis dari persaingan dua negara adidaya dalam sistem internasional.
• Persoalan-persoalan yg dikategorikan sebagai isu ancaman nonmiliter/ nontradisional di antaranya adalah:
1. Degradasi lingkungan,
2. Kesejahteraan ekonomi,
3. Organisasi kriminal transnasional,
4. Migrasi penduduk.
• Karakterisitik isu-isu global kontemporer sbg ancaman keamanan nontradisional adalah:
1. Isu global kontemporer yg merupakan ancaman keamanan bersifat nontradisional tsb tidak terpusat pada satu negara tertentu saja. Dengan demikian, ancaman yang merupakan bagian dari isu-isu global kontemporer ini tak hanya dihadapi oleh satu negara, tetapi telah mengancam sejumlah negara ttt sekaligus (memiliki dimensi regional dan global). Oleh karena itu, isu-isu global kontemporer sering disebut sbg “ancaman keamanan transnasional”.

2. Isu global kontemporer tidak terfokus pada suatu lokasi geografis ttt saja. Berdasarkan karakter geografisnya, isu-isu ini seringkali sulit “dikenali” karena sifatnya yg melewati batas-batas antarnegara hingga batas-batas regional (transnasional).
3. Isu-isu global kontemporer tidak dapat dihadapi hanya dgn kekuatan militer semata. Memang kekuatan militer dapat digunakan dalam eskalasi yang mengarah pada konflik bersenjata. Akan tetapi, kekuatan militer pada jangka panjang tak dapat lagi digunakan secara efektif untuk mengatasi ancaman isu-isu global tsb.
4. Persoalan keamanan yang menjadi isu-isu global kontemporer telah mengancam eksistensi suatu negara maupun individu2 yang merupakan bagian dari negara tsb.
B.  ISU-ISU KONTEMPORER DALAM STUDI ISLAM
                 1.      Islam dan Liberal
Setelah melalui sebuah pergulatan panjang selama satu dasawarsa, sejak tahun 1980-an, pemikiran dan aksi Islam Indonesia tampak sekali mengalami perubahan yang signifikan ini sekurang-kurangnya ditandai dengan tiga hal.
Pertama, format pemikiran era 1990-an jauh berbeda dengan corak pemikiran Islam era 1960-an sebagai gelombang awal pegulatan pemikiran Islam Indonesia. Pemikiran Islam era 1990-an merupupakan kelanjutan dari corak pemikiran Islam tahun 1970 dan 1980-an dengan aktor-aktor baru yang muncul di pentas nasional, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, Kuntowijoyo, Moeslim Abdurrahman, Amien Rais, Jalaludin Rakhmad, Dawam Rahardjo, dan Munawir Sjadzali. Sementara pada era 1990-an, muncul aktor-aktor baru, seperti Mansour Fakih, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer, Quraish Shihab, Amin Abdullah, dan Budi Munawar Rachman.
Tahun 1990-an merupakan era di mana rezim Soeharto telah mulai menampakkan tanda-tanda penerimaannya terhadap Islam. Di era ini negara sangat akomodatif terhadap Islam sehingga pemikiran dan aksi Islam Indonesia juga cenderung akomodatif. Sekalipun masih ada kelompok Islam yang konfrontatif, namun hal itu bukanlah ditujukan pada negara secara langsung, tetapi lebih pada pemikiran umat Islam sendiri, terutama dalam hal strategi perjuangan dan diskursus yang dikembangkan. Ini sangat berbeda pada era tahun 1970-an dan 1980-an, dimana artikulasi politik dan corak pemikiran Islam Indonesia cenderung konfrontatif terhadap rezim kekuasaan.
Keduaperubahan sikap rezim kekuasaan terhadap Islam telah mendukung perkembangan pemikiran Islam era 1990-an. Corak pemikiran Islam pada era ini sejatinya mempunyai kecenderungan menjembatani ketegangan konseptual antara gagasan-gagasan keislaman dengan ide-ide politik dan kenegaraan 1980-an di bawah rezim Orde Baru. Kondisi tidak produktif inilah yang membuat para aktor pemikir islam era 1990-an mencoba menawarkan “jalan tengah” agar trauma politik dan pengalaman pahit di bawah rezim Orde Baru tidak terulang. “Jalan tengah” yang disodorkan adalah menawarkan pemikiran-pemikiran  aktual yang lebih substansif yang diharapkan bisa mendukung perkembangan serta kemajuan umat Islam.
Ketigapada tahun 1990-an telah muncul generasi baru pemikiran Islam Indonesia, dengan nuansa yang lebih terbuka dan memunculkan apa yang disebut mazhab baru pemikiran Islam Indonesia, yakni mazhab liberal Islam. Era 1990-an juga bisa disebut sebagai “bulan madu” islam dengan negara, sebab pada tahun ini negara benar-benar menengok Islam sebagai sesuatu yang amat penting.

2.      Islam Dan Terorisme
a.  Pengertian terorisme
          Terorisme mempunyai beberapa pengertian. Dalam bahasa barat terdapat beberapa definisi, seperti:
 1.      Pemakaian kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik (merebut, mempertahankan atau menerapkan kekuasaan).
2.      Keseluruhan tindakan kekerasan, penyerangan, penyenderaan warga sipil yang dilakukan sebagai organisasi politik untuk menimbulkan kesan kuat atas suatu negara, negaranya sendiri maupun negara lain.
3.      Sikap menakut-nakuti.
4.      Penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama untuk tujuan-tujuan politik.
5.      Kekerasan yang sangat jelas ditujukan pada warga sipil yang dipilih secara acak dalam usaha menimbulkan rasa takut yang menyebar kemana-mana dan karenaya memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror diartikan dengan:
1.      Perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis).
2.      Usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Terorisme berarti penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik), praktik-praktik tndakan teror.
Dari berbagai definisi di atas dapt disimpulkan bahwa dalam terorisme terdapat unsur-unsur:
 (1) tindakan yang sisengaja untuk menimbulkan ketakutan. (2) tujuan atau kepentingan yang akan dicapai ole pembuat ketakutan dengan tindakan itu (3) korban tindakan itu tidak selalu berkaitan langsung dengan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian, tindakan atau penampilan tertentu yang tanpa disengaja menyebabkan orang lain ketakutan tidak dapat dimasukkan dalam kategori ketakutan. Demikian pula hukum atau ketentuan yang membuat orang takut untuk melakukan pelanggaran, tidak termasuk ke dalam kategori terorisme
b.    Terorisme dalam fiqh
       Pembahasan mengenai terorisme tidak terdapat secara sendiri dalam kitab-kitab fiqh lama. Biasanya pembahasan mengenai terorisme terdapat dalam pasal atau bab tentang pembegal (قاطع الطريق) dan selalu berkenaan dengan hukuman atas pelakunya.
Dalam kitab al-Umm misalnya, Imam asy-syafi’i mengatakan:
وإدا أخافوا السبيل ولم ياًخذوا مالانفوا من الأرض ]سلسلة كتاب الشعب , ج 5 ص [129
“Jika menakut-nakuti orang yang lewat di jalan dan tidak mengambil harta, maka hukumannya adalah dibuang ketempat yang jauh.”

Pembahasan yang serupa juga ditemukan dalam dua Imam Syafi’iyah yang lain, yakni Imam al-Nawawi dan ibn hajar al-Haitami.
Imam al-Nawawi dalam kitabnya, المجموع شرح المهذب  menyatakan:
من شهر االسلاح وأجاف السبيل في مصرأوبرية وجب علي الإمام طلبه لأنه إذا ترك قويت شوكته وكثر الفسادبه في قتل انفوس وأخذالأموال. فاٍن وقع قبل أن ياًخذالمال ويقتل النفس عزر وحبس علي حسب مايراه السلطان, لأنه تعرقة بالنقب والمتعرض للزنا بالقبلة. دارالفكر, ]ج 20 ص 104[
“Jika ada orang memamerkan senjata dan menakut-nakuti orang yang lewat di jalan, maka imam (penguasa politik) wajib mencarinya dan menangkapnya, karena jika dibiarkan, akan bertambah kekuatannya dan terjadi banyak kerusakan dengan senjata itu dalam bentuk pembunuhan dan perampasan. Jika ia tertangkap sebelum mengambil harta dan membunuh, maka ia pasti di hukum takzir dan dibui sesuai dengan pendapat penguasa, karena ia menunjukkan tanda-tanda akan melakukan kedurhakaan besar, sebagaimana orang yang menunjukkan tanda-tanda akan mencuri dengan merusak pagar dan orang yang menunjukkan tanda-tanda akan berzina dengan mencium.”

Imam Ibn Hajar al-Haitami menyatakan dalam kitabnya,تحفة المحتاج:
ولوعلم الإمام قوما يخيفون الطريق (أوواحدا) ولم يأخذوا مالا (نصابا) ولا (قتلوا) نفسا عزرهم (وجوبا مالم يرالمصلحة في تركه...) بحبس وغيره. نفس المصدر ص 159[
“Jika imam mengetahui sekelompok orang (atau satu orang) menakut-nakuti jalan, tanpa mengetahui harta (sampai satu nishab) dan tidak (membunuh) jiwa, maka ia pasti menerapkan takzir atas mereka (sebagai suatu kewajiban, jika ia tidak melihat alasan yang dibenarkan dalam membiarkannya...) dengan memenjarakan mereka atau dengan cara lain.”

c.    Hukum terorisme
         Dalam tafsir ayat di atas di sebutkan bahwa variasi hukuman itu berdasarkan atas kualitas kejahatan mereka. Hukum mati bagi mereka yang membunuh saja dengan tidak merampas, pemalangan atau penyaliban untuk mereka yang membunuh dan merampas, pemotongan tangan dan kaki untuk mereka yang hanya merampas, sedangkan pembuangan untuk mereka yang hanya mengganggu ketentraman umum. Dalam tafsir al-Jalain, misalnya, dinyatakan:
فالقتل لمن قتل فقط والصلب لممن قتل وأخذ المال والقطع لمن أخذالمال ولم يقتل والنفي لمن أخاف فقط. قاله ابن عباس وعليه الشفعي وأصح قوليه أن الصلب ثلاثا بعد القتل وقيل قبله قليلا ويلحق باالنفي ماأشبهه في التنكيل من الحبس وغيره
“Hukum bunuh merupakan hukuman bagi orang yang hanya membunuh, penyaliban untuk orang yang membunuh dan mengambil harta, potong tangan untuk yang mengambil harta tapi tidak membunuh dan dan pembuangan untuk orang yang hanya menakut-nakuti. Demikian pendapat yang dikemukakan Ibn Abbas dan diikuti asy-Syafi’i. Di antara dua pendapat asy-Syafi’i adalah bahwa penyaliban tiga kali disebutkan setelah hukum bunuh, dikatakan oleh sebagian ulama: sedikit sebelum hukuman mati. Hukuman-hukuman yang menyerupainya seperti pengurungan dikategorikan dalam pembuangan.”
Ini berarti terorisme pada umumnya, baik untuk tujuan mengambil harta maupun untuk tujuan-tujuan politik dan lainnya, masuk dalam bab memerangi Allah dan Rasul-Nya atau al-Hibarah, yang hukum dasarnya jelas haram. Akibat terorisme sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Rasa aman yang hilang merupakan siksaan kejiwaan yang berdimensi luas dan mendalam. Ini termasuk dalam “kekerasan” yang tindakan menimbulkannya sangat dilarang oleh Islam.
d.   Faktor permasalahan terorisme
      Faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan teroris atau bergabung dengan kelompok teroris sangat variatif, diantaranya adalah faktor psikologis, ekonomi, politik, religius, dan sosialis. Sejumlah ilmuwan, seperti Kent Layne Oots dan Thomas C. Wiegele, bahkan memasukkan faktor fisiologis. Dalam pendekatan terakhir ini, seseorang lahir dengan ciri-ciri personality tertentu yang kelak akan mengantarkan dia menjadi teroris. Dia hanya membutuhkan pancingan-pancingan luar untuk meledakkan ciri fisiologisnya menjadi faktor  pendorong terorisme. Jadi, sangatlah terlihat simple dan terlihat ironis, mengaitkan terorisme pada satu faktor saja, seperti agama misalnya. Untuk mengetahui terorisme dengan lebih baik diperlukan pendekatan-pendekatan multikausal sebagaimana di bawah ini:
1.    Pendekatan historis
.a. Akibat kekecewaan politik pada persoalan piagam Jakarta yang tidak bisa dijadikan dasar Negara. Kelompok yang diketuai oleh Kartosuwiryo ini tetap berkeinginan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam atau paling tidak mendirikan Negara Islam di Indonesia (D.I/TII). DII/Kartosuwiryo 13 tahun ditumpas pada 1963. Penentangan terhadap pemerintah RI mulai dari demo sampaoi pemberontakan terus dilaksanakan oleh kelompok ini.
b. Akibat tekanan politik orde bar. Kelompok ini memang berbeda dengan kelompok pertama. Tapi, benih-benih perlawanan terhadap pemerintah Indonesia sudah muncul. Benih tersebut menemukan ladangnya ketika orang semisal Abu Bakar Ba’asyir kembali dari Malaysia, tempat dimana dia mendapatkan didikan yang matang untuk menjadi muslim garis keras.
c. Memang dibentuk oleh aparat pemerintah Indonesia. 
d. Terinspirasi oleh gerakan revolusi Iran 1979, kelompok ini lebih dominan di kampus daripada di luar. Kelompok ini mengatakan bahwa ideologi Timur Tengah (revolusi Iran, Ikhwan Muslimin) adalah yang paling baik diterapkan di Indonesia.
e. faktor pembelajaran islam ala kampus sekuler (sebagai imbangan liberalisasi kampus islam). Pematangan-pematangan ini melalui beberapa media. Organisasi masa maupun  politik. Ormas yang dimaksud adalah seperti laskar jihad, Majlis Mujahidin Indonesia. Sedangkan media politik disalurkan lewat partai yang berslogan islam.
1.f. Akibat sentimen agama. Anggapan bahwa agama yang dianut paling benar menyebabkan pandangan yang minor, tidak respek terhadap agama lain dan penganutnya, dengan sikap yang lebih ekstrim, terhadap agama lain dan penganutnya.
g. Sebagai  bagian dari organisasi trans nasional. Globalisasi ternyata merambah juga pada penyebaran ideologi dan paham politik. Ahmadiyah di India, Darul Arqam di Malaysia, Hizbu Da’wah Islamiyah di Irak, Ikhwan Muslimin di Mesir, ternyatabukan hanya disebarkan di negara-negara dimana organisasi ini didirikan. Mereka ingin menyebarkan ideologi mereka di seluruh dunia termasuk indonesia.
h. Berangkat dari kekecewaan politik, ekonomi, monopoli, dan kesenjangan sosial juga rentan menimbulkan gejolak kekerasan, terkadang sampai pada tindakan teror. 
2.    Pendekatan politik
Hipotesa pendekatan ini adalah bahwa situasi politik tertentu kondusif melahirkan terorisme. Situasi ini melibatkan politik internasional, nasional, dan bahkan sub-nasional semacam universitas, tempat dimana para mahasiswa menjadi familiar dengan ideologi Marxist-Leninist atau ideologi-ideologi revolusioner lainnya, yang kemudian mengantarkan mereka pada kelompok-kelompok radikal. Charles A. Russel dan Bowman H. Miller bahkan mengidentifikasi universitas sebagai basis utama perekrutan terorisme. Dengan pendekatan ini, bisa dimengerti kuatnya pengaruh Revolusi Iran 1079 di kampus-kampus Indonesia melebihi pengaruhnya di luar. Kelompok mahasiswa tipe ini sering mengatakan bahwa ideologi Timur Tengah (Revolusi Iran, Ikhwan Muslimin) adalah yang paling baik untuk diterapkan di Indonesia.
3.    Pendekatan organisasional
Pendekatan yang dikenalkan diantaranya oleh Martha Crenshaw ini melihat terorisme sebagai program tindakan yang rasional dan setrategis, yang diputuskan oleh sebuah kelompok. Menurut Crenshaw, tindakan terorisme tidak dilakukan oleh individu, tapi sebuah kelompok yang mengambil keputusan secara kolektif, berdasarkan pada kepercayaan (iman/believe) yang diyakini bersama-sama, walau tingkat komitmen individu bervariasi. Pendekatan ini terasa kurang menyakinkan, karena kurangnya penelitian lapangan. Apalagi dengan mengambil sampel kelompok teroris ternama (bonafit), yang seringkali didominasi total oleh pemimpin tunggal yang kharismatik, seperti Abu Nidal, Osama ben Laden. Menurut Erix E. Hudson, rasanya mustahil kelompok teroris dengan para pemimpin yang dominan seperti itu mengambil keputusan-keputusan tindak terorisme secara kolektif. Kemungkinan paling mendekati kebenaran adalah para pemimpin kharismatik tersebut menginstruksikan tindakan terorisme tertentu kemudian menyerahkan detail-detail operasionalnya kepada mereka.
4.    Pendekatan psikologis
Pendekatan psikologis memiliki proposi yang sama dengan pendekatan sosiologis dan politik, yakni tak ada seseorang yang lahir sebagai teroris. Ini berbeda dengan pendekatan fisiologis seperti yang menyatakan satu hipotesa bahwa seseorang lahir dengan ciri-ciri personaliti tertentu yang diduga merupakan faktor utama dia menjadi seorang teroris. 
Yang membedakan antara pendekatan sosial-politik dan pendekatan psikologis adalah pada tingkat analisanya. Pertama tertuju pada tingkat makro (macro-level), yaitu konteks sosial politik yang mempengaruhi organisasi terorisme, kedua menganalisa tingkat mikro (micro-level), yakni per-individu teroris yang  meliputi cara dan model rekrutmen, personaliti, keyakinan, motivasi dan karier sebagai teroris.
5.    Pendekatan ideologis/ teologis
Ada satu pandangan umum, hanya seorang abnormal yang sanggup melakukan tindak teror seperti menanam bom di pesawat, meledakkan bom mobil di jalanan ramai, atau melempar granat ke sebuah kafe yang sesak. Oleh karena itu, banyak psikolog yang mempelajari personaliti para teroris mnelalui pengamatan orientasi psikopatologis, yakni studi tentang disfungsi perilaku dan psikologis yang terjadi kerena gangguan mental atau dis-organisasi sosial. Pandangan ini menyiratkan bahwa untuk melakukan tindakan super keji dibutuhkan dorongan kuat yang mampu menutupi kekejian tersebut. Selain sakit mental, hal lain uyang bisa mendorong seseorang melakukannya adalah “fanatisme”. Terorisme adalah mereka yang fanatik, dan fanatisme seringkali mengarah kepada tindakan kejam dan sadis.
e.    Agenda Dunia Islam Dalam Menanggulangi Terorisme
1.        Mengedepankan sikap toleransi yang dianjurkan Islam dan memberikan pemahaman yang benar, melalui sarana pengetahuan dan pendidikan, sehingga dapat dibedakan antara pengertian jihad dan irhab (terorisme), baik dalam segi bentuk dan substansinya.
2.        Penanggulangan terorisme harus dilakukan secara transparan dengan menggunakan bukti-bukti tang valid, karena pada dasarnya hak-hak asasi manusia (HAM) harus dihargai, kecuali terbukti melanggar undang-undang.
3.        Kesalahan hanya dibebankan pada pelaku teroris dan tidak berlaku bagi orang lain. Hal ini sebagaimana sisebutkan dalam shuhuf  Musa dan Ibrahim serta al-Qur’an:
أم لم بنيّا بما في صحف موسي وإبراهيم الذي وفّي الما تزروزرة وزر أخري

4.        Menghormati nota kesepakatan aturan internasional sekaligus setiap negara menghormati keberadaan negara lain, sehingga di saat terjadi tindakan terorisme hanya negara tersebut yang bergerak tanpa intervensi negara lain, kecuali menyampaikan ke pihak yang terkena kerugian.
5.        Perlu adanya pengentasan kemiskinan dunia dan memberikan setiap negara untuk maju sesuai kemampuan masing-masing negara.
6.        Harus menghormati perbedaan beragama, peradaban dan kebudayaan manusia dan tidak dianggap sebagai benturan. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan dialog yang bersandar pada logika, nilai dan kemanfaatan bersama.
7.        Perlu adanya penegakan kedzaliman, terutama kedzaliman sejarah yang berkaitan dengan Palestina, karena ini termasuk inti dari akar terorisme.



BAB III
PENUTUP
       A.     Kesimpulan.
• Isu-isu global kontemporer adalah isu yang berkembang serta meluas setelah Perang Dingin berakhir pada era 1990-an.
• Pengertian mengenai isu-isu global kontemporer terkait erat dengan sifat dari isu-isu tsb yang tidak lagi didominasi oleh hubungan Timur-Barat, seperti, ancaman perang nuklir, persaingan ideologi antara Demokrasi-Liberal dan Marxisme-Leninisme, diplomasi krisis, dsb.
·                        Dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror diartikan dengan:
1.      Perbuatan (pemerintahan dan sebagainya) yang sewenang-wenang  (kejam, bengis, dsb)
2.      Usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
B.      Saran.
          Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan.Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan.Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan bagian dari kita.Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya.Semoga makalah ini bermafaat dan menambah referensi pengetahuan kita. Terimakasih.



DAFTAR PUSTAKA

Qadir, Zuly, Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2010).
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2011).
Nasution, Khoiruddin,  Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIa + TAZZAFA, 2009).
Wijdan, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007),
 Dr. Zuly Qadir, Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2010), hlm.87.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020