MAKALAH
QOWAID FIQHIYAH
Tentang : لأصل في المعاملة الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Di susun oleh :
Ahyadin
Semester : III
(tiga)
FAKULTAS SYARI’AH
PRGRAM STUDIAKHWAL SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
berkat qudrah dan iradah-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah, “QOWAID FIQHIYAH”
yang bertemakan "Al-Ashlu fi al-Mu’amalati al-Ibahah hatta
yaquma al-Dalil ala al-Tahrimiha”. Shalawat
dan salam tidak lupa pula kami sanjung sajikan kepangkuan nabi besar Muhammad
SAW. yang telah membawa kita ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah qowaid fiqhiyah. Kami menyadari
dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena
itu kami sangat mengharapkan kritik beserta sarannya.
Akhirul kalam kepada Allah SWT jugalah
kita berserah diri dengan harapan semoga yang telah kami buat dalam tugas ini
dapat bermanfaat serta mendapat ridho dan maghfirah-Nya. Amin ya Rabbal
‘alamin....
Bima, 04 oktober 2017
Penulis
KATA PENGANTAR
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap
dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini
berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun
etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan
dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang
dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental
di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam
dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai
humanisme.
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Dasar kaidah
Salah
satu bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah memberikan segala
fasilitas di dunia ini untuk dinikmati dan dikelola oleh manusia. Segala yang
diciptakan oleh Allah Ta’ala hukum asalnya bisa diambil manfaatnya oleh
manusia.
1.
Al-qur’an.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah
Allah, yang menciptakan segala yang ada di muka bumi untuk kalian
semuanya.” (QS. al-Baqarah: 29)
Di
dalamnya terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu yang diciptakan
adalah boleh, hingga ada dalil yang memindah hukum asal ini. Tidak ada
perbedaan antara hewan dan lainnya dari perkara yang dapat dimanfaatkan tanpa
menimbulkan mudharat. Kata “Segala” dalam firman Allah di atas suatu pengukuhan
yang lebih kuat.
Berdasarkan
ayat tersebut maka para ulama membuat kaidah fikih untuk memudahkan ummat Islam
dalam memahami syari’at Islam, yaitu:
الأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ
“Hukum
asal dalam segala sesuatu adalah boleh.”
Kaidah
ini berkaitan dengan hukum segala sesuatu yang didiamkan yaitu tidak ada dalil
yang membolehkannya maupun mengharamkannya. Lafadz (الأشياء) dalam kaidah ini,
sekalipun disebutkan secara mutlak akan tetapi maksud sebenarnya adalah
di-taqyid dengan segala sesuatu yang tidak membahayakan. Karena sesuatu
yang terbukti membahayakan secara nyata maka hukum asalnya bukan dibolehkan
sekalipun tidak ada teks dalil tentangnya.
Kaidah
yang berlaku secara terus menerus dalam syariat adalah bahwa sesuatu yang
didiamkan oleh syara’, tidak membahayakan dari segala sesuatu dan muamalah yang
bermanfaat hukumnya tidaklah haram. Hukum ini tidak berubah kecuali dengan
dalil.
karena
hukum asal segala sesuatu itu dibolehkan. Begitu pula, binatang-binatang,
tumbuhan, buah-buahan, makanan, dan lain-lain hukum asalnya adalah boleh.
Adapun jika ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya atau tercampuri dengan
yang diharamkan seperti riba, usaha yang batil dan hal-hal yang diharamkan
lainnya maka hukumnya menjadi haram.
Firman Allah Ta’ala:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan
Dia telah menundukkan untuk kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda ayat Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS.
al-Jatsiyah: 13)
Firman
Allah Ta’ala:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ
خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS.
al-An’am: 145)
Dalam
QS. al-An’am ayat 145 menjelaskan bahwa Allah Ta’ala menyebutkan makanan yang
diharamkan sebagai bentuk pengecualian. Berarti yang tidak dikecualikan itu
diperbolehkan. Sedangkan QS.al-Jatsiyah ayat 13 seperti QS.al-Baqarah ayat 29
yang menunjukan bahwa segala yang dimuka bumi hukum asalnya untuk manusia.
2.
Al-Hadist.
روى الدارقطني عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا
وَحَرَّمَ حُرُمَاتٍ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا
وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا
Al-Daruqutni
meriwayatkan dalam kitab sunannya dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiallahu
‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah
kalian mengabaikannya, dan telah menetapkan batasan-batasannya janganlah kalian
melampauinya, Dia telah mengharamkan segala sesuatu, maka janganlah kalian
melanggarnya, Dia mendiamkan sesuatu sebagai kasih sayang terhadap kalian dan
bukan karena lupa jangan kalian mencari-cari tentangnya.” (HR.
al-Daruqutni)
روى الترمذي في سننه عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّمْنِ وَالجُبْنِ وَالفِرَاءِ
فَقَالَ: الحَلاَلُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ
اللَّهُ فِي كِتَابِهِ ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Al-Tirmidzi
meriwayatkan dalam kitab sunannya dari Salman, beliau berkata: Rasulallah
shallallahu alaihi wasallam… beliau bersabda, “Halal adalah apa yang dihalalkan
Allah dalam kitab-Nya dan lharam adalah apa yang diharamkan Allah diharamkan
Allah dalam kitab-Nya. Dan apa yang Dia diamkan tentangnya adalah perkara yang
dimaafkan (untuk kalian). (HR. al-Timidzi)
Kedua
hadits ini menunjukan bahwa segala sesuatu yang tidak dijelaskan status
hukumnya halal ataukah haram dibolehkan karena Allah memaafkannya dan
dibiarkan, ini menunjukan pembolehan yang tidak mengandung dosa mengerjakannya.
B.
Makna kaidah
Dalam hal ini
akan disampaikan beberapa kaidah fikih yang khusus di bidang muamalah, diantara
kaidah khusus di bidang muamalah ini adalah:
1.
الأصل في المعاملة الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi,
pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai kerjasama
(mudharabah dan musyarakah) perwakilan, Begitu pula, binatang-binatang,
tumbuhan, buah-buahan, makanan, dan lain-lain hukum asalnya adalah boleh.
Adapun jika ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya atau tercampuri dengan
yang diharamkan seperti riba, usaha yang batil dan hal-hal yang diharamkan
lainnya maka hukumnya menjadi haram. dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas
diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
Ibnu Taimiyah menggunakan ungkapan ini:
الأصل في العادة
العفو فلا يحظر منه إلا ما حرم الله
“Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidaka ada yang
diharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah SWT”
C.
Aplikasi kaidah
1.
الأصل في العقد رضى المتعاقدين ونتيجته ما التزماه بالتعاقد
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang
berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena
itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah
pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan
terpaksa atau dipakasa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad
sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya
hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli
yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat
cacat.
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
الأصل في العقود
رضا المتعاقدين
“dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”
2.
لا
يجوز لأحد أن يصرف في ملك غيره بلا إذنه
“tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang
lain tanpa izin si pemilik harta”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang
dijual atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya.
Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.
3.
الباكل لا يقبل الإجازة
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak
pernaha terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun
diterima salah satu pihak. Contohnya, Bank syariah tidak boleh melakukan akad
dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem
bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram
oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan lain itu
mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu
akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
4.
الإجازة اللاحقة كالوكالة السابقة
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang
telah dilakukan lebih dahulu”
Seperti telah dikemukakan pada kaidah no.3 bahwa pada dasaranya
seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa
seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah di atas, apabila seseorang
bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta
mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap
sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
5. الأجر
والضمان لا يجتمعان
“pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak
berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut
adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di
pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di
pasaran (Majalah Ahkam al-Adliyah pasal 416).
Contoh, seseorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa
keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang
berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus
mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membawa sewaannya. (Majalah Ahkam
al-adliyah pasal 550)
6.
الخراج بالضمان
“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat
benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang
mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan
alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang
tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli. Contoh lainnya
lihat pasal 891 dan 903 Majalah al-Ahkam al-Adliyah.
7. الغرم بالغمن
“Risiko itu menyertai manfaat”
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus
menanggung risiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada
keridhaan dari penjual atau ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang
yang meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang dan risiko
ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara
barang, dibebankan pada pemilik barang. Contoh lainnya dapat dilihat MAA pasal
292 dan 1308.
8. إذا بطل شيئ بطل
ما في ضمنه
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam
tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual
beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang.
Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli
terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi
batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus
mengembalikan harga barangnya.
9. العقد
على الأعيان كالعقد على منافعها
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad
terhadap manfaat benda tersebut”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli,
dan nnisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan
sekaran, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum
dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti
rukun dan syaratnya sama.
10. كل
ما يصح تأبيده من العقود المعاوضات فلا يصح توقيته
Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak
sah diberlakukan sementara”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang
masing-masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak
(penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di
pihak lain yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak
terhadap barang yang dibelinnya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila
dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila
waktuya dibatasi, maka bukan jial beli tapi sewa menyewa.
11. الأمر
بالتصرف في ملك الغير باطل
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milikorang lain
adalah batal”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk
bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap
miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga
keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan
kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal. Kaidah ini juga bisa masuk
dalam fiqh siyasah, apabila dilihat dari sisi kewenangan memerintah dari atasan
kepada bawahannya.
12. لا
يتم التبرع إلا بالقبض
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata
seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan
barangnya dilaksanakan.
13. الجواز
السرعي ينافي الضمان
Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek
tuntutan ganti rugi”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik
melakukan atau menninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi.
Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang
tetangganya jatuh kedalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak
bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur ditempatnya sendiri
dibolehkan oleh syariah. Contoh lainnya dapat dilihat MAA pasal 605 dan 882.
14. لا
ينزع شيئ من يد أحد إلا بحق ثابت
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali
atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap”
15. كل
قبول جائز أن يكون قبلت
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad
jual beli, sewa menyewa dan lain-lainnya, akad untuk menyebut “qabiltu” (saya
telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu,
seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab
dengan “saya terima”.
16. كل
شرط كان من مضلحة العقد أو من مقتضاه فهو جائز
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad
tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan”
Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa
apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima
gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat
di notaris.
17. كل
ما صح الرهن به صح ضمانه
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan”
18. ما
جاز بيعه جاز رهنه
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”
Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh
disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa diserah terimakan
Kaidah no. 17 dan 18 ini sering pula disebut dhabith karena
merupakan bab tertentu dari satu bidang hukum. Tetapi ada pula yang menyebutnya
kaidah seperti dalam al-Subki. Tampaknya lebih tepat disebut kaidah tafshiliyah
atau kaidah yang detail.
19. كل
قرض جر منفعة فهو ربا
“setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama
dengan riba”
Kadi Abd al-Wahab al-Maliki dalam kitabnya, al-Isyraf,
mengungkapkannya dengan:
كل قرض جر نفعا فهو حرام
“Setiap pinjaman dengan menaarik manfaat (oleh kredior) adalah
haram”
Disusun oleh: Abu Mujahidah al-Ghifari, Lc., M.E.I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar