l Makalah-Muamalah itu hukum asalnya boleh hingga ada dalil yang mengharamkannya-yadin | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Jumat, 26 Oktober 2018

Makalah-Muamalah itu hukum asalnya boleh hingga ada dalil yang mengharamkannya-yadin

MAKALAH

QOWAID FIQHIYAH

Tentang : الأصل في المعاملة الإباحة حتى يقوم على دليل على تحريمها


Di susun oleh :
Ahyadin
Semester : III (tiga)

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
 mata kuliah qowaid fiqhiyah


Dosen pengampu
Muchlis, M.Pd.I

FAKULTAS SYARI’AH
PRGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2017/2018

KATA PENGANTAR

      Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat qudrah dan iradah-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah, “QOWAID FIQHIYAH” yang bertemakan "Al-Ashlu fi al-Mu’amalati al-Ibahah hatta yaquma al-Dalil ala al-Tahrimiha”. Shalawat dan salam tidak lupa pula kami sanjung sajikan kepangkuan nabi besar Muhammad SAW. yang telah membawa kita ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
          Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah qowaid fiqhiyah. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik beserta sarannya.
        Akhirul kalam kepada Allah SWT jugalah kita berserah diri dengan harapan semoga yang telah kami buat dalam tugas ini dapat bermanfaat serta mendapat ridho dan maghfirah-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin....
                                                                     Bima, 15 oktober 2017

                                                                                  Penulis

KATA PENGANTAR


Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakan fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
   
BAB I
PEMBAHASAN

A.  Dasar kaidah
Salah satu bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah memberikan segala fasilitas di dunia ini untuk dinikmati dan dikelola oleh manusia. Segala yang diciptakan oleh Allah Ta’ala hukum asalnya bisa diambil manfaatnya oleh manusia.
1.     Al-qur’an.
Allah SWT berfirman :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)
Di dalamnya terkandung dalil bahwa hukum asal segala sesuatu yang diciptakan adalah boleh, hingga ada dalil yang memindah hukum asal ini. Tidak ada perbedaan antara hewan dan lainnya dari perkara yang dapat dimanfaatkan tanpa menimbulkan mudharat. Kata “Segala” dalam firman Allah di atas suatu pengukuhan yang lebih kuat.
Berdasarkan ayat tersebut maka para ulama membuat kaidah fikih untuk memudahkan ummat Islam dalam memahami syari’at Islam, yaitu:
الأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ
“Hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh.”
Kaidah ini berkaitan dengan hukum segala sesuatu yang didiamkan yaitu tidak ada dalil yang membolehkannya maupun mengharamkannya. Lafadz (الأشياء) dalam kaidah ini, sekalipun disebutkan secara mutlak akan tetapi maksud sebenarnya adalah di-taqyid dengan segala sesuatu yang tidak membahayakan. Karena sesuatu yang terbukti membahayakan secara nyata maka hukum asalnya bukan dibolehkan sekalipun tidak ada teks dalil tentangnya.
Kaidah yang berlaku secara terus menerus dalam syariat adalah bahwa sesuatu yang didiamkan oleh syara’, tidak membahayakan dari segala sesuatu dan muamalah yang bermanfaat hukumnya tidaklah haram. Hukum ini tidak berubah kecuali dengan dalil.
karena hukum asal segala sesuatu itu dibolehkan. Begitu pula, binatang-binatang, tumbuhan, buah-buahan, makanan, dan lain-lain hukum asalnya adalah boleh. Adapun jika ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya atau tercampuri dengan yang diharamkan seperti riba, usaha yang batil dan hal-hal yang diharamkan lainnya maka hukumnya menjadi haram.
   Firman Allah Ta’ala:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Dia telah menundukkan untuk kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda ayat Allah bagi kaum yang berfikir.”                   (QS. al-Jatsiyah: 13)
Firman Allah Ta’ala:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. al-An’am: 145)
Dalam QS. al-An’am ayat 145 menjelaskan bahwa Allah Ta’ala menyebutkan makanan yang diharamkan sebagai bentuk pengecualian. Berarti yang tidak dikecualikan itu diperbolehkan. Sedangkan QS.al-Jatsiyah ayat 13 seperti QS.al-Baqarah ayat 29 yang menunjukan bahwa segala yang dimuka bumi hukum asalnya untuk manusia.
2.     Al-Hadist.
روى الدارقطني عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا وَحَرَّمَ حُرُمَاتٍ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا
Al-Daruqutni meriwayatkan dalam kitab sunannya dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kalian mengabaikannya, dan telah menetapkan batasan-batasannya janganlah kalian melampauinya, Dia telah mengharamkan segala sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya, Dia mendiamkan sesuatu sebagai kasih sayang terhadap kalian dan bukan karena lupa jangan kalian mencari-cari tentangnya.”  (HR. al-Daruqutni)
روى الترمذي في سننه عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّمْنِ وَالجُبْنِ وَالفِرَاءِ فَقَالَ: الحَلاَلُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Al-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab sunannya dari Salman, beliau berkata: Rasulallah shallallahu alaihi wasallam… beliau bersabda, “Halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan lharam adalah apa yang diharamkan Allah diharamkan Allah dalam kitab-Nya. Dan apa yang Dia diamkan tentangnya adalah perkara yang dimaafkan (untuk kalian). (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya:hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan:hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalamShahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1 )
Kedua hadits ini menunjukan bahwa segala sesuatu yang tidak dijelaskan status hukumnya halal ataukah haram dibolehkan karena Allah memaafkannya dan dibiarkan, ini menunjukan pembolehan yang tidak mengandung dosa mengerjakannya.

B.  Makna kaidah.

                                                          الأصل في المعاملة الإباحة حتى يقوم على دليل على تحريمها
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai kerjasama (mudharabah dan musyarakah) perwakilan, Begitu pula, binatang-binatang, tumbuhan, buah-buahan, makanan, dan lain-lain hukum asalnya adalah boleh. Adapun jika ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya atau tercampuri dengan yang diharamkan seperti riba, usaha yang batil dan hal-hal yang diharamkan lainnya maka hukumnya menjadi haram. dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
Ibnu Taimiyah menggunakan ungkapan ini:
الأصل في المعاملة العفو فلا يحظر منه إلا ما حرم الله
“Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah SWT”

والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم
Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344)
Atau yang serupa dengan itu:
أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل
Sesungguhnya hukum asal dari segala  ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)
  Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan larangan tersebut.
Oleh karena itu, Imam Muhammad  At Tamimi  Rahimahullah  sebagai berikut  menjelaskan  kaidah  itu:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.”(Imam Muhammad At Tamimi,  Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال
Dia –Subhanahu wa Ta’ala– seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)

C.     Aplikasi kaidah
1.      Misalnya, seorang wanita ingin mengendalikan haidnya agar bisa full berpuasa Ramadhan. Lalu dia minum pil tertentu setelah konsultasi dengan dokter yang merekomendasikannya. Terbukti memang tidak ada efek samping apa pun bagi dirinya.  Hal ini, sama sekali tidak ada dalil khusus dan dalil umum yang melarangnya, dan yang dia lakukan bukanlah menghilangkan haid sama sekali, tetapi hanya mengaturnya saat itu saja, sehingga dia pun tidak dikatakan telah mengubah ciptaan Allah Ta’ala. Ditambah lagi, tidak ada dampak buruk apa pun bagi kesehatannya, sehingga tidak pula dikatakan bahwa dia sedang menciptakan dharar (kerusakan) bagi dirinya. Namun, jika terbukti berpotensi membawa dharar bagi dirinya, maka tidak boleh melakukannya, walau tidak ada dalil khusus dan umum yang melarangnya. Sebab, mencegah mudharat lebih diutamakan dibanding meraih maslahat.
2.      Seseorang memakan hewan yang memang sama sekali tidak ada dalil yang menyatakannya haram. Dan, tidak ada juga korelasi apa pun yang menyebabkannya masuk dalam kategori hewan yang diharamkan. Hewan itu pun tidak membahayakan bagi kesehatan, bukan hewan yang dilarang untuk dibunuh, bukan hewan buas bercakar dan bertaring, bukan hewan yang mengganggu dan menakutkan manusia. Maka, hewan tersebut tetap halal dikonsumsi walau hewan tersebut secara penampilan ‘tidak enak’dilihat
Dalam hal ini akan disampaikan beberapa kaidah fikih yang khusus di bidang muamalah, diantara kaidah khusus di bidang muamalah ini adalah:
D.   macam-macam kaidah
1.                                                          الأصل في العقد رضى المتعاقدين ونتيجته ما التزماه بالتعاقد
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipakasa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
الأصل في العقود رضا المتعاقدين
“dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”
2.                                                                            لا يجوز لأحد أن يصرف في ملك غيره بلا إذنه
“tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.
3.                                                                                                           الباكل لا يقبل الإجازة
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernaha terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima salah satu pihak. Contohnya, Bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan lain itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
             
4.                                                                                             الإجازة اللاحقة كالوكالة السابقة
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu”
Seperti telah dikemukakan pada kaidah no.3 bahwa pada dasaranya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah di atas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
5.                                                                                                    الأجر والضمان لا يجتمعان
“pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran (Majalah Ahkam al-Adliyah pasal 416).
Contoh, seseorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membawa sewaannya. (Majalah Ahkam al-adliyah pasal 550)
6.                                                                                                                 الخراج بالضمان
“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli. Contoh lainnya lihat pasal 891 dan 903 Majalah al-Ahkam al-Adliyah.
7.                                                                                                                      الغرم بالغمن
“Risiko itu menyertai manfaat”
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual atau ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang dan risiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan pada pemilik barang. Contoh lainnya dapat dilihat MAA pasal 292 dan 1308.
8.                                                                                               إذا بطل شيئ بطل ما في ضمنه
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.
9.                                                                                       العقد على الأعيان كالعقد على منافعها
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan nnisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekaran, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.

10.                                                            كل ما يصح تأبيده من العقود المعاوضات فلا يصح توقيته
Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinnya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktuya dibatasi, maka bukan jial beli tapi sewa menyewa.
11.                                                                                        الأمر بالتصرف في ملك الغير باطل
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal. Kaidah ini juga bisa masuk dalam fiqh siyasah, apabila dilihat dari sisi kewenangan memerintah dari atasan kepada bawahannya.
12.                                                                                                     لا يتم التبرع إلا بالقبض
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.
13.                                                                                              الجواز السرعي ينافي الضمان
Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau menninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh kedalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur ditempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah. Contoh lainnya dapat dilihat MAA pasal 605 dan 882.
14.                                                                                    لا ينزع شيئ من يد أحد  إلا بحق ثابت
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap”
15.                                                                                               كل قبول جائز أن يكون قبلت
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa dan lain-lainnya, akad untuk menyebut “qabiltu” (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
16.                                                              كل شرط كان من مضلحة العقد أو من مقتضاه فهو جائز
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan”
Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
17.                                                                                         كل ما صح الرهن به صح ضمانه
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan”

18.                                                                                                        ما جاز بيعه جاز رهنه
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”
Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa diserah terimakan
Kaidah no. 17 dan 18 ini sering pula disebut dhabith karena merupakan bab tertentu dari satu bidang hukum. Tetapi ada pula yang menyebutnya kaidah seperti dalam al-Subki. Tampaknya lebih tepat disebut kaidah tafshiliyah atau kaidah yang detail.
19.                                                                                                 كل قرض جر منفعة فهو ربا
“setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba”
Kadi Abd al-Wahab al-Maliki dalam kitabnya, al-Isyraf, mengungkapkannya dengan:
كل قرض جر نفعا فهو حرام                  
“Setiap pinjaman dengan menaarik manfaat (oleh kredior) adalah haram”

DAFTAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020