MAKALAH
HUKUM
PERKAWINAN DI INDONESIA
Tentang : Batalnya perkawinan atau “fasakh” serta larangan
perkawinan
Di susun oleh :
Ahyadin
Semester : III
(tiga)
Dosen pengampu:Syarif hidayatullaah M.HI
FAKULTAS SYARI’AH
PRGRAM STUDIAKHWAL SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH BIMA
TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
wr..wb..
Dengan menyebut nama
allah yang maha pengasih dan penyayang yang telah melimpahkan nikmat dan hidyahnya
Kepada kami,sehingga kamidapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
hart amwal pada mata kuliah fiqih muaamlah
Kami sangat menyadari
akan banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah kami, sehingga kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan demin kesempurnanan makalah kami
kedepannya.
Semoga makalah ini
bermanfaat,salah dan khilaf mohon di maafkan karena kesempurnaan hanya milik
Allah semata.
Wassalamualaikum wr..wb....
Bima,09
Oktober 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan
suatu ikatan yang menyatukan antara dua insan dalam ikatan yang suci yang
diridloi oleh Illahi Rabbi. Perkawinan juga sering diungkapkan sebagai suatu
hal yang sakral karena dengan perkawinan ditujukan untuk membentuk suatu
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun pada masa sekarang ini sering
kali kita temukan perkara perceraian. Dalam hal ini, pernikahan itu seakan-akan
menjadi sesuatu media atau lahan yang hanya untuk bersenang-senang atau
bermain-main saja.
Rumusan Masalah
1. Pengertian pembatalan perkawinan
2. Dasar hukum pembatalan perkawinan serta larangan perkawinan
3. Faktor penyebab batalnya perkawinan serta
larangan perkawinan
4. Yang berhak membatalkan perkawinan.
Tujuan
Sebagai suatu pembahasan yang sangat
penting, makalah ini bertujuan agar orang yang membaca dapat mengetahui tentang
hal-hal yang membatalkan perkawinan serta larangan perkawinan. Makalah
ini juga dapat menambah pengetahuan kita dalam pembelajaran ilmu mengenai
pernikahan
BAB II
BATALNYA SERTA LARANGAN PERKAWINAN
BATALNYA SERTA LARANGAN PERKAWINAN
A.
Pengertian pembatalan perkawinan
Menurut (R. Soetojo Pramirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1974)
sebenarnya istilah “batalnya perkawinan” itu tidaklah tepat. Akan lebih tepatnya kalau dikatakan “dibatalkannya
perkawinan”, sebab bilamana perkawinan itu tidak
memenuhi syarat-syaratnya maka barulah perkawinan itu dibatalkan sesudah diajukan ke muka hakim.
Kalau demikian istilahnya bukan
nieteg (batal), melainkan vernietigbaar (dapat
dibatalkan).
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 22 dikatakan bahwa “Perkawinan itu dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan‟. Pembatalan perkawinan adalah putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah perkawinan itu tidak pernah dianggap. Pembatalan itu sendiri berasal dari kata „batal yang artinya menganggap tidak sah, tidak pernah ada. Jadi pembatalan perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau tidak pernah di anggap ada.
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 22 dikatakan bahwa “Perkawinan itu dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan‟. Pembatalan perkawinan adalah putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah perkawinan itu tidak pernah dianggap. Pembatalan itu sendiri berasal dari kata „batal yang artinya menganggap tidak sah, tidak pernah ada. Jadi pembatalan perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau tidak pernah di anggap ada.
sedangkan yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan sebagaimana
disebut dalam Pasal 23 sebagai berikut:
(1).
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri. (2). Suami atau
istri. (3).
Pejabat yang berwenang hanya selama
perkawinan belum di
putuskan. (4). Pejabat yang ditunjuk
tersebut ayat (2) pasal
16 Undang-Undang ini dan Setiap
orang yang
mempunyai kepentingan hukum
secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan
kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan itu dilangsungkan atau
di tempat tinggal suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25 UU No. 1 tahun
1974). Jadi instansi pemerintah atau lembaga lain di luar pengadilan atau
siapapun juga tidak berwenang untuk menyatakan batalnya suatu perkawinan.
Pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan agama bagi mereka yang beragama
islam dan pengadilan umum bagi lainnya (Pasal 63 UU No. 1 tahun 1974). Pada
umumnya lembaga pembatalan perkawinan ini hanya melembaga bagi mereka para
penganut agama perkawinannya berasas monogami tertutup.
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan Pasal 28 ayat (1). Dalam peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mengatur lebih lanjut mengenai beberapa masalah penting yang berkaitan erat dengan pembatalan perkawinan. Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 37 yang di dalam penjelasannya diuraikan dengan mengingat bahwa suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar pengadilan.
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan Pasal 28 ayat (1). Dalam peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mengatur lebih lanjut mengenai beberapa masalah penting yang berkaitan erat dengan pembatalan perkawinan. Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 37 yang di dalam penjelasannya diuraikan dengan mengingat bahwa suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar pengadilan.
Pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 atau hukum munakahat.
Sebelum membahas mengenai pengertian pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, kita perlu tahu apa itu Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketika menyusun Kompilasi Hukum Islam, para penyusunnya tidak secara tegas memberikan pengertian dari Kompilasi Hukum Islam tersebut. Akan tetapi, setelah mempelajari rencana dan proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam dimaksud, H. Abdurrahman SH (pakar ilmu hukum Indonesia kontemporer) menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama fiqh yang bisa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.
Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi (Harun, 2001:968) Jadi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa
Menurut Kompilasi Hukum Islam, istilah yang digunakan “batal” atau “dapat dibatalkan” atau dengan kata lain pembatalan perkawinan itu bisa “batal demi hukum” atau “dapat dibatalkan”. Suatu perkawinan batal demi hukum diatur dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam, sedangkan suatu perkawinan dapat dibatalkan diatur dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi hukum Islam sebagai sebuah kitab hukum yang dijadikan pegangan hakim di Pengadilan Agama, juga membahas permasalahan pembatalan perkawinan ini. Hal ini terlihat dalam bab XI tentang batalnya perkawinan Pasal 70-76 yang dirumuskan secara lengkap dan terinci. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan.
Adapun mengenai pihak mana yang mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
(a). Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri. (b). Suami atau isteri. (c). Pejabat yang berwenang mengenai pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.
Batalnya perkawinan dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari‟atkan dalam syari‟at islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari alasan tersebut pembatalan perkawinan tidak dapat disamakan dengan perceraian karena alasan yang digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan pembatalan perkawinan. Begitu pula para pihak yang berhak menggunakan atau mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja.
Permohonan pembatalan perkawinan menurut Pasal 74 Kompilasi Hukum Islam dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat suami atau isteri atau tempat perceraian dilangsungkan. Disebutkan juga pada pasal ini, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan agama mempunyai kedudukan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
B. Larangan Perkawinan
1 . Larangan Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 larangan perkawinan
diatur dalam Pasal 8 sampai 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu :
Pasal 9 UU No.1 tahun 1974
a.
Perkawinan dilarang antara dua orang
yang :
1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke bawah atau pun keatas.
2) Brhubungn darah dalam gri keturunan menyamping
yaitu,antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
3) Berhungan semenda yaitu, merua, anak tiri,
menantu, dan ibu, atau bapak tiri.
4) berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan,
saudara susuan, anak susuan dan bibi atau paman susuan.
5) berhubungan saudara dengan isteri
atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Larangan oleh karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih
terikat dengan tali perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).
Larangannya bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara mutlak
kepada pihak perempuan saja yaitu
seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak
mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang sedang terikat dengan perkawinan
atau seoramg laki-laki yang beristeri tidak mutlak dilarang untuk melakukan
perkawinan dengan isteri kedua.
b. Pasal 9 UU
No.1 tahun 1974
Seorang
yang masih terkait tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini
.
c. Pasal 10 UU
No.1 tahun 1974
apabila suami dan isteri yang telah cerai
kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka
diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum
masing-masinug agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Menurut Pasal 10 diatur
larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali. Perkawinan yang mempunyai maksud agar
suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang
mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan.
Pasal 10 bermaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga
suami maupun isteri saling menghargai satu sama lain.
d. Pasal 11 UU No.1 tahun 1974
(1) bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan di atur
dalam peraturan pemerinutahan lebih lanjut.
Larangan kawin bagi seorang
wanita selama masa tunggu (Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974).
Larangan
dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang dengan sendirinya apabila
masa tunggu telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan masa lamanya waktu
tunggu. Sesuai dengan pasal 8 masa lamanya waktu tunggu selama 300 hari,
kecuali jika tidak hamil maka Larangan perkawinan
dalam hukum perkawinan islam ada dua macam yaitu larangan selama-lamanya
terinci dalam pasal 39 KHI dan laramgan sementara pasal 40 sampai pasal 44 KHI.
Hal ini akan diuraikan sebagai berikut.
a. Larangan
perkwinan selama –lamanya.
Larangan
perkawinan bagi seorang pria dangan seorang wanita selama-lamanya atau
wanita-wanita yang haram untuk dinikahi oleh seoramg pria selama-lamanya
,mempunyai beberapa sebab. Pasal 39 KHI mengungkapkn “dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan.
1. Karena
pertalian nasab:
a. Dengan sorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunnnya.
b. Dengan seorang wanita
keturunan ayah atau ibu.
c.
Dengan
seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2. Karena
pertalian kerabat semenda
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau
bekas istrinya.
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang
menurunkannya .
c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas
istrinya kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla
al dukhul.
d. Dengan seorang bekas istri keturunannya.
3. Karena pertlian sesusuan
a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut
garis lurus keatas
b. Dengan wanita yang sesusuan dan seterusnya menurut
garis lurus kebawah.
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan
susuan ke bawah
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dn nenek-bibi sesusuan keatas
e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan
keturunannya.
b. Larangan perkawinan dalam waktu tertentu
Larangan perkwinan dalam waktu tertentu bgi
seorang pria dengan seorang wanita diungkapkan secara rinci dalam pasal 40
sampai 41 KHI hal ini diuraikan sebagai berikut.
Pasal 40
KHI
dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria denga seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkwinan denga pria lain.
b. Seoang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beraga islam.
Pasal 41 KHI
1. Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang
wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya.
a. Saudara kandung seayah atau seibu atau keturunannya.
b.Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2.Laranga tersebut pada ayat 1 tetap berlaku meskipum
istri-istrinya telah di talak raj’i tetapi masi dalam masa iddah.
Pasal
42 KHI
Seorang pria
dilrang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut
sedang mempunyai 4(empat) orang istri yang keempa-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang di antara
mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalm masa iddah talak
raj’i
Pasal 43
KHI
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria.
a. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga
kali.
b.Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur kalau
bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut
putus ba’da dukhul dan telah habis mas iddahnya.
Pasal 44
KHI
Seorang wanita
islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seoarang pria yang tidak beragama islam
selain larangan
perkawinan dalam waktu tertentu yang diesebabkan dalam KHI dimaksud, perlu juga
diungkapkan mengenai larna perkawinaan yang tertuang dalam pasal 8, 9, dan 10
undang undang Nomor 1 ahun 1974 hal ini diungkapkan sebagai berikut
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan) apabila
perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan kepengadilan.
Didalam pasal 85 KUHPer berlaku asas pokok, bahwa tiada suatu perkawinan
menjadi batal karena hukum. Pernyataan batal suatu perkawinan yang bertentangan
dengan undang-undang disyaratkan adanya keputusan pengadilan, keputusan yang
demikian hanya boleh dijatuhkan dalam hal-hal yang diatur oleh undang-undang
dan atas gugatan orang-orang yang dinyatakan berwenang untuk itu.
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah
dilangsungkan perkawinan, karena adanya syarat-syarat yang tidak dipenuh
menurut pasal 22 Undang-undang pekawinan, dalam undang-undang ini disebutkan
bahwa perkawian dapat dibatalkan apabila para pihak tidak dapat memenuhi
syarat-syart perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan baik berdasarkan UU No. 1
tahun 1974 atau berdasarkan KHI, yang terdapat dalam pasal 22,24,26, dan 27 UU
No.1/1974 dan pasal 70 dan 71 KHI.
Saran
Mempelajari Fiqih Munakahat sangatlah penting,
terutama bagi pelajar-pelajar agama Islam dan pemimpin-pemimpin Islam. Dengan
mempelajari studi Fiqih Munakahat kita dapat mengetahui berbagai hal yang
menyangkut tentang pernikahan. Sebagai umat Islam hendaknya kita mengetahui hukum-hukum
yang terkandung didalam agama kita yaitu Islam.
Kami berharap kepada pembaca untuk mengkritik dan
memberi saran pada makalah kami ini karena dengan kritik dan saran dari pembaca
akan membangun kami dan juga tanggapan serta tambahan yang bisa membuat materi
kita dan pembahasan menjadi lebih sempurna dan bisa kita gali kedalam wawasan
yang baru dan maju tentunya.
Daftar pustaka
v http://wwwmapalauiiblogspotcom.blogspot.co.id/2011/06/larangan-perkawinan-karena-ada-larangan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar