MAKALAH
|
HUKUM PIDANA ISLAM
Tentang : Qishash
Dosen
pengampu: Syamsuddin,SH.MH.
Di susun oleh :
Ketua kelompok :
1. Ahyadin
Anggota kelompok : 2.
Ardi saputra
3.
Arif darmawan
4. Ahmad rafli
5.
Adhar
FAKULTAS
SYARI’AH
PRGRAM STUDIAKHWAL SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat qudrah dan iradah-Nya kami dapat menyelesaikan
Makalah, “HUKUM PIDANA ISLAM” yang bertemakan "Qishas”. Shalawat dan salam
tidak lupa pula kami sanjung sajikan kepangkuan nabi besar Muhammad SAW. yang
telah membawa kita ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah hukum pidana
islam. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kelemahan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik beserta sarannya.
Akhirul kalam kepada
Allah SWT jugalah kita berserah diri dengan harapan semoga yang telah kami buat
dalam tugas ini dapat bermanfaat serta mendapat ridho dan maghfirah-Nya. Amin
ya Rabbal ‘alamin....
Bima, 06 oktober 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………….
Daftar
Isi ……………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
……………………………………………………...
B. Rumusan
masalah ………………………………………………..
C. Tujuan
penulisan ………………………………………………...
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Qishash ……………………………………………….
B. Macam-macam Qishash.............................................................
C. Syarat-syarat
Qishash................................................................
D. Pelaksanaan Hukuman Qishash………………………………....
E. Hapusnya Hukuman
Qishash ………………………...……....
F.
Hikmah Pelaksanaan Qishash .………………………………….
BAB III PENUTUP …………………………………………………...
Daftar
Pustaka .…………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dalam
literatur masyarakat, khusus dalam kehidupan Islam terdapat berbagai
permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran yang dilakukan manusia.
Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang mempunyai kekuatan hukum
dengan berbagai macam sangsi. Sangsi yang diberikan sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan.
Maka dari itu,
dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam hukum Jinayah Islam yang
bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap manusia, dan tujuan
utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Maka dari itu adanya Qishash bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan ketentuan-ketentuan Ilahi. Dalam makalah ini diajukan beberapa hal memgenai bagaimana pelaksanaan hukuman qishash dan bagaimana hukuman qishash bisa terhapus.
Maka dari itu adanya Qishash bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan ketentuan-ketentuan Ilahi. Dalam makalah ini diajukan beberapa hal memgenai bagaimana pelaksanaan hukuman qishash dan bagaimana hukuman qishash bisa terhapus.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.
Apa
pengertian qishash?
2.
Apa
saja macam-macam qishas?
3.
Apa
saja syarat-syarat qishas?
4. Bagaimana pelaksanaan
hukuman qishash?
5. Bagaimana hapusnya
hukuman qishash?
6. Apa hikmah
adanya hukuman qishash?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk
mengetahui apa itu qishash
2.
Untuk mengetahui macam-macam qishas
3. untuk mengetahui syarat-syarat qishas
4. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan
hukuman qishash
5. Untuk
mengetahui bagaimana hapusnya hukuman qishash
6. Untuk mengetahui apa hikmah atas hukuman
qishash
BAB II
PEMBAHASAN
A.
pengertian
qishash
1.
Pengertian
Hukum Qishash
Secara
bahasa, qishash merupakan kata turunan
dari qashsha-yaqushshu-qashshan wa qashashan (قصَّ – يقُصُّ – قصًّا و قصَصاً ) yang berarti menggunting, mendekati, menceritakan, mengikuti
(jejaknya), dan membalas.
Sedangkan secara istilah, Ibnu
Manzur di dalam bukunya Lisan al-Arab menyebutkan, (القصاص
القود هو القتل بالقتل) yang
maksudnya suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk tindak
pidana yang dilakukan, seperti membunuh dibalas dengan membunuh. Hukuman mati
seperti ini disebut qishash karena hukuman ini sama dengan tindak pidana yang
dilakukan yang mengakibatkan qishash tersebut, seperti membunuh dibalas dengan membunuh
dan memotong kaki dibalas dengan pemotongan kaki pelaku tindak pidana tersebut.
Menurut Prof. Dr. Shalih bin Fauzan mendefiniskannya
dengan, Al-Qishash adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya
terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi.
Sedangkan menurut Iman Malik wali korban hanya diharuskan
mengambil qishash atau mengambil diyat secara suka
rela.Menurut Iman Syafi’i Iman Ahmad, Abu Tsaur bahwa wali korban boleh memilih
mengambil qisas atau diyat, baik orang yang membunuh rela atau
tidak.
Dari kedua pendapat ini menurut Imam Malik harus ada kesepakatan
antara kedua belah pihak pelaku dan keluarga korban, sedangkan Imam Syafi’i dan
sebagian ulama lain, wali korban boleh memilih
antara qishash atau diyat dengan pihak pelaku setuju atau
tidak. Bila dilihat dari kedua pendapat ini boleh diselesaikan dengan jalan
bila wali korban memberikan pemaafan dan
membayar diyat itu diyat ringan tanpa persetujuan pelaku.
Tapi bila diyat itu berat, harus ada persetujuan pelaku karena dalam
ketentuan diyat harus bisa ditanggung oleh pelaku.
Al-Qur’an sendiri memberikan
isyarat bahwa yang dimaksud dengan qishash adalah sanksi hukum yang ditetapkan
dengan semirip mungkin (yang relatif sama) dengan tindak pidana yang dilakukan
sebelumnya. Di dalam al-Qur’an, kata qishash disebutkan empat kali dan semuanya
di dalam bentuk ism (kata benda). Dua di antaranya ism
ma’rifah (kata benda defenitif) dengan alif dan lam (ال ) dan dua
yang lain ism nakirah (kata benda indenfinitif).
Adapun Qishash disyariatkan dalam al-Quran dan as-sunnah,
serta ijma. Di antara dalil dari Al-Quran adalah firman
Allah SAW:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ
لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ
ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ . وَلَكُمْ فِي
الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, qisas diwajibkan atasmu berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka, barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah yang diberi maaf, membayar diyat kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.(Qs.
al-Baqarah: 178-179).
Sedangkan dalil dari As Sunnah di antaranya adalah hadits Abu
Hurairah Ra, yaitu Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ
يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل
“Barangsiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih
dua pilihan, bisa memilih diyat dan bisa juga dibunuh dengan qisas”. (HR. al-Jama’ah).
Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi adalah dengan lafal :
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ
يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ
“Barangsiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih
dua pilihan, bisa memilih memaafkannya dan bisa membunuhnya”.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa qishash ialah akibat
yang sama yang dikenakan pada seseorang yang menghilangkan nyawa atau melukai
atau menghilangkan anggota badan orang lain seperti apa yang telah
diperbuatnya, maka dapat dikatakan bahwa hukuman qisas itu ada
dua macam yatiu qishash jiwa yakni hukuman bunuh untuk tingkat
pembunuhan dan hukuman qishash untuk anggota badan yakni khusus untuk
anggota badan yang terpotong atau dilukai atau dapat dikatakan bahwa hukum
qishash adalah mengambil pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan istilah
utang nyawa dibayar dengan nyawa.
Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan
perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya,
sesuai pelangarannya.
B. Macam-macam Qishash
1. Qishash jiwa
Qishash jiwa adalah qishash
yang berhubungan dengan jiwa seseorang atau hak hidup seperti pembunuhan.
Pembicaraan pada masalah ini berpangkal pada pembicaraan tentang sifat
pembunuhan dan pembunuh yang karena berkumpulnya sifat-sifat tersebut bersama
korban mengharuskan adanya qisas.tidak semua pembunuhan dapat dikenai qishash
melainkan qishash itu hanya dikenakan pada orang yang membunuh tertentu dengan
cara pembunuhan tertentu dan korban tertentu. Dan demikian itu karena yang
dituntut dalam hal ini tidak lain hanyalah keadilan. Mengenai pembunuhan yang
dapat dikenai qisas haruslah sesuai dengan aturan tertentu dan syarat tertentu
antara lain :
1)
Syarat-syarat
pembunuh
Pembunuhan adalah perbuatan yang
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Dalam bahasa arab, pembunuhan
disebut القتل berasal dari kata قتل yang sinonimnya امات artinya
mematikan. Para ulama’ mendefinisikan pembunuhan dengan suatu perbuatan manusia
yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain dalam arti istilah, pembunuh
didefiniskan oleh Wahbah az-Zuhayliy yang mengutip pendapat Khatib Syarbini
sebagai berikut.
القتل هو الفعل المزهق اى القا تل للنفس
“Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa
seseorang”.
Macam-macam pembunuhan dan hukumnya
:
a. Pembunuhan
yang disengaja (Qatlul ‘Amad)
Ialah pembunuhan yang
direncanakan, dengan cara dan alat yang bisa biasa mematikan. Pembunuhan yang disengaja
tersebut wajib diqishash, sebagaimana firman Allah QS. An Nisaa: 93 dan
dipertegas dengan hadits rasulullah, Tidak halal haram membunuh orang muslim,
kecualiada salah satu dari tiga sebab : kafir sesudah iman, berzina sesudah
kawin dan membunuh orang tanpa hak, baik karena dhalim dan permusuhan. (HR.
Tirmidzy dan Nasaâ’i)
Orang yangmembunuh tanpa ada
hak, harus diqishash, harus dibunuh juga. Kalau ahli waris (yang terbunuh)
memaafkan pembunuhan tersebut, pembunuhan tidak diqishash (dihukum bunuh)
tetapi harus membayar diyah yang besar, yaitu harus membayar dengan seharga 100
ekor unta tunai, pada waktu itu juga. Hal ini selaras dengan hadits rasulullah,
‘Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka ia diserahkan pada keluarga
terbunuh. Apabila mereka mengkehendaki maka membunuhnya atau minta diyah dengan
30 ekor unta hiqqah, 30ekor unta jadzaâ’ah dan 40 ekor unta khalafah (jumlahnya
100 ekor unta). Hasil perdamaian itu untuk mereka (ahli waris si terbunuh).
Demikian itu untuk memperkeras terhadap pembunuhan. (HR. Tirmidzi)
b. Pembunuhan tidak sengaja (Qatlul
syibhul ’amad)
Pembunuhan tidak sengaja ialah perbuatan terhadap diri seseorang dengan alat
atau sesuatu yang biasanya tidak mematikan. Tetapi seseorang itu mati karena
perbuatan atau tindakannya. Contoh orang memukul oran g lain dengan sapu lidi
kemudian yang dipukul mati.
Pembunuhan tidak sengaja tidak kena hukuman qishash tetapi pembunuhnya harus
membayar diyat besar, sebagaimana diyat bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan
ahli waris terbunuh. Diyat itu boleh dibayar selama 3 tahun dengan angsuran
setiap tahun 1/3-nya.
c. Pembunuhan tidak ada unsur
membunuh (Qatlul Khathaâ’)
Pembunuhan yang tidak ada unsur membunuh ialah perbuatan yang tidak ditujukan
kepada seseorang tetapi seseorang mati karena perbuatannya. Misalnya orang
melempar batu ke hutan tiba-tiba oran g mati terkena batu tersebut.
Fuqaha telah sepakat bahwa pembunuh yang dapat diqisas disyaratkan : berakal
sehat, dewasa, menghendaki kematian korbannya, melangsungkan sendiri
pembunuhannya tanpa ditemani orang lain. Fuqaha berselisih pendapat tentang
orang yang dipaksa membunuh dan orang yang memaksanya:
Imam Malik, Syafi’ie, Ats-Tsauri, Ahmad, Abu Tsaur dan fuqaha lainnya
berpendapat bahwa pembunuhan itu harus dikaitkan kepada pelaksananya, bukan
kepada penyuruhnya. Tetapi si penyuruh ini harus dikenai hukuman. Segolongan
fuqaha berpendapat bahwa kedua orang itu pelaksana dan penyuruh harus dihukum
mati.
Demikian itu apabila dalam pembunuhan itu tidak terdapat unsur paksaan dan
kekuasaan kekuatan dari penyuruh atas orang-orang yang disuruh. Jika sipenyuruh
mempunyai kekuasaan atas orang yang disuruh, dalam hal ini ada 3 pendapat:
Daud, Abu hanifah dan salah
satu pendapat Imam Syafi’i bahwa orang yang menyuruh dikenai hukuman mati,
sedangkan yang disuruh hanya dikenai hukuman saja, tidak hukuman mati.Salah
satu pendapat Imam Syafi’i yang lain bahwa orang yang disuruh dikenai hukuman
mati, bukan orang yang menyuruh, sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa
keduanya harus dihukum mati.
2) Sifat pembunuhan
Fuqaha telah sepakat bahwa sifat pembunuhan yang dikenai qishash adalah
pembunuhan yang sengaja. Sedangkan pembunuhan yang mirip sengaja seperti keliru
dalam membunuh, dengan alat-alat yang biasanya tidak dipakai untuk membunuh.
Maka pembunuhan seperti ini tidak dikenai qisas tetapai hanya dikenai diyat
saja.
3) Syarat-syarat korban
Mengenai syarat-syarat yang mengharuskan qishash berkenaan dengan orang yang
dibunuh, maka korban tersebut harus sepadan dengan jiwa orang yang membunuhnya.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan nilai jiwa seseorang dengan
lainnya ialah keislaman, kekafiran, kemerdekaan, kehambaan, kelelakian,
kewanitaan, satu orang atau banyak orang.
b. Qishas anggota
badan (pelukaan)
Qishash anggota badan adalah hukum qishash atau tindak pidana melukai,
merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota
badan. Sedangkan pelukaan itu ada dua macam yaitu pelukaan yang dikenai
qishash dan pelukaan yang dikenai diyat atau pemaafan.
Mengenai pelukaan yang dapat dikenai
qisas meliputi syarat-syarat orang yang melukai, syarat-syarat pelukaan yang
mengakibatkan qisas serta syarat-syarat orang yang dilukai antara lain :
1) Syarat orang yang melukai
Orang yang melukai itu harus
mukallaf baligh dewasa dan berakal.jika seseorang memotong anggota tubuh orang
lain, maka tidak diperselisihkan lagi bahwa ia dikenai qishash, jika pelukaan
itu mengakibatkan qishash.
2) Syarat orang yang dilukai
Jiwa orang yang dilukai itu
disyaratkan seimbang dengan jiwa orang yang melukai. Adapun faktor yang
mempengaruhi keseimbangan ini ialah kehambaan dan kekufuran.
3). Sanksi-Sanksi
Qishash itu dilaksanakan pada kasus :
a. Pembunuhan
sengaja yang dilakukan oleh orang yang berakal sehat, dewasa, menghendaki
kematian korbannya, melangsungkan sendiri pembunuhannya tanpa ditemani orang
lain.
b. Sebagian
pelukaan yang mengakibatkan harus di qishash.
Sedangkan qisas tidak dapat
dilaksanakan pada kasus :
a. Hilanganya tempat untuk di qishash, yaitu
hilangnya anggota badan atau jiwa orang yang mau di qisas sebelum dilaksanakan
hukuman qishash.
b. Pemaafan, para ulama sepakat
tentang pemaafan qisas bahkan lebih utama daripada menuntutnya. Firman Allah
SWT:
فمن عفى له من اخيه شيئ... ( البقرة 178 )
Maka barangsiapa
mendapatkan pemaafan dari saudaranya … (QS. Albaqarah: 178).
c. Perdamaian, yaitu berdamainya
antara pelaku dan korban.
Damai memiliki banyak arti:
arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian
dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah pertikaian, atau tidak ada
dendam. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya
damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas.
d. Diwariskan hak qisas
Contoh bila ahli waris adalah anak pembunuh yakni penuntut dan penanggung jwab
qisas itu orangnya sama. Jelasnya mislanya A membunuh saudara sendiri yang
tidak mempunyai ahli waris kecuali dirinya sendiri.
C. Syarat syarat qishah
1. Pembunuh
sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau
orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
2. Pembunuh
bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh
anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
3. Orang
yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka,
perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
4. Qishash
dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota,
seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
5. Qishash
itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau
yang melukai itu.
6. Orang yang terbunuh
itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa orang kafir, pezina mukhshan, dan
pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh
membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah
beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR. Turmudzi
dan Nasaâ’)
D. pelaksanaan
hukuman qishash
Orang yang berhak menuntut dan memanfaatkan qishash menurut Imam Malik adalah ahli waris Ashabah
bi nafsih, orang yang paling dekat dengan korban itulah yang paling berhak
untuk itu. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafei ‘i,
dan Imam Ahmad orang yang berhak itu adalah
seluruh ahli waris, Laki-laki maupun perempuan.
Apabila orang
yang berhak itu banyak dan sama derajatnya, maka dalam kasus ini ada dua teori
;pertama penuntutan dan pemaafan itu hak penuh setiap ahli waris secara
individu dan kedua,penuntutan dan pemaafan qishash itu adalah
hak korban dan karena si korbana tidak bisa menggunakan haknya,
maka ahli waris
keseluruhannya menggantikan kedudukannya atas dasar
prinsip waris. Teori ini di pegang oleh Imam Syafei’i Imam Ahmad,
dan Muhammad.
Untuk jelasnya perbedaan kedua teori ini dapat di
gambarkan pada contoh berikut: Apabila ada ahli waris yang sudah
dewasa dan yang masih kecil, maka menurut teori
pertama ahli waris yang dewasa itu punya
hak yang sempurna tidak usah menunggu balighnya ahli waris yang
masih kecil, sedangkan menurut teori kedua ahli waris yang telah dewasa harus
menunggu balighnya ahli waris yang kecil untuk kemudian dimusyawarahkan untuk
menuntut atau memanfaatkan qishash, karena hak qishash adalah hak bersama.
Apabila korban
tidak memiliki wali, maka disepakati ulama bahwa sulthan menggantikan kedudukan
walinya, karena sulthan adalah wali bagi orang tidak memiliki wali.
F. Hapusnya hukuman qishash
Hukuman qishash dapat
hapus karena hal-hal berikut:
1) Hilangnya
tempat untuk di qishash;
2) Pemanfaatan;
3) Perdamaian
4) Diwariskan
hak qishash
Yang dimaksud dengan hilangnya tempat untuk
di qishash adalah hilangnya anggota badan atau jiwa orang yang mau
di qishash sebelum dilaksanakan hukuman qishash.
Para ulama
berbeda pendapat dalam hal hilangnya tempat ntuk di qishash itu
mewajibkan diyat. Imam Malik dan imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hilangnya
anggota badan atau jiwa orang yang wajib di qishash itu menyebabkan
hapusnya diyat, karena bila qishash itu tidak meninggal dan
tidak hilanng anggota badan yang akan di qishash itu, maka yang wajib
hanya qishash bukan diyat.
Sedangkan
menurut Imam Syafei dan Imam Ahmad dalam kasus diatas qishash dan
segala aspeknya menjadi hapus, akan tetapi menjadi wajib diyat,
karena qishash dan diyat itu kedua-duanya wajib, bila salah satunya
tidak dapat dilaksanakan dapat diganti dengan hukuman lainnya. Sehubungan
dengan pemaafan para ulama sepakat tentang pemaafan qishash bahkan
lebih utama dari pada menuntutnya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. :
“Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya.”
“Barangsiapa
yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya”.
Yang dimaksud pemaafan menurut Imam Syafei dan Imam Ahmad adalah
memaafkan qishashatau diyat tanpa imbalan
apa-apa. Sedang menuru Imam Malik dan Abu Hanifah pemaafan
terhadapdiyat itu bisa dilaksanakan bila ada kerelaan pelaku/terhukum.
Jadi menurut kedua ulama terakhir ini pemaafan adalah pemaafan qishash tanpa
imbalan apa-apa. Adapun memaafkan diyat itu bukan pemaafan, melainkan
perdamaian. Orang yang berhak memaafkan qishash adalah orang yang
berhak menuntutnya.
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kebolehan
perdamaian dan hapusnya hukuman qishash karenanya. Dan melalui
perdamaian pihak pembunuh bisa membayar tanggungan yang lebih kecil, sama atau
lebih besar daripada diyat.
Orang yang
berhak mengadakan perdamaian adalah orang yang berhak
atas qishash dan pemaafan. Qishash juga bisa dihapus karena
diwariskan kepada keluarga korban. Contoh bila ahli waris adalah pembunuh yakni
penuntut dan penanggung jawab qishash itu orangnya sama. Jelasnya
adalah misalnya A membunuh saudara sendiri yang tidak mempunyai ahli waris
kecuali dirinya sendiri (A).
Memaafkan orang yang melakukan pembunuhan dan atau pelukaan dari
sikorban atau keluarganya sangat didorongkan dan terpuji, walaupun demikian
tidak berarti si pembunuh atau orang yang melukai tidak kena hukuman. Sanksinya
diserahkan kepada Ulil Amri, Karena si pembunuh ini melanggar dua hak yaitu hak
perorangan (hak adami) dan hak masyarakat/jamaah/Allah.
E. Hikmah adanya
hukuman qishash
Hikmah qishash
ialah supaya terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh. Apabila sesorang
mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh juga. Karena akibat perbuatan membunuh
oran g, tentu ia takut membunuh oran g lain. Dengan demikian terpeliharalah
jiwa dari terbunuh. Terpeliharalah manusia dari bunuh-membunuh.
Ringkasnya, menjatuhkan hukum yang sebanding dan setimpal itu, memeliharakan hidup masyarakat: dan Al-Quran tiada menamai hokum yang dijatuhkan atas pembunuh itu, dengan nama hukum mati atau hukum gantung, atau hukum bunuh, hanya menamai hukum setimpal dan sebanding dengan kesalahan. Operasi pemberantasan kejahatan yang dilakukan pemerintah menjadi bukti betapa tinggi dan benarnya ajaran islam terutama yang berkenaan hukum qishash atau hukum pidana Islam.
Ringkasnya, menjatuhkan hukum yang sebanding dan setimpal itu, memeliharakan hidup masyarakat: dan Al-Quran tiada menamai hokum yang dijatuhkan atas pembunuh itu, dengan nama hukum mati atau hukum gantung, atau hukum bunuh, hanya menamai hukum setimpal dan sebanding dengan kesalahan. Operasi pemberantasan kejahatan yang dilakukan pemerintah menjadi bukti betapa tinggi dan benarnya ajaran islam terutama yang berkenaan hukum qishash atau hukum pidana Islam.
Larangan
Qishash di dalam Masjid Sesungguh Rasulullah SAW telah melarang untuk
melaksanakan Qishash di dalam mesjid sebagaimana hadits beliau sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang melaksanakan qishash di dalam masjid, melantunkan sya’ir dan melaksanakan hukum hudud di dalamnya.“
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. melarang melaksanakan qishash di dalam masjid, melantunkan sya’ir dan melaksanakan hukum hudud di dalamnya.“
Diriwayatkan pula dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a, ia berkata,
“Rasulullah saw. bersabda, “Seorang anak tidak boleh menuntut qishash terhadap
ayahnya dan dilarang melaksanakan hukum hudud di dalam masjid,” (HR At Tirmidzi
dan Ibnu Majah).
Bagi tiap-tiap perbuatan Allah telah menetapkan balasan yang setimpal terhadapnya baik di dunia maupun di akhirat dan Allah Maha Pengampun atas segala perbuatan dosa yang dilakukan hamba-hamba-Nya, kecuali perbuatan syirik atau menyekutukanNya dengan dzat selain Dia. Dengan demikian manusia sebaiknya lebih membekali akhiratnya dengan perbuatan baik dan saling memaafkan atas kesalahan saudara-saudaranya, karena sikap memaafkan akan lebih mulia pada pandangan Allah swt. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang menjaga lidah dan perbuatan, dan orang-orang yang memaafkan.
Bagi tiap-tiap perbuatan Allah telah menetapkan balasan yang setimpal terhadapnya baik di dunia maupun di akhirat dan Allah Maha Pengampun atas segala perbuatan dosa yang dilakukan hamba-hamba-Nya, kecuali perbuatan syirik atau menyekutukanNya dengan dzat selain Dia. Dengan demikian manusia sebaiknya lebih membekali akhiratnya dengan perbuatan baik dan saling memaafkan atas kesalahan saudara-saudaranya, karena sikap memaafkan akan lebih mulia pada pandangan Allah swt. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang menjaga lidah dan perbuatan, dan orang-orang yang memaafkan.
BAB III
PENUTUP
Kita sadari
bahwa memang hukum pidana (Hukum Fiqh Jinayah) tapi sudah selayaknya kita
sebagai muslim mengikuti ajaran Islam sebagaimana yang telah diaturnya.
Seberapa sulitnya, kita harus menjalani dengan lapang dan ikhlas. Saya sendiri
pun tidak tahu bagaimana caranya yang jelas kita akan belajar bersama-sama
tentang hokum Islam ini. Sekalipun oleh pihak yang dirugikan dimaafkan,
ternyata masih diberi hukuman oleh Allah SWT di akhir nanti entah memang masih
didunia atau diakhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar