l MAKALAH Tentang Perkawinan Campuran | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Minggu, 03 November 2019

MAKALAH Tentang Perkawinan Campuran

MAKALAH
Tentang Perkawinan Campuran
  


Di susun oleh
Nama         : Ahyadin
Semester   : II(2)
Jurusan      : Al-akhwalu Syakhsyiah

FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH BIMA
TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Yang telah memberikan kita akal fikiran, rahmat dan hidayah sehingga kita bisa membedakan yang hak dan yang bathil, sholawat serta salam semoga tetap mengucur deras kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Berkat beliau agama Islam tersebar luas di dunia dengan metode “rahmatan lil’alamin”
Dengan ucapan Bismillah dan Alhamdulillah sepenuh hati, kami penulis merasa sangat berbahagia dengan selesainya makalah yang telah menjadi tugas kami dalam mencari lembar dan dalamnya ilmu pengetahuan.
Kepada Dosen  mata Kuliah Hukum Perdata, kami ucapkan terima kasih banyak atas berbagai bimbingannya sehingga makalah ini dapat kami selesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata Kuliah Hukum Perdata tahun ajaran 2016/2017. akhirnya kami ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Semoga amal ibadahnya mendapat ganjaran dari Allah SWT, Amin………!!!!!!!
                                                                                                 
                                                                                                       Kota Bima,  2017

  Penulis


BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini banyak terjadi perkawinan campuran di  Indonesia.Pengertian Perkawinan Campuran menurut undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974 dalam pasal 57 adalah "Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia". Pengertian perkawinan campuran menurut Undang-undang Perkawinan adalah lebih sempit apabila dibandingkan dengan pengertian "perkawinan campuran" dalam GHR, karena kriteria perkawinan campuran menurut UUP hanya didasarkan atas adanya hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan semata-mata dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran diperlukan syarat-syarat menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UUP). Perkawinan campuran diatur dalam BAB XII bagian ketiga dari pasal 57 sampai dengan pasal 62 UUP. Akibat hukum perkawinan campuran dapat berdampak terhadap status kewarganegaraan suami istri dan status kewarganegaraan ibunya. Akibat hukum yang lain dari perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia dapat dianalogikan dengan akibat perkawinan yang diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 36 UUP.
    B. Tujuan Penulisan
Karya ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Perdata,serta agar ingin lebih megkaji dan memahami tentang Bagaimana Perkawinan Campuran.
C. Rumusan Masalah
Bagaimana Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan?
Bagaimana Perkawinan Campuran Beda Agama?


BAB II
PEMBAHASAN

      A.  Pengertian Perkawinan Campuran.
      Dalam beberapa hal, aspek perkawinan campuran telah diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang untuk selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan. Menurut Ketentuan Pasal 57 UU Perkawinan, pengertian Perkawinan Campuran adalah “perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
   Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:
Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan
Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan
Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
Contoh: seorang wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki warga Negara asing atau sebaliknya
Sedangkan perkawinan campuran menurut S. 1898/158 Pasal 1 nya menyebutkan:Perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.Contohnya:
seorang wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki warga Negara asing atau sebaliknya atau seorang wanita beragama islam kawin dengan seorang laki-laki beragama selain islam.
Kalau dibandingkan perkawinan campuran menurut pasal 57 UU No. I/1974 dengan perkawinan campuran menurut S. 1898/158 adalah sebagai berikut:
     perkawinan campuran menurut pasal 57 UU No. I/1974 ruang lingkupnya lebih sempit karena hanya berbeda kewarganegaraan dan salah satu pihaknya harus warga Negara Indonesia.
Perkawinan campuran menurut S. 1898/158 ruang lingkupnya lebih luas karena selain berbeda kewarganegaraan juga perkawinan dapat dilakukan karena perbedaan agama, tempat, dan golongan.
 Berdasarkan Ketentuan Pasal 57 tadi, dapat diketahui bahwa sesungguhnya perkawinan campuran yang dimaksud menurut UU Perkawinan adalah perkawinan yang berbeda kewarga-negaraan saja, sedangkan perkawinan lintas agama tidaklah diatur sehingga dengan demikian perkawinan lintas agama tidak terkandung di dalam muatan materi yang terdapat di dalam UU Perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan lintas agama bukan menjadi yurisdiksi dari hukum nasional tentang perkawinan sebagaimana dimaksud di dalam Ketentuan Pasal 57 UU Perkawinan, khususnya yang menyangkut tentang perkawinan campuran.
Namun demikian, jika ditilik secara lebih seksama lagi, UU Perkawinan tidak menutup sama sekali pengaturan yang terkait dengan masalah perkawinan lintas agama. Hal ini dapat dilihat dari Ketentuan Penutup Pasal 66 UU Perkawinan yang menyebut sebagai berikut:
     “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Dari Ketentuan Penutup UU Perkawinan tadi, penting kiranya memperhatikan hal-hal yang diatur di dalam peraturan lainnya, termasuk pula peraturan hukum kolonial mengingat di dalam UU Perkawinan, masalah perkawinan lintas agama tidaklah diatur.
      Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara acontrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitik beratkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
Perkawinan  Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di   Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
       C.    Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitik beratkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF FIQH
      Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga akan terwujud secara sempurna jika suami-istri berpegang pada ajaran yang sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.
Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlul Kitab. Dan pria Muslim secara pasti dilarang nikah dengan wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan.
Yang menjadi persoalan dari zaman sahabat sampai abad modern ini adalah perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Kitabiyah. Berdasar dzahir ayat 221 slkjhgfdz.,murat Al-Baqarah. Menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan pria Muslim dengan Kitabiyah dibolehkan. Sebagian ulama mengharamkan atas dasar sikap musyrik Kitabiyah. Dan banyak sekali ulama yang melarangnya karena fitnah atau mafsadah dari bentuk perkawinan tersebut mudah sekali timbul.
Perkawinan Beda Agama dalam Tinjauan Hukum Islam, Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masail Fiqhiah berpendapat yang dimaksud dengan “perkawinan antar orang yang berlainan agama” disini ialah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita). Mengenai masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
Ø  Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
Ø  Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita AhlulKitab
Ø  Perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim.
Masjfuk menegaskan bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221
وَلاَ تَنْكِحُوْا اْلمُشْرِكاَتِ حَتىَّ يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ... (البقرة : 221)
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
Namun dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu?. Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Quran memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah, baik itu dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni (Yahudi dan Nashrani) tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam dan bukan pula Yahudi/Nashrani tidak boleh dikawini oleh pria Muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi/Zoroaster, karena pemeluk agama selain Islam, Kristen dan Yahudi itu termasuk kategori “musyrikah”.
Maka Masjfuk mengatakan, bahwa hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideologi” mereka.
Menurut Masjfuk, kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Kristen), ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5:
... وَاْلمُحْصَنَاتُ مِنَ اْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا اْلكِتاَبَ مِنْ قَبْلِكُمْ... (المائدة : 5)
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wantia yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitabsuci sebelumkamu”.
         Masjfuk menambahkan, bahwa Rasyid Ridha sependapat dengan Jumhur yang membedakan musyrikin/musyrikah disatu pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) dipihak lain, sesuai dengan pengelompokan yang dibuat oleh Al-Quran, sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab itu sudah melakukan “syirik” menurut pandangan tauhid Islam. Karena itu perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5, sunnah dan ijma’.
          Menurut pandangan Masjfuk, hikmah diperbolehkannya perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab ialah karena pada hakekatnya agama Yahudi dan Kristen itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka jika wanita Ahlul Kitab kawin dengan Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri masuk Islam karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga  Islam.
       E.   Perkawinan campuran menurut Hukum Adat
     Pada dasarnya hukum adat menyatakan bahwa sesorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila seseorang sudah kuat atau mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri,sertacakap untukmelakukansegalatata cara yangberbedakeanggotaanmasyarakatadatnya.)terjadinya perkawinan campuran pergaulanhidup kemasyarakatantermasuk mempertanggungjwabkansegala tindakannyadalamtataran kehidupan sosialnya di masyarakat serta jika melakukan koitwsenggama' danmenghasilkan keturunan maka mereka dinyatakan dewasa, dan jika tidak menghasilkanketurunan maka mereka belum dikatakan belum deawsa.
(Sedangkan perkawinan campuran yang berlaku pada hukum adat, menurut Prof. Hilman hadikusuma adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita ini  dapat  berakibat  diperolehnya  kewarganegaraan  atau kewargaan adat yang baru,  bahkan sebaliknya  juga dapat  kehilangan kewarganegaraan atau kewargaan adatnya. Perkawinan campuran  ini sendir akan  menjadi  bertambah  lingkupnya  tatkala  terjadi  tambahan klasifikasi perkawinan berbeda agama yang seringkali terjadi pada dua masyarakat adat yang secara mayoritas menganut agama yang berbeda seperti agama Islam di mayoritas Adat jawa dan agama hindu di mayoritas adat di bali.
       B.    Syarat-syarat Perkawinan Campuran
Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hokum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1 UU No. 1/1974)
Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974 yang menyebutkan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-duanya beragama islam dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda di kantor Catatan sipil.


      C.   Akibat perkawinan Campuran.
Menurt Pasal 58 UU No. I/1974 akibat dari perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59 ayat (1) UU No. I/1974 menyebutkan:
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hokum yang berlaku baik mengenai hokum public maupun mengenai hokum perdata.
Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan mengikuti kewarganegaraan ayah dan ibunya dengan siapa ia mempunyai hubungan hokum keluarga.
Dengan berlakunya UU Kewarganegaraan No 12 tahun 2006 anak hasil dari perkawinan campuran adalah warga Negara Indonesia, apabila:
Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA (Pasal 4 sub c).
Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI (Pasal 4 sub d)
Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hokum senaga asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak tersebut (Pasal 4 sub e).
Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI (Pasal 4 sub 9)
Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI (Pasal 4 sub g)
Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin (Pasal 4 sub h)
Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya (Pasal 4 sub i)
Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui (Pasal 4 sub j)
Anak yang baru lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui kewarganegaraan (Pasal 4 sub k)
Pasal 5 UU No. 22 Tahun 2006 menyatakan:
Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui WNI
Anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan pengadilan tetap diakui sebagai WNI
Pasal 6 ayat 1 menyatakan;
Seperti telah disebutkan sebelumnya akibat dari perkawinan campuran terhadap suami/istri akan kehilangan atau mendapat kewarganegaraan.
Perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA kehilangan kewarganegaraan republic Indonesia jika menurut hokum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hokum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
Perempuan (dalam ayat 1) atau laki-laki (dalam ayat 2) di atas jika ingin tetap menjadi WNI dapat mengajukan kepada Pejabat yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Ø   Kompilasi Hukum Islam
Ø   UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ø   UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (Lama)
Ø   UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Ø   Staatsblad 1898 No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896 No. 23) tentangPeraturan Perkawinan Campuran
Ø   Abdul Mu’tal muhammad aljabry, Perkawinan Campuran menurutpandangan Islam, Jakarta : PT Magenta Bhakti Guna, 1988
Ø   Prof . Abdur Rahman I. Doi, Ph. D., Perkawinan Dalam Syari’at Islam,Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992,






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020