l Hukum pidana adat di indonesia | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Minggu, 03 November 2019

Hukum pidana adat di indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota-kota dan desa-desa. Keragaman itupun menjadi suatu kekayaan akan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakatnya, masyarakat dan hukum merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ubi societas Ibi ius, dimana ada masyarakat dan di situ ada hukum. Oleh karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Aturan hukum tersebut ada yang tertulis maupun tidak tertulis, berlaku secara nasional maupun kedaerahan, di dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat.
      Di dalam lapangan hukum publik, salah satu sumber hukum yang diakui secara nasional dan terkodifikasikan adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun, di daerah yang masyarakatnya masih dipengaruhi alam sekitarnya yang magis religius dan memiliki sifat kedaerahan yang kental, sumber hukum yang diakui di dalam lapangan hukum pidana adalah Hukum Pidana Adat. Keberadaan Hukum Pidana Adat pada masyarakat merupakan pencerminan kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing daerah memiliki Hukum Pidana Adat yang berbeda-beda sesuai dengan adat-istiadat yang ada di daerah tersebut dengan ciri khas tidak tertulis ataupun terkodifikasikan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hukum pidana adat?
2.      Bagaimana sifat dan jenis-jenis hukum pidana adat?
3.      Apakah perbedaan antara sistem hukum pidana nasional (KUHP) dengan hukum pidana adat?
4.      Apa dasar hukum diakuinya hukum adat dalam hukum nasional?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian hukum pidana adat.
2.      Agar dapat memahami jenis dan sifat hukum adat.
3.      Memahami perbedaan hukum pidana nasional dan hukum pidana adat.
4.      Untuk dapat memahami dasar hukum diberlakukannya hukum pidana adat.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum Pidana Adat
            Terminologi hukum pidana adat, Delik Adat atau hukum adat pidana cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat yang terdiri dari hukum pidana adat dan hukum perdata adat. Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis dan praktik dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya.
      Delik Adat merupakan tindakan melanggar hukum. Tapi tidak semua pelanggaran hukum merupakan perbuatan pidana ( delik ). Perbuatan yang dapat dipidana hanyalah pelanggaran hukum yang diancam dengan suatu pidana oleh Undang-Undang.
             Soerojo Wignjodipoero berpendapat delik adalah suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan & kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sahingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat guna memulihkan kembali, maka terjadi reaksi-reaksi adat.
            Jadi, hukum Delik Adat adalah keseluruhan hukum tidak tertulis yang menentukan adanya perbuatan-perbuatan pelanggaran adat beserta segala upaya untuk memulihkan kembali keadaan keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan tersebut.
            Menurut Van Vollenhoven, Delik Adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan kesalahan yang kecil saja.
            Soepomo sebagaimana dikutip oleh Bewa Ragawino, menyatakan bahwa Delik Adat: “ Segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya” Selanjutnya dinyatakan pula: “Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat”
            Hilman Hadikusuma menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga. Malahan, hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada perundangundangan.
            I Made Widnyana menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat, oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya.
            Konklusi dasar dari apa yang telah diterangkan konteks di atas dapat disebutkan bahwa hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat suatu pelanggaran adat.
            Dari rangkaian pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Delik Adat adalah peristiwa atau perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat dan dikarenakan ada reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali.

B.     Sifat dan Jenis –Jenis Hukum Pidana Adat
·         Sifat-sifat hukum pidana adat, yaitu:
1.       Menyeluruh dan menyatukan karena dijiwai oleh sifat kosmis yang saling berhubungan sehingga hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata.
2.      Ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau pebuatan yang mungkin terjadi.
3.      Membeda-bedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa pelanggaran yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh karena itu, dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.
4.      Peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
5.      Tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan pada si pelaku tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin juga dibebankan kepada masyarakat bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu.

·         Jenis-jenis hukum pidana adat, antara lain:
1.      Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat.
2.      Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.
3.      Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung
4.      Segala perbutan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan mencemarkan suasana batin masyarakat
5.      Delik yang merusak dasar susunan masyarkat, misalnya incest
6.      Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum suatu golongan famili sebagai suami.
7.      Delik mengeani badan seseorang misalnya melukai
                              Adapun sebagai bentuk Reaksi masyarakat adat terhadap delik adat, melalui para pemimpinnya mereka merumuskan ketentuan-ketentuan adat sebagai berikut:
1.      Merumuskan pedoman bagaiman warga masyarakat seharusnya berperilaku , sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat
2.      Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapatdimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
3.      Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali.
4.      Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antarawarga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.

C.       Perbedaan Hukum Pidana Nasional (KUHP) dengan Hukum Pidana Adat
      Seperti diuraikan oleh Van Vollenhoven dalam bukunya Iman Hidayat dan Surojo Wionjodipuro36 menyebutkan perbedaan pokok aliran antara sistem hukum pidana dengan sistem Delik Adat:
1.      Suatu pokok dasar kitab hukum kriminal tersebut ialah, bahwa yang dapat dipidana (strafbaar) hanya seorang manusia saja. Persekutuan hukum Indonesia, misainya desa (nagari, buta, dan sebagainya) atau persekutuan famili (di Minangkabau) tidak mempunyai pertanggungjawaban kriminal terhadap delik yang diperbuat oleh seorang warganya. Pun persekutuan daerah tidak dapat dihukum oleh karena di dalam wilayah hukumnya terjadi suatu delik yang tidak diketahui siapa yang melakukan.
                  Aliran pikiran Indonesia adalah berlainan. Di beberapa daerah di kepulauan Indonesia, misalnya di Tanah Gayo, di daerah daerah Batak, di pulau Nias, di Minangkabau, Sumatera Sela tan, Kalimantan (antara suku-suku bangsa Dayak), Gorontalo, Ambon, Bali, Lombok, dan Timor Seringkali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung tempat terjadinya suatu pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing, diwajibkan mem bayar denda atau kerugian kepada golongan famili orang yang dibunuh atau yang kecurian. Begitupun famili si penjahat diharuskan menanggung hukuman yang dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh salah seorang warganya.
2.      Pokok prinsip yang kedua dan Strafwetboek (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) ialah, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila perbuatannya dilakukan dengan sengaja (opzet) ataupun dalam  kekhilafan (culpa), pendek kata apabila Ia mempunyai kesalahan ( Bagi hukum adat Van Voilenhoven menulis, bahwa lebih banyak adanya kejadian-kejadian di dalam lapangan hukum adat yang tidak memerlukan pembuktian tentang adanya sengaja atau kekhilafan dari pada kejahatan-kejahatan di lapangan hukum kriminal “strafwetboek”.
            Di dalam hukum adat ada beberapa pelanggaran hukum yang hanya dapat dilakukan dengan sengaja, misainya perbuatan in cest atau pencurian. Ada pula beberapa delik seperti pembunuhan atau melukai orang, yang dihukum lebih berat jika perbuatan itu dilakukan dengan sengaja dari pada perbuatan tidak disengaja.
             Ada delik-Delik Adat lain, yang mewajibkan para petugas hukum untuk memberi hukuman (mengadakan koreksi, reaksi) dengan tidak memerlukan pembuktian apakah orang yang di hukum itu mempunyai kesalahan, misalnya delik yang mengganggu perimbangan batin masyarakat, umpamanya seorang perempuan melahirkan anak di sawah orang lain (di daerah Batak) atau Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, di rumah orang lain (di tanah Dayak).
            Juga aturan adat tanggung menanggung di Sumatera dan daerah-daerah lain, menurut aturan mi masyarakat kampung atau persekutuan famili harus menanggung perbuatan-perbuatan seorang warganya yang melanggar hukum, tidak mempedulikan, apakah persekutuan mempunyai kesalahan atau tidak atas perbuatan itu.
3.      Pokok dasar ketiga dan Strafwetboek ialah bahwa tiap-tiap delik menentang kepentingan negara, sehingga tiap-tiap delik itu menjadi urusan negara, bukan urusan perseorangan pribadi yang terkena. Menurut sistem hukum adat, ada delik-delik yang terutama menjadi urusan orang yang terkena, Seringkali juga men jadi urusan golongan famili orang yang terkena dan juga mengenai kepentingan desanya. Terhadap delik-delik yang terutama hanya melukai kepentingan golongan famili atau kepentingan seseorang dengan tidak membahayakan keseimbangan hukum persekutuan desa pada umumnya, maka petugas hukum (kepala adat, hakim) hanya akan bertindak jika diminta oleh pihak yang terkena itu.
            Dalam hal demikian Seringkali pihak yang terkena diberi kesempatan untuk berdamai, (rukunan) dengan pihak yang melakukan delik. Dalam hal demikian uang “denda” atau pembayaran kerugian dan p1- hak yang melakukan delik tidak masuk “kas negeri” melainkan diberikan kepada pihak yang terkena.
4.      Menurut pokok dasar “Strafwetboek” orang hanya dapat dipidana (dihukum) apabila Ia dapat bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar). Dalam buku-buku perpustakaan tentang hukum adat terdapat pemberitaan dan daerah Minangkabau, bahwa di daerah itu upaya pertahanan dan masyarakat terhadap orang gila yang membunuh orang adalah sama dengan upaya pertahanan terhadap orang yang normal, yang melakukan pembunuhan. Dengan kata lain, sakit gila itu tidak mempengaruhi berat atau ringannya upaya perlawanan yang harus dilakukan terhadap delik yang diperbuat oleh orang gila.
             Di Bali terdapat pemberitaan, bahwa orang gila dan anak yang belum umur de lapan tahun, tidak boleh dihukum, kecuali apabila ia melaku kan delik yang masuk golongan “sadtataji” (pembakaran, meracun orang, amok, penghinaan kepada seorang raja,hekserij dan pemerkosaan). Anak-anak di Bali yang jika berdiri belum lima kaki tingginya ataupun anak-anak yang belum memotong gigi, atau belum bekerja di sawah, tidak dianggap bertanggung jawab.
             Perbuatan yang berakibat menghilangkan kedudukan kasta (kustaverlies) pada anak-anak yang belum cukup umur baru merupakan delik, jika anak itu tiga kali berbuat demikian. Vergouwen menu1is, bahwa seorang bapak harus menanggung segala akibat perbuatan pelanggaran hukum dan anak-anaknya (yang belum cukup umur).
5.      Pokok dasar yang kelima dari strafboek ialah tidak membedakan orang (green aanzien des persons) Sebagai telah diuraikan di atas, di dalam sistem hukum adat, besar atau kecilnya kepentingan hukum orang sebagai individu adalah tergantung dari pada kedudukannya (fungsinya) di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat Bugis dan Makasar, yang bersifat masyarakat bertingkat-tingkat (standenmaatschappij), seseorang dan tingkat atasan lebih penting dari pada orang dan tingkat bawahan.
            Di Bali orang-orang Triwangsa adalah lebih penting dari pada orang rakyat jelata. Makin tinggi kedudukan orang seseorang di dalam masyarakat, makin berat sifat delik yang dilakukan terhadapnya, jadi makin berat hukuman yang akan dijatuhkan kepada orang yang membuat delik itu. Raja atau kepala adat adalah orang yang paling tinggi kedudukannya di dalam masyarakat yang bersangkutan.
6.      Pokok dasar keenam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ialah bahwa orang dilarang bertindak sendiri untuk menegakkan hukum yang dilanggar (verbod van eigenrichting). Larangan Ini adalah berhubung dengan prinsip, bahwa segala delik adalah urusan negara, bukan urusan perseorangan.
            Di dalam sistem hukum adat terdapat keadaan yang mengizinkan orang yang terkena untuk bertindak sebagai hakim sendiri. Misalnya apabila seseorang melarikan gadis, atau berzinah (overspel) atau mencuri dan perbuatan ini diketahui seketika (op heterdaad betrapt) sedang orangnya dapat tertangkap, maka pihak yang terkena, pada waktu mendapati delik itu, menurut paham adat boleh bertindak untuk menegakkan hukum.
             Di Tanah Batak pada zaman dahulu seringkali terjadi, bahwa pihak yang terkena mengungkung orang yang bersalah dengan kayu (mambeongkon) sampai ia atau golongan keluarganya membayar denda yang diwajibkan oleh adat. Di Minangkabau terkenal dengan adat tarikh, yaitu pihak yang terkena berhak mengambil sesuatu banang pihak yang bersalah atau barang famili pihak yang bersalah dan menahan benda itu hingga pihak yang bersalah memenuhi hukumannya.
7.      Pokok dasar ketujuh dan Strafwetboek ialah, tidak membedakan barang yang satu dengan barang yang lain, sehingga path: dasarnya mencuri setangkai bunga adalah sama beratnya dengan mencuri sebuah permata yang mahal. Menurut aliran tradisional Indonesia, mencuri, menggelapkan atau merusak barang asal dan nenek moyang adalah lebih berat dari pada mencuri, menggelapkan atau merusak barang duniawi biasa.
8.      Pokok dasar kedelapan dan Strafwetboek mengenai soal membantu perbuatan delik (medeplichtigheid), membujuk (uitlokking) dan ikut berbuat (mededaderschap).
            Menurut sistem hukum adat, siapa saja yang turut menentang peraturan hukum, diharuskan turut memenuhi usaha yang diwajibkan untuk memulihkan kembali perimbangan hukum (rechtsherstel). Pepatah Batak berbunyi: “dosdo setiop sige dohot sitangko tuak “, artinya: “orang yang memegang tangga sarna saja dengan orang yang mencuri nira”. Dengan kata lain, semua orang yang ikut serta membuat delik, hams ikut bertanggungjawab.
9.      Pokok dasar kesembilan dan Kitab Undang- Undang Hukum Pi dana mengenai percobaan yang dapat dipidana (strafbare poging). Suatu perbuatan percobaan yang tidak berarti, tidak dapat dipidana. Sistem hukum adat tidak menghukum seseorang oleh karena mencoba melakukan suatu delik. Sebagai telah berulang ulang dikemukakan, dalam sistem hukum adat suatu upaya adat (adatreaksi) akan diselenggarakan jika perimbangan hukum diganggu, sehingga perlu untuk memulihkan kembali pertimbangan hukum.
            Apabila tidak terjadi pengacauan masyarakat, tidak terjadi penghinaan atau kerusakan, apabila tidak ada perubahan apa-apa di dalam keadaan masyarakat atau di dalam keadaan sesuatu golongan famili, atau di dalam keadaan orang seorang, maka tidak ada alasan suatu pun bagi para petugas hukum untuk bertindak, oleh karena perimbangan hukum tidak terganggu. Apabila se seorang yang bermaksud akan membunuh orang lain, menembak orang itu, akan tetapi orang yang ditembak itu hanya mendapat luka-luka, maka orang yang menembak itu tidak akan di hukum oleh karena mencoba membunuh, melainkan ia akan di hukum oleh karena melukai orang.     Pelanggaran hukum yang terjadi ialah hanya berupa melukai seseorang. Jika sekiranya tembakan itu tidak mengenai, maka tidak ada percobaan membunuh atau tidak ada percobaan untuk melukai melainkan yang terjadi ialah hanya perbuatan melepaskan tembakan kepada Seseorang. Pengkhiatan ini mungkin dianggap melanggar ketentraman umum, sehingga merupakan delik pula.
10.  Pokok dasar kesepuluh dan Strafwetboek ialah, bahwa orang yang hanya dapat dipidana oleh karena perbuatannya yang terakhir, tidak oleh karena perbuatannya dulu-dulu, kecuali jika ia menjalankan pengulangan kejahatan (recidive). Menurut aliran pikiran tradisional Indonesia, dalam mengadili perbuatan pe langgaran hukum hakim harus memperhatikan juga, apakah yang melanggar hukum itu sungguh menyesal (berouw) atas perbuatannya. Pun hakim akan memperhatikan apakah orang itu masuk golongan orang yang terkenal sebagai penjahat. Penyesalan hati akan meringankan hukuman.

D.  Dasar Hukum Pemberlakuan Hukum Adat
            Ada beberapa dasar hukum yang dapat dijadikan dasar dalam berlakunya Hukum Adat di Indonesia pada saat ini antara lain :
1.      Ketentuan UUD 1945
            Dalam pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
            Dalam pasal ini sudah jelas dituliskan bahwa mayarakat adat diakui dan dihormati kesatuan-kesatuannya berserta hak-hak tradisionalnya, karena oleh sebab itu lah perlu adanya hukum adat dan hukum pidana adat
2.      UU Drt. No. 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil.
            Pasal 1 ayat 2 UU Drt. 1 tahun 1951 secara berangsur-angsurkan ditentukan oleh menteri kehakiman, dihapus:
·         Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara Sumatera Timur dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.
·         Segala pengadilan adat kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat 3 UU Drt. No. 1 tahun 1951 hakim desa tetap dipertahankan.
3.      UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang pelimpahan wewenang kembali kepada masyrakat hukum adat untuk melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga masyrakat Hukum Adat merupakan aparat pelaksana dari hak menguasai negara atas untuk mengelola tanah yang ada di wilayahnya.
·         Pasal 3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi.
·         Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, udara dan ruang angkasa adalah Hukum Adat sepanjang (dengan pembatasan) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, negara, sosialisme dan undang-undang.
·         Pasal 22 terjadinya hak milik berdasarkan ketentuan Hukum Adat akan diatur dengan PP
4.      UU No. 4 tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
·         Pasal 25 ayat (1) yang isinya segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
·         Pasal 28 ayat (1) yang isinya tentang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
5.      Undang-Undang  No.39 tahun 1999 tentang HAM ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan:
·         Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
·         Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.
      Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan.
      Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
6.      UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya menyebutkan:
“Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
            Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya dapat mengembangkan bentuk persekutuannya menjadi pemerintahan setingkat desa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1): “Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku”.

BAB III
PENUTUP

      A.    Simpulan
            Konsep hukum Delik Adat tidak sama dengan hukum barat seperti dapat kita lihat di dalam hukum Delik Adat tidakk mengadakan perpisahan antara pelanggaran hukum yang diwajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum hukum yang hanya dapat dituntut dalam perdata.
            Oleh karenanya maka sistem hukum adat hanya mengenal prosuder baik penuntutan secara perdata maupun penuntutan secara pidana (kriminal). Ini berarti , petugas hukum adat yang berwenang untuk mengambil tindakan-tindakan konkret (reaksi adat), guna membetulkan hukum yang dilanggar itu, tidak sampai hukum barat yaitu hakim pidana untuk kasus pidana dan hakim perdata untuk kasus perdata, melainkan satu pejabat saja yaitu kepala adat, hakim perdamaian desa atau hakim pengendalian negeri untuk semua macam pelanggaran adat.
            Eksistensi Delik Adat pada masa sekarang jelas akan lebih banyak bergantung pada hukum tertulis termasuk konstitusi dan peraturan perundang-undangan.



DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020