l Makalah- al-adatul muhkamah-qowaid fiqiyah. | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Jumat, 26 Oktober 2018

Makalah- al-adatul muhkamah-qowaid fiqiyah.


MAKALAH

QOWAID FIQHIYAH

Tentang :  اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ


Di susun oleh :
Sarjan
Semester : III (tiga)

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
 mata kuliah qowaid fiqhiyah



Dosen pengampu
Muchlis, M.Pd.I


FAKULTAS SYARI’AH
PRGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN

Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Qowaidh fiqhiyah mempunya beberapa induk  qaidah. Dalam makalah ini kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan salah satu induk dari kaidah-kaidah fiqh yang kelima yaitu Al ‘aadah Muhakkamah (Adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari Kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hokum  dengan melihat sifat dari hukum itu sendiri yang senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Kaidah tentang al-’adah al-Muhakkamah. Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang mencakup semua bagian-bagiannya.Qawa’id fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, salah satu kaidah fiqh yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.       Definisi Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Oleh karena itu, sebelum mengurai kaidah ini, perlu diketahui terlebih dahulu tentang adat.
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( العود ) atau al-mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار ). Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah :
عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-'adah, yaitu al-'urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
االعرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum"
Dari dua definisi di atas, ada unsur berulang-ulang dilakukan dan dalam al-‘urf ada unsur (al-ma’ruf) dikenal sebagai sesuatau yang baik. Kata-kata al-‘urf ada hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar” dalam Al-Qur’an. Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf ini didefinisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah ‘al-‘ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Dengan demikian al-'adah atau al-urf yang dapat dikatagorikan muhakkamah adalah budaya atau tradisi atau kebiasaan dari sesuatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu :
1. Dianggap baik melakukan atau meninggalkannya oleh manusia secara umum;
2. Dilakukan atau ditinggalkannya secara terus-menerus dan berulang-ulang; dan
3. Tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Adapun Prof. Dr. H. Rachmat Syafe'i, MA., secara lebih rinci menjelaskan bahwa suatu 'adat atau urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Tidak bertentangan dengan syari'at;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.
Bagaimanakah mengenai adat kebiasaan dalam bermu’amalah dan dalam munakahah? semua kebiasaan bermanfaaat dan tidak bertentangan dengan syara’ dalam mu’amalah seperti jual beli, sewa menyewa, kerjasamanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hukum, sehingga seandainya terjadi perselisihan pendapat  diantara mereka, maka penyelesaiannnya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau ‘urf yang berlaku. Demikianlah pula dalam munakahah seperti tentang benyaknya mahar, atau nafakah, juga harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku. Sedangkan adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash-nash syara’ atau bertentangan dengan jiwanya seperti kebiasaaan suap menyuap, disajikannya minuman keras dan sarana perjudian dalam pesta-pesta atau dalam pesta-pesta atau dalam persepsi, tentu tidak boleh dianggap/ dijadikan dassr hukum.
B.     Dasar Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah
         Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
QS. A'raaf (7) Ayat 199
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh (QS. Al-A’raf: 199).
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut, yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.(QS.Al-Baqarah: 236).
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
 “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
2.     Al-Hadits :
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
Substansi yang terkandung dalam kandungan ayat al-qur’an dan hadits diatas adalah bahwa ajaran islam benar-benar sangat memperhatikan keberadaan unsur-unsur kebudayaan atau adat suatu kebiasaan yang apabila suatu pandangan itu baik maka baik pula disisi Allah SWT . sehingga Islam tidak memiliki maksud untuk menghapusnya, melainkan mengajak kerjasama secara sinergik untuk memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat, problem-problemnya dan tantangan-tantangan kedepan.
C.  Macam-Macam Kaidah
1)                                                                                    اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
2)                                                                                 اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hokum.
 Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
3)                                                                                          العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
 “Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ بِا لمُعْتَا دِلاَ بِا النَّادِرِ 
“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
4)                                                                                       المَعْرُوْفُ عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
 “Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat.
Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka para ulama membolehkannya.
5)                                                                                   الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
 “Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”
Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
6)                                                                                         التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
 “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
7)                                                                                            المُمْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
 “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul tanah tersebut.
8)                                                                                                الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
 “Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik. 
9 )                                                                                             الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
 “Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti mempersilahkannya
D.      Perbedaan antara  al-’Adah dengan al-’Urf al-urf
Proses pembentukan ‘adah adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’araf, ‘adah berubah menjadi ‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah), sehingga ‘adah merupakan unsur yang muncul pertama kali dilakukan berulang-ulang, lalu tertanam di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘adah dan ‘urf dilihat dari sisi terminolgisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah ‘urf dan ‘adah tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda.
Sekalipun demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana’urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan urgen, selama dilakukan sevara kolektof, dan hal seperti masuk dalam ketegori ‘urf. Sedang ‘adah mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu maupun kolektif.
Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘adah dan ‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
1.    ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.
2.   ‘adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan  persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta sesuia dengan karakter pelakunya. 
Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf  yang sering disebut dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). 
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Adapun adat itu dapat dijadikan sebagai landasan hukum apabila:
Ø  Tidak bertentangan dengan nash, Berlaku umum
Ø  Tidak menimbulkan kerusakan atau kemafsadatan
Ø  Dan adat itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan pada ‘urf itu.
DAFTAR PUSTAKA

v    Prof.Djazuli H.A., , Kaidah-Kaidah Fikih, 2007,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2.
v    Haq Abdul, dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual, 2006, Lirboyo: Khalista & Kakilima Lirboyo.
v    Prof. Dr., MA Syafe'I Rachmat,. Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007)
v    Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), 2010, Malang: UIN Maliki P




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020