l makalah peminangan(Khitbah), Mahar, dan kafa'ah-yadin | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Jumat, 26 Oktober 2018

makalah peminangan(Khitbah), Mahar, dan kafa'ah-yadin


MAKALAH
Tentang  :  Peminangan(khitbah), Mahar, dan Kafa’ah

    
  Di susun oleh:   AHYADIN

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampuAhyadin
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
 mata kuliah hukum perdata islam”

Dosen pengampu
Syari hidayatullah s.h. mh

FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2017/2018

KATA PENGANTAR

      Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat qudrah dan iradah-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah, “HUKUM PERDATA ISLAM” yang bertemakan "Peminangan, Mahar, kafa’ah”. Shalawat dan salam tidak lupa pula kami sanjung sajikan kepangkuan nabi besar Muhammad SAW. yang telah membawa kita ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
          Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah hukum perdata islam. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik beserta sarannya.
        Akhirul kalam kepada Allah SWT jugalah kita berserah diri dengan harapan semoga yang telah kami buat dalam tugas ini dapat bermanfaat serta mendapat ridho dan maghfirah-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin....
                                                                                         Bima, 23 november 2017

                                                                                                Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR  ………………………………………………….............    
DAFTAR ISI ………………………………………………………….................    
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
A.    Latarbelakang  .......................................................................................
B.     Rumusan Masalah  ............................................................................... 
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................
A.    Peminangan   .........................................................................................
1.      Pengertian Peminangan……………………………………………….....       
2.      Hukum Peminangan   ..……………………………………………….....   
3.      Hikmah Disyari'atkan Peminangan……………………………………..      
4.      Hukum melihat wanita yang akan dipinang…………………………....     
B.     Mahar  ..................................................................................................
1.   Pengertian Mahar ………………………………………………………....    
2.   Macam-macam Mahar  …………………………………………………...      
C.     Kafa’ah  ………………………………………………………………… 
1.   Pengertian Kafa’ah …………………………………………………….....       
2.   Ukuran-Ukuran Kafa’ah ………………………………………………....   
BAB III PENUTUP  ..................................................................................... 
A.    Kesimpulan  ..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA  .................................................................................. 
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW. Sejak dahulu hingga kini ritual ini tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah solusinya. Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah kewajiban lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka maupun setia.
Setelah di tentukan pilihan pasangan yang akan di nikahi sesuai dengan kriteria yang di tentukan, Langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan. Penyampaian kehendak untuk di nikahi seseorang itu di namai khitbah atau dalam bahasa indonesianya di namakan “Peminangan”.
B. Rumusan Masalah
1.  Memahami pengertian peminangan dan seluk beluk peminangan
2.  Memahami pengertian mahar  dan seluk beluk mahar
3.  Memahami pengertian kafa’ah  dan seluk beluk kafa’ah
           BAB II
PEMBAHASAN
A.  Peminangan
 1. Pengertian Peminangan
   Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.Menurut ibnu athiah dalam Al-muharrarul Waajiz. Khitbah atau meminang adalah kalimat, kehendak, dan keramahan, baik dengan tindakan maupun ucapan, yang dilakukan oleh seorang yang meminang. [1]
Khitbah atau yang dalam bahasa melayu disebut "Peminangan". adalah bahasa arab yang secara sederhana diartikan dengan: penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Kata Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan. Ulama' fikih mendifinisikannya dengan menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan ini Dan terdapat pula dalam ucapan Nabi sebagaimana terdapat dalam sabda beliau dalam hadits dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya:
"Bila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikah maka lakukanlah".
Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.
2. Hukum Peminangan.
  Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum asal khitbah adalah mubah.sedang sebagian yang lain berbendapat bahwa khitbah sama dengan hukum nikah karena khitbah dilakukan karena adanya maksud untuk menikah. Jika bagi seseorang menikah hukumnya sunnah maka hukum khitbah pun demikian.jika nikah baginya makruh maka khitbah pun demikian. Jika nikah tersebut wajib maka khitbah juga demikian. Demikian itu dikarenakan hukum usaha sama dengan hukum tujuan yang ingin diraih.ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh syakh sulaiman al-jamal dari ulama mazhab syafi’i dalam syarhul minhaj demikian pula bujairi.
Ramli menentang ini ia berkata dalam nihayatul muhtaj,yaitu khitbah hukumnya sunnah secara mutlak.adapun pendapat yang menyatakan hukumnya sunnah dengan alasan khitbah merupakan wasilah untuk menikah sehingga hukumnya mengikuti hukum menikah.pernikahan tidak selalu terjadi melalui khitbah,banyak terjadi pernikahan  dengan tanpa didahului khitbah.Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatanya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi
dalam peminangan itu.Imam ghazali,imam nawawi,syaikh zakaria Al-ansari mengatakan bahwa khitbah itu hukumnya sunnah.
3.  Hikmah Disyari'atkan Peminangan
  Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi al-Mughiroh bin al-Syu'bah menurut yang dikeluarkan al-Tirmizi dan al-Nasa'i yang berbunyi:
"Bahwa nabi berkata kepada seseorang yang telah meminag seseorang perempuan: "melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan".
4.   Syarat-Syarat Peminangan
   a. Mustahsinah
   Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran kepada pihak laki yang akan meminang seorang wanita agar ia meneliti dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut. Adapun syarat-syarat dari mustasina itu sendiri sebagai berikut :
Ø  Wanita yang akan dipinang itu telah diteliti tentang keluarganya, akhlak dan agamanya
Ø  Wanita yang dipinang adalah wanita yang mempunyai keturunan dan mempunyai sifat kasih sayang.
Ø  Wanita yang dipinang itu mempunyai hubungan darah yang jauh dengan laki-laki yang meminang. Agama melarang seorang laki-laki menikahi seorang winita yang sangat dekat hubungan darahnya.
   b. Syarat Lazimah
Yang dimaksud dengan syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Sahnya peminangan tergantung pada adanya syarat-syarat lazimah tersebut. Yang termasuk dalam syarat lazimah antara lain :
Ø  Wanita yang tidak dalam pinangan orang lain atau sedang dalam pinangan akan tetapi orang yang meminangnya melepaskan hak pinangannya.
Ø  Wanita yang dipinang hendaklah wanita yang halal untuk dinikahi dalam artian wanita tersebut bukanlah menjadi mahram dari laki-laki yang meminangnya.
5.   Hukum melihat wanita yang akan dipinang
  Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja. Mereka beralasan kepada hadits Rasulullah SAW. Berikut ini:
اِذَاخَطَبَ اَحَدُكُمْ اِمْرَأَةً فَلاَ جُنَاحُ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِذَا كَانَ اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ وَ اِنْ
                                                                        (تَعْلَمُ (رواه أحمد كَا نَتْ لاَ
Artinya:
“Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu atau tidak.”(Riwayat Ahmad).
Ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat. Melihat calon istri untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, dipandang perlu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sekaligus menghindari penyesalan setelah menikah. Mughirah bin Syu’ban telah meminang perempuan. Kemudian Rasulullah bertanya “ Apakah engkau telah melihatnya?” Mughirah menjawab “Belum”. Rasulullah saw bersabda:
اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى اَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَ (رواه النسا عى وابن ماجه والتر مذي)
Artinya:
“Amat-amatilah perempuan itu, karena hal itu akan lebih membawa kepada kedamaian dan kedekatan kamu.” ( HR. Nasa’i, ibnu Majah dan Tarmidzi).
Mengenai batas-batas kebolehan melihat bagian tubuh wanita yang dipinang, para ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan dua telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikan wajahnya. Sedang menurut Abu Hanifah bahwa yang diperbolehkan adalah melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki.
B.  Mahar
1. Pengertian Mahar
   Yang dimaksud dengan mahar adalah maskawin, yaitu pemberian sesuatu dari calon suami pada saat akad disebabkan terjadinya pernikahan.[2] Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, walaupun mahar ini bukan termasuk syarat atau rukun nikah. Mahar dalam suatu pernikahan dianggap penting, karena selain memang diwajibkan oleh agama, ia juga merupakan tanda kesungguhan dan penghargaan dari pihak laki-laki sebagai calon suami kepada calon istrinya. Allah SWT berfirman:
Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.(Q.S.An-nisa 4:4).
Maskawin itu menjadi milik sepenuhnya si istri. Suami tidak mempunyai hak apapun atas harta maskawin itu. Sebagaimana juga tidak berhak atas harta benda si Istri. Apabila si istri merelakannya kepada suami hal itu tidak mengapa.
Cara pembayaran maskawin dapat dilakukan dengan dua cara, pertama, pembayaran dilakukan secara tunai (cash) dan kedua pembayaran dilakukan di hari kemudian (utang, credit). Dalam kasus mahar yang dibayar di kemudian hari, mahar boleh disebutkan kuantitas dan kualitasnya dalam akad perkawinan, juga kuantitas dan kualitas boleh tidak disebutkan.
2.   Macam-Macam Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan):
a.              Mahar musamma adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam sighal akad nikah. Mahar ini bisa dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan persetujuan kedua belah pihak.
b.             Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum   ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.
    Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaanya, mahar musamma harus diberikan  secara penuh apabila :
1) Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
   “ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? “(an- nisa: 20)
2)  Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
 Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata telah rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT : “  Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”.(al baqarah: 237).
 Mahar mitsil terjadi dalam keadaan berikut:
1).  Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2).  Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Firman Allah SWT:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.(al baqarah: 236
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu.  Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil.
Pemberian mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Karena Islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan kemampuan dan adat yang berlaku di dalam masyarakat, dengan syarat tidak berbentuk sesuatu yang mendatangkan mudharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram.
Banyak hadits Nabi saw yang menerangkan aneka ragam bentuk mahar yang diberikan pihak laki-laki. Antara lain:
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخاري)
“Nikahlah engkau walaupun (maharnya) berupa cincin dari besi.”( HR. Bukhari)
 (رواه احمد و ابوداود  لَوْ اَنَّ رَجُلاً اَعْطَى اِمْرَأَةً صَدَاقًا مِلْءَ يَدَيْهِ طَعَامًا كَا نَتْ لَهُ حَلاَلاً
”Seandainya seorang laki-laki memberikan makanan sepenuh tangannya saja sebagai mahar seorang perempuan, maka perempuan itu halal baginya.”(HR. Ahmad dan Abu Daud).
3.  Adapun syarat-syarat mahar ialah
1.     Benda yang suci, atau pekerjaaan yang bermanfaat.
2.     Milik suami.
3.     Ada manfaatnya.
4.     Sanggup menyerahkan, mahar tidak sah dengan benda yang sedang   dirampas orang dan tidak sanggup menyerahkannya.
5.     Dapat diketahui sifat dan jumlahnya.
C.   Kafa’ah
 1. Pengertian Kafa’ah
 Menurut bahasa kafa’ah berarti serupa, seimbang atau serasi. Menurut istilah adalah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami baik dalam kedudukan, status sosial, akhlak maupun kekayaannya sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.
Kalau kita melihat pada Alquran ditinjau dari segi insaniyahnya, manusia itu sama seperti tersebut pada surat Al-Hujarat ayat 13:
Artinya:
”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kafa’ah dalam pernikahan
a.  Menurut ibnu Hazm kafa’ah tidak dijadikan pertimbangan dalam melangsungkan pernikahan. Muslim mana pun selama bukan pezina berhak menikah dengan muslimah manapun selama bukan pezinah.
b.  Menurut Mahdzab Malikiyah beranggapan bahwa kafa’ah harus dijadikan pertimbangan dalam pernikahan. Yang dimaksud kafa’ah disini menurut Malikiyah ialah untuk istiqamah dalam menjalankan ajaran agama dan akhlak. Unsur-unsur lainnya, seperti kekayaan, keturunan, dan sebagainya tidak dijadikan pertimbangan.
c.  Menurut jumhur ulama bahwa kafa’ah dalam pernikahan sangat penting. Unsur kafa’ah tidak hanya terbatas pada istiqamah dan akhlak, tetapi juga kafa’ah dalam unsur nasab, kemerdekaan, usaha, kekayaan dan kesejahteraan.
2.   Ukuran-ukuran kafa’ah
  a.  Dilihat dari segi agama
Orang Islam yang kawin dengan orang yang bukan Islam dianggap tidak sekufu, yakni tidak sepadan.
  b. Dilihat dari segi Iffah
     Iffah artinya terpelihara dari segala yang haram dalam pergaulan. Maka bukan dianggap kufu bagi orang yang dari keturunan baik-baik, kawin dengan orang yang dari keturunan penzina, walaupun masih seagama. Sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. AN-Nur ayat 3.
      Artinya: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik, dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu di haramkan bagi orang-orang mukmin.[3]
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
    Setelah membaca makalah tentang peminangan, mahar dan kafa’ah ini, ada beberapa poin penting yang dapat kita ambil. Setidaknya adalah sebagai berikut:
 Peminangan adalah proses pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki dan perempuan, yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun secara langsung dan hukumnya mengubah menurut kebanyakan pendapat ulama.
 Hikmah dari pinangan adalah wadah perkenalan dan penguat ikatan dalam memulai kehidupan baru dengan menikah.
 Peminangan ada dua macam, secara langsung maupun tidak langsung. Pembagian ini tergantung keadaan orang yang dipinang.
·       Mahar adalah maskawin, yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, Kufu berarti sama, sederajad, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajad dalam akhlak serta kekayaan.
DAFTAR PUSTAKA

Ø   Syaikh Musthafa Adawi. “fikih menjemput jodoh” (sakura: pustaka al qowam,2015)

Ø   Rizal qosim. “ pengalaman fikih jilid 2 untuk kelas xi madraah aliyah” (yogyakarta:pustaka mandiri,2009)




[1]          Syaikh Musthafa Adawi. fikih menjemput jodoh (sakura: pustaka al qowam,2015)

[2]          Rizal qosim. pengalaman fikih jilid 2 untuk kelas xi madraah aliyah (yogyakarta:pustaka mandiri,2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020