l Batalnya perkawinan atau “fasakh” serta larangan perkawinan | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Jumat, 15 November 2019

Batalnya perkawinan atau “fasakh” serta larangan perkawinan

MAKALAH

HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

Tentang : Batalnya perkawinan atau “fasakh” serta larangan perkawinan

 
Di susun oleh :
Ahyadin
Semester : III (tiga)

Dosen pengampu:Syarif hidayatullaah M.HI


  
FAKULTAS SYARI’AH
PRGRAM STUDIAKHWAL SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH BIMA
TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr..wb..
         Dengan menyebut nama allah yang maha pengasih dan penyayang yang telah melimpahkan nikmat  dan hidyahnya  Kepada kami,sehingga kamidapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul hart amwal pada mata kuliah fiqih muaamlah
        Kami sangat menyadari akan banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah kami, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demin kesempurnanan makalah kami kedepannya.
        Semoga makalah ini bermanfaat,salah dan khilaf mohon di maafkan karena kesempurnaan hanya milik Allah semata.
Wassalamualaikum wr..wb....


                                                                            Bima,09 Oktober 2017

                                                                                           Penulis






BAB I
PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang menyatukan antara dua insan dalam ikatan yang suci yang diridloi oleh Illahi Rabbi. Perkawinan juga sering diungkapkan sebagai suatu hal yang sakral karena dengan perkawinan ditujukan untuk membentuk suatu keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun pada masa sekarang ini sering kali kita temukan perkara perceraian. Dalam hal ini, pernikahan itu seakan-akan menjadi sesuatu media atau lahan yang hanya untuk bersenang-senang atau bermain-main saja.

Rumusan Masalah

1. Pengertian pembatalan perkawinan
2. Dasar hukum pembatalan perkawinan serta larangan perkawinan
3. Faktor penyebab batalnya perkawinan serta larangan perkawinan
4. Yang berhak membatalkan perkawinan.

Tujuan

       Sebagai suatu pembahasan yang sangat penting, makalah ini bertujuan agar orang yang membaca dapat mengetahui tentang hal-hal yang membatalkan perkawinan serta larangan perkawinan. Makalah ini juga dapat menambah pengetahuan kita dalam pembelajaran ilmu mengenai pernikahan





BAB II
BATALNYA SERTA LARANGAN PERKAWINAN
A.   Pengertian pembatalan perkawinan
Menurut (R. Soetojo Pramirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1974) sebenarnya  istilah “batalnya  perkawinan” itu  tidaklah  tepat. Akan lebih tepatnya kalau dikatakan “dibatalkannya perkawinan”, sebab  bilamana   perkawinan  itu  tidak  memenuhi  syarat-syaratnya maka  barulah perkawinan itu  dibatalkan sesudah diajukan ke muka hakim.  Kalau demikian  istilahnya bukan  nieteg  (batal), melainkan  vernietigbaar  (dapat dibatalkan).

Sedangkan menurut  UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 22 dikatakan bahwa “Perkawinan itu dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan‟. Pembatalan perkawinan adalah putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah perkawinan itu tidak pernah dianggap. Pembatalan itu sendiri berasal dari kata „batal yang artinya menganggap tidak sah, tidak pernah ada. Jadi pembatalan perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau tidak pernah di anggap ada.

sedangkan yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan sebagaimana disebut dalam Pasal 23 sebagai berikut:
     (1).    Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.  (2).    Suami atau istri.  (3).    Pejabat  yang berwenang  hanya selama  perkawinan  belum  di  putuskan. (4).   Pejabat  yang  ditunjuk   tersebut   ayat (2)  pasal  16 Undang-Undang  ini  dan  Setiap  orang  yang  mempunyai   kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi  hanya setelah perkawinan itu putus.
 
      Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan itu dilangsungkan atau di tempat tinggal suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25 UU No. 1 tahun 1974). Jadi instansi pemerintah atau lembaga lain di luar pengadilan atau siapapun juga tidak berwenang untuk menyatakan  batalnya suatu perkawinan. Pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan agama bagi mereka yang beragama islam dan pengadilan umum bagi lainnya (Pasal 63 UU No. 1 tahun 1974). Pada umumnya lembaga pembatalan perkawinan ini hanya melembaga bagi mereka para penganut agama perkawinannya berasas monogami tertutup.

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan Pasal 28 ayat  (1). Dalam peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mengatur lebih lanjut mengenai beberapa masalah penting yang berkaitan erat dengan pembatalan perkawinan. Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 37 yang di dalam  penjelasannya diuraikan dengan mengingat bahwa suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi  lain di luar pengadilan.

Pembatalan  perkawinan  ini  terjadi  karena  tidak  berfungsinya pengawasan   baik dari pihak   keluarga   atau   pejabat   berwenang sehingga  perkawinan  itu terlanjur terlaksana  kendati setelah itu ditemukan   pelanggaran    terhadap    Undang - undang   Nomor 1 Tahun 1974 atau hukum munakahat.

  Sebelum membahas mengenai pengertian pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, kita perlu tahu apa itu Kompilasi Hukum Islam (KHI).  Ketika menyusun Kompilasi Hukum Islam, para penyusunnya tidak secara tegas memberikan pengertian dari Kompilasi Hukum Islam tersebut. Akan tetapi, setelah mempelajari rencana dan proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam dimaksud, H. Abdurrahman SH (pakar ilmu hukum Indonesia kontemporer) menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama fiqh yang bisa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.

   Himpunan  tersebut  inilah  yang  dinamakan  kompilasi (Harun, 2001:968) Jadi,   Kompilasi  Hukum  Islam  (KHI)  adalah  sekumpulan  materi  hukum  Islam  yang  ditulis  pasal  demi  pasal, berjumlah   229  pasal,  terdiri  atas  tiga  kelompok  materi  hukum, yaitu  Hukum  Perkawinan  (170 pasal),  Hukum  Kewarisan   termasuk wasiat  dan  hibah  (44 pasal)  dan  Hukum  Perwakafan  (14 pasal), ditambah  satu  pasal  ketentuan  penutup  yang  berlaku  untuk   ketiga kelompok  hukum  tersebut.  KHI  disusun  melalui   jalan   yang sangat panjang   dan  melelahkan  karena   pengaruh   perubahan   sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa



Menurut  Kompilasi   Hukum Islam, istilah   yang   digunakan “batal” atau   “dapat dibatalkan”   atau dengan kata lain pembatalan perkawinan itu bisa   “batal demi hukum”   atau   “dapat dibatalkan”.   Suatu   perkawinan batal  demi hukum diatur dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam, sedangkan suatu perkawinan dapat dibatalkan diatur dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi  hukum   Islam   sebagai  sebuah kitab hukum yang dijadikan   pegangan hakim di   Pengadilan Agama,   juga   membahas permasalahan   pembatalan   perkawinan   ini. Hal ini   terlihat   dalam bab XI   tentang   batalnya   perkawinan Pasal 70-76   yang   dirumuskan  secara lengkap dan terinci. Permohonan   pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan.

Adapun mengenai pihak mana yang mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

(a).  Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri. (b).  Suami atau isteri. (c).  Pejabat yang berwenang mengenai pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.

  Batalnya perkawinan dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari‟atkan dalam syari‟at islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari alasan tersebut pembatalan perkawinan tidak dapat disamakan dengan perceraian karena alasan yang  digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan pembatalan perkawinan. Begitu pula para pihak yang berhak menggunakan atau mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja.

Permohonan pembatalan perkawinan menurut Pasal 74 Kompilasi Hukum Islam dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat suami atau isteri atau tempat perceraian dilangsungkan. Disebutkan juga pada pasal ini, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan agama mempunyai kedudukan hukum yang  tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.


    B.   Larangan Perkawinan
    1 . Larangan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

   Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 larangan perkawinan
diatur dalam Pasal 8 sampai 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :
Pasal 9 UU No.1 tahun 1974
a.     Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
1)  berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun keatas.
2)  Brhubungn darah dalam gri keturunan menyamping yaitu,antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3)  Berhungan semenda yaitu, merua, anak tiri, menantu, dan ibu, atau bapak tiri.
4)  berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan dan bibi atau paman susuan.
5) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
6)  Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
     Larangan oleh karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih terikat dengan tali perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).
     Larangannya bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara mutlak kepada pihak perempuan  saja yaitu seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang sedang terikat dengan perkawinan atau seoramg laki-laki yang beristeri tidak mutlak dilarang untuk melakukan perkawinan dengan isteri kedua.

     b. Pasal 9 UU No.1 tahun 1974
            Seorang yang masih terkait tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini .

c. Pasal 10 UU No.1 tahun 1974
    apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masinug agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
 Menurut Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua)  kali. Perkawinan yang mempunyai maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan. Pasal 10 bermaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri saling menghargai satu sama lain.
d. Pasal 11 UU No.1 tahun 1974
   (1) bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
   (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan di atur dalam peraturan pemerinutahan lebih lanjut.
     Larangan kawin bagi seorang wanita selama masa tunggu (Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974).
Larangan dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang dengan sendirinya apabila masa tunggu telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan masa lamanya waktu tunggu. Sesuai dengan pasal 8 masa lamanya waktu tunggu selama 300 hari, kecuali jika tidak hamil maka Larangan perkawinan dalam hukum perkawinan islam ada dua macam yaitu larangan selama-lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan laramgan sementara pasal 40 sampai pasal 44 KHI. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut.
a.   Larangan perkwinan selama –lamanya.
    Larangan perkawinan bagi seorang pria dangan seorang wanita selama-lamanya atau wanita-wanita yang haram untuk dinikahi oleh seoramg pria selama-lamanya ,mempunyai beberapa sebab. Pasal 39 KHI mengungkapkn “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan.
1.         Karena pertalian nasab:
a.       Dengan sorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunnnya.
b.       Dengan  seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
c.        Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

2.   Karena pertalian  kerabat semenda
a.   Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
b.  Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya .
c.   Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla al dukhul.
d.  Dengan seorang bekas istri keturunannya.

3.       Karena pertlian sesusuan
a.   Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas
b.  Dengan wanita yang sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah.
c.   Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan susuan ke bawah
d.  Dengan seorang wanita bibi sesusuan dn  nenek-bibi sesusuan keatas
e.   Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

b.    Larangan perkawinan dalam waktu tertentu

  Larangan perkwinan dalam waktu tertentu bgi seorang pria dengan seorang wanita diungkapkan secara rinci dalam pasal 40 sampai 41 KHI hal ini diuraikan sebagai berikut.

Pasal 40 KHI
  dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denga seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkwinan denga pria lain.
b. Seoang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beraga islam.
Pasal 41 KHI
1.  Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya.
a. Saudara kandung seayah atau seibu atau keturunannya.
b.Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2.Laranga tersebut pada ayat 1 tetap berlaku meskipum istri-istrinya telah di talak raj’i tetapi masi dalam masa iddah.
      Pasal 42 KHI
  Seorang pria dilrang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4(empat) orang istri yang keempa-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalm masa iddah talak raj’i
       Pasal 43 KHI
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria.
a. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.
b.Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis mas iddahnya.
      Pasal 44 KHI
 Seorang wanita islam dilarang melangsungkan  perkawinan dengan seoarang pria yang tidak beragama islam
 selain larangan perkawinan dalam waktu tertentu yang diesebabkan dalam KHI dimaksud, perlu juga diungkapkan mengenai larna perkawinaan yang tertuang dalam pasal 8, 9, dan 10 undang undang Nomor 1 ahun 1974 hal ini diungkapkan sebagai berikut

BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan) apabila perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan kepengadilan. Didalam pasal 85 KUHPer berlaku asas pokok, bahwa tiada suatu perkawinan menjadi batal karena hukum. Pernyataan batal suatu perkawinan yang bertentangan dengan undang-undang disyaratkan adanya keputusan pengadilan, keputusan yang demikian hanya boleh dijatuhkan dalam hal-hal yang diatur oleh undang-undang dan atas gugatan orang-orang yang dinyatakan berwenang untuk itu.
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan perkawinan, karena adanya syarat-syarat yang tidak dipenuh menurut pasal 22 Undang-undang pekawinan, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa perkawian dapat dibatalkan apabila para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syart perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan baik berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 atau berdasarkan KHI, yang terdapat dalam pasal 22,24,26, dan 27 UU No.1/1974 dan pasal 70 dan 71 KHI.

Saran

Mempelajari Fiqih Munakahat sangatlah penting, terutama bagi pelajar-pelajar agama Islam dan pemimpin-pemimpin Islam. Dengan mempelajari studi Fiqih Munakahat kita dapat mengetahui berbagai hal yang menyangkut tentang pernikahan. Sebagai umat Islam hendaknya kita mengetahui hukum-hukum yang terkandung didalam agama kita yaitu Islam.
Kami berharap kepada pembaca untuk mengkritik dan memberi saran pada makalah kami ini karena dengan kritik dan saran dari pembaca akan membangun kami dan juga tanggapan serta tambahan yang bisa membuat materi kita dan pembahasan menjadi lebih sempurna dan bisa kita gali kedalam wawasan yang baru dan maju tentunya.


Daftar pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020