BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya
memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di
kota-kota dan desa-desa. Keragaman itupun menjadi suatu kekayaan akan potensi
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakatnya,
masyarakat dan hukum merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ubi
societas Ibi ius, dimana ada masyarakat dan di situ ada hukum. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi
mencapai ketertiban umum. Aturan hukum tersebut ada yang tertulis maupun tidak
tertulis, berlaku secara nasional maupun kedaerahan, di dalam lapangan hukum
publik maupun hukum privat.
Di dalam lapangan hukum publik, salah satu sumber hukum yang diakui
secara nasional dan terkodifikasikan adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana). Namun, di daerah yang masyarakatnya masih dipengaruhi alam sekitarnya
yang magis religius dan memiliki sifat kedaerahan yang kental, sumber hukum
yang diakui di dalam lapangan hukum pidana adalah Hukum Pidana Adat. Keberadaan
Hukum Pidana Adat pada masyarakat merupakan pencerminan kehidupan masyarakat
tersebut dan pada masing-masing daerah memiliki Hukum Pidana Adat yang
berbeda-beda sesuai dengan adat-istiadat yang ada di daerah tersebut dengan
ciri khas tidak tertulis ataupun terkodifikasikan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hukum pidana adat?
2.
Bagaimana sifat dan jenis-jenis hukum pidana adat?
3.
Apakah perbedaan antara sistem hukum pidana nasional (KUHP) dengan
hukum pidana adat?
4.
Apa dasar hukum diakuinya hukum adat dalam hukum nasional?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian hukum pidana adat.
2.
Agar dapat memahami jenis dan sifat hukum adat.
3.
Memahami perbedaan hukum pidana nasional dan hukum pidana adat.
4.
Untuk dapat memahami dasar hukum diberlakukannya hukum pidana adat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Pidana Adat
Terminologi
hukum pidana adat, Delik Adat atau hukum adat pidana cikal bakal sebenarnya
berasal dari hukum adat yang terdiri dari hukum pidana adat dan hukum perdata
adat. Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis dan
praktik dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living
law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum
tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya.
Delik Adat merupakan
tindakan melanggar hukum. Tapi tidak semua pelanggaran hukum merupakan
perbuatan pidana ( delik ). Perbuatan yang dapat dipidana hanyalah pelanggaran
hukum yang diancam dengan suatu pidana oleh Undang-Undang.
Soerojo Wignjodipoero berpendapat delik adalah
suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan & kepatutan yang hidup
dalam masyarakat, sahingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta
keseimbangan masyarakat guna memulihkan kembali, maka terjadi reaksi-reaksi
adat.
Jadi, hukum Delik Adat adalah keseluruhan hukum tidak tertulis
yang menentukan adanya perbuatan-perbuatan pelanggaran adat beserta segala
upaya untuk memulihkan kembali keadaan keseimbangan yang terganggu oleh
perbuatan tersebut.
Menurut Van Vollenhoven, Delik Adat adalah perbuatan
yang tidak boleh dilakukan walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan
itu hanya merupakan kesalahan yang kecil saja.
Soepomo sebagaimana dikutip oleh Bewa Ragawino, menyatakan
bahwa Delik Adat: “ Segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu
kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan
suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap
masyarakat seluruhnya” Selanjutnya dinyatakan pula: “Delik yang paling berat
ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan
dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat”
Hilman Hadikusuma menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum
yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia
tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga
undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga. Malahan, hukum pidana perundang-undangan
akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat
hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada perundangundangan.
I Made Widnyana
menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law), diikuti
dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang
dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu keseimbangan
kosmis masyarakat, oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberikan reaksi adat,
koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya.
Konklusi dasar dari apa yang telah diterangkan konteks di atas dapat
disebutkan bahwa hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan
keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya
gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu,
untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi
adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan
maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat
suatu pelanggaran adat.
Dari rangkaian pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Delik
Adat adalah peristiwa atau perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat
dan dikarenakan ada reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus
dipulihkan kembali.
B.
Sifat dan Jenis –Jenis Hukum Pidana Adat
·
Sifat-sifat hukum pidana adat, yaitu:
1.
Menyeluruh dan menyatukan
karena dijiwai oleh sifat kosmis yang saling berhubungan sehingga hukum pidana
adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata.
2.
Ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidakmampuan
meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga
ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau pebuatan yang mungkin
terjadi.
3.
Membeda-bedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa
pelanggaran yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi
dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh karena itu,
dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu
peristiwa menjadi berbeda-beda.
4.
Peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaran adat
sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan
atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
5.
Tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan pada si
pelaku tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan
mungkin juga dibebankan kepada masyarakat bersangkutan untuk mengembalikan
keseimbangan yang terganggu.
·
Jenis-jenis hukum pidana adat, antara lain:
1.
Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa
perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib serta segala pelanggaran yang
memperkosa susunan masyarakat.
2.
Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga masyarakat
seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.
3.
Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung
4.
Segala perbutan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan
mencemarkan suasana batin masyarakat
5.
Delik yang merusak dasar susunan masyarkat, misalnya incest
6.
Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan
hukum suatu golongan famili sebagai suami.
7.
Delik mengeani badan seseorang misalnya melukai
Adapun
sebagai bentuk Reaksi masyarakat adat terhadap delik adat, melalui para
pemimpinnya mereka merumuskan ketentuan-ketentuan adat sebagai berikut:
1.
Merumuskan pedoman bagaiman warga masyarakat seharusnya berperilaku
, sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat
2.
Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapatdimanfaatkan
untuk mengadakan ketertiban.
3.
Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali.
4.
Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antarawarga-warga
masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.
C.
Perbedaan Hukum Pidana Nasional (KUHP) dengan Hukum Pidana Adat
Seperti diuraikan oleh Van Vollenhoven dalam bukunya Iman Hidayat
dan Surojo Wionjodipuro36 menyebutkan perbedaan pokok aliran antara sistem
hukum pidana dengan sistem Delik Adat:
1.
Suatu pokok dasar kitab hukum kriminal tersebut ialah, bahwa yang dapat
dipidana (strafbaar) hanya seorang manusia saja. Persekutuan hukum Indonesia,
misainya desa (nagari, buta, dan sebagainya) atau persekutuan famili (di
Minangkabau) tidak mempunyai pertanggungjawaban kriminal terhadap delik yang
diperbuat oleh seorang warganya. Pun persekutuan daerah tidak dapat dihukum
oleh karena di dalam wilayah hukumnya terjadi suatu delik yang tidak diketahui
siapa yang melakukan.
Aliran
pikiran Indonesia adalah berlainan. Di beberapa daerah di kepulauan Indonesia,
misalnya di Tanah Gayo, di daerah daerah Batak, di pulau Nias, di Minangkabau, Sumatera
Sela tan, Kalimantan (antara suku-suku bangsa Dayak), Gorontalo, Ambon, Bali,
Lombok, dan Timor Seringkali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung
tempat terjadinya suatu pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing,
diwajibkan mem bayar denda atau kerugian kepada golongan famili orang yang
dibunuh atau yang kecurian. Begitupun famili si penjahat diharuskan menanggung
hukuman yang dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh salah seorang
warganya.
2.
Pokok prinsip yang kedua dan Strafwetboek (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana) ialah, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila perbuatannya
dilakukan dengan sengaja (opzet) ataupun dalam
kekhilafan (culpa), pendek kata apabila Ia mempunyai kesalahan ( Bagi hukum
adat Van Voilenhoven menulis, bahwa lebih banyak adanya kejadian-kejadian di
dalam lapangan hukum adat yang tidak memerlukan pembuktian tentang adanya
sengaja atau kekhilafan dari pada kejahatan-kejahatan di lapangan hukum
kriminal “strafwetboek”.
Di dalam hukum adat ada beberapa
pelanggaran hukum yang hanya dapat dilakukan dengan sengaja, misainya perbuatan
in cest atau pencurian. Ada pula beberapa delik seperti pembunuhan atau melukai
orang, yang dihukum lebih berat jika perbuatan itu dilakukan dengan sengaja
dari pada perbuatan tidak disengaja.
Ada delik-Delik Adat lain, yang mewajibkan
para petugas hukum untuk memberi hukuman (mengadakan koreksi, reaksi) dengan
tidak memerlukan pembuktian apakah orang yang di hukum itu mempunyai kesalahan,
misalnya delik yang mengganggu perimbangan batin masyarakat, umpamanya seorang perempuan
melahirkan anak di sawah orang lain (di daerah Batak) atau Tongat, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, di rumah orang lain (di
tanah Dayak).
Juga aturan adat tanggung menanggung
di Sumatera dan daerah-daerah lain, menurut aturan mi masyarakat kampung atau
persekutuan famili harus menanggung perbuatan-perbuatan seorang warganya yang
melanggar hukum, tidak mempedulikan, apakah persekutuan mempunyai kesalahan
atau tidak atas perbuatan itu.
3.
Pokok dasar ketiga dan Strafwetboek ialah bahwa tiap-tiap delik menentang
kepentingan negara, sehingga tiap-tiap delik itu menjadi urusan negara, bukan
urusan perseorangan pribadi yang terkena. Menurut sistem hukum adat, ada
delik-delik yang terutama menjadi urusan orang yang terkena, Seringkali juga
men jadi urusan golongan famili orang yang terkena dan juga mengenai
kepentingan desanya. Terhadap delik-delik yang terutama hanya melukai
kepentingan golongan famili atau kepentingan seseorang dengan tidak membahayakan
keseimbangan hukum persekutuan desa pada umumnya, maka petugas hukum (kepala
adat, hakim) hanya akan bertindak jika diminta oleh pihak yang terkena itu.
Dalam hal demikian Seringkali pihak
yang terkena diberi kesempatan untuk berdamai, (rukunan) dengan pihak yang
melakukan delik. Dalam hal demikian uang “denda” atau pembayaran kerugian dan
p1- hak yang melakukan delik tidak masuk “kas negeri” melainkan diberikan kepada
pihak yang terkena.
4.
Menurut pokok dasar “Strafwetboek” orang hanya dapat dipidana (dihukum)
apabila Ia dapat bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar). Dalam buku-buku
perpustakaan tentang hukum adat terdapat pemberitaan dan daerah Minangkabau,
bahwa di daerah itu upaya pertahanan dan masyarakat terhadap orang gila yang
membunuh orang adalah sama dengan upaya pertahanan terhadap orang yang normal, yang
melakukan pembunuhan. Dengan kata lain, sakit gila itu tidak mempengaruhi berat
atau ringannya upaya perlawanan yang harus dilakukan terhadap delik yang
diperbuat oleh orang gila.
Di Bali terdapat pemberitaan, bahwa orang gila
dan anak yang belum umur de lapan tahun, tidak boleh dihukum, kecuali apabila
ia melaku kan delik yang masuk golongan “sadtataji” (pembakaran, meracun orang,
amok, penghinaan kepada seorang raja,hekserij dan pemerkosaan). Anak-anak di
Bali yang jika berdiri belum lima kaki tingginya ataupun anak-anak yang belum
memotong gigi, atau belum bekerja di sawah, tidak dianggap bertanggung jawab.
Perbuatan yang berakibat menghilangkan kedudukan
kasta (kustaverlies) pada anak-anak yang belum cukup umur baru merupakan delik,
jika anak itu tiga kali berbuat demikian. Vergouwen menu1is, bahwa seorang
bapak harus menanggung segala akibat perbuatan pelanggaran hukum dan
anak-anaknya (yang belum cukup umur).
5.
Pokok dasar yang kelima dari strafboek ialah tidak membedakan orang
(green aanzien des persons) Sebagai telah diuraikan di atas, di dalam sistem
hukum adat, besar atau kecilnya kepentingan hukum orang sebagai individu adalah
tergantung dari pada kedudukannya (fungsinya) di dalam masyarakat. Di dalam
masyarakat Bugis dan Makasar, yang bersifat masyarakat bertingkat-tingkat
(standenmaatschappij), seseorang dan tingkat atasan lebih penting dari pada
orang dan tingkat bawahan.
Di Bali orang-orang Triwangsa adalah
lebih penting dari pada orang rakyat jelata. Makin tinggi kedudukan orang
seseorang di dalam masyarakat, makin berat sifat delik yang dilakukan
terhadapnya, jadi makin berat hukuman yang akan dijatuhkan kepada orang yang membuat
delik itu. Raja atau kepala adat adalah orang yang paling tinggi kedudukannya
di dalam masyarakat yang bersangkutan.
6.
Pokok dasar keenam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ialah bahwa
orang dilarang bertindak sendiri untuk menegakkan hukum yang dilanggar (verbod
van eigenrichting). Larangan Ini adalah berhubung dengan prinsip, bahwa segala
delik adalah urusan negara, bukan urusan perseorangan.
Di dalam sistem hukum adat terdapat
keadaan yang mengizinkan orang yang terkena untuk bertindak sebagai hakim
sendiri. Misalnya apabila seseorang melarikan gadis, atau berzinah (overspel) atau
mencuri dan perbuatan ini diketahui seketika (op heterdaad betrapt) sedang
orangnya dapat tertangkap, maka pihak yang terkena, pada waktu mendapati delik
itu, menurut paham adat boleh bertindak untuk menegakkan hukum.
Di Tanah Batak pada zaman dahulu seringkali
terjadi, bahwa pihak yang terkena mengungkung orang yang bersalah dengan kayu
(mambeongkon) sampai ia atau golongan keluarganya membayar denda yang
diwajibkan oleh adat. Di Minangkabau terkenal dengan adat tarikh, yaitu pihak
yang terkena berhak mengambil sesuatu banang pihak yang bersalah atau barang famili
pihak yang bersalah dan menahan benda itu hingga pihak yang bersalah memenuhi
hukumannya.
7.
Pokok dasar ketujuh dan Strafwetboek ialah, tidak membedakan barang
yang satu dengan barang yang lain, sehingga path: dasarnya mencuri setangkai
bunga adalah sama beratnya dengan mencuri sebuah permata yang mahal. Menurut
aliran tradisional Indonesia, mencuri, menggelapkan atau merusak barang asal
dan nenek moyang adalah lebih berat dari pada mencuri, menggelapkan atau
merusak barang duniawi biasa.
8.
Pokok dasar kedelapan dan Strafwetboek mengenai soal membantu perbuatan
delik (medeplichtigheid), membujuk (uitlokking) dan ikut berbuat
(mededaderschap).
Menurut sistem hukum adat, siapa
saja yang turut menentang peraturan hukum, diharuskan turut memenuhi usaha yang
diwajibkan untuk memulihkan kembali perimbangan hukum (rechtsherstel). Pepatah
Batak berbunyi: “dosdo setiop sige dohot sitangko tuak “, artinya: “orang yang
memegang tangga sarna saja dengan orang yang mencuri nira”. Dengan kata lain,
semua orang yang ikut serta membuat delik, hams ikut bertanggungjawab.
9.
Pokok dasar kesembilan dan Kitab Undang- Undang Hukum Pi dana mengenai
percobaan yang dapat dipidana (strafbare poging). Suatu perbuatan percobaan
yang tidak berarti, tidak dapat dipidana. Sistem hukum adat tidak menghukum
seseorang oleh karena mencoba melakukan suatu delik. Sebagai telah berulang
ulang dikemukakan, dalam sistem hukum adat suatu upaya adat (adatreaksi) akan diselenggarakan
jika perimbangan hukum diganggu, sehingga perlu untuk memulihkan kembali
pertimbangan hukum.
Apabila tidak terjadi pengacauan
masyarakat, tidak terjadi penghinaan atau kerusakan, apabila tidak ada
perubahan apa-apa di dalam keadaan masyarakat atau di dalam keadaan sesuatu
golongan famili, atau di dalam keadaan orang seorang, maka tidak ada alasan
suatu pun bagi para petugas hukum untuk bertindak, oleh karena perimbangan
hukum tidak terganggu. Apabila se seorang yang bermaksud akan membunuh orang
lain, menembak orang itu, akan tetapi orang yang ditembak itu hanya mendapat
luka-luka, maka orang yang menembak itu tidak akan di hukum oleh karena mencoba
membunuh, melainkan ia akan di hukum oleh karena melukai orang. Pelanggaran hukum yang terjadi ialah hanya berupa
melukai seseorang. Jika sekiranya tembakan itu tidak mengenai, maka tidak ada
percobaan membunuh atau tidak ada percobaan untuk melukai melainkan yang
terjadi ialah hanya perbuatan melepaskan tembakan kepada Seseorang. Pengkhiatan
ini mungkin dianggap melanggar ketentraman umum, sehingga merupakan delik pula.
10.
Pokok dasar kesepuluh dan Strafwetboek ialah, bahwa orang yang hanya
dapat dipidana oleh karena perbuatannya yang terakhir, tidak oleh karena
perbuatannya dulu-dulu, kecuali jika ia menjalankan pengulangan kejahatan
(recidive). Menurut aliran pikiran tradisional Indonesia, dalam mengadili
perbuatan pe langgaran hukum hakim harus memperhatikan juga, apakah yang
melanggar hukum itu sungguh menyesal (berouw) atas perbuatannya. Pun hakim akan
memperhatikan apakah orang itu masuk golongan orang yang terkenal sebagai
penjahat. Penyesalan hati akan meringankan hukuman.
D.
Dasar Hukum Pemberlakuan Hukum Adat
Ada beberapa dasar hukum yang dapat dijadikan dasar dalam
berlakunya Hukum Adat di Indonesia pada saat ini antara lain :
1. Ketentuan UUD
1945
Dalam pasal 18 B ayat (2) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
“Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”.
Dalam pasal ini sudah jelas dituliskan bahwa mayarakat adat diakui
dan dihormati kesatuan-kesatuannya berserta hak-hak tradisionalnya, karena oleh
sebab itu lah perlu adanya hukum adat dan hukum pidana adat
2. UU Drt. No. 1
tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan,
kekuasaan dan acara pengadilan sipil.
Pasal 1 ayat 2 UU Drt. 1 tahun 1951
secara berangsur-angsurkan ditentukan oleh menteri kehakiman, dihapus:
·
Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara Sumatera
Timur dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.
·
Segala pengadilan adat kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat 3 UU
Drt. No. 1 tahun 1951 hakim desa tetap dipertahankan.
3. UU No. 5 tahun
1960 tentang UUPA Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang pelimpahan wewenang
kembali kepada masyrakat hukum adat untuk melaksanakan hak menguasai atas
tanah, sehingga masyrakat Hukum Adat merupakan aparat pelaksana dari hak
menguasai negara atas untuk mengelola tanah yang ada di wilayahnya.
·
Pasal 3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat Hukum Adat,
sepanjang menurut kenyataannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak boleh
bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi.
·
Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas
bumi, air, udara dan ruang angkasa adalah Hukum Adat sepanjang (dengan
pembatasan) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, negara, sosialisme
dan undang-undang.
·
Pasal 22 terjadinya hak milik berdasarkan ketentuan Hukum Adat akan
diatur dengan PP
4. UU No. 4 tahun
2004 yang menggantikan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
·
Pasal 25 ayat (1) yang isinya segala putusan pengadilan selain
harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
·
Pasal 28 ayat (1) yang isinya tentang hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat.
5. Undang-Undang No.39 tahun
1999 tentang HAM ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR
XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian
dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan:
·
Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyarakat, dan pemerintah.
·
Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah
ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.
Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini
menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung
tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi
dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat
yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan.
Sedangkan penjelasan untuk ayat (2)
dinyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya
nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang
teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi
sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan
keadilan dan kesejahteraan rakyat.
6. UU No. 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada penegasan hak-hak masyarakat
hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya
menyebutkan:
“Pemilihan
Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum
adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat
sesuai perkembangannya dapat mengembangkan bentuk persekutuannya menjadi
pemerintahan setingkat desa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 202
ayat (1): “Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari
di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan,
Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku”.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Konsep hukum Delik Adat tidak sama dengan hukum barat seperti dapat
kita lihat di dalam hukum Delik Adat tidakk mengadakan perpisahan antara
pelanggaran hukum yang diwajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam
lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum hukum yang hanya dapat dituntut
dalam perdata.
Oleh karenanya maka sistem hukum
adat hanya mengenal prosuder baik penuntutan secara perdata maupun penuntutan
secara pidana (kriminal). Ini berarti , petugas hukum adat yang berwenang untuk
mengambil tindakan-tindakan konkret (reaksi adat), guna membetulkan hukum yang dilanggar
itu, tidak sampai hukum barat yaitu hakim pidana untuk kasus pidana dan hakim
perdata untuk kasus perdata, melainkan satu pejabat saja yaitu kepala adat,
hakim perdamaian desa atau hakim pengendalian negeri untuk semua macam
pelanggaran adat.
Eksistensi Delik Adat pada masa
sekarang jelas akan lebih banyak bergantung pada hukum tertulis termasuk
konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar