MAKALAH
QOWAID FIQHIYAH
Tentang : اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Di susun oleh :
Sarjan
Semester : III
(tiga)
“Makalah
ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai
salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah qowaid fiqhiyah”
Dosen
pengampu
Muchlis,
M.Pd.I
FAKULTAS
SYARI’AH
PRGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN
AJARAN 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan
bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang
kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa
itu Qawaidul fiqhiyah. Qowaidh fiqhiyah mempunya beberapa induk
qaidah. Dalam makalah ini kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan salah
satu induk dari kaidah-kaidah fiqh yang kelima yaitu Al ‘aadah Muhakkamah (Adat
itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari
Kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dapat
dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hokum dengan melihat sifat dari
hukum itu sendiri yang senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan nilai-nilai
yang berkembang di dalam masyarakat.
Kaidah tentang al-’adah al-Muhakkamah. Qawaidul fiqhiyah
(kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang mencakup semua
bagian-bagiannya.Qawa’id fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, salah satu kaidah
fiqh yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat itu bisa menjadi dasar dalam
menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam
masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang
merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain
itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang
terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa
dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’.
Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Oleh karena itu, sebelum
mengurai kaidah ini, perlu diketahui terlebih dahulu tentang adat.
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود )
atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ). Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu
yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan
demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع
السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang
berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain
dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan,
perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya.
االعرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار
ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya
dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku
umum"
Dari dua definisi di atas, ada unsur berulang-ulang dilakukan dan
dalam al-‘urf ada unsur (al-ma’ruf) dikenal sebagai sesuatau yang baik.
Kata-kata al-‘urf ada hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap
baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk
dilakukan dan diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf wa
al-nahy ‘an al-munkar” dalam Al-Qur’an. Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah
atau al-‘urf ini didefinisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh
manusia secara umum (al-‘adah ‘al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang
sehingga menjadi kebiasaan.
Dengan demikian al-'adah atau al-urf yang dapat dikatagorikan
muhakkamah adalah budaya atau tradisi atau kebiasaan dari sesuatu keadaan,
ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang memiliki 3 (tiga)
ciri, yaitu :
1. Dianggap baik melakukan atau meninggalkannya oleh
manusia secara umum;
2. Dilakukan atau ditinggalkannya secara terus-menerus dan
berulang-ulang; dan
3. Tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Adapun Prof. Dr. H. Rachmat Syafe'i, MA., secara lebih rinci
menjelaskan bahwa suatu 'adat atau urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat
berikut :
1. Tidak bertentangan dengan syari'at;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak
menghilangkan kemashlahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan
hukumnya;
6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.
Bagaimanakah mengenai adat kebiasaan dalam bermu’amalah dan dalam
munakahah? semua kebiasaan bermanfaaat dan tidak bertentangan dengan syara’
dalam mu’amalah seperti jual beli, sewa menyewa, kerjasamanya pemilik sawah
dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hukum, sehingga
seandainya terjadi perselisihan pendapat diantara mereka, maka
penyelesaiannnya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau ‘urf yang berlaku.
Demikianlah pula dalam munakahah seperti tentang benyaknya mahar, atau nafakah,
juga harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku. Sedangkan adat
kebiasaan yang berlawanan dengan nash-nash syara’ atau bertentangan dengan
jiwanya seperti kebiasaaan suap menyuap, disajikannya minuman keras dan sarana
perjudian dalam pesta-pesta atau dalam pesta-pesta atau dalam persepsi, tentu
tidak boleh dianggap/ dijadikan dassr hukum.
B.
Dasar
Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah
Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
QS. A'raaf
(7) Ayat 199
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Dan
suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari
orang-orang bodoh (QS. Al-A’raf: 199).
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas
kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu
mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut, yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan”.(QS.Al-Baqarah: 236).
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah Engkau Pema'af dan
suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh.”
2. Al-Hadits :
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula
di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut
Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar,
Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
Substansi yang terkandung dalam kandungan ayat al-qur’an dan hadits
diatas adalah bahwa ajaran islam benar-benar sangat memperhatikan keberadaan
unsur-unsur kebudayaan atau adat suatu kebiasaan yang apabila suatu pandangan
itu baik maka baik pula disisi Allah SWT . sehingga Islam tidak memiliki maksud
untuk menghapusnya, melainkan mengajak kerjasama secara sinergik untuk memahami
kebutuhan-kebutuhan masyarakat, problem-problemnya dan tantangan-tantangan
kedepan.
C. Macam-Macam Kaidah
1)
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ
العَمَلُ بِهَا
“Apa
yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang
wajib diamalkan”
Maksud
kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi
pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.
Contoh: Apabila
tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan
menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan
yang berlaku.
2) اِنَّمَا
تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
“Adat
yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus
berlaku atau berlaku umum”
Dalam
masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat
kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau
dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat)
bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hokum.
Contoh: Apabila
seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran
tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada
pihak pengusaha koran tersebut.
3)
العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ
لِلنَّادِرِ
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi
yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu
Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ بِا لمُعْتَا دِلاَ بِا النَّادِرِ
“Hukum
itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan
hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan
mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
4)
المَعْرُوْفُ
عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang
disyaratkan dengan suatu syarat”
Maksudnya
adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang
dibuat.
Contoh: Menjual
buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah
menjadi kebiasaan maka para ulama membolehkannya.
5)
الْمَعْرُوْفُ
بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang
berlaku sebagai syarat di antara mereka”
Sesuatu
yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
Contoh: Transaksi
jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah
pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke
lokasi pembeli.
6) التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan
berdasarkan nash”
Penetapan suatu
hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat
sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang
didasarkan pada nash.
Contoh: Apabila
orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi
itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua
utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
7) المُمْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
“Sesuatu yang tidak berlaku
berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”
Maksud
kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan
secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contoh: Seseorang mengaku bahwa
tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari
mana asal-usul tanah tersebut.
8)
الحَقِيْقَةُ
تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan
karena ada petunjuk arti menurut adat”
Contoh: Apabila seseorang membeli
batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad
jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan
jual belinya meskipun harga batu bata naik.
9 )
الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah
sama dengan pemberian izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila
tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan,
maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan
berarti mempersilahkannya
D.
Perbedaan
antara al-’Adah dengan al-’Urf al-urf
Proses
pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung
terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati
individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi
‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama
kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi
‘urf.
Oleh
sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi
terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah
‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi
hukum yang berbeda.
Sekalipun demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda,
dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang
(kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun
nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan,
tidak menjadi persoalan urgen, selama dilakukan sevara kolektof, dan hal
seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebagai tradisi
(budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu maupun
kolektif.
Dari
pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah dan
‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
1. ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek
pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya
lebih menekankan pada posisi pelakunya.
2. ‘adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan
boleh dilakukan pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada
pekerjaan.
Sedangkan persamaannya,
‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat,
tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta sesuia dengan karakter
pelakunya.
Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat
dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda
pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan
pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu.
adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus
harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek
pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya.
persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah
diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai
dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula
dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah,
kata al-ma’ruf yang sering disebut dalam al-Qur’an. Oleh karena
itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan
adat (kepantasan).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam
bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat
dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh
manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.
Istilah adat
dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda
pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan
pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu.
adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok,
sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu.
Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan,
sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya,
adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal
sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan
karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring
perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di
bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat
istiadat itu berubah.
Adapun adat itu dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:
Ø Tidak bertentangan dengan nash, Berlaku umum
Ø Tidak menimbulkan kerusakan atau kemafsadatan
Ø Dan adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang
akan dilandaskan pada ‘urf itu.
DAFTAR PUSTAKA
v Prof.Djazuli H.A., , Kaidah-Kaidah Fikih, 2007,Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2.
v Haq Abdul, dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, 2006, Lirboyo: Khalista & Kakilima Lirboyo.
v Prof. Dr., MA Syafe'I Rachmat,. Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka
Setia, cet. Ke-3, 2007)
v Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah
al-Khamsah), 2010, Malang: UIN Maliki P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar