l Metode pembagian waris dengan ar-radd-AHYADIN RITE | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Jumat, 26 Oktober 2018

Metode pembagian waris dengan ar-radd-AHYADIN RITE

MAKALAH
FIQIH MAWARIS
            Tentang  :  Metode pembagian waris dengan ar-radd

Di susun oleh :
Ahyadin
Semester V (Lima)

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
 mata kuliah fiqih mawaris”

Dosen pengampu
Sri wahyunti, M.E


FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2018/2019


KATA PENGANTAR

          Dengan mengucap alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian tugas Fiqih mawaris pada Program Studi akhwal al-syakhsiyah. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada dosen pembimbing yang telah membantu kami dalam penulisan makalah ini dengan baik.
          Makalah ini kami susun untuk menambah wawasan serta pengetahuan para pembaca tentang “metode pembagian waris dengan ar-radd”. Kami mengharapkan agar makalah ini dapat membantu dalam hal peningkatan kompetensi yang baik bagi para pembaca pada umumnya.
          Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi susunan serta cara penulisan makalah ini, karenanya saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.
          Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan juga bermanfaat bagi penulis khususnya.


Bima, 26 Oktober 2018

    Penyusun


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Radd
          Radd  berasal  dari  kata  “radda”  (رَدﱠ)  “yaruddu”  (َﻳﺮُدﱡ)“raddan”  (رَدﱠَا), yang artinya kembali.[1] Secara etimologi radd artinya “al-‘awd” (اﻟﻌَﻮْدُ) “ar-ruju”  (اﻟﺮُﺟُْﻮعُ) artinya kembali, dan “ash-sharf” (اﻟَﺼﱠﺮْفُ) artinya menghindarkan.[2] Dan radd berarti juga dengan “arrapashu” (اﻟﺮﱠَﻓﺺُ), dan “al-Iadah” (اﻻِﻋَﺎدَةْ) artinya mengembalikan.[3] Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 25.
Artinya : “Dan Allah menghalau (mengembalikan) orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. al-Ahzab, 33:25)
          Menurut Hasanain Muhammad Mahluf., radd secara terminologi adalah: “adanya kelebihan pada kadar bagian ahli waris dan adanya kekurangan pada jumlah sahamnya.”[4]
          Dan menurut Ahmal Kamil al-khuduri., radd adalah: “memberikan harta yang tersisa kepada ashabul furud, sesudah diberikan bagian masing-masing ashabul furud dan tidak bersama dengan ahli waris ashabah, dibagi sesuai dengan nisbat bagian mereka.”[5]
          Menurut Sayid Sabiq., bahwa radd adalah: “pengembalian apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya.”[6]
          Menurut Hasan Ahmad Khotib., Radd adalah: Adanya kekurangan jumlah jumlah saham dari pada asal masalah, dan adanya kelebihan kadar bagian para ahli waris.[7]
          Menurut Fathurrahman., radd adalah: “penambahan pada bagian-bagian ahli waris dan pengurangan saham-sahamnya.”[8]
          Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa radd adalah suatu masalah kasus pewarisan yang jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal masalahnya. Dan dengan sendirinya, terjadi penambahan kadar para ahli waris. Karena pada masalah radd ini, ada penambahan kadar kepada para ahli waris. Masalah Radd ada karena tidak ada ashabah dalam pembagian waris, maka sesudah dibagikan bagian masing- masing ahli waris masih ada sisa, yaitu sisa kecil Hazairin menamakannya dengan Dzawu-Iqarabat.[9]Dan Hasanain Muhammad Makhluf menamakannya dengan al- Naqishah.[10]
          Ar-radd artinya kembali atau berpaling seperti yang terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 64 yaitu :
tA$s% y7Ï9ºsŒ $tB $¨Zä. Æ÷ö7tR 4 #£s?ö$$sù #n?tã $yJÏdÍ$rO#uä $TÁ|Ás% ÇÏÍÈ  
          Artinya : “Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.”
          Menurut istilah ar-radd adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashhabul furudh. Terjadinya masalah radd apabila pembilang lebih kecil daripada penyebut dan merupakan kebalikan dari masalah aul. Aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan pembagian.[11]
B.            Pendapat Para Ulama tentang Radd
          Tidak ada Nash yang khusus yang terdapat dalam kitab ALLAh SWT. Atau dalam Sunnah Rasulullah saw tentang radd. Karena itulah, para sahabat, tabi’in, dan para imam mazhab fiqih, berbeda pendapat tentangnya. Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini pada prinsipnya, ada dua pendapat yaitu radd itu tidak ada dan radd itu ada.[12]
a.    Pendapat Para Sahabat dan Tabiin
a.    Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khottab
          Mereka berpendapat Pengembalian sisa harta diserahkan kepada ashabul furudh, tidak boleh diberikan kepada suami atau istri. Karena suami atau istri bukanlah kerabat nasab.[13] Tidak boleh diserahkan ke baitul mal, karena nasab lebih utama dibandingkan hubungan agama. Dzul al-furudh mengumpulkan dua sebab, yaitu hubungan agama dan hubungan nasab, sementara kaum muslimin (baitul mal) hanya mempunyai satu sebab saja yakni hubungan agama. Maka radd diserahkan kepada ashabul furudh kecuali kepada suami atau istri.
Dalil yang dikemukakan adalah Surah al-Anfaal ayat 75.
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al- Anfal,8:75)
          Ayat ini menjelaskan bahwa suami atau istri tidak termasuk  pengertian umum ayat ini. Suami atau istri dapat mewarisi karena sebab perkawinan, dan ini terputus bila salah seorang dari mereka wafat. Karena itu, bagian warisan untuk suami atau istri hanya apa yang ada dalam nash, dan tidak ada pengembalian untuk mereka karena hal itu tidak ada dasarnya. Hubungan kekerabatan karena nasab akan tetap kekal, walaupun ahli warisnya telah wafat. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk mencegah ash-habul furudh, yang memiliki ikatan kekerabatan dengan simayyit, maka sisa harta sesudah pembagian waris, ash-habul furud lebih berhak mendapatkan warisan daripada orang lain.[14]
1.    Utsman bin Affan
          Apabila ada sisa harta sesudah dibagikan kepada ashabul furudh dan tidak ada ashabah karena nasab dan sebab, Pengembalian sisa harta diserahkan kepada seluruh ash-habul furudh, dengan kadar bagian masing-masing tanpa terkecuali  (radd boleh diberikan kepada siapa saja tanpa ada pengecualian). bahwa radd dapat diberikan kepada seluruh ahli waris dzul al furudh sekalipun kepada suami istri menurut bagian mereka masing-masing.[15]
          Dalil yang dikemukakan adalah bahwa suami atau istri menanggung kekurangan pada bagian mereka ketika aul, maka mereka juga wajib menerima tambahan ketika ada sisa lebih (radd). Alasan lainnya bahwa dalam al-Qur’an telah ditetapkan bahwa suami atau istri adalah ahli waris dan tidak ada yang melarang dalam menambahi sisa waris. Oleh sebab itu tiap-tiap yag ditetapkan oleh Nash menyalahi qiyas maka wajib mendahulukan apa yang ditetapkan oleh nash.[16]
2.    Pendapat Abdullah ibnu Mas’ud.
          Radd tidak boleh diberikan kepada enam ashabul furudh yaitu suami, istri, nenek, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sebapak, dan saudara-saudara seibu. Dalil yang dikemukakan adalah mewarisi sisa setelah ash- habul furudh, dengan jalan pengembalian, sama hukumnya dengan jalan ashabah. Oleh karena itu dahulukanlah yang lebih dekat kemudian yang agak dekat. Tidak tetap radd itu bagi suami adan istri karena salah satu keduanya tidak ada sipat qorabat. Dan tidak tetap mendapatkan radd cucu perempuan dari anak laki-laki bersama anak perempuan sulbi, saudara perempuan sebapak bersama saudara perempuan sekandung, serta saudara seibu bersama ibu dan nenek, karena salah satu dari yang tiga ini ada orang yang lebih dekat dengan si mayyit daripada mereka.[17]
3.    Pendapat Zaid bin Tsabit, Urwah ibnu Zubeir dan Sulaiman ibnu Yasar.
          Tidak ada radd dalam waris mewarisi dan harta yang tersisa setelah bagian ash-habul furud dibagikan, tidak bisa dikembalikan kepada mereka, tetapi harus diserahkan ke baitul mal. Dalil yang dikemukakan adalah bahwa ALLAH SWT telah menjelaskan bagian ash-habul furudh dalam masalah warisan. Oleh karena itu, tidak boleh ditambahkan dengan sisa harta, karena perbuatan itu melampaui batas yang ditentukan ALLAh SWT.[18] Sebagaimana di dalam al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 13-14
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. An-Nisa’ 4:13-14)
          Ayat ini turun sesudah menerangkan bagian ashabul-furudh, artinya membatasi bagian yang telah ditentukan oleh ALLAH SWT. Maka seluruh sisa harta itu diserahkan kepada baitul mal.[19]
4.    Abdullah ibnu Abbas
          Sisa harta diberikan kepada ash-habul furudh selain suami, istri dan juga selain nenek, jika ia bersama ashabul furudh yang memiliki hubungan kekerabatan karena nasab. Jika tidak ada, ia boleh medapatkan pengembalian. Dalil yang dikemukakan adalah Warisan nenek merupakan makanan untuknya. Oleh karena itu nenek tidak boleh mendapatkan bagian lebih dari apa yang telah ditetapkan, kecuali jika tidak ada ashabul furudh, yang memiliki hubungan karena nasab.[20]
b.    Pendapat para Imam Mazhab
1.    Imam Syafi’i dan Imam Maliki
          Menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki Sisa harta yang tersisa setelah bagian ashabul furudh dibagikan (radd), tidak bisa dikembalikan kepada ashabul furud, tetapi harus diserahkan ke baitul mal.[21]Demikian juga tidak boleh diserahkan kepada dzawil arham, baik keadaan kas baitul mal teratur dalam melaksanakan tugasnya maupun tidak. Sebab hak pusaka terhadap kelebihan tersebut adalah ditangan orang-orang muslimin pada umumnya. Orang-orang muslimin pada keadaan bagaimanapun tidak boleh dianggap sepi. Biarpun nashir tersebut tidak melaksanakan amanat orang-orang muslimin, tetapi hal itu tidak dapat menggugurkan hak mereka.[22] Oleh karena itu Kelebihan harta setelah dibagi-bagikan kepada ahli waris dzul al-furudh tidak dapat dimiliki oleh seorang ahli waris karena tidak ada jalan untuk memilikinya dan harus diserahkan ke baitul mal.
Dalil yang dikemukakan bahwa Allah SWT menjelaskan bagian tiap-tiap ahli waris, apabila kita memberikan radd itu kepada ashabul furudh berarati kita sudah memberikan yang bukan haknya. Dalam alqur’an surah an-Nisa’ ayat 13-14.
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. An-Nisa’ 4:13-14)
          Ayat ini menjelaskan bahwa tidak boleh melampaui batas yang telah disyariatkan oleh ALLAH SWT, yang melampaui batas akan mendapatkan sanksi yang keras. Karena bahwasanya ALLAH SWT telah menentukan bagian para dzawil furudh secar qoth’iy besar kecilnya secar pasti, tidak perlu ditambah atau dikurangi. Menambahi fardh mereka berarti membuat ketentuan yang melampaui batas ketentuan syariat. Orang-orang yang melampaui batas ketentuan syariat, oleh tuhan diultimatum akan diabadikan dineraka.
Imam Syafi’i berkata: apa makna radd? Apakah itu merupakan sesuatu yang diperoleh melalui istihsan (anggapan baik) walaupun demikian, apakah kita mensyariatkan sesuatu yang tidak disyariatkan Allah? Kalau boleh, kita bisa saja memberikan warisan kepada tetangga atau nasab yang jauh. Kalau tidak boleh, mengapa ada yang membolehkan radd? [23] Berdasarkan dalil ini Imam Syafi’ dan Imam Maliki berpendapat bahwa radd itu harus diberikan kepada baitul mal, karena baitul mal merupakan ahli waris yang tidak mempunyai ahli waris. Demikian Urwah dan Imam syafii mengemukan hal yang sama dengan Zaid bin Tasbit.[24]
Kondisi dan situasi yang dialami oleh fuqaha syafi’iyyah dikemudian hari berlainan dengan suasana dan situasi yang dialami Imam Syafi’i. Sehingga mendorong pengikut-pengikutnya seperti Imam Ibnu Saraqah, al-Qadhi al-Husain, al-Mutawally, al- Mazani dan Ibnu Suraij, mempatwakan bahwa sisa harta itu  tidak boleh diserahkan kecuali kepada ash-habul furudh secara nasab dan tidak boleh diberikan kepada suami atau istri, sama ada baitul mal terorganisir dengan adil atau tidak terurus. Pendapat Imam Nawawi, Imam al-Mawardi apabila baitul mal terorganisir dengan adil maka tidak boleh diberikan kepada ashabul furud dan jika baitul mal itu tidak terorganisir dengan baik diberikan kepada ashabul furud kecuali suami atau istri.[25]
          Pendapat mazhab Maliki generasi berikutnya bahwa apabila baitul  mal tidak terorganisir dengan adil ketika ada kelebihan sisa harta diberikanlah kepada ashabul furudh sesuai dengan nisbah bagian mereka kecuali kepada suami atau  istri.[26]
2.    Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah
          Mereka berpendapat bahwa sisa harta sesudah dibagikan kepada ashabul furudh (radd) diberikan kepada ashabul furudh senasab, kecuali kepada suami atau istri, baik baitul mal terorganisir secara adil atau tidak, wajib diberikan kepada ash-habul furudh.[27] Penyingkiran suami dan istri dari menerima radd itu ialah karena radd itu adalah hak para ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan simati, sedang sebagaimana diketahui bahwa hak pusaka suami dan istri tersebut bukan karena adanya sebab perhubungan darah, tetapi karena adanya sebab perkawinan.[28] Dalil yang dikemukakan adalah surah al-Anfal ayat 75
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat).” (Q.S. Al-Anfal, 8:75)
          Ayat ini mempunyai makna umum, yaitu setiap orang yang terikat dengan hubungan rahim lebih utama untuk menerima warisan daripada yang lain. Dengan demikian, mereka berhak mengambil sisa dari harta waris. Ayat ini juga tidak bertentangan dengan ayat waris-mewarisi, sebab bagian yang telah ditetapkan sudah diberikan kepada ash-habul furudh. Karena itu mengambil sisa bukanlah menambah bagian yang telah ditetapkan ALLAH, namun karena ada sebab yang lain, seperti orang yang mewarisi karena sebab kekerabatan melalui dua jalur.[29]
Selain berpegang pada firman Allah tersebut, mereka juga mendasarkan pendapatnya pada hadits yang disampaikan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.
Artinya“Bercerita kepada kami Hamidi bercerita kepada kami Supyan bercerita kepada kami Zuhri, berkata ia, bercerita kepada kami Amar bin Sa’ad bin Abi Waqos dari ayahnya berkata ia, Pada saat haji Wada’ Rasulullah saw, mengunjungiku yang sedang sakit keras. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Rasulllah, aku adalah orang yang memiliki harta yang banyak dan tidak ada yang mewarisi hartaku, kecuali anak perempuanku satu- satunya. Jika demikian, bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga (2/3)dari hartaku? Nabi saw menjawab, tidak boleh. Aku bertanya lagi Bagaimana jika aku sedekahkan separuh hartaku, ya Rasulallah? Nabi saw. Menjawab, Juga tidak boleh, Aku kembali bertanya, kalau sepertiga (1/3) mendengar itu, nabi saw. Bersabda ‘kalau sepertiga (1/30 boleh, dan itupun sudah banyak. Sebab, seandainya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan papa, meminta- minta kepada manusia, .…(H.R. Bukhari)[30]
          Bentuk argumentasi dari hadis diatas adalah Rasulallah SAW, tidak melarang sa’ad yang membatasi warisannya hanya untuk anak perempuannya, namun beliau melarangnya berlebihan dalam memberi sedekah, sehingga anaknya menjadi kaya dengan warisan. Jelasnya, anak perempuan Sa’ad tidak mewarisi seluruh harta, kecuali jika ia mengambil bagian tetap yang setengahnya dan sisa menjadi pengembalian.
3.    Syi’ah Zaidiyah dan Imamiyyah
          Mereka berpendapat kelebihan harta diserahkan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan kadar masing-masing. Sedang di kalangan Syi’ah Imamiyah juga terdapat perbedaan tentang memberikan sisa harta kepada suami isteri ketika ahli waris yang lain tidak ada. Pertama, sisa harta diberikan kepada suami tidak kepada isteri. Pandangan ini yang lebih mashur di kalangan mazhab Imamiyah dan yang paling banyak diamalkan. Kedua, sisa harta diserahkan kepada suami atau isteri secara mutlak dan dalam semua keadaan. Ketiga, sisa harta diberikan kepada suami atau isteri manakala tidak ada imam yang adil. Kalau ada imam yang adil maka sisa harta diserahkan kepada suami.[31]
c.    Radd Dalam KHI dan Fiqh Klasik
1.    Radd Dalam KHI
          Dalam masalah radd ini, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyatakan bahwa apabila terjadi kelebihan harta, maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada seluruh ahli waris, tanpa terkecuali kepada suami atau istri.[32] Hal ini sebagaimana termaktub dalam pasal 193 KHI.[33] “Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris dzawil furud menunjukkan pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka”
Sikap tegas yang diambil oleh Kompilasi Hukum Islam yang hanya memberikan satu pilihan yaitu sisa harta yang sesudah dibagikan kepada ashabul furudh (radd) boleh diberikan kepada semua ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam Radd itu diserahkan kepada seluruh ashabul furudh, termasuk kepada suami atau istri.
2.    Radd Dalam Fiqh Klasik
          Masalah radd timbul karena adanya sisa harta sesudah dibagikan kepada dzawil furudh, sedangkan ahli waris yang berhak atas sisa harta (ashabah) tidak ada. Mengenai radd para Ulama berbeda pendapat tentang pengembailannya apakah diserahkan kepada ashabul furudh atau kepada baitul mal (radd itu ada atau tidak ada). Terus para Ulama juga berbeda pendapat tentang pengembalian kepada ashabul furud siapa saja yang mendapatkan radd.
          Mengenai perbedaan ini para Ulama yang mengatakan radd itu ada (diserahkan kepada ashabul furudh) adalah Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Hanifah, Imam ibnu Saraqah, al-Qadhi al-Husain, al-Mutawally, al-Mazani dan Ibnu Suraij.
          Para Ulama yang mengatakan radd itu tidak ada (diserahkan kepada baitul mal) adalah Zaid bin Tzabit, Urwah ibnu Zubeir, Sulaiman ibnu Yasar, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki.
          Para ulama yang mengatakan radd itu ada atau diserahkan kepada ashabul furudh masih berbeda pendapat tentang siapa saja ashabul furudh yang mendapatkan radd, menurut kebanyakan para ulama yang berpendapat radd itu diserahkan kepada ashabul furudh bahwa suami atau istri tidak boleh mendapatkan radd, Alasan pembatasan ini adalah oleh karena yang menjadi alasan adanya radd tersebut adalah hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan hukum dan bukan karena hubungan rahim.
          hanya Usman bin Affan yang membolehkan suami atau istri mendapatkan radd. Alasan yang dikemukakan adalah mereka menerima hak yang sama dalam pengurangan waktu terjadi ‘aul tentu tidak ada alasan untuk membedakannya pada waktu menerima kelebihan hak.[34] Semua sisa harta yang ada dikembailkan kepada ahli waris dzawil furudh yang ada berdasarkan kadar furudh masing-masing. Kalau furudnya 1/3 dari harta maka radd yang diterimanya adalah 1/3 dari sisa harta itu dan begitu seterusnya.[35]
C.            Syarat-syarat terjadinya ar-radd
          Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat sebagai berikut :[36]
1.      Adanya ashhabulfurudh
2.      Tidak adanya ashabah
3.      Ada sisa harta waris
          Adapun Ayah dan Kakek, meskipun keduanya termasuk ahli waris ashhâblal-furûdl dalam beberapa keadaan tertentu, mereka berdua tidak berhak menerima radd, karena menurut beliau apabila dalam pembagian harta warisan terdapat ayah atau kakek, maka tidak mungkin terjadi radd, karena keduanya bagi beliau akan menjadi „ashâbah dan berhak mengambil seluruh sisa harta warisan.
          Sedangkan alasan suami atau istri tidak berhak mendapatkan sisa harta,karena kekerabatan mereka bukan didasarkan pada hubungan nasab, melainkanhubungan sababiyah, yakni semata-mata karena sebab perkawinan yang dapatterputus karena kematian. Sejalan dengan itu Amir Syarifuddin juga membenarkan pendapat Ali Ash Shabuni dengan memberikan alasan bahwa adanya radd tersebut adalah karena adanya hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannyadisebabkan hukum dan bukan karena hubungan rahim.[37]
          Ada dua ulama berpendapat tentang radd yaitu kelompok pertama yang mengatakan tidak ada radd, setelah ashabul furud mengambil bagiannya dan tidak ada ashabah maka sisa harta diberikan kepada Baitul mal.  Kelompok kedua yang mengatakan bahwa harta dikembalikan kepada ashabul furud selain suami istri sesuai dengan presentase bagian-bagian mereka.
Ahli waris yang berhak mendapat ar-radd yaitu semua ashhabulfurudh kecuali suami dan istri. Suami dan istri tidak berhak karena kekerabatan keduanya bukan karena nasab tetapi karena adanya ikatan tali pernikahan. Ashhabulfurudh yang berhak menerima ar-radd hanya delapan orang yaitu anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu. Dalam keadaan bagaimana pun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya ayah atau kakek tidak mungkin ada ar-radd karena keduanya akan menerima waris sebagai ashhabah.[38]
D.           Macam-Macam Ar-Radd
          Ar-radd mempunyai empat macam yang mempunyai cara atau hukum masing-masing yaitu :
1.        Adanya pemilik bagian yang sama, tanpa suami atau istri.
       Dalam kondisi seperti ini, harta peninggalan dapat langsung dibagikan secara merata kepada seluruh ahli waris berdasarkan jumlah mereka. Dengan demikian, pembagian harta peninggalan dapat diselesaikan  dengan cara yang mudah dalam tempo yang singkat.
              Semisal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.
2.        Adanya pemilik bagian yang berbeda, tanpa suami atau istri.
              Dalam kondisi seperti ini, harta dibagi berdasarkan jumlah bagian para ahli waris, bukan didasarkan pada jumlah mereka. Semisal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan (1/2) dan seorang cucu perempuan dari anak laki-laki (1/6). Maka pokok masalahnya adalah empat (4) berdasarkan jumlah bagian kedua ahli waris tersebut. Asal masalah yang semulanya 6 diubah atau diganti dengan hasil penjumlahan yaitu 4.
3.        Adanya pemilik bagian yang sama, dengan adanya suami atau istri.
              Dalam keadaan seperti itu, sesuai kaidah, maka pokok masalahnya ialah angka penyebut dari bagian orang yang tidak menerima radd. Sesudah dibagikan kepada orang tersebut, sisanya baru dibagikan kepada ahli waris lain sesuai dengan jumlah mereka.
              Semisal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Makasuami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (3/4) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata. Didalam permasalahan seperti ini asal masalah diambil dari yang tidak menerima radd yaitu suami atau istri sedangkan yang lain dianggap ashabah (sisa). Kemudian jumlah penerimaradd dikali dengan asal masalah.
4.        Adanya pemilik bagian yang berbeda, dengan adanya suami atau istri.
              Kaidah pemecahannya dari masalah ini adalah dengan menetapkan menjadi dua masalah. Masalah pertama dalam susunan ahli warisnya tanpa ada suami/istri, sedangkan masalah kedua dalam susunan ahli warisnya ada suami/istri. Masing-masing diletakkan tersendiri, kemudian kedua asal masalah dibandingkan dengan salah satu dari tiga perbandingan yaitu tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).
              Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
          Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari tiga (yakni dari jumlah bagian yang ada). Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.
Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:
          Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri. Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian. Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
          Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
          Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih (pengalian), dan cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.
E.            Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd
          Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang, yakni:
1.    Anak perempuan
2.    Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
3.    Saudara perempuan sekandung
4.    Saudara perempuan seayah
5.    Ibu kandung
6.    Nenek sahih (ibu dari bapak)
7.    Saudara perempuan seibu
8.    Saudara laki-laki seibu
          Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya, maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ashabah.
F.             Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd
          Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
G.           Metode pembagian waris dengan radd
          contoh penyelesaian radd. Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari : anak perempuan dan ibu. Harta warisannya Rp. 12.000.000,- Bagian masing-masing :
1)   Jika tidak ditempuh dengan cara radd :
AW
Bag
AM
HW
Penerimaan
6
Rp. 12.000.000,-
Anak Pr    1/2.
3
3 /6 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 6.000.000,-
Ibu.          1/6.
1 /6 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 2.000.000,-
1
Jumlah
Rp. 8.000.000,-
Terdapat  sisa harta sebesar Rp. 4.000.000,-
2)   Jika ditempuh dengan cara radd
AW
Bag
AM
HW
Penerimaan
6 menjadi 4
Rp. 12.000.000,-
Anak Pr    1/2.
3
3 /4 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 9.000.000,-
Ibu.          1/6.
1
1 /4 x Rp. 12.000.000,-
Rp. 3.000.000,-
4
Jumlah
Rp. 12.000.000,-

H.           Persamaan dan Perbedaan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Aul dan Radd
          Memperhatikan dari kedua pendapat diatas, adapun persamaan mengenai aul yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan radd yaitu  tentang ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadi pada delapan ahli waris ash-hâb al-furûdl, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu.
          Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam masalah radd ada perbedaan yaitu dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.
1.    Hukum Keadaan Pertama
          Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari ashhabul furudh dengan bagian yang sama, misalnya, semuanya hanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya, dimana dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris (total orangnya).
Contoh 1
Seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/3 bagian. Pembaginya adalah tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka yang sesuai fardh adalah 2/3 dibagi secara rata, dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris yang mendapatkan bagian yang sama.
Contoh 2
Seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara perempuan sekandung, maka masing-masing dari mereka mendapat 1/10 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh, yakni 2/3 dibagi secara rata. Maka pembaginya adalah 10, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya adalah 10.
Contoh 3
Seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka masing-masing dari mereka mendapat 1/2 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh, yakni nenek 1/6 dan saudara perempuan seibu 1/6. Maka pembaginya adalah dua, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya hanya dua.
2.             Hukum Keadaan Kedua
          Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ashhabul furudh yang beragam, dimana di sana tidak ada salah satu dari suami atau istri, maka nilai pembagi diambil dari nilai pembilangnya, bukan dihitung dari jumlah ahli waris (per kepala).
Contoh 1
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu 1/6, untuk kedua saudara laki-laki seibu 1/3. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:
Perhatikan nilai 3/6 diatas, ia kurang dari satu. Maka pembagi diturunkan dari 6 menjadi 3. Maka bagian ibu adalah 1/3 dan dua orang saudara laki-laki seibu 2/3.
Contoh 2
Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya, bagi seorang anak perempuan 1/2, untuk seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6. Perhatikan perhitungannya dibawah ini.
Maka pembaginya dari 4, karena jumlah pembilangnya adalah 4. Dengan demikian bagian seorang anak perempuan adalah 3/4 dan seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/4.
3.                                                          Hukum keadaan Ketiga
          Apabila para ahli waris semuanya dari ashhabul furudh yang mempunyai bagian yang sama, disertai salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pembaginya ashhabul furudh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Contoh 1
Seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
-         Suami: 2/8
-         Anak perempuan masing-masing mendapatkan: 3/8
Contoh 2
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada dua orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara perempuan seibu secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini tidak memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
-         Istri: 1/4
-         Saudara seibu masing-masing mendapatkan: 1/3
Contoh 3
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Maka istri mendapatkan 1/8 bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya 7/8 merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
1.    Istri: 5/40
2.    Anak perempuan masing-masing mendapatkan: 7/40

4. Hukum keadaan Keempat
          Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang bagiannya berbeda-beda, dan di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah suami atau istri, kemudian sisanya diberikan kepada ashhabul furudh lainnya menurut bagiannya masing-masing.
Contoh 1
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada nenek dan dua orang saudara perempuan seibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:
Nenek + Saudara Perempuan Seibu:
Pembagi diatas di radd kan dari 6 menjadi 3, sehingga bagian nenek adalah 1/3 dan dua orang saudara perempuan seibu 2/3. Pembagian akhir:
-         Nenek = 1/3 x 3/4 = 3/12. Nilai 3/4 ini diambil dari sisa bagian setelah diberikan kepada istri.
-         Dua orang saudara perempuan seibu = 2/3 x 3/4 = 6/12, sehingga masing-masing saudara perempuan seibu mendapatkan 3/12.
-         Istri = 1/4 x 3/3 = 3/12. Nilai 3/3 ini diambil dari pembagi yang baru yang telah di radd kan.
Contoh 2
Seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu. Bagian istri adalah 1/8, dan sisanya 7/8 diberikan kepada dua orang anak perempuan dan ibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:
Anak Perempuan + Ibu:
Pembagi diatas di radd kan dari 6 menjadi 4, sehingga bagian dua orang anak perempuan adalah 3/4 dan ibu 1/4. Bagian 2 orang anak perempuan adalah 3/4, karena itu harus ditashih, sehingga bagiannya menjadi 3/4 x 2/2 = 6/8. Dengan demikian bagian ibu pun menjadi 1/4 x 2/2 = 2/8. Bagian istri menjadi 1/8 x 2/2 = 2/16. Pembagian akhir:
1.    Dua orang anak perempuan = 6/8 x 7/8 = 42/64, sehingga masing-masing anak perempuan mendapatkan 21/64.
2.    Ibu = 2/8 x 7/8 = 14/64.
3.    Istri = 2/16 x 4/4 = 8/64.[39]


BAB III
PENUTUP

A.                          Kesimpulan
Dari     seluruh pembahasan     yang    dikemukakan   di         atas,     penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan.
1.         Perbedaan antara Fiqh Klasik dengan Kompilasi Hukum Islam tentang konsep radd adalah: Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik sisa harta sesudah dibagikan kepada ahli waris (radd) wajib diberikan kepada baitul mal. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Hanifah, pengikut mazhab syafi’i dan Maliki, seperti Imam Ibnu suraqah, al-Qadhi al-Husain, al-Mazani, Ibnu Suraij, Imam al-Mawardi dan Imam an-Nawawi, berpendapat bahwa: radd itu diberikan kepada ahli waris ash-habu al-Furud kecuali kepada suami atau istri Alasan pengecualian ini dikarenakan keduanya bukanlah ahli waris nasabiyyah, Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam radd itu diberikan kepada semua ahli waris termasuk kepada suami atau istri. Adapun persamannya adalah: persamaan pendapat antara KHI dengan Utsman bin Affan tentang pemberian radd keseluruh ashabu al-Furudh termasuk kepada suami atau istri.
2.         Pemberian radd kepada suami atau istri dalam Kompilasi Hukum Islam dengan pertimbangan ketentuan nilai-nilai hukum adat, maslah al-Mursalah, pertimbangan maqosidu al-Syariah yang sesuai dengan pertimbangan sosio-kultur masyarakat, dan mengikuti pendapat Utsman bin Affan. Penetapan ini sebagai misi unifikasi hukum, untuk membentuk kepastian hukum di Indonesia.
3.         Penerimaan radd bagi seluruh ashabu al-Furudh menurut Kompilasi Hukum Islam sesuai dengan proporsi bagian yang diterimanya. Sedangkan menurut Fiqh Klasik sesuai dengan pendapat para Ulama bahwa sesuai dengan proporsi masing-masing.
4.         Perkembangan sosio-kultur masyarakat Indonesia sekarang ini, suami atau istri sangan rentan terhadap ahli waris yang lain, ketika salah satu dari keduanya meninggal. Karena pada hakikatnya, harta waris hasil dari usaha berdua, maka ketika ada pembagian waris, suami atau istri kadang tidak diperdulikan oleh ahli waris yang lain. Sebaiknya pemberian radd diberikan seluruhnya kepada suami atau istri, dengan pertimbangan maslahah al- Mursalah dan maqosidu al-Syariah, karena radd bukanlah hukum qoth’i, artinya radd bisa berubah sesuai dengan perubahan masa, keadaan, adat dan niyat selama hukum itu tidak qoth’i.
B.  Saran
          Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
  

DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. ( Jakarta: CV.Akademika Pressindo, 2004), hlm. 160
Ash-Shabani, Muhammmad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam.Jakarta : Gema Insani Press
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjutak. 1995. Hukum Waris Islam.Jakarta : Sinar Grafika
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, cet IV (Jakarta : Raja Grafindo persada, 2001)
santri21. 2015  .makalah fiqh mawaris tentang ‘aul, radd dan wasiat wajibah (SANTRI21http://fatchurahmanali.blogspot.com/2016/05/makalah-fiqh-mawaris-tentang-aul-radd.html







[1]  Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus arab-Indonesia (Surabaya: Pusat Progressif, 1997) Cet ke-14, hal, 486. Lihat juga . Abul Yazid Muhammad Abul Azmi, Maqosidu al- Miraz Fi Douni Nususi al-Syariati Waqonuni al-Mawaris, (Mesir, Hukmu Attabi’i Mahfuzatul Lilmuallif, 1999) hal.84.
[2] Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-Islami (Mesir: Arrisalah Al-Dauliyyah, 2000) Terjemah H. Addys Aldizar dan Fathurrahman. Penulis (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004) hal. 321.
[3] Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawaris al-Islamiyyah (Ttp, Lajnat Atta’rif al- Islamiyyah,1966) hal. 54.
[4]  Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawaris Fi al-Syariatil al-Islamiyyah, (Kairo: Lajnah al-Bayyan al-Araby, 1958) hal. 138.
[5]  Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawaris al-Islamiyyah hal. 55.
[6]  Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Ttp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.), jilid  III, h. 306
[7]  Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqhul al-Muqaron, (Kairo: Darut at-Taklif. 1957) hal. 336.
[8]  Fathurrahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Maarif, 1975) Cet Ke-4, hal. 423
[9]  Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Tritamas, 1964) Cet ke-3. hal.45.
[10]  Suparman  Usman  dan  Yusuf   Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002) Cet ke-2. Hal. 119.
[11]  Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), hlm. 160
[12] Fathurrahman, Ilmu Waris, hal. 423.
[13]Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah Ala al-Mazahibul Arbaah, (Berut: Maktabah al-Azriyah, 1996) hal 172
[14] Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-Islam, hal. 322
[15]   Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), juz 7, h. 46. Lihat juga Hasan Yusuf Ghazali, al-Miras ala al-Mazahibul Arba’ah dirasatan watatbikhan, (Ttp: Daar al- Fikr, 2003) hal. 113.
[16] Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah Ala al-Mazahibul Arbaah, hal. 172.
[17] Ibid, hal.173.
[18] Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-Islami, hal. 322.
[19] Ibid, hal. 323
[20] Ibid, hal. 327.
[21] Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fissyariatil Islamiyyah Ala Mazahibul Arbaah, hal. 174.
[22] Muhammad Syarbini al-Khotib, Mughnil Muhtaj (Mesir: Musthapa al-Baby al-Halaby, 1958) Juz III, hal. 6.

[23] Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-Islami, hal. 323,
[24] Muhamad Ibn Idris al-Syafii, Al-Umm, (Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyah,1993), juz 4, h.
100. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al Maqtashid, (Ttp.: Maktabah al Kulliyah al azhariyah, 1969), juz II, h. 380.
[25] Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqh al-Muqaran (Mesir:Darul Ta’rif, 1957) hal 337.
[26] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989) hal.358.
[27] Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqh al-Muqaran, hal. 339.
[28] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta : Gunung Agung, 1984), h. 103.
[29] 31 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-Islami, hal. 324.
[30] 32 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matnul al-Bukhari Bi-Hasiyyatis al- Sindi, (Berut: Daar ibn al-Hizam, tth) Jilid ke-4, hal. 165.
[31] Muhamad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, terj. Afif Muhamad,(Jakarta : Basri Press, 1994), hlm. 357.
[32] Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal.198.
[33] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007) hal 160.

[34] Ibid, hal. 108
[35] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004) hal. 107.
[36]  Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm. 216
[37] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020