MAKALAH
Tentang : Peminangan(khitbah),
Mahar, dan Kafa’ah
Di susun oleh: AHYADIN
“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampuAhyadin
Sebagai salah
satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah hukum perdata islam”
Dosen pengampu
Syari hidayatullah s.h. mh
FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat qudrah dan iradah-Nya kami dapat
menyelesaikan Makalah, “HUKUM PERDATA ISLAM” yang bertemakan "Peminangan,
Mahar, kafa’ah”. Shalawat dan salam tidak lupa pula kami sanjung sajikan
kepangkuan nabi besar Muhammad SAW. yang telah membawa kita ke alam yang penuh
ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah hukum perdata
islam. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kelemahan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik beserta sarannya.
Akhirul kalam kepada
Allah SWT jugalah kita berserah diri dengan harapan semoga yang telah kami buat
dalam tugas ini dapat bermanfaat serta mendapat ridho dan maghfirah-Nya. Amin
ya Rabbal ‘alamin....
Bima, 23 november 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………….............
DAFTAR ISI
………………………………………………………….................
BAB I PENDAHULUAN
..............................................................................
A. Latarbelakang
.......................................................................................
B. Rumusan Masalah
...............................................................................
BAB II PEMBAHASAN
...............................................................................
A. Peminangan
.........................................................................................
1. Pengertian
Peminangan……………………………………………….....
2. Hukum Peminangan
..……………………………………………….....
3. Hikmah Disyari'atkan Peminangan……………………………………..
4. Hukum melihat wanita yang
akan dipinang…………………………....
B. Mahar
..................................................................................................
1. Pengertian Mahar ………………………………………………………....
2. Macam-macam Mahar …………………………………………………...
C. Kafa’ah …………………………………………………………………
1. Pengertian Kafa’ah …………………………………………………….....
2. Ukuran-Ukuran Kafa’ah ………………………………………………....
BAB III PENUTUP .....................................................................................
A. Kesimpulan
..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menikah
adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW. Sejak dahulu hingga kini ritual ini
tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi
kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah
solusinya. Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah
kewajiban lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan
cinta, suka maupun setia.
Setelah
di tentukan pilihan pasangan yang akan di nikahi sesuai dengan kriteria yang di
tentukan, Langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk menikahi
pilihan yang telah ditentukan. Penyampaian kehendak untuk di nikahi seseorang
itu di namai khitbah atau dalam bahasa indonesianya di namakan “Peminangan”.
B. Rumusan Masalah
1. Memahami pengertian
peminangan dan seluk beluk peminangan
2. Memahami pengertian
mahar dan seluk beluk mahar
3. Memahami pengertian
kafa’ah dan seluk beluk kafa’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peminangan
1. Pengertian Peminangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk
menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan
perantaraan seseorang yang dipercayai.Menurut ibnu athiah dalam Al-muharrarul
Waajiz. Khitbah atau meminang adalah kalimat, kehendak, dan keramahan,
baik dengan tindakan maupun ucapan, yang dilakukan oleh seorang yang meminang. [1]
Khitbah
atau yang dalam bahasa melayu disebut "Peminangan". adalah bahasa arab
yang secara sederhana diartikan dengan: penyampaian kehendak untuk
melangsungkan ikatan perkawinan. Kata Khitbah diartikan dengan suatu langkah
pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan. Ulama' fikih
mendifinisikannya dengan menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak
wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita
peminangan ini Dan terdapat pula dalam ucapan Nabi sebagaimana terdapat dalam
sabda beliau dalam hadits dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad
yang dipercaya yang bunyinya:
"Bila
salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, bila ia mampu
melihatnya yang mendorongnya untuk menikah maka lakukanlah".
Peminangan
itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan
sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah
masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.
2. Hukum Peminangan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum asal
khitbah adalah mubah.sedang sebagian yang lain berbendapat bahwa khitbah sama
dengan hukum nikah karena khitbah dilakukan karena adanya maksud untuk menikah.
Jika bagi seseorang menikah hukumnya sunnah maka hukum khitbah pun
demikian.jika nikah baginya makruh maka khitbah pun demikian. Jika nikah
tersebut wajib maka khitbah juga demikian. Demikian itu dikarenakan hukum usaha
sama dengan hukum tujuan yang ingin diraih.ini adalah pendapat yang dirajihkan
oleh syakh sulaiman al-jamal dari ulama mazhab syafi’i dalam syarhul minhaj
demikian pula bujairi.
Ramli
menentang ini ia berkata dalam nihayatul muhtaj,yaitu khitbah hukumnya sunnah
secara mutlak.adapun pendapat yang menyatakan hukumnya sunnah dengan alasan
khitbah merupakan wasilah untuk menikah sehingga hukumnya mengikuti hukum
menikah.pernikahan tidak selalu terjadi melalui khitbah,banyak terjadi
pernikahan dengan tanpa didahului
khitbah.Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid yang menukilkan pendapat
Daud al-Zhahiriy yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan
pendapatanya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi
dalam
peminangan itu.Imam ghazali,imam nawawi,syaikh zakaria Al-ansari mengatakan
bahwa khitbah itu hukumnya sunnah.
3. Hikmah Disyari'atkan
Peminangan
Adapun hikmah dari adanya
syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang
diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat
saling mengenal. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi al-Mughiroh bin
al-Syu'bah menurut yang dikeluarkan al-Tirmizi dan al-Nasa'i yang berbunyi:
"Bahwa nabi berkata kepada seseorang yang telah meminag
seseorang perempuan: "melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih
menguatkan ikatan perkawinan".
4. Syarat-Syarat
Peminangan
a. Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah
syarat yang berupa anjuran kepada pihak laki yang akan meminang seorang wanita
agar ia meneliti dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut. Adapun
syarat-syarat dari mustasina itu sendiri sebagai berikut :
Ø Wanita yang akan dipinang itu telah diteliti tentang keluarganya,
akhlak dan agamanya
Ø Wanita yang dipinang adalah wanita yang mempunyai keturunan dan
mempunyai sifat kasih sayang.
Ø Wanita yang dipinang itu mempunyai hubungan darah yang jauh dengan
laki-laki yang meminang. Agama melarang seorang laki-laki menikahi seorang
winita yang sangat dekat hubungan darahnya.
b. Syarat Lazimah
Yang dimaksud dengan syarat lazimah adalah syarat yang wajib
dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sahnya peminangan tergantung pada adanya
syarat-syarat lazimah tersebut. Yang termasuk dalam syarat lazimah antara lain
:
Ø Wanita yang tidak dalam pinangan orang lain atau sedang dalam
pinangan akan tetapi orang yang meminangnya melepaskan hak pinangannya.
Ø Wanita yang dipinang hendaklah wanita yang halal untuk dinikahi
dalam artian wanita tersebut bukanlah menjadi mahram dari laki-laki yang
meminangnya.
5. Hukum melihat wanita yang akan dipinang
Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat
perempuan yang akan dipinang itu boleh saja. Mereka beralasan kepada hadits
Rasulullah SAW. Berikut ini:
اِذَاخَطَبَ
اَحَدُكُمْ اِمْرَأَةً فَلاَ جُنَاحُ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِذَا كَانَ
اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ وَ اِنْ
(تَعْلَمُ (رواه أحمد كَا نَتْ لاَ
Artinya:
“Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan
maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja
melihatnya semata-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan
itu atau tidak.”(Riwayat Ahmad).
Ada
pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan dipinang
itu hukumnya sunat. Melihat calon istri untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya,
dipandang perlu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan
sekaligus menghindari penyesalan setelah menikah. Mughirah bin Syu’ban telah
meminang perempuan. Kemudian Rasulullah bertanya “ Apakah engkau telah
melihatnya?” Mughirah menjawab “Belum”. Rasulullah saw bersabda:
اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى اَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَ (رواه
النسا عى وابن ماجه والتر مذي)
Artinya:
“Amat-amatilah perempuan itu, karena hal itu akan lebih membawa
kepada kedamaian dan kedekatan kamu.” ( HR. Nasa’i, ibnu Majah dan Tarmidzi).
Mengenai
batas-batas kebolehan melihat bagian tubuh wanita yang dipinang, para ulama
berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama bahwa yang boleh dilihat adalah wajah
dan dua telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan
tubuh dan kecantikan wajahnya. Sedang menurut Abu Hanifah bahwa yang
diperbolehkan adalah melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki.
B. Mahar
1. Pengertian Mahar
Yang dimaksud dengan mahar
adalah maskawin, yaitu pemberian sesuatu dari calon suami pada saat akad disebabkan
terjadinya pernikahan.[2]
Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, walaupun mahar ini bukan
termasuk syarat atau rukun nikah. Mahar dalam suatu pernikahan dianggap
penting, karena selain memang diwajibkan oleh agama, ia juga merupakan tanda
kesungguhan dan penghargaan dari pihak laki-laki sebagai calon suami kepada calon
istrinya. Allah SWT berfirman:
Artinya
: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.(Q.S.An-nisa
4:4).
Maskawin
itu menjadi milik sepenuhnya si istri. Suami tidak mempunyai hak apapun atas
harta maskawin itu. Sebagaimana juga tidak berhak atas harta benda si Istri.
Apabila si istri merelakannya kepada suami hal itu tidak mengapa.
Cara
pembayaran maskawin dapat dilakukan dengan dua cara, pertama, pembayaran
dilakukan secara tunai (cash) dan kedua pembayaran dilakukan di hari kemudian
(utang, credit). Dalam kasus mahar yang dibayar di kemudian hari, mahar boleh
disebutkan kuantitas dan kualitasnya dalam akad perkawinan, juga kuantitas dan
kualitas boleh tidak disebutkan.
2. Macam-Macam
Mahar
Ulama
fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar
mitsil (sepadan):
a.
Mahar
musamma adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam sighal akad
nikah. Mahar ini bisa dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan
persetujuan kedua belah pihak.
b.
Mahar
mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau
mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga
terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial,
kecantikan dan sebagainya.
Ulama fiqih sepakat bahwa dalam
pelaksanaanya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila :
1) Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah SWT
berfirman:
“ Dan jika kamu ingin
mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu Telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata
? “(an- nisa: 20)
2) Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian
menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah
bercampur dengan istri, dan ternyata telah rusak dengan sebab-sebab tertentu,
seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda,
atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum
bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT : “ Jika
kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar
yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau
dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih
dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”.(al baqarah:
237).
Mahar mitsil terjadi dalam
keadaan berikut:
1). Apabila tidak
disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian
suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2). Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami
telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya
disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Firman
Allah SWT:
" Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan”.(al baqarah: 236
Ayat
ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli
dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya
itu. Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil.
Pemberian mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung
di dalamnya. Karena Islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai
dengan kemampuan dan adat yang berlaku di dalam masyarakat, dengan syarat tidak
berbentuk sesuatu yang mendatangkan mudharat, membahayakan atau berasal dari
usaha yang haram.
Banyak
hadits Nabi saw yang menerangkan aneka ragam bentuk mahar yang diberikan pihak
laki-laki. Antara lain:
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخاري)
“Nikahlah
engkau walaupun (maharnya) berupa cincin dari besi.”( HR. Bukhari)
( (رواه احمد و
ابوداود لَوْ اَنَّ
رَجُلاً اَعْطَى اِمْرَأَةً صَدَاقًا مِلْءَ يَدَيْهِ طَعَامًا كَا نَتْ لَهُ
حَلاَلاً
”Seandainya
seorang laki-laki memberikan makanan sepenuh tangannya saja sebagai mahar
seorang perempuan, maka perempuan itu halal baginya.”(HR. Ahmad dan Abu Daud).
3. Adapun syarat-syarat mahar ialah
1. Benda
yang suci, atau pekerjaaan yang bermanfaat.
2. Milik
suami.
3. Ada
manfaatnya.
4. Sanggup
menyerahkan, mahar tidak sah dengan benda yang sedang dirampas
orang dan tidak sanggup menyerahkannya.
5. Dapat
diketahui sifat dan jumlahnya.
C. Kafa’ah
1. Pengertian Kafa’ah
Menurut bahasa kafa’ah berarti serupa,
seimbang atau serasi. Menurut istilah adalah keseimbangan dan keserasian antara
calon istri dan suami baik dalam kedudukan, status sosial, akhlak maupun
kekayaannya sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
pernikahan.
Kalau
kita melihat pada Alquran ditinjau dari segi insaniyahnya, manusia itu sama
seperti tersebut pada surat Al-Hujarat ayat 13:
Artinya:
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kafa’ah dalam pernikahan
a. Menurut ibnu Hazm
kafa’ah tidak dijadikan pertimbangan dalam melangsungkan pernikahan. Muslim
mana pun selama bukan pezina berhak menikah dengan muslimah manapun selama
bukan pezinah.
b. Menurut Mahdzab
Malikiyah beranggapan bahwa kafa’ah harus dijadikan pertimbangan dalam
pernikahan. Yang dimaksud kafa’ah disini menurut Malikiyah ialah untuk
istiqamah dalam menjalankan ajaran agama dan akhlak. Unsur-unsur lainnya,
seperti kekayaan, keturunan, dan sebagainya tidak dijadikan pertimbangan.
c. Menurut jumhur ulama bahwa kafa’ah dalam pernikahan
sangat penting. Unsur kafa’ah tidak hanya terbatas pada istiqamah dan akhlak,
tetapi juga kafa’ah dalam unsur nasab, kemerdekaan, usaha, kekayaan dan
kesejahteraan.
2. Ukuran-ukuran kafa’ah
a. Dilihat dari segi agama
Orang Islam yang kawin dengan orang yang bukan Islam dianggap tidak
sekufu, yakni tidak sepadan.
b. Dilihat dari segi Iffah
Iffah artinya terpelihara dari segala yang
haram dalam pergaulan. Maka bukan dianggap kufu bagi orang yang dari keturunan
baik-baik, kawin dengan orang yang dari keturunan penzina, walaupun masih
seagama. Sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. AN-Nur ayat 3.
Artinya:
“Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau
dengan perempuan musyrik, dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan
pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu di
haramkan bagi orang-orang mukmin.[3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membaca makalah tentang peminangan,
mahar dan kafa’ah ini, ada beberapa poin penting yang dapat kita ambil.
Setidaknya adalah sebagai berikut:
• Peminangan adalah proses
pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki dan perempuan,
yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun secara
langsung dan hukumnya mengubah menurut kebanyakan pendapat ulama.
• Hikmah dari pinangan
adalah wadah perkenalan dan penguat ikatan dalam memulai kehidupan baru dengan
menikah.
• Peminangan ada dua macam,
secara langsung maupun tidak langsung. Pembagian ini tergantung keadaan orang
yang dipinang.
·
Mahar
adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib
bagi laki-laki, Kufu berarti sama, sederajad, sepadan atau sebanding.
Maksud kufu dalam perkawinan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya,
sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajad dalam akhlak
serta kekayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Syaikh Musthafa Adawi. “fikih menjemput
jodoh” (sakura: pustaka al qowam,2015)
Ø
Rizal qosim. “ pengalaman fikih jilid 2
untuk kelas xi madraah aliyah” (yogyakarta:pustaka mandiri,2009)
Ø Knowledge
is freee “makalah
pengertian peminangan, mahar, dan kafa’ah dalam pembelajaran fiqh munakahat” 31 oktober 2015,
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-peminangan-mahar-dan-kafaah.html (diakses tanggal 15 desember 2017).
[2] Rizal qosim. pengalaman fikih jilid 2
untuk kelas xi madraah aliyah (yogyakarta:pustaka mandiri,2009)
[3] Knowledge
is freee “makalah
pengertian peminangan, mahar, dan kafa’ah dalam pembelajaran fiqh munakahat” 31 oktober 2015,
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-peminangan-mahar-dan-kafaah.html (diakses tanggal 15 desember 2017).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar