MAKALAH
Tentang Perkawinan Campuran
Di susun oleh
Nama : Ahyadin
Semester : II(2)
Jurusan : Al-akhwalu Syakhsyiah
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH BIMA
TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Segala
puji hanya milik Allah SWT. Yang telah memberikan kita akal fikiran, rahmat dan
hidayah sehingga kita bisa membedakan yang hak dan yang bathil, sholawat serta
salam semoga tetap mengucur deras kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Berkat beliau agama Islam tersebar luas di dunia dengan metode “rahmatan
lil’alamin”
Dengan
ucapan Bismillah dan Alhamdulillah sepenuh hati, kami penulis merasa sangat
berbahagia dengan selesainya makalah yang telah menjadi tugas kami dalam
mencari lembar dan dalamnya ilmu pengetahuan.
Kepada
Dosen mata Kuliah Hukum Perdata, kami
ucapkan terima kasih banyak atas berbagai bimbingannya sehingga makalah ini
dapat kami selesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata Kuliah Hukum Perdata tahun
ajaran 2016/2017. akhirnya kami ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Semoga amal ibadahnya mendapat
ganjaran dari Allah SWT, Amin………!!!!!!!
Kota Bima, 2017
Penulis
BABI
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa
ini banyak terjadi perkawinan campuran di
Indonesia.Pengertian Perkawinan Campuran menurut undang-undang
perkawinan no. 1 tahun 1974 dalam pasal 57 adalah "Perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia".
Pengertian perkawinan campuran menurut Undang-undang Perkawinan adalah lebih
sempit apabila dibandingkan dengan pengertian "perkawinan campuran"
dalam GHR, karena kriteria perkawinan campuran menurut UUP hanya didasarkan
atas adanya hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan semata-mata
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Untuk dapat melangsungkan
perkawinan campuran diperlukan syarat-syarat menurut undang-undang No. 1 Tahun
1974 (UUP). Perkawinan campuran diatur dalam BAB XII bagian ketiga dari pasal
57 sampai dengan pasal 62 UUP. Akibat hukum perkawinan campuran dapat berdampak
terhadap status kewarganegaraan suami istri dan status kewarganegaraan ibunya.
Akibat hukum yang lain dari perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat
tinggal di Indonesia dapat dianalogikan dengan akibat perkawinan yang diatur
dalam pasal 30 sampai dengan pasal 36 UUP.
B. Tujuan Penulisan
Karya
ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum
Perdata,serta agar ingin lebih megkaji dan memahami tentang Bagaimana
Perkawinan Campuran.
C.
Rumusan Masalah
Bagaimana
Perkawinan Campuran Beda Agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Perkawinan Campuran.
Dalam beberapa hal, aspek perkawinan
campuran telah diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
untuk selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan. Menurut Ketentuan Pasal 57 UU
Perkawinan, pengertian Perkawinan Campuran adalah “perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Apabila
melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan
campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:
Perkawinan
itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
Dilakukan
di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan
Di
antara keduanya berbeda kewarganegaraan
Salah
satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
Contoh:
seorang wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki warga
Negara asing atau sebaliknya
Sedangkan
perkawinan campuran menurut S. 1898/158 Pasal 1 nya menyebutkan:Perkawinan
campuran adalah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum
yang berlainan.Contohnya:
seorang
wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki warga Negara asing
atau sebaliknya atau seorang wanita beragama islam kawin dengan seorang
laki-laki beragama selain islam.
Kalau
dibandingkan perkawinan campuran menurut pasal 57 UU No. I/1974 dengan
perkawinan campuran menurut S. 1898/158 adalah sebagai berikut:
perkawinan campuran menurut pasal 57 UU
No. I/1974 ruang lingkupnya lebih sempit karena hanya berbeda kewarganegaraan
dan salah satu pihaknya harus warga Negara Indonesia.
Perkawinan
campuran menurut S. 1898/158 ruang lingkupnya lebih luas karena selain berbeda
kewarganegaraan juga perkawinan dapat dilakukan karena perbedaan agama, tempat,
dan golongan.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 57 tadi, dapat
diketahui bahwa sesungguhnya perkawinan campuran yang dimaksud menurut UU Perkawinan
adalah perkawinan yang berbeda kewarga-negaraan saja, sedangkan perkawinan
lintas agama tidaklah diatur sehingga dengan demikian perkawinan lintas agama
tidak terkandung di dalam muatan materi yang terdapat di dalam UU Perkawinan.
Dengan kata lain, perkawinan lintas agama bukan menjadi yurisdiksi dari hukum
nasional tentang perkawinan sebagaimana dimaksud di dalam Ketentuan Pasal 57 UU
Perkawinan, khususnya yang menyangkut tentang perkawinan campuran.
Namun
demikian, jika ditilik secara lebih seksama lagi, UU Perkawinan tidak menutup
sama sekali pengaturan yang terkait dengan masalah perkawinan lintas agama. Hal
ini dapat dilihat dari Ketentuan Penutup Pasal 66 UU Perkawinan yang menyebut
sebagai berikut:
“Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie
Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op
gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku”.
Dari
Ketentuan Penutup UU Perkawinan tadi, penting kiranya memperhatikan hal-hal
yang diatur di dalam peraturan lainnya, termasuk pula peraturan hukum kolonial
mengingat di dalam UU Perkawinan, masalah perkawinan lintas agama tidaklah
diatur.
Kenyataan
yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat
terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan
memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat
memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan
UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu
perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara acontrario,
dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak
diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai
perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat
dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan
baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang
saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya
dan kepercayaannya.
Dalam
memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga
penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan
beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal
8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat
dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan
argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitik beratkan
pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti
pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan
juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan
antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu
berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat
merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam
undang-undang perkawinan.
Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam
Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab
larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak
beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam. KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan
pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada
kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam
KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat
dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada
peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan
antar agama.
C.
Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat
yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No.
1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan
Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2
ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah,
jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut
hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga
oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H.,
menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak
ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga
bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat
yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat
dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan
argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitik beratkan
pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti
pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan
juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada
pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada
hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat
pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang
yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat
yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU
No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan
perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena
belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No.
1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah
diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan
tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
PERKAWINAN BEDA
AGAMA PERSPEKTIF FIQH
Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga akan terwujud secara sempurna jika suami-istri berpegang pada ajaran yang sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.
Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga akan terwujud secara sempurna jika suami-istri berpegang pada ajaran yang sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.
Islam
dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik musyrik
maupun Ahlul Kitab. Dan pria Muslim secara pasti dilarang nikah dengan wanita
musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan.
Yang
menjadi persoalan dari zaman sahabat sampai abad modern ini adalah perkawinan
antara pria Muslim dengan wanita Kitabiyah. Berdasar dzahir ayat 221 slkjhgfdz.,murat
Al-Baqarah. Menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan pria Muslim dengan
Kitabiyah dibolehkan. Sebagian ulama mengharamkan atas dasar sikap musyrik
Kitabiyah. Dan banyak sekali ulama yang melarangnya karena fitnah atau mafsadah
dari bentuk perkawinan tersebut mudah sekali timbul.
Perkawinan
Beda Agama dalam Tinjauan Hukum Islam, Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masail
Fiqhiah berpendapat yang dimaksud dengan “perkawinan antar orang yang berlainan
agama” disini ialah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan
Islam (pria/wanita). Mengenai masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai
berikut :
Ø Perkawinan
antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
Ø Perkawinan
antara seorang pria Muslim dengan wanita AhlulKitab
Ø Perkawinan
antara seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim.
Masjfuk
menegaskan bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan
wanita musyrik. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221
وَلاَ تَنْكِحُوْا اْلمُشْرِكاَتِ حَتىَّ يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ... (البقرة : 221)
“Janganlah
kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu”.
Namun
dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah (wanita
musyrik) yang haram dikawini itu?. Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, seorang ahli
tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari
bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Quran memang tidak
mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang
Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina,
India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab
suci. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.
Tetapi
kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah, baik itu dari bangsa Arab
ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni (Yahudi dan Nashrani) tidak
boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam dan bukan
pula Yahudi/Nashrani tidak boleh dikawini oleh pria Muslim, apapun agama
ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi/Zoroaster,
karena pemeluk agama selain Islam, Kristen dan Yahudi itu termasuk kategori
“musyrikah”.
Maka
Masjfuk mengatakan, bahwa hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam
(pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab),
ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu
terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam
percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada
para Nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan
orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan
mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak
orang-orang yang telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan
kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideologi” mereka.
Menurut
Masjfuk, kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin
dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Kristen), ini berdasarkan firman Allah
dalam surat Al-Maidah ayat 5:
... وَاْلمُحْصَنَاتُ مِنَ اْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا اْلكِتاَبَ مِنْ قَبْلِكُمْ... (المائدة : 5)
“Dan
dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wantia yang menjaga kehormatan diantara
orang-orang yang diberi kitabsuci sebelumkamu”.
Masjfuk menambahkan, bahwa Rasyid Ridha sependapat dengan Jumhur yang membedakan musyrikin/musyrikah disatu pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) dipihak lain, sesuai dengan pengelompokan yang dibuat oleh Al-Quran, sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab itu sudah melakukan “syirik” menurut pandangan tauhid Islam. Karena itu perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5, sunnah dan ijma’.
Menurut pandangan Masjfuk, hikmah diperbolehkannya perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab ialah karena pada hakekatnya agama Yahudi dan Kristen itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka jika wanita Ahlul Kitab kawin dengan Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri masuk Islam karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam.
Masjfuk menambahkan, bahwa Rasyid Ridha sependapat dengan Jumhur yang membedakan musyrikin/musyrikah disatu pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) dipihak lain, sesuai dengan pengelompokan yang dibuat oleh Al-Quran, sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab itu sudah melakukan “syirik” menurut pandangan tauhid Islam. Karena itu perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5, sunnah dan ijma’.
Menurut pandangan Masjfuk, hikmah diperbolehkannya perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab ialah karena pada hakekatnya agama Yahudi dan Kristen itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka jika wanita Ahlul Kitab kawin dengan Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri masuk Islam karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam.
E. Perkawinan campuran menurut Hukum Adat
Pada dasarnya hukum adat menyatakan bahwa
sesorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila seseorang sudah kuat
atau mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus harta benda serta keperluannya
sendiri,sertacakap untukmelakukansegalatata cara yangberbedakeanggotaanmasyarakatadatnya.)terjadinya perkawinan campuran pergaulanhidup kemasyarakatantermasuk mempertanggungjwabkansegala tindakannyadalamtataran kehidupan sosialnya di masyarakat serta jika melakukan koitwsenggama' danmenghasilkan keturunan maka mereka dinyatakan dewasa, dan jika tidak menghasilkanketurunan
maka mereka belum dikatakan belum deawsa.
(Sedangkan perkawinan campuran yang berlaku pada hukum adat, menurut Prof. Hilman
hadikusuma adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita ini dapat
berakibat diperolehnya kewarganegaraan atau kewargaan adat yang
baru, bahkan sebaliknya juga dapat kehilangan kewarganegaraan
atau kewargaan adatnya. Perkawinan campuran ini sendir akan menjadi
bertambah lingkupnya tatkala terjadi tambahan klasifikasi
perkawinan berbeda agama yang seringkali terjadi pada dua masyarakat adat yang secara
mayoritas menganut agama yang berbeda seperti agama Islam di mayoritas
Adat jawa dan agama hindu di mayoritas adat di bali.
B. Syarat-syarat
Perkawinan Campuran
Sebelum
perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat yang
berlaku menurut hokum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1 UU No. 1/1974)
Sahnya
perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974 yang menyebutkan:
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu.
Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan
campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-duanya beragama islam
dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda di kantor Catatan sipil.
C. Akibat
perkawinan Campuran.
Menurt
Pasal 58 UU No. I/1974 akibat dari perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan
dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal
59 ayat (1) UU No. I/1974 menyebutkan:
Kewarganegaraan
yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan
hokum yang berlaku baik mengenai hokum public maupun mengenai hokum perdata.
Kedudukan
anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan mengikuti kewarganegaraan
ayah dan ibunya dengan siapa ia mempunyai hubungan hokum keluarga.
Dengan
berlakunya UU Kewarganegaraan No 12 tahun 2006 anak hasil dari perkawinan
campuran adalah warga Negara Indonesia, apabila:
Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA (Pasal 4
sub c).
Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI (Pasal 4
sub d)
Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak
mempunyai kewarganegaraan atau hokum senaga asal ayahnya tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak-anak tersebut (Pasal 4 sub e).
Anak
yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari
perkawinan yang sah dan ayahnya WNI (Pasal 4 sub 9)
Anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI (Pasal 4 sub g)
Anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang diakui oleh
seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak
tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin (Pasal 4 sub h)
Anak
yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak
jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya (Pasal 4 sub i)
Anak
yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah
dan ibunya tidak diketahui (Pasal 4 sub j)
Anak
yang baru lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya
tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui kewarganegaraan (Pasal 4
sub k)
Pasal
5 UU No. 22 Tahun 2006 menyatakan:
Anak
WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum
kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui
WNI
Anak
WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA
berdasarkan pengadilan tetap diakui sebagai WNI
Pasal
6 ayat 1 menyatakan;
Seperti
telah disebutkan sebelumnya akibat dari perkawinan campuran terhadap
suami/istri akan kehilangan atau mendapat kewarganegaraan.
Perempuan
WNI yang kawin dengan laki-laki WNA kehilangan kewarganegaraan republic
Indonesia jika menurut hokum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri
mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
Laki-laki
WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan kewarganegaraan Republik
Indonesia jika menurut hokum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suami
mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
Perempuan
(dalam ayat 1) atau laki-laki (dalam ayat 2) di atas jika ingin tetap menjadi
WNI dapat mengajukan kepada Pejabat yang wilayahnya meliputi tempat tinggal
perempuan atau laki-laki tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Kompilasi Hukum
Islam
Ø UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Ø UU No. 62 Tahun
1958 tentang Kewarganegaraan (Lama)
Ø UU No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Ø Staatsblad 1898
No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896 No. 23) tentangPeraturan Perkawinan Campuran
Ø Abdul Mu’tal
muhammad aljabry, Perkawinan Campuran menurutpandangan Islam, Jakarta : PT
Magenta Bhakti Guna, 1988
Ø Prof . Abdur
Rahman I. Doi, Ph. D., Perkawinan Dalam Syari’at Islam,Jakarta : PT
Rineka Cipta, 1992,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar