l AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Rabu, 31 Oktober 2018

Tugas buat surat gugatan ibu susanti binti ismail oleh dosen wahyudiansyah

    Atas kasus keretakan rumah tangga yang dialami oleh bu susanti binti ismail  dengan abdul haris bin H. mahmud. kemudian kami ditugasi untuk membuat surat gugatan perceraian oleh dosen pengampu kami yakni pak dosen wahyudinsyah SH.,MH. semago bermanfaat untuk masa depan kami. Adapun kasus yang dialaminya teman-teman bisa lihat di foto dibawah ini.




Dosen pengampu mata kuliah hukum acara perdata pak wahyudiansyah SH.,MH

                                               Nama                        :  Ahyadin
                                               Jurusan                     :  Hukum keluarga (Alwalu syakhsiyah)
                                               Mapa kluliah            :  Hukum acara perdata
                                               Tugas                        :  Buat surat gugatan
                                               Dosen pengampu      :  Wahyudiansyah SH.,MH

Kepada Yth
Ketua pengadilan agama bima
Jl.Gatot subroto. Lewirato. Mpunda. Bima. NTB.
Assalamu’alaikum wr.wb.
Dengan hormat, Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Susanti binti ismail. Umur 30 tahun, Agama islam, Pekerjaan PNS, desa belo, Kecematan pali belo, Kabupaten bima. Selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT.
Dengan ini bermaksud untuk mengajukan gugatan suami saya:
Abdul haris bin H.Mahmud, Umur 33 tahun, Agama isam, Pekerjaan serabutan, Desa belo, Kecematan pali belo, Kabupaten bima. Selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT.

Adapun alasan atau dalal-dalil penggut sebagai berikut:

1.      Bahwa pada tanggal 2 februari 2012 penggugat dengan tergugat melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh pegawai nikah kantor urusan agama(KUA) kecematan palibelo kabupaten bima. Maka dri itu perkawinan tersebut SAH menurut agama serta telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
2.      Bahwa setelah menikah penggugat serta tergugat tinggal di rumah orang tua Abdul haris selama 5 
Lima bulan) yakni di desa belo kecematan pali belo, kabupaten bima.
3.      Pada awalnya kehidupan rumah tangga antara penggugat dan tergugat berjalan baik serta harmonis lanyakanya suami istri akan tetapi suami saya tidak memiliki pekerjaan tetap.
4.      Antara penggugat dan tergugat dikaruniai seorang anak perempan bernama akifah.
5.      Sejak tahun 2016 tidak pernah lagi memberiakan nafkah. Karena semenjaka 2016 penggugat setelah pulang dari mataram membeli tanah untuk digarap dan hasilnya untuk dimakan keluarga orang tua penggugat tanpa diketahui oleh turgugat.
6.      Semenjak tahun 2016 pula antara penggugat dan trgugat sering terjadi perselisihan karena trgugat tidak memmerikan nafkah hina terus-menerus terjadi pertengkaran hingga tergugat memukul penggugat dan sempat penggugat melapokan ke polisi
7.      Atas perilaku tergdeumengat tersebut penggugaant menderita lahir dan batin. Tidak sanggup lagiuntuk mempertahakan rumah tangga dengan tergugat.
8.      Dengan kejadian tersebut rumah tangga antara penggugat dan tergugat tidak dapat lagi dibina dengan baik lagi dan agar masing-masing pihak tidak melanggar norma-norma hukum serta agama maka perceraianlah jalan alternatif terakhir bagi penggugat serta tergugat untuk menyelesaiakan masalahnya.

Bahwa berdasarkan segala apa yang teruraidiatas penggugat mohon kepada keyua pengadilan agama bima melalui majelis hakim yang memeriksa dan  menjadi perkara ini agar berkenan memanggil para pihak/kuasa hukumnya, memeriksa dan untuk selanjutnya menjatuhkan putusan.

PRIMAIR
1.         Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat
2.         Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya
3.         Menetapkan putusan perkawinan antara penggugat dan tergugat karena perceraian
4.         Menetapkan biaya perkara menurut peraturan hukum yang berlaku.

SUBSIDAIR
Dan apabila pengadilan agam bima berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
Wassalamu’alaikum wr.wb.


                     Bima, 31 oktober 2018
                               Penggugat




                          Susanti binti ismal


Jumat, 26 Oktober 2018

PPT - Metode pembagian waris dengan ar-radd

Artikel Gratis : Donwload

PPT-Ilmu negara tentang pembentukan negara madinah

Artikel Gratis : Donwload

PPT-penukaran harta wakaf-ahyadin

Makalah tentang penukaran harta wakaf


MAKALAH
HUKUM PERWAKAFAN
Tentang : Penukaran harta wakaf



Di susun oleh :
Ahyadin

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah hukum perwakafan”

Dosen pengampu
Muhammad ilham M.H


INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
BIMA
2018

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya sehingga makalah hukum perwakafan, tentang “penukaran harta wakaf” bisa terselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta seluruh pengikutnya. Disusunnya makalah ini dengan maksud agar kita bisa memahami  dan mengetahui bagaimana  cara penukaran harta wakaf baik menurut hukum islam maupun menurut undang-undang. Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing  yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan penulisan makalah ini. Akan tetapi kami harap agar pembaca bisa memaklumi kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah kami, atas dasar itu kritik dan saran kami harapkan dari pembaca demi kesempurnaan makalah yang kami buat ini dan lebih bermanfaat bagi kita semua. Amin……

                                                                                        Bima, 13 September 2018

                                                                                                      Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Wakaf merupakan implementasi dari cita-cita Islam yang Rahmatan Lil Alamin, yang sudah ada sejak masa Rasulullah dan para sahabat. Tujuan dari wakaf itu sendiri pada masa Rasulullah tak lain untuk kesejahteraan umat muslim, di mana kini telah bereformasi menjadi salah satu kebijakan fiskal islam dalam mengentas kemiskinan dan mengendalikan keseimbangan perekonomian.
Perubahan harta benda wakaf adalah perubahan bentuk harta benda wakaf dari bentuk semula ke bentuk yang lainnya, perubahan tersebut dapat dengan jalan ditukar, dijual atau dilelang. Hukum perubahan harta benda wakaf ini dalam kitab-kitab fikih menjadi bahasan penting, para ulama dengan berbagai argumen mereka masing-masing telah mengemukakan pandangan mereka, termasuk perubahan harta benda wakaf berupa masjid dengan cara dijual pun telah dibahas dalam kitab fikih.
Berdasarkan UU Nomor: 41 tahun 2004 dan PP Nomor: 42 tahun 2006 perubahan status harta benda wakaf dengan jalan penukaran dilarang, kecuali dalam kondisi tertentu perubahan atau penukaran harta benda wakaf tersebut dapat diperbolehkan. Penukaran harta benda wakaf itu hanya dapat dilakukan dengan izin tertulis dari Menteri, dalam hal ini Kementerian Agama berdasarkan pertimbangan BWI (Badan Wakaf Indonesia).
Meskipun tata cara perubahan harta benda wakaf dengan jalan tukar ganti ini telah diatur sedemikian rupa dalam PP Nomor: 42 tahun 2006 pasal 49, 50 dan 51 akan tetapi dikarenakan perubahan harta benda wakaf terkait dengan banyak pihak, misalnya: dengan nazhir, dengan ikrar wakaf yang dibuat si wakif, syarat-syarat dari wakif jika ada dan juga dengan wakif itu sendiri atau ahli warisnya, tidak mustahil perubahan status harta benda wakaf dengan jalan sebagaimana diatur oleh PP Nomor: 42 tahun 2006 ini nantinya dapat menimbulkan masalah dengan pihak-pihak yang terkait baik langsung ataupun tidak langsung dengan harta benda wakaf tersebut.
Maka dari itu, makalah ini akan membahas tentang salah satu perkara yang sering terjadi di lingkungan masyarakat sekitar tentang hukum menukar benda wakaf.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian wakaf?
2.    Bagaimana hukum menukar benda wakaf?

C.     Tujuan
1.      Memberikan pengetahuan serta pemahaman terkait materi wakaf
2.      Turut serta dalam menjawab pertanyaan atas hukum dari menukar benda wakaf 



BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian
Wakaf yang dalam bahasa Arab disebut al-waqfu sepadan maknanya dengan tahbis dan tasbil, ketiganya bermakna satu yaitu al habsu 'ani at-tasharrufi (menahan pokok dari mengusahakannya).[1]
Tukar guling wakaf dalam bahasa arab sering disebut dengan istibdal wakaf; yaitu menukar wakaf dengan sesuatu, baik wakaf itu dijual terlebih dahulu kemudian diganti dengan barang yang lain atau dipindah lokasinya.
Terdapat tiga pengertian wakaf secara syar'i, yaitu; pertama menurut Abu Hanifah: Wakaf adalah menahan harta benda milik wakif secara hukum, dan mensedekahkan manfaatnya dalam kebaikan. Mafhum mukhalaf dari pengertian wakaf menurut Abu Hanifah ini adalah bahwa dengan wakaf tidaklah menjadikan harta benda yang diwakafkan itu menjadi hilang/terlepas dari kepemilikan wakif, karenaya boleh bagi si wakif untuk menarik kembali ataupun menjual wakafnya tersebut.[2]
Namun demikian tidak berarti harta benda yang telah diwakafkan tersebut tidak dapat menjadi kekal, ada kondisi tertentu yang dapat menjadikan harta benda wakaf tersebut menjadi tetap, masih menurut Abu Hanifah bahwa harta benda wakaf dapat menjadi tetap hanya dengan tiga kondisi berikut ini: pertama keputusan hakim, semisal wakif dan nazhir berselisih, ketika wakif hendak menarik kembali wakafnya, dan atas hal demikian hakim memutuskan bahwa harta benda wakaf tersebut adalah tetap, maka tetaplah harta benda wakaf tersebut; kedua atau wakif menggantungkan wakafnya dengan kematiannya, seumpama perkataan wakif "jika aku mati maka aku wakafkan rumahku ini", maka tetaplah wakaf, akan tetapi dianggap sebagaimana halnya wasiat tidak lebih dari sepertiga; ketiga atau wakaf untuk masjid, dengan sendirinya terpisahlah harta benda wakaf tersebut dari kepemilikannya wakif.
Pendapat kedua berkenaan dengan pengertian wakaf secara syar’i, yaitu dari golongan syafi'iyah, hanabilah dan hanafiyah. Menurut mereka wakaf adalah menahan harta benda yang dimungkinkan dapat diambil manfaat darinya, disertai dengan kekalnya barang tersebut dengan memisahkan/menghentikan pengusahaannya dan lainnya dalam pengusaan wakif sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Dengan demikian harta wakaf keluar dari kepemilikan wakif dan benda wakaf tersebut jadilah milik Allah. Maksudnya harta benda wakaf tidak lagi menjadi milik wakif dan tidak pula berpindah kepada orang lain, akan tetapi jadilah secara hukum benda wakaf tersebut milik Allah yang tiada memilikinya selain diriNya.
Pendapat yang terakhir atau yang ketiga, yaitu dari golongan malikiyyah, menurut mereka wakaf adalah pemilik harta menjadikan manfaat meskipun kepemilikan tersebut hanya sebatas upah, atau menjadikan hasilnya seperti rumah bagi yang berhak menerimanya dengan lafaz, waktu tertentu sesuai kemauan wakif, atau dengan lain pengertian bahwa sesuatu dikatakan wakaf jika wakif menahan harta bendanya dari mengusahakannya dan berbuat baik dengan hasil/keuntungannya dengan tetap/berlanjut bersamaan dengan tetapnya benda wakaf tersebut pada pemilikan wakif, karenanya menurut malikiyyah tidak disyaratkan dalam wakaf itu  untuk selamanya. Dengan demikian wakaf tidak memisahkan harta benda tersebut dari pemilikan wakif akan tetapi terputus pengusahaannya oleh wakif.[3]
Perbedaan pengertian wakaf secara syar’i ini tidak lain disebabkan oleh sedikitnya ketentuan yang berkenaan dengan wakaf yang ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan Hadits), kebanyakan ketentuan-ketentuan yang mengatur wakaf ini ditetapkan dengan ijtihad ulama dengan berpedoman pada istihsan, istishlah dan 'urf.
Perbedaan pendapat tentang definisi wakaf tersebut berimplikasi lansung pada pengaruh hukum perbuatan wakaf itu sendiri. Menurut Abu Hanifah pengaruh wakaf itu yaitu berbuat kebajikan dengan hasil benda wakaf dengan tidak selamanya, dan tetapnya benda wakaf tersebut pada pemilikan wakif, maka boleh bagi wakif mengusahakannya sebagaimana ia kehendaki, apabila dia telah mengusahakannya sendiri berarti dia telah menarik wakafnya dan apabila wakif meninggal maka ahli warisnya mewarisi harta benda tersebut dan bagi wakif boleh menarik kembali wakafnya kapan dia menghendaki sebagaimana boleh juga baginya merubah pengusahaan dan syarat-syaratnya bagaimana dia kehendaki. 
Berbeda dengan pendapat di atas, yaitu golongan Syafi'iyyah dan Hanabila, menurut mereka bahwa pengaruh perbuatan wakif yang mewakafkan hartanya secara sah dengan sendirinya keluarlah kepemilikan wakif terhadap harta benda tersebut, karenanya dia tidak boleh lagi menjualnya dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut ulama malikiyyah bahwa sesungguhnya harta benda wakaf tetaplah menjadi milik wakif akan tetapi manfaatnya yang didapat dari harta wakaf tersebut menjadi milik mauquf lah untuk selamanya. Adapun yang dijadikan dasar oleh golongan ini adalah hadis (habbis al-ashla wa sabbil as-samarah). 
Berkenaan dengan menarik kembali harta benda wakaf, dalam Undang-Undang Mesir Nomor: 48 tahun 1946 disebutkan bahwa terhadap wakaf masjid tidak dapat ditarik kembali dan merubahnya, tidak juga terhadap benda-benda yang diwakafkan untuk masjid. Adapun yang dimaksud dengan wakaf untuk masjid adalah baik pada mulanya memang disebutkan untuk masjid walaupun meskipun di akhirnya bukan untuk itu, dan juga di awalnya bukan untuk masjid kemudian sesudahnya disebut untuk masjid.
Adapun menganti ataupun menjual harta benda wakaf menurut para ahli fikih dibolehkan dengan syarat-syarat dan batasan-batasan yang berbeda. Kecuali untuk wakaf masjid, secara mufakat mereka sependapat bahwa wakaf masjid tidak boleh diganti dengan alasan apapun, meskipun tidak ada lagi orang yang shalat di sana sekalipun, wakaf masjid tidaklah boleh diganti dengan yang lain, termasuk menjualnya. Wakaf masjid tetaplah wakaf masjid sampai hari kiamat.
B.            Perubahan Harta Benda Wakaf
a.    Prinsip dalam UU. No 41 tahun 2004, Pasal 40 - 41 terhadap status harta benda yang telah diwakafkan
Pasal 40
 Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
1.      dijadikan jaminan;
2.      disita;
3.      dihibahkan;
4.      dijual;
5.      diwariskan;
6.      ditukar; atau
7.      dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Pengecualian :
Pasal 41
1)      Ketentuan dalam Pasal 40 huruf f (ditukar) dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
2)      Pelaksanaan ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
3)      Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian tersebut (point 1), wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang. kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
4)   Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
b.    Prinsip dalam KHI, Pasal 225 Terhadap Status Harta Benda Yang Telah Diwakafkan
a)      Pada dasarnya tidak dapat dilakukan perubahan  atau penggunaan lain selain dari pada apa yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
b)     Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu  setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala KUA Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a)                   karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b)                  karena kepentingan umum.




C.            Menurut 4 madzhab
a)    Dalam perspektif mazhab Hanafiyah, 
     Hukum Istibdal adalah boleh. Landasan kebijakannya adalah kemaslahatan dan manfaat yang abadi yang menyertai praktik Istibdal. Walaupun masih ada perselisihan dikalangan mereka namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Selama Istibdal itu dilakukan untuk menjaga kelestarian dari manfaat barang wakaf, maka syarat ”kekekalan” wakaf terpenuhi dan itu tidak melanggar syariat. Jadi yang dimaksud syarat ”abadi” disini bukanlah mengenai bentuk barangnya saja tapi juga dari segi manfaatnya yang terus berkelanjutan. ( البحر الرائق شرح كنز الدقائق - (ج 14 / ص 396 ,
    Dalam kitab Syarh Al-Wiqayah, Abu Yusuf (113-183 H) menyatakan: ”jika barang wakaf sudah tidak terurus dan tidak bisa memberikan keuntungan lagi maka barang tersebut boleh diganti. Walaupun tanpa syarat Istibdal (penggantian) sebelumnya.” ( البحر الرائق شرح كنز الدقائق - (ج 14 / ص 396 ,
b)   Dalam perspektif mazhab Malikiyah
Pelaksanaan Istibdal tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama malikiyah. Imam Malik melarang tukar guling wakaf pada benda yang tidak bergerak, seperti masjid, kuburan atau jalan raya. Beliau mengecualikan bila dalam keadaan darurat seperti perluasan. Sedang Ulama malikiyah membolehkan menukar gulingkan wakaf manqul (benda bergerak) apabila ditakutkan berkurang manfaatnya. karena barang wakaf yang sudah rusak dan tidak bisa menghasilkan manfaat lagi maka akan menimbulkan biaya perawatan yang lebih besar daripada manfaat yang dihasilkan. Menurut Ibn Rusyd (wafat 1198 M), hukum ini telah mendapat restu dari semua ulama Malikiyah. Terlebih jika barang wakaf tersebut akan bertambah rusak bila dibiarkan.
c)    Dalam perspektif mazhab Syafi’i
    Sementara ulama Syafiiyah sangat hati-hati mengenai pelaksanaan Istibdal wakaf. Mereka tidak memperbolehkan tukar guling wakaf yang bergerak, hal ini berseberangan dengan madzhab malikiyah yang membolehkannya. Sikap ini lahir karena pemahaman mereka mengenai ”kekekalan” wakaf. Kekekalan versi mazhab Syafiiyah adalah kekelan bentuk barang wakaf tersebut. Sehingga terkesan mereka mutlak melarang Istibdal dalam kondisi apapun. Mereka mensinyalir, penggantian tersebut dapat berindikasi penilapan atau penyalahgunaan barang wakaf.
d)   Dalam perspektif mazhab Hambali
    Madzhab Hambali lebih bersifat moderat (pertengahan) meskipun tidak seleluasa mazhab Hanafiyah. Mengenai Istibdal ini, mazhab Hambali tetap membolehkan dan tidak membedakan berdasarkan barang wakaf bergerak atau tidak bergerak. Bahkan terkesan sangat mempermudah izin untuk melakukan praktik Istibdal wakaf. Mereka berpendapat bahwa jika barang wakaf dilarang untuk dijual —sementara ada alasan kuat untuk itu— maka kita telah menyia-nyiakan wakaf
e)    Pendapat Ibnu Taimiyah
    Ibnu taimiyah merojihkan bolehnya menjual dan menukar gulingkan wakaf baik wakaf bergerak atau tidak bergerak seperti masjid, dengan syarat barang wakaf tersebut tetap bermaslahat dan pewakaf tidak mensyaratkannya.
f)    Kesimpulan pendapat mereka
Madzhab hanafi paling longgar dalam masalah ini, kemudian diikuti madzhab maliki, di ujung lain madzhab syafii cenderung sangat hati-hati bahkan sebagia ulama’nya melarang mutlak istibdal wakaf. Madzhab hambali pertengahan di antara dua pendapat di atas, tetapi berbeda dalam masalah tukar guling wakaf masjid, tiga madzhab tidak memperbolehkan sedang madzhab hambali memperbolehkan istibdal wakaf masjid dengan beberapa dalil.
D.           Pengaturan dan Penukaran Harta Benda Wakaf di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah wakaf ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977,  Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 ditambah lagi dengan peraturan perundang-udangan lainnya yang secara langsung ataupun tidak langsung mengatur masalah wakaf ini.[4]
Wakaf menurut UU Nomor: 41 tahun 2004 adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Pengelolaan harta benda wakaf sepenuhnya diserahkan kepada nazhir yang meliputi: perorangan, organisasi dan badan hukum. Nazhir tersebut pada mulanya dapat ditunjuk langsung oleh si wakif dan untuk kemudian atau masa bakti selanjutnya diangkat oleh BWI.
Meskipun harta benda wakaf didaftar atas nama nazhir, namun menurut undang-undang hal tersebut bukan menunjukkan bahwa pemilik harta benda wakaf adalah nazhir. Peraturan perundang-undangan secara jelas tidak menyebutkan siapa sebenarnya yang memiliki hak kepemilikan atas harta yang telah diwakafkan tersebut; karena nazhir sebagai satu-satunya orang yang mengelola harta benda wakaf tersebut menurut UU dan PP hanya memiliki hak pengelolaan saja.
Harta benda wakaf tersebut dilarang dijadikan jaminan; disita; dihibahkan; dijual; diwariskan; ditukar; atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya, kecuali dalam kondisi apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. Pelaksanaan ketentuan ini hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Disamping itu Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.[5]
Izin tertulis dari Menteri tersebut hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.        Perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah
2.        harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan Ikrar wakaf atau
3.        pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. [6]
Selain dari pertimbangan tersebut di atas, izin pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika: a) harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan; dan juga b) nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.[7]
Nilai dan manfaat harta benda penukar harta benda wakaf tersebut ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur: a) pemerintah daerah kabupaten/kota; b) kantor pertanahan kabupaten/kota; c) Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota; d) kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan e) Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.[8]
Adapun prosedur penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut:
1)        Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar menukar tersebut;
2)        Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen Agama kabupaten/kota;
3)        Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim, dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat Surat Keputusan;
4)        Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; dan
5)        setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.[9]
Tata cara perubahan harta benda wakaf seperti ini sangatlah panjang dan berliku yang nantinya akan memakan waktu yang panjang pula, selain itu tim yang terdiri dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten/Kota; Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; dan Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan hanya bertindak sebagai tim penilai terhadap nilai dan manfaat barang/benda yang akan menjadi pengganti harta benda wakaf tersebut, tidak lebih dan kurang. Sedangkan untuk pertimbangan lainnya ada di tingkat Menteri dan hanya menerima saran dari BWI bukan dari wakif.
E.            Analisa  terhadap Pengaturan Penukaran Harta Wakaf
PP Nomor: 42 tahun 2006 mengatur secara rinci tentang tata cara penukaran harta benda wakaf sebagaimana termaktub dalam pasal 49, 50 dan 51. Ketiga pasal ini menjelaskan bagaimana prosedur yang harus dilalui ketika harta benda wakaf tersebut hendak ditukar dengan bentuk yang lainnya. PP ini juga menentukan siapa yang berhak mengajukan dan siapa/instansi yang berwenang dalam pemberian izin penukaran harta benda wakaf.
Wakaf sebagai ajaran agama tidak lain merupakan perbuatan kebajikan seperti halnya ajaran kebajikan lainnya, dengan didasari keikhlasan dan keinginan mendekatkan diri kepada Allah seseorang melakukan hal tersebut, sebagai bentuk keinginan mendapat kebaikan disisi Tuhannya. Apalagi kalau sekiranya kebaikan tersebut dapat terus belanjut diterima, pahala yang terus mengalir meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia. Inilah kiranya yang menjadi motivasi kuat seseorang mewakafkan hartanya.
Sudah jamak dalam perjalanannya, seiring perubahan zaman adakalanya benda wakaf yang sejatinya menghasilkan mengalami kepakuman, tidak lagi menghasilkan. Berdasarkan berbagai pertimbangan ulama sepakat benda wakaf yang demikian dapat dijual dan ditukar dengan benda yang lebih memberi manfaat. Dengan syarat benda yang dapat ditukar hanya benda yang tidak memberi manfaat sama sekali, seandainya manfaat yang didapat masih ada sekalipun sangat sedikit, maka benda wakaf tersebut tidaklah diperkenankan dijual ataupun di tukar dengan benda lainnya, kecuali wakaf masjid, karena ia kekal untuk selamanya.
Konsep yang diberikan oleh PP Nomor: 42 tahun 2006 tentang tata cara perubahan harta benda wakaf dengan tidak melibatkan sama sekali wakif ketika harta benda wakaf tersebut akan mengalami perubahan. Padahal si wakif yang telah mewakafkan hartanya dengan peruntuan tertentu dan menunjuk nazhir sekaligus, belum tentu akan terima seandainya harta benda wakaf yang telah dia wakafkan berubah bentuk, boleh jadi dia akan keberatan dengan keputusan perubahan harta benda wakaf tersebut.
Selain itu, seandainya dengan penukaran tersebut posisi benda wakaf berpindah tempat, maka akan timbul persoalan berkenaan dengan nazhir sebagai pengelola, dimana semula nazhir yang tinggal satu wilayah dengan harta benda wakaf tersebut dapat ditunjuk sebagai pengelola harta benda wakaf, dengan berpindahnya harta benda wakaf tersebut dari wilayah tempat tinggal nazhir semula, maka nazhir yang semula sebagai pengelola harta wakaf tersebut tidak dapat lagi mengelolanya, dikarenakan harta benda wakaf yang semula diwilayahnya sudah berpindah ke luar wilayahnya, maka dengan sendirinya nazhir tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat ditunjuk sebagai nazhir terhadap pengganti harta benda wakaf tersebut.
Selain dari apa yang telah dijelaskan, UU Nomor: 41 tahun 2004 dan PP Nomor: 42 tahun 2006 yang menjadikan penukaran harta benda wakaf dengan jalan kebijakan berdasarkan usulan dari pengelola tanpa ada keterlibatan sama sekali wakif, memberi kesan seakan-akan wakif dengan mengucapkan ikrar wakaf telah membuat sebuah akad penyerahan haknya. Padahal baik dalam UU Nomor: 41 tahun 2004 dan PP Nomor: 42 tahun 2006 siapa pemilik harta benda wakaf itu tidak disebutkan secara jelas, kedua aturan itu tidak menyingung sama sekali siapa sebenarnya pemilik benda wakaf tersebut, apakah masih si wakif atau telah menjadi milik masyarakat umum. Oleh karena tidak pernah dijelaskan, maka pemahan yang dipakai adalah hukum asal pemilik harta benda tersebut sebelum diwakafkan yaitu wakif itu sendiri.
Dalam hadits yang diceritakan oleh Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Jama'ah, bahwa Umar memperoleh bagian tanah di tanah Khaibar, kemudian terhadap hal tersebut Umar berkata kepada Rasulillah, "ya Rasulallah aku memperoleh tanah di Khaibar, aku belum pernah memperoleh sebelumnya tanah sebaik tanah tersebut, maka apa perintahmu untukku tentang hal ini", Rasulullah bersabda jika kamu mau tahanlah pokoknya dan engkau bersedekah dengan hasilnya. Maka Umar mensedekahkan hasilnya, dengan tidak menjual, menghibahkan dan mewariskan. Dengan tidak berdosa bagi pengelolanya untuk sekedar mengambil untuk dimakan bukan untuk memperkaya diri.
Larangan dalam hadits untuk tidak menjual, menghibahkan dan mewariskan tersebut berlaku bagi semua pihak, baik wakif, nazhir dan masyarakat pada umumnya. Kata dilarang atau tidak diperbolehkan tersebut, menimbulkan pertanyaan, siapa sebenarnya yang dilarang, karena yang dilarang untuk menjual, menghibahkan dan menggadaikan sudah pasti berkait erat dengan pemilik dari benda tersebut, tidak mungkin larangan itu berkait dengan orang yang tidak memiliki hak sama sekali, kalau dia tidak memiliki hak sama sekali atau tidak ada hubungan sama sekali dengan benda wakaf tersebut bagaimana mungkin dia bisa menjual, menggadaikan ataupun menghibahkan.
Ada kemungkinan kalimat larangan untuk menjual, menghibahkan dan menggadaikan menunjukkan bahwa harta benda wakaf tersebut masih dimiliki seseorang dan orang itu tidak lain si wakif, artinya si wakiflahpemilik harta benda wakaf tersebut. Hanya saja kepemilikan wakif tidak sempurna lagi dia tidak dapat lagi mengusahakannya dengan cara menjual, menghibahkan dan menggadaikannya.
Kata habbasta pada hadits tersebut berarti menahan pokok dengan tidak menjual, tidak menghibahkan, dan tidak mewariskan, sedangkan kegunaannya dijelaskan dengan kata berikutnya watashaqta. Artinya menahan benda dengan tidak menjual dan lain sebaginya itulah wakaf, belum sampai kepada hasilnya. Shighat "aku wakafkan" merupakan ikrar dari si wakif untuk tidak akan mengusahan benda wakaf itu lagi, sedangkan hasilnya dapat diperuntukan demi kebaikan secara umum dan keluarga dekat. Karenanya kebaikan wakaf didapat ketika benda wakaf itu menghasilkan, ketika benda wakaf tersebut tidak menghasilkan atau belum menghasilkan dengan sendirinya kebaikan belum didapat bagi si wakif.
Wakaf yang berarti membenamkan, mendiamkan dapat juga dipahami bahwa harta benda yang diwakafkan itu hanya ditahan oleh si wakif karenanya ketika dia telah mengikrarkan wakaf dengan sendirinya dia telah mengikrarkan bahwa dia tidak akan lagi menjual, menghibahkan ataupun menggadaikan harta yang telah dia wakafkan tersebut, karena hanya ditahan dari mengusahakannya, maka kepemilikan harta benda wakaf masih di tangan wakif, wakif masih pemilik benda wakaf tersebut. Hanya saja kepemilikan si wakif ini terbatasi sebagai akibat perbuatan hukum yang ia lakukan.
Sebagai ilustrasi kalau wakif adalah pemilik pokok benda wakaf. Dalam hal ijarah, katakanlah mahjur bih nya sebuah mobil, mujir sebagai pemilik mahjur bihmeminjamkan barang tersebut, dalam hal ini mobil kepada mahjur dalam kurun waktu tertentu dengan ijarah tertentu pula, meskipun mujir kapasitasnya sebagai pemilik barang tetapi pemilikannya terbatas ketika benda tersebut dalam masa sewa, mujirhanya sebagai pemilik mahjur bih dan hanya berhak menikmati hasil dari sewa itu saja, sedangkan mahjur hanya berwenang terhadap manfaat barang sewaan itu saja. Begitulah kiranya pula dalam wakaf, wakif masih sebagai pemilik benda wakaf, akan tetapi dia tidak dapat lagi mengusahakannya dan hanya menikmati hasilnya, dalam hal ini pahala di akhirat kelak.
Keterkaitan antara benda wakaf dengan wakif serta dengan pengelolanya menunjukkan bahwa penukaran harta benda wakaf secara langsung melibatkatkan banyak pihak dan boleh jadi pada akhirnya nanti menjadi persoalan. Karena itulah penukaran harta benda wakaf sebagaimana diatur dalam PP Nomor: 42 tahun 2006 yang menyerahkan kewenangan ke Pemerintah dengan tidak melibatkan wakif sama sekali dalam penukaran harta benda wakaf tersebut dirasa kurang memenuhi rasa keadilan terutama bagi wakif.
Melibatkan wakif dalam proses penukaran benda wakaf tersebut tidak dapat hanya sekedar didengar saja pendapatnya, pendapat atau pandangannya haruslah menjadi pertimbangan dalam proses dan bentuk penukaran benda wakaf tersebut. Mendengarkan keterangan wakif, nazhir atau pun pihak lainnya yang terkait dengan harta benda wakaf boleh jadi sangat sulit dilakukan, karena jauhnya jarak dengan Menteriyang berkedudukan di pusat ibu kota, padahal keterangan dan pandangan mereka inilah yang sebenarnya lebih penting untuk didengarkan.
Dengan demikian, tepatlah sekiranya perubahan harta benda wakaf melibatkan si wakif, yang dalam prosesnya, perubahan harta benda wakaf tersebut, karena perubahan harta benda wakaf ini melibatkan banyak pihak semisal nazhir dengan wakif atau dengan pemerintah, dan kemungkinan timbulnya sengketa bisa saja terjadi. Maka proses perubahan harta benda wakaf ini, akan lebih baik apabila diselesaikan melalui lembaga Peradilan. Baik dalam bentuk permohonan (volunteer) berupa permohonan penetapan pemberian izin perubahan bentuk harta benda wakaf dari bentuk semula ke bentuk lainnya,apakah dengan jalan dijual atau ditukarmaupun dalam bentuk gugatan (contentius) apabila ada pihak yang tidak menyetujui perubahan tersebut, semisal wakif atau pihak lainnya.
Proses perubahan harta benda wakaf dengan jalan seperti ini tidak hanya menutup pintu kemungkinan adanya sengketa dikemudian hari, akan tetapi lebih dari itu, memberi kepastian hukum terhadap perbuatan perubahan harta benda wakaf tersebut. Apabila perubahan harta benda wakaf didasarkan dengan PP Nomor: 42 tahun 2006 perubahan tersebut masih membuka peluang terjadinya perselisihan, dan menuntut penyelesaian secara hukum di Pengadilan dalam bentuk sengketa, hal ini pastinya akan memakan waktu yang lama pula, akan berbeda apabila sejak semula izin perubahan tersebut dikeluarkan oleh Pengadilan dalam bentuk Penetapan.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1.        Wakaf merupakan bagian dari kegiatan muamalah, di mana hukum dari muamalah itu sendiri yakni boleh. Sedangkan dasar hukum wakaf disamakan dengan konsep infak dalam Al Quran, yaitu sunnah, atau bagi siapapun yang ikhlas menafkahkan hartanya di jalan Allah maka baginya pahala yang berlipat ganda.
2.        Hukum menukar benda wakaf dibolehkan, dilihat dari kepentingan dan kebutuhannya untuk kemaslahatan tanpa mengurangi manfaat dari benda tersebut, serta kembali pada niat dan tujuannya terhadap penukarannya.
3.        Prosedur perubahan harta benda wakaf sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 42 tahun 2006 dirasa kurang memperhatikan kepentingan si wakifdengan tidak melibatkanwakifsama sekali dalam proses perubahan bentuk harta benda wakaf yang telah dia wakafkantersebut.
4.        Prosedur perubahan harta benda wakaf sebaiknya melalui lembaga Pengadilanguna memperoleh kepastian hukum dan meminimalisir perselisihan di kemudian hari, dengan melibatkan si wakif atau diajukan oleh wakif sendiri.
B. SARAN
Tulisan ini hanyalah sekelumit pemikiran dari satu sudut yang sangat kecil, masih banyak sudut-sudut lainnya yang lebih besar, karnanya sangat diperlukan karya yang lebih argumentatif dan konprehensif demi hasil yang lebih baik. Menyadari akan hal itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang budiman. Wassalam.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
 Undang-Undang Nomor: 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Kompilasi Hukum Indonesia Buku III.
az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu Jilid VIII. Dimasyqi: Dar ar Fikr, tt.
Peraturan Menteri Agama Nomor: 1 tahun 1978.
NU online, 2017, Tukar guling harta wakaf sudah ada aturannya http://www.nu.or.id/post/read/83497/tukar-guling-tanah-wakaf-sudah-ada-aturannya, Rabu 22 November 2017. Diakses pada rabu 12 september 2018 pukul 17. 35.
Kholis tembesi, 2016. Hukum menukar atau menjual harta wakaf menurut ibnu taimiyyah. https://www.kholistembesi.com/2016/03/hukum-menukar-atau-menjual-harta-wakaf.html. Diakses pada rabu 12 september 2018 pukul 17. 30.











[1]  Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu (Dimasyqi: Dar ar Fikr, tt), VIII: 153
[2]  Ibid., hlm 153-154
[3]  Ibid., hlm 155-156
[4]  Dalam KHI termuat dalam Buku III dari pasal 215 s/d pasal 229
[5]  Pasal 40 dan 41 UU Nomor: 41 tahun 2004
[6] Pasal 49 (2) PP Nomor 42: tahun 2006
[7] Pasal 49 (3) PP Nomor: 42 tahun 2006
[8] Pasal 49 (4) PP Nomor: 42 tahun 2006
[9] Pasal 51 PP Nomor: 42 tahun 2006

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020