MAKALAH
HUKUM
PERWAKAFAN
Tentang
: Penukaran harta wakaf
Di
susun oleh :
Ahyadin
“Makalah ini diajukan kepada dosen
pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh
nilai tugas
mata kuliah hukum perwakafan”
Dosen pengampu
Muhammad
ilham M.H
INSTITUT AGAMA ISLAM
(IAI) MUHAMMADIYAH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
BIMA
2018
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya
sehingga makalah hukum perwakafan, tentang “penukaran harta wakaf” bisa
terselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan.
Sholawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya,
sahabat-sahabatnya, serta seluruh pengikutnya. Disusunnya makalah ini dengan
maksud agar kita bisa memahami dan mengetahui bagaimana cara penukaran harta wakaf baik menurut hukum
islam maupun menurut undang-undang. Tak lupa kami ucapkan banyak terima
kasih kepada dosen pembimbing yang telah
memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan penulisan makalah ini. Akan
tetapi kami harap agar pembaca bisa memaklumi kekurangan-kekurangan dalam
penulisan makalah kami, atas dasar itu kritik dan saran kami harapkan dari
pembaca demi kesempurnaan makalah yang kami buat ini dan lebih bermanfaat bagi
kita semua. Amin……
Bima,
13 September 2018
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakaf merupakan
implementasi dari cita-cita Islam yang Rahmatan Lil Alamin, yang
sudah ada sejak masa Rasulullah dan para sahabat. Tujuan dari wakaf itu sendiri
pada masa Rasulullah tak lain untuk kesejahteraan umat muslim, di mana kini
telah bereformasi menjadi salah satu kebijakan fiskal islam dalam mengentas
kemiskinan dan mengendalikan keseimbangan perekonomian.
Perubahan
harta benda wakaf adalah perubahan bentuk harta benda wakaf dari bentuk semula
ke bentuk yang lainnya, perubahan tersebut dapat dengan jalan ditukar, dijual
atau dilelang. Hukum perubahan harta benda wakaf ini dalam kitab-kitab fikih
menjadi bahasan penting, para ulama dengan berbagai argumen mereka
masing-masing telah mengemukakan pandangan mereka, termasuk perubahan harta
benda wakaf berupa masjid dengan cara dijual pun telah dibahas dalam kitab
fikih.
Berdasarkan UU Nomor:
41 tahun 2004 dan PP Nomor: 42 tahun 2006 perubahan status harta benda wakaf
dengan jalan penukaran dilarang, kecuali dalam kondisi tertentu perubahan atau
penukaran harta benda wakaf tersebut dapat diperbolehkan. Penukaran harta benda
wakaf itu hanya dapat dilakukan dengan izin tertulis dari Menteri, dalam hal
ini Kementerian Agama berdasarkan pertimbangan BWI (Badan Wakaf Indonesia).
Meskipun tata cara
perubahan harta benda wakaf dengan jalan tukar ganti ini telah diatur
sedemikian rupa dalam PP Nomor: 42 tahun 2006 pasal 49, 50 dan 51 akan tetapi
dikarenakan perubahan harta benda wakaf terkait dengan banyak pihak, misalnya:
dengan nazhir, dengan ikrar wakaf yang dibuat si wakif, syarat-syarat dari
wakif jika ada dan juga dengan wakif itu sendiri atau ahli warisnya, tidak
mustahil perubahan status harta benda wakaf dengan jalan sebagaimana diatur
oleh PP Nomor: 42 tahun 2006 ini nantinya dapat menimbulkan masalah dengan
pihak-pihak yang terkait baik langsung ataupun tidak langsung dengan harta
benda wakaf tersebut.
Maka dari itu, makalah
ini akan membahas tentang salah satu perkara yang sering terjadi di lingkungan
masyarakat sekitar tentang hukum menukar benda wakaf.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian
wakaf?
2. Bagaimana hukum
menukar benda wakaf?
C. Tujuan
1. Memberikan
pengetahuan serta pemahaman terkait materi wakaf
2. Turut
serta dalam menjawab pertanyaan atas hukum dari menukar benda wakaf
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wakaf
yang dalam bahasa Arab disebut al-waqfu sepadan maknanya
dengan tahbis dan tasbil, ketiganya bermakna satu yaitu al
habsu 'ani at-tasharrufi (menahan pokok dari mengusahakannya).[1]
Tukar
guling wakaf dalam bahasa arab sering disebut dengan istibdal wakaf; yaitu
menukar wakaf dengan sesuatu, baik wakaf itu dijual terlebih dahulu kemudian
diganti dengan barang yang lain atau dipindah lokasinya.
Terdapat
tiga pengertian wakaf secara syar'i, yaitu; pertama menurut Abu
Hanifah: Wakaf adalah menahan harta benda milik wakif secara hukum, dan
mensedekahkan manfaatnya dalam kebaikan. Mafhum mukhalaf dari
pengertian wakaf menurut Abu Hanifah ini adalah bahwa dengan wakaf tidaklah
menjadikan harta benda yang diwakafkan itu menjadi hilang/terlepas dari
kepemilikan wakif, karenaya boleh bagi si wakif untuk menarik kembali ataupun
menjual wakafnya tersebut.[2]
Namun
demikian tidak berarti harta benda yang telah diwakafkan tersebut tidak dapat
menjadi kekal, ada kondisi tertentu yang dapat menjadikan harta benda wakaf
tersebut menjadi tetap, masih menurut Abu Hanifah bahwa harta benda wakaf dapat
menjadi tetap hanya dengan tiga kondisi berikut
ini: pertama keputusan hakim, semisal wakif dan nazhir berselisih,
ketika wakif hendak menarik kembali wakafnya, dan atas hal demikian hakim
memutuskan bahwa harta benda wakaf tersebut adalah tetap, maka tetaplah harta
benda wakaf tersebut; kedua atau wakif menggantungkan wakafnya dengan
kematiannya, seumpama perkataan wakif "jika aku mati maka aku wakafkan
rumahku ini", maka tetaplah wakaf, akan tetapi dianggap sebagaimana halnya
wasiat tidak lebih dari sepertiga; ketiga atau wakaf untuk masjid,
dengan sendirinya terpisahlah harta benda wakaf tersebut dari kepemilikannya
wakif.
Pendapat kedua berkenaan
dengan pengertian wakaf secara syar’i, yaitu dari golongan syafi'iyah,
hanabilah dan hanafiyah. Menurut mereka wakaf adalah menahan harta benda yang
dimungkinkan dapat diambil manfaat darinya, disertai dengan kekalnya barang
tersebut dengan memisahkan/menghentikan pengusahaannya dan lainnya dalam
pengusaan wakif sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Dengan demikian harta wakaf
keluar dari kepemilikan wakif dan benda wakaf tersebut jadilah milik Allah.
Maksudnya harta benda wakaf tidak lagi menjadi milik wakif dan tidak pula
berpindah kepada orang lain, akan tetapi jadilah secara hukum benda wakaf
tersebut milik Allah yang tiada memilikinya selain diriNya.
Pendapat
yang terakhir atau yang ketiga, yaitu dari golongan malikiyyah, menurut
mereka wakaf adalah pemilik harta menjadikan manfaat meskipun kepemilikan
tersebut hanya sebatas upah, atau menjadikan hasilnya seperti rumah bagi yang
berhak menerimanya dengan lafaz, waktu tertentu sesuai kemauan wakif, atau
dengan lain pengertian bahwa sesuatu dikatakan wakaf jika wakif menahan harta
bendanya dari mengusahakannya dan berbuat baik dengan hasil/keuntungannya
dengan tetap/berlanjut bersamaan dengan tetapnya benda wakaf tersebut pada
pemilikan wakif, karenanya menurut malikiyyah tidak disyaratkan dalam wakaf
itu untuk selamanya. Dengan demikian wakaf tidak memisahkan harta benda
tersebut dari pemilikan wakif akan tetapi terputus pengusahaannya oleh wakif.[3]
Perbedaan
pengertian wakaf secara syar’i ini tidak lain disebabkan oleh sedikitnya
ketentuan yang berkenaan dengan wakaf yang ditetapkan berdasarkan nash
(al-Qur’an dan Hadits), kebanyakan ketentuan-ketentuan yang mengatur wakaf ini
ditetapkan dengan ijtihad ulama dengan berpedoman
pada istihsan, istishlah dan 'urf.
Perbedaan
pendapat tentang definisi wakaf tersebut berimplikasi lansung pada pengaruh
hukum perbuatan wakaf itu sendiri. Menurut Abu Hanifah pengaruh wakaf itu yaitu
berbuat kebajikan dengan hasil benda wakaf dengan tidak selamanya, dan tetapnya
benda wakaf tersebut pada pemilikan wakif, maka boleh bagi wakif
mengusahakannya sebagaimana ia kehendaki, apabila dia telah mengusahakannya
sendiri berarti dia telah menarik wakafnya dan apabila wakif meninggal maka
ahli warisnya mewarisi harta benda tersebut dan bagi wakif boleh menarik
kembali wakafnya kapan dia menghendaki sebagaimana boleh juga baginya merubah
pengusahaan dan syarat-syaratnya bagaimana dia kehendaki.
Berbeda
dengan pendapat di atas, yaitu golongan Syafi'iyyah dan Hanabila, menurut
mereka bahwa pengaruh perbuatan wakif yang mewakafkan hartanya secara sah
dengan sendirinya keluarlah kepemilikan wakif terhadap harta benda tersebut,
karenanya dia tidak boleh lagi menjualnya dan lain sebagainya.
Sedangkan
menurut ulama malikiyyah bahwa sesungguhnya harta benda wakaf tetaplah menjadi
milik wakif akan tetapi manfaatnya yang didapat dari harta wakaf tersebut
menjadi milik mauquf lah untuk selamanya. Adapun yang dijadikan dasar
oleh golongan ini adalah hadis (habbis al-ashla wa sabbil as-samarah).
Berkenaan
dengan menarik kembali harta benda wakaf, dalam Undang-Undang Mesir Nomor: 48
tahun 1946 disebutkan bahwa terhadap wakaf masjid tidak dapat ditarik kembali
dan merubahnya, tidak juga terhadap benda-benda yang diwakafkan untuk masjid.
Adapun yang dimaksud dengan wakaf untuk masjid adalah baik pada mulanya memang
disebutkan untuk masjid walaupun meskipun di akhirnya bukan untuk itu, dan juga
di awalnya bukan untuk masjid kemudian sesudahnya disebut untuk masjid.
Adapun
menganti ataupun menjual harta benda wakaf menurut para ahli fikih dibolehkan
dengan syarat-syarat dan batasan-batasan yang berbeda. Kecuali untuk wakaf
masjid, secara mufakat mereka sependapat bahwa wakaf masjid tidak boleh diganti
dengan alasan apapun, meskipun tidak ada lagi orang yang shalat di sana
sekalipun, wakaf masjid tidaklah boleh diganti dengan yang lain, termasuk
menjualnya. Wakaf masjid tetaplah wakaf masjid sampai hari kiamat.
B.
Perubahan Harta
Benda Wakaf
a. Prinsip
dalam UU. No 41 tahun 2004, Pasal 40 - 41 terhadap status harta
benda yang telah diwakafkan
Pasal 40
Harta
benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
1. dijadikan
jaminan;
2. disita;
3. dihibahkan;
4. dijual;
5. diwariskan;
6. ditukar;
atau
7. dialihkan
dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Pengecualian :
Pasal 41
1)
Ketentuan dalam
Pasal 40 huruf f (ditukar) dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah
diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata
ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan syariah.
2)
Pelaksanaan
ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari
Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
3)
Harta benda
wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut (point
1), wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang.
kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
4) Ketentuan mengenai perubahan status harta
benda wakaf diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
b.
Prinsip dalam
KHI, Pasal 225 Terhadap Status Harta Benda Yang Telah Diwakafkan
a) Pada
dasarnya tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain selain dari
pada apa yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
b) Penyimpangan
dari ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala KUA
Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat dengan alasan:
a)
karena tidak
sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b)
karena
kepentingan umum.
C.
Menurut 4
madzhab
a) Dalam
perspektif mazhab Hanafiyah,
Hukum Istibdal adalah boleh. Landasan
kebijakannya adalah kemaslahatan dan manfaat yang abadi yang menyertai praktik
Istibdal. Walaupun masih ada perselisihan dikalangan mereka namun jumlahnya
tidak terlalu banyak. Selama Istibdal itu dilakukan untuk menjaga kelestarian
dari manfaat barang wakaf, maka syarat ”kekekalan” wakaf terpenuhi dan itu
tidak melanggar syariat. Jadi yang dimaksud syarat ”abadi” disini bukanlah
mengenai bentuk barangnya saja tapi juga dari segi manfaatnya yang terus
berkelanjutan. ( البحر الرائق شرح كنز الدقائق -
(ج 14 / ص 396 ,
Dalam
kitab Syarh Al-Wiqayah, Abu Yusuf (113-183 H) menyatakan: ”jika barang wakaf
sudah tidak terurus dan tidak bisa memberikan keuntungan lagi maka barang
tersebut boleh diganti. Walaupun tanpa syarat Istibdal (penggantian)
sebelumnya.” ( البحر الرائق شرح كنز الدقائق - (ج
14 / ص 396 ,
b) Dalam
perspektif mazhab Malikiyah
Pelaksanaan Istibdal
tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama malikiyah. Imam Malik melarang
tukar guling wakaf pada benda yang tidak bergerak, seperti masjid, kuburan atau
jalan raya. Beliau mengecualikan bila dalam keadaan darurat seperti perluasan.
Sedang Ulama malikiyah membolehkan menukar gulingkan wakaf
manqul (benda bergerak) apabila ditakutkan berkurang manfaatnya. karena
barang wakaf yang sudah rusak dan tidak bisa menghasilkan manfaat lagi maka
akan menimbulkan biaya perawatan yang lebih besar daripada manfaat yang
dihasilkan. Menurut Ibn Rusyd (wafat 1198 M), hukum ini telah mendapat restu
dari semua ulama Malikiyah. Terlebih jika barang wakaf tersebut akan bertambah
rusak bila dibiarkan.
c) Dalam
perspektif mazhab Syafi’i
Sementara ulama Syafiiyah sangat hati-hati
mengenai pelaksanaan Istibdal wakaf. Mereka tidak memperbolehkan tukar guling
wakaf yang bergerak, hal ini berseberangan dengan madzhab malikiyah yang
membolehkannya. Sikap ini lahir karena pemahaman mereka mengenai ”kekekalan”
wakaf. Kekekalan versi mazhab Syafiiyah adalah kekelan bentuk barang wakaf
tersebut. Sehingga terkesan mereka mutlak melarang Istibdal dalam kondisi
apapun. Mereka mensinyalir, penggantian tersebut dapat berindikasi penilapan
atau penyalahgunaan barang wakaf.
d) Dalam
perspektif mazhab Hambali
Madzhab Hambali lebih bersifat moderat
(pertengahan) meskipun tidak seleluasa mazhab Hanafiyah. Mengenai Istibdal ini,
mazhab Hambali tetap membolehkan dan tidak membedakan berdasarkan barang wakaf
bergerak atau tidak bergerak. Bahkan terkesan sangat mempermudah izin untuk
melakukan praktik Istibdal wakaf. Mereka berpendapat bahwa jika barang wakaf
dilarang untuk dijual —sementara ada alasan kuat untuk itu— maka kita telah
menyia-nyiakan wakaf
e) Pendapat
Ibnu Taimiyah
Ibnu taimiyah merojihkan bolehnya menjual
dan menukar gulingkan wakaf baik wakaf bergerak atau tidak bergerak seperti
masjid, dengan syarat barang wakaf tersebut tetap bermaslahat dan pewakaf tidak
mensyaratkannya.
f) Kesimpulan
pendapat mereka
Madzhab hanafi paling
longgar dalam masalah ini, kemudian diikuti madzhab maliki, di ujung lain
madzhab syafii cenderung sangat hati-hati bahkan sebagia ulama’nya melarang
mutlak istibdal wakaf. Madzhab hambali pertengahan di antara dua pendapat di
atas, tetapi berbeda dalam masalah tukar guling wakaf masjid, tiga madzhab
tidak memperbolehkan sedang madzhab hambali memperbolehkan istibdal wakaf
masjid dengan beberapa dalil.
D.
Pengaturan dan
Penukaran Harta Benda Wakaf di Indonesia
Peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah wakaf ini adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, Undang-Undang Nomor 41 tahun
2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 ditambah lagi dengan
peraturan perundang-udangan lainnya yang secara langsung ataupun tidak langsung
mengatur masalah wakaf ini.[4]
Wakaf
menurut UU Nomor: 41 tahun 2004 adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Pengelolaan
harta benda wakaf sepenuhnya diserahkan kepada nazhir yang meliputi:
perorangan, organisasi dan badan hukum. Nazhir tersebut pada mulanya dapat
ditunjuk langsung oleh si wakif dan untuk kemudian atau masa bakti selanjutnya
diangkat oleh BWI.
Meskipun
harta benda wakaf didaftar atas nama nazhir, namun menurut undang-undang hal
tersebut bukan menunjukkan bahwa pemilik harta benda wakaf adalah nazhir.
Peraturan perundang-undangan secara jelas tidak menyebutkan siapa sebenarnya
yang memiliki hak kepemilikan atas harta yang telah diwakafkan tersebut; karena
nazhir sebagai satu-satunya orang yang mengelola harta benda wakaf tersebut
menurut UU dan PP hanya memiliki hak pengelolaan saja.
Harta
benda wakaf tersebut dilarang dijadikan jaminan; disita; dihibahkan; dijual;
diwariskan; ditukar; atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya,
kecuali dalam kondisi apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan
untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
syariah. Pelaksanaan ketentuan ini hanya dapat dilakukan setelah memperoleh
izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Disamping
itu Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya wajib ditukar dengan harta
benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda
wakaf semula.[5]
Izin
tertulis dari Menteri tersebut hanya dapat diberikan dengan pertimbangan
sebagai berikut:
1.
Perubahan harta
benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan
tidak bertentangan dengan prinsip syariah
2.
harta benda
wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan Ikrar wakaf atau
3.
pertukaran
dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. [6]
Selain
dari pertimbangan tersebut di atas, izin pertukaran harta benda wakaf hanya
dapat diberikan jika: a) harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti
kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan; dan juga b) nilai dan
manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf
semula.[7]
Nilai
dan manfaat harta benda penukar harta benda wakaf tersebut ditetapkan oleh
bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri
dari unsur: a) pemerintah daerah kabupaten/kota; b) kantor pertanahan
kabupaten/kota; c) Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota; d) kantor
Departemen Agama kabupaten/kota; dan e) Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.[8]
Adapun
prosedur penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya
dilakukan sebagai berikut:
1)
Nazhir
mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar menukar
tersebut;
2)
Kepala KUA
Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen Agama kabupaten/kota;
3)
Kepala Kantor
Departemen Agama kabupaten/kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk
tim, dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat Surat Keputusan;
4)
Kepala Kantor
Departemen Agama kabupaten/kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri
hasil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi
dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; dan
5)
setelah
mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat
dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan
dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.[9]
Tata
cara perubahan harta benda wakaf seperti ini sangatlah panjang dan berliku yang
nantinya akan memakan waktu yang panjang pula, selain itu tim yang terdiri dari
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten/Kota; Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;
dan Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan hanya bertindak sebagai tim penilai
terhadap nilai dan manfaat barang/benda yang akan menjadi pengganti harta benda
wakaf tersebut, tidak lebih dan kurang. Sedangkan untuk pertimbangan lainnya
ada di tingkat Menteri dan hanya menerima saran dari BWI bukan dari wakif.
E.
Analisa terhadap Pengaturan
Penukaran Harta Wakaf
PP
Nomor: 42 tahun 2006 mengatur secara rinci tentang tata cara penukaran harta
benda wakaf sebagaimana termaktub dalam pasal 49, 50 dan 51. Ketiga pasal ini
menjelaskan bagaimana prosedur yang harus dilalui ketika harta benda wakaf
tersebut hendak ditukar dengan bentuk yang lainnya. PP ini juga menentukan
siapa yang berhak mengajukan dan siapa/instansi yang berwenang dalam pemberian
izin penukaran harta benda wakaf.
Wakaf
sebagai ajaran agama tidak lain merupakan perbuatan kebajikan seperti halnya
ajaran kebajikan lainnya, dengan didasari keikhlasan dan keinginan mendekatkan
diri kepada Allah seseorang melakukan hal tersebut, sebagai bentuk keinginan
mendapat kebaikan disisi Tuhannya. Apalagi kalau sekiranya kebaikan tersebut dapat
terus belanjut diterima, pahala yang terus mengalir meskipun yang bersangkutan
telah meninggal dunia. Inilah kiranya yang menjadi motivasi kuat seseorang
mewakafkan hartanya.
Sudah
jamak dalam perjalanannya, seiring perubahan zaman adakalanya benda wakaf yang
sejatinya menghasilkan mengalami kepakuman, tidak lagi menghasilkan.
Berdasarkan berbagai pertimbangan ulama sepakat benda wakaf yang demikian dapat
dijual dan ditukar dengan benda yang lebih memberi manfaat. Dengan syarat benda
yang dapat ditukar hanya benda yang tidak memberi manfaat sama sekali,
seandainya manfaat yang didapat masih ada sekalipun sangat sedikit, maka benda
wakaf tersebut tidaklah diperkenankan dijual ataupun di tukar dengan benda
lainnya, kecuali wakaf masjid, karena ia kekal untuk selamanya.
Konsep
yang diberikan oleh PP Nomor: 42 tahun 2006 tentang tata cara perubahan harta
benda wakaf dengan tidak melibatkan sama sekali wakif ketika harta benda wakaf
tersebut akan mengalami perubahan. Padahal si wakif yang telah mewakafkan hartanya
dengan peruntuan tertentu dan menunjuk nazhir sekaligus, belum tentu akan
terima seandainya harta benda wakaf yang telah dia wakafkan berubah bentuk,
boleh jadi dia akan keberatan dengan keputusan perubahan harta benda wakaf
tersebut.
Selain
itu, seandainya dengan penukaran tersebut posisi benda wakaf berpindah tempat,
maka akan timbul persoalan berkenaan dengan nazhir sebagai pengelola, dimana
semula nazhir yang tinggal satu wilayah dengan harta benda wakaf tersebut dapat
ditunjuk sebagai pengelola harta benda wakaf, dengan berpindahnya harta benda
wakaf tersebut dari wilayah tempat tinggal nazhir semula, maka nazhir yang
semula sebagai pengelola harta wakaf tersebut tidak dapat lagi mengelolanya,
dikarenakan harta benda wakaf yang semula diwilayahnya sudah berpindah ke luar
wilayahnya, maka dengan sendirinya nazhir tersebut tidak memenuhi syarat lagi
untuk dapat ditunjuk sebagai nazhir terhadap pengganti harta benda wakaf
tersebut.
Selain
dari apa yang telah dijelaskan, UU Nomor: 41 tahun 2004 dan PP Nomor: 42 tahun
2006 yang menjadikan penukaran harta benda wakaf dengan jalan kebijakan
berdasarkan usulan dari pengelola tanpa ada keterlibatan sama sekali wakif,
memberi kesan seakan-akan wakif dengan mengucapkan ikrar wakaf telah membuat
sebuah akad penyerahan haknya. Padahal baik dalam UU Nomor: 41 tahun 2004 dan
PP Nomor: 42 tahun 2006 siapa pemilik harta benda wakaf itu tidak disebutkan
secara jelas, kedua aturan itu tidak menyingung sama sekali siapa sebenarnya
pemilik benda wakaf tersebut, apakah masih si wakif atau telah menjadi milik
masyarakat umum. Oleh karena tidak pernah dijelaskan, maka pemahan yang dipakai
adalah hukum asal pemilik harta benda tersebut sebelum diwakafkan yaitu wakif
itu sendiri.
Dalam
hadits yang diceritakan oleh Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Jama'ah, bahwa
Umar memperoleh bagian tanah di tanah Khaibar, kemudian terhadap hal tersebut
Umar berkata kepada Rasulillah, "ya Rasulallah aku memperoleh tanah di
Khaibar, aku belum pernah memperoleh sebelumnya tanah sebaik tanah tersebut,
maka apa perintahmu untukku tentang hal ini", Rasulullah bersabda jika
kamu mau tahanlah pokoknya dan engkau bersedekah dengan hasilnya. Maka Umar
mensedekahkan hasilnya, dengan tidak menjual, menghibahkan dan mewariskan.
Dengan tidak berdosa bagi pengelolanya untuk sekedar mengambil untuk dimakan
bukan untuk memperkaya diri.
Larangan
dalam hadits untuk tidak menjual, menghibahkan dan mewariskan tersebut berlaku
bagi semua pihak, baik wakif, nazhir dan masyarakat pada umumnya. Kata dilarang
atau tidak diperbolehkan tersebut, menimbulkan pertanyaan, siapa sebenarnya
yang dilarang, karena yang dilarang untuk menjual, menghibahkan dan
menggadaikan sudah pasti berkait erat dengan pemilik dari benda tersebut, tidak
mungkin larangan itu berkait dengan orang yang tidak memiliki hak sama sekali,
kalau dia tidak memiliki hak sama sekali atau tidak ada hubungan sama sekali
dengan benda wakaf tersebut bagaimana mungkin dia bisa menjual, menggadaikan
ataupun menghibahkan.
Ada
kemungkinan kalimat larangan untuk menjual, menghibahkan dan menggadaikan
menunjukkan bahwa harta benda wakaf tersebut masih dimiliki seseorang dan orang
itu tidak lain si wakif, artinya si wakiflahpemilik harta benda wakaf tersebut.
Hanya saja kepemilikan wakif tidak sempurna lagi dia tidak dapat lagi
mengusahakannya dengan cara menjual, menghibahkan dan menggadaikannya.
Kata habbasta pada
hadits tersebut berarti menahan pokok dengan tidak menjual, tidak menghibahkan,
dan tidak mewariskan, sedangkan kegunaannya dijelaskan dengan kata berikutnya watashaqta.
Artinya menahan benda dengan tidak menjual dan lain sebaginya itulah wakaf,
belum sampai kepada hasilnya. Shighat "aku wakafkan" merupakan ikrar
dari si wakif untuk tidak akan mengusahan benda wakaf itu lagi, sedangkan hasilnya
dapat diperuntukan demi kebaikan secara umum dan keluarga dekat. Karenanya
kebaikan wakaf didapat ketika benda wakaf itu menghasilkan, ketika benda wakaf
tersebut tidak menghasilkan atau belum menghasilkan dengan sendirinya kebaikan
belum didapat bagi si wakif.
Wakaf
yang berarti membenamkan, mendiamkan dapat juga dipahami bahwa harta benda yang
diwakafkan itu hanya ditahan oleh si wakif karenanya ketika dia telah
mengikrarkan wakaf dengan sendirinya dia telah mengikrarkan bahwa dia tidak
akan lagi menjual, menghibahkan ataupun menggadaikan harta yang telah dia
wakafkan tersebut, karena hanya ditahan dari mengusahakannya, maka kepemilikan
harta benda wakaf masih di tangan wakif, wakif masih pemilik benda wakaf
tersebut. Hanya saja kepemilikan si wakif ini terbatasi sebagai akibat
perbuatan hukum yang ia lakukan.
Sebagai
ilustrasi kalau wakif adalah pemilik pokok benda wakaf. Dalam hal ijarah,
katakanlah mahjur bih nya sebuah mobil, mujir sebagai
pemilik mahjur bihmeminjamkan barang tersebut, dalam hal ini mobil
kepada mahjur dalam kurun waktu tertentu
dengan ijarah tertentu pula, meskipun mujir kapasitasnya
sebagai pemilik barang tetapi pemilikannya terbatas ketika benda tersebut dalam
masa sewa, mujirhanya sebagai pemilik mahjur bih dan hanya
berhak menikmati hasil dari sewa itu saja, sedangkan mahjur hanya
berwenang terhadap manfaat barang sewaan itu saja. Begitulah kiranya pula dalam
wakaf, wakif masih sebagai pemilik benda wakaf, akan tetapi dia tidak dapat
lagi mengusahakannya dan hanya menikmati hasilnya, dalam hal ini pahala di
akhirat kelak.
Keterkaitan
antara benda wakaf dengan wakif serta dengan pengelolanya menunjukkan bahwa
penukaran harta benda wakaf secara langsung melibatkatkan banyak pihak dan
boleh jadi pada akhirnya nanti menjadi persoalan. Karena itulah penukaran harta
benda wakaf sebagaimana diatur dalam PP Nomor: 42 tahun 2006 yang menyerahkan
kewenangan ke Pemerintah dengan tidak melibatkan wakif sama sekali dalam
penukaran harta benda wakaf tersebut dirasa kurang memenuhi rasa keadilan
terutama bagi wakif.
Melibatkan
wakif dalam proses penukaran benda wakaf tersebut tidak dapat hanya sekedar
didengar saja pendapatnya, pendapat atau pandangannya haruslah menjadi
pertimbangan dalam proses dan bentuk penukaran benda wakaf tersebut.
Mendengarkan keterangan wakif, nazhir atau pun pihak lainnya yang terkait
dengan harta benda wakaf boleh jadi sangat sulit dilakukan, karena jauhnya
jarak dengan Menteriyang berkedudukan di pusat ibu kota, padahal keterangan dan
pandangan mereka inilah yang sebenarnya lebih penting untuk didengarkan.
Dengan
demikian, tepatlah sekiranya perubahan harta benda wakaf melibatkan si wakif,
yang dalam prosesnya, perubahan harta benda wakaf tersebut, karena perubahan
harta benda wakaf ini melibatkan banyak pihak semisal nazhir dengan wakif atau
dengan pemerintah, dan kemungkinan timbulnya sengketa bisa saja terjadi. Maka
proses perubahan harta benda wakaf ini, akan lebih baik apabila diselesaikan
melalui lembaga Peradilan. Baik dalam bentuk permohonan (volunteer) berupa
permohonan penetapan pemberian izin perubahan bentuk harta benda wakaf dari
bentuk semula ke bentuk lainnya,apakah dengan jalan dijual atau ditukarmaupun
dalam bentuk gugatan (contentius) apabila ada pihak yang tidak menyetujui
perubahan tersebut, semisal wakif atau pihak lainnya.
Proses
perubahan harta benda wakaf dengan jalan seperti ini tidak hanya menutup pintu
kemungkinan adanya sengketa dikemudian hari, akan tetapi lebih dari itu,
memberi kepastian hukum terhadap perbuatan perubahan harta benda wakaf
tersebut. Apabila perubahan harta benda wakaf didasarkan dengan PP Nomor: 42
tahun 2006 perubahan tersebut masih membuka peluang terjadinya perselisihan,
dan menuntut penyelesaian secara hukum di Pengadilan dalam bentuk sengketa, hal
ini pastinya akan memakan waktu yang lama pula, akan berbeda apabila sejak
semula izin perubahan tersebut dikeluarkan oleh Pengadilan dalam bentuk
Penetapan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Wakaf merupakan bagian dari kegiatan
muamalah, di mana hukum dari muamalah itu sendiri yakni boleh. Sedangkan dasar
hukum wakaf disamakan dengan konsep infak dalam Al Quran, yaitu sunnah, atau
bagi siapapun yang ikhlas menafkahkan hartanya di jalan Allah maka baginya
pahala yang berlipat ganda.
2.
Hukum menukar benda wakaf dibolehkan,
dilihat dari kepentingan dan kebutuhannya untuk kemaslahatan tanpa mengurangi
manfaat dari benda tersebut, serta kembali pada niat dan tujuannya terhadap
penukarannya.
3.
Prosedur
perubahan harta benda wakaf sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor: 42 tahun 2006 dirasa kurang memperhatikan kepentingan si wakifdengan
tidak melibatkanwakifsama sekali dalam proses perubahan bentuk harta benda
wakaf yang telah dia wakafkantersebut.
4.
Prosedur
perubahan harta benda wakaf sebaiknya melalui lembaga Pengadilanguna memperoleh
kepastian hukum dan meminimalisir perselisihan di kemudian hari, dengan
melibatkan si wakif atau diajukan oleh wakif sendiri.
B. SARAN
Tulisan
ini hanyalah sekelumit pemikiran dari satu sudut yang sangat kecil, masih
banyak sudut-sudut lainnya yang lebih besar, karnanya sangat diperlukan karya
yang lebih argumentatif dan konprehensif demi hasil yang lebih baik. Menyadari
akan hal itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang
budiman. Wassalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor: 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang
Nomor: 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Kompilasi Hukum
Indonesia Buku III.
az-Zuhaili,
Wahbah, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu Jilid VIII. Dimasyqi: Dar ar
Fikr, tt.
Peraturan Menteri Agama
Nomor: 1 tahun 1978.
NU online, 2017, Tukar guling harta
wakaf sudah ada aturannya http://www.nu.or.id/post/read/83497/tukar-guling-tanah-wakaf-sudah-ada-aturannya,
Rabu 22 November 2017. Diakses pada rabu 12 september 2018 pukul 17. 35.
Kholis tembesi, 2016. Hukum menukar atau
menjual harta wakaf menurut ibnu taimiyyah. https://www.kholistembesi.com/2016/03/hukum-menukar-atau-menjual-harta-wakaf.html.
Diakses pada rabu 12 september 2018 pukul 17. 30.
Fasihudin Arafat. 2013, Perubahan status
harta benda wakaf. http://wafacollection99.blogspot.com/2013/10/perubahan-status-harta-benda-wakaf.html.
Diakses pada rabu 12 september 2018 pukul 17. 32.
[6]
Pasal
49 (2) PP Nomor 42: tahun 2006
[8]
Pasal
49 (4) PP Nomor: 42 tahun 2006
[9]
Pasal
51 PP Nomor: 42 tahun 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar