l MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT Tentang : Fiqih kawin hamil Di susun oleh : Ahyadin Semester IV (Empat) | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Jumat, 30 Maret 2018

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT Tentang : Fiqih kawin hamil Di susun oleh : Ahyadin Semester IV (Empat)

MAKALAH

  FIQIH MUNAKAHAT
Tentang  :  Fiqih kawin hamil




Di susun oleh :
Ahyadin
Semester IV (Empat)

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
 mata kuliah Fiqih muamalah”


Dosen pengampu
M. Aminullah, M.Hum


FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2018/2019

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
      Allah menciptakan mahluk-Nya di dunia ini dengan berpasang-pasangan. Diharapkan dengan berpasang-pasangan tersebut dapat memberikan keturunan yang akan tetap memberikan kesinambungan kehidupan di muka bumi ini. Dengan demikian bumi ini tidak pernah kosong, tetapi terus berkembang dari masa ke masa.
      Ketika Allah mengirimkan banjir kepada umat Nabi Nuh, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya itu untuk membawa hewan-hewan ke dalam kapal penyelamatnya secara berpasangan. Tidak semua hewan dapat terangkut ke dalam kapal ini. Tetapi paling tidak banyak spesies hewan yang diangkut oleh Nabi Nuh ke dalam kapalnya itu. Ini memberikan hikmah bahwa Allah sendiri memerintahkan kepada manusia untuk ikut menjaga keberlangsungan dan kesinambungan generasi mahluk-mahluk-Nya di muka bumi ini.
      Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya untuk memakmurkan dunia ini. Dengan ini Allah membekali manusia dengan akal dan hati. Diharapkan dengan ini manusia dapat berfikir dan membimbingnya memperoleh kebahagiaan. Dengan akal dan hatinya pula manusia diharapkan mendapatkan pasangannya yang baik di bumi ini.
      Berbeda dengan mahluk-mahluk Allah yang lain, dalam mendapatkan pasangannya manusia dikenakan syarat-syarat khusus. Syarat-syarat tersebut terkumpul dalam sebuah akad yang dinamakan pernikahan. Tentunya perbedaan ini disebabkan karena Allah telah memberikan keistimewaan yang sangat besar kepada manusia, yaitu akal dan hati. Diharapakan pula dengan akal dan hati tersebut manusia dapat menemukan pasangannya secara halal dan bisa menjadi pasangan yang sakinah, mawaddah dan warahmah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian kawin hamil
      Pengertian kawin hamil (At-tazawuz bi Al-hamil) yaitu perkawinan seorang pria dengan seorang yang sedang hamil, yaitu dihamili dahulu baru dikawini, atau di hamili oleh orang lain baru dikawini, atau di hamili oleh orang lain baru dikawini oleh orang yang bukan menghamilinya.
B.       faktor yang melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak di luar kawin
      Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak di luar kawin,  antara lain:
1.         Karena usia pelaku masih di bawah batas usia yang di ijinkanuntuk melangsungkan perkawinan.
2.         Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan
3.         Karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan.
4.         Karena akibat dari tindak pidana (pemerkosaan).
5.         Karena tidak mendapat restu orang tua.
6.         Karena laki-laki terikat perkwinan dengan wanita lain dan tidak mendapat ijin untuk melakukan poligami.
7.         Karena pergaulan seks bebas (free sex).
8.         Karena prostitusi/perdagangan jasa seksual.

C.       Hukum kawin hamil 
      Ada beberapa ketentuan hukum yang dapat di kamukakan dalam pembahasan ini , antara lain mengenai sah atau tidaknya perkawinan keduanya, boleh tidaknya melakukan sengama, dan kedudukan nasab (keturunan bayi yang dilahirkan).
Ulama majhab al-arba’ah telah sepakat menetapkan bahwa perkawinan keduanya sah,  dan boleh mengadakan senggama bila laki-laki itu sendiri yang menghamilinya baru ia mengawininya. Tetapi ibnu hazm mengatakan: keduanya boleh di kawinkan dan boleh mengadakan senggama bila ia telah bertobat dan mengalami hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berjina. pendapat ini berdasarkan pada keputusan hukum yang telah di tetapkan oleh sahabat nabi kepada orang-orang yang berbuat seperti itu, antara lain diriwayatkan:
      Ada beberapa ketentuan hukum yang dapat dikemukakan dalam pembahasan ini, antara lain mengenai sah atau tidaknya pekawinan keduanya, boleh tidaknya melakukan senggama,dan kedudukan nasab (keturunan) bayi yang dilahirkan .
Ulama mahzab al-arba’ah telah sepakat menetapkan bahwah perkawinan keduanya sah, dan boleh mengadakan senggama bila laki-laki itu sendiri yang menghamilinya baru iya mengawininya . tetapi ibnu hazm mengatakan: keduanya boleh dikawinkan dan boleh mengadakan senggama bila ia telah bertobat dan mengalami hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina. pendapat ini berdasarkan pada keputusan hukum yang telah di tetapkan oleh sahabat nabi kepada orang-orang berbuat seperti itu, antara lain diriwayatkan:
a.         Ketika jabir bin abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berbuat zina, maka ia berkata: boleh mengawinkanya, asalkan keduanya telah bertobat dan memperbaiki sifat -sifatnya  
b.         Seorang laki-laki mengajukan keberatanya kepada khalifah Abu Bakar, lalu berkata: wahai amirul mmukminin, putriku telah digauli oleh tamuku, dan aku ingin agar keduanya dinikahkan. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan hukuman cambuk kepada keduanya, kemudian di nikahkan.
      Adapun hukum pernikahan seorang  laki-laki dengan perempuan yang hamil oleh orang lain, maka ulama berpendapat sebagai berikut:
1.         Menurut Abu Yusuf, keduanya tidak boleh di kawinkan karena bila dikawinkan, maka perkawinanya fasid atau batal. Pendapat ini berdasarkan kepada:
QS.an-Nuur [24]:3 “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yan berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki  yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin”.
Hadis Nabi Muhammad SAW: “bahwasanya seorang laki-laki mengawini seorang perempuan,  maka ketika ia menikahkannya, ia mendapatkanya dalam keadaan hamil , lalu ia melaporkannya kepada Nabi SAW, maka nabi SAW menceraikan keduanya dan memberikan kepada perempuan itu maskawin ,kemudian di cambuk sebanyak seratus kali”.
2.         Menurut muhammad bin ai-hasan asy-syabani, perkawinannya sah, tetapi diharamkan baginya mengadakan senggama, hingga bayi yang dikandungnya itu lahir. Pendapat ini berdasarkan pada hadist Nabi berikut: “jangan kau menggauli wanita yang hamil hingga lahir (kandungannya).”
3.         Menurut imam abu hanifah dan imam syai’i, perkawinan seorang laki-laki dengan wanita yang telah hamil oleh orang lain adalah sah, karena tidak oleh perkawinan dengan orang lain. Dan boleh pla menggaulinya karena tidak mungkin nasab (keturunan) bai yang di andung itu ternodai oleh sperma suaminya. Maka bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya.




D.      Kawin hamil dalam KHI
      Ketentuan kawil hamil diatur dalam pasal 53 KHI, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53
1      seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3      Dengan dilangsungkan perkawinanpada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulanh setelah anak yang dikandung lahir.

      Mengenal aturan kawin hamil tetap diletakkan pada kategori boleh. Tidak mesti yang dianut oleh kehidupan berdasarkan hukum adat.

      Pada dasarnya, pendefinitifan kebolehan kawin hamil yang diatur dalam KHI sedikit banyak beranjak dari pendekatan kompromistis dengan hukum adat. Kompromi ini, ditinjau dari kenyataan terjadinya ikhtilaf dalam ajaran fiqih dihubungkan pula dengan faktor sosiologi dan psikologis. Dari berbagi faktor yang dikemukakan yang ditarik kesimpulan berdasarkan asas istishah, sehingga dari penggabungan faktor iktilaf dan urf’ perumus KHI berpendapat: lebih besar maslahah membolehkan kawin hamil dari pada melarangnya.

      Kompromi nilai ini perlu, sebab salah satu tujuan utama asas kebolehan kawin hamil bermaksud untuk memberi perlindungan hukum yang pasti kepada anak dalam kandugan. Untuk apa dibolehkan kawin hamil kalau anak yang dalam kandungan tetap berstatus anak zina?

      Suatu hal yang perlu dicatat sehubungan dengan kawin hamil dalam KHI sengaja dirumuskan dengan singkat dan agak bersifat umum.maksudnya untuk memberi keleluasaanbagi pengadilan untuk mencatat dan dan menemukan asas-asas baru melalui trobosan dan konstruksi yang lebih aktual dan rasional.
      Menurut Ahmad Rofik, kebolehan kawin hamil menurut ketentuan pasal 53 KHI terbatas bagi laki-laki yang menghamilinya. Ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. An-nuur [24]: “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
      Ayat di atas dapat dipahami   bahwa kebolehan kawin dengan perempuan hamil bagi laki-laki yang menghamilinya adalah merupakan pengecualian. Karena laki-laki yang menghamili itulah yang telah menjadi jodoh mereka. Pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukan keharaman wanita yang hamil tadi, adalah isyarat larangan bagi laki-laki yang baik-baik untuk mengawini mereka (QS.Al-Baqarah [2]: 221). Isyarat tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat wahurrima ala al-mu’minun. Jadi, bagi selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil tersebut, diharmkan untuk menikahinya.[1]
E.       Kawin Hamil Dalam Perspektif Fiqih Islam
1.  Pernikahan Wanita Pezina
      Dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 3 dijelaskan bahwa perempuan pezina dilarang menikah kecuali dengan laki-laki pezina juga. Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardhawi (2003:264) dalam bukunya yang berjudul Halal Haram Dalam Islam mengemukakan tentang ta’rif perempuan pezina “...adalah perempuan-perempuan tuna susila yang secara terang-terangan melakukan perzinaan dan menjadikannya sebagi profesi”. Melihat ta’rif tersebut, setidaknya seorang perempuan dapat dikatakan sebagai perempuan pezina jika memenuhi 2 syarat, yaitu adanya kesengajaan untuk melakukan zina dan menjadikan itu sebagai profesi.
Pejelasan Ibnu Qayyim, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Yusuf Qardhawi (2003:266) mengatakan.
Sebagaimana hukuman ini adalah ketetapan al-Qur’an yang sangat demikian jelas, ia juga merupakan pemenuhan fitrah dan logis adanya. Ketika Allah swt. mengharamkan hamba-hamba-Nya menjadi mucikari dan suami perempuan nakal, sesungguhnya Dia juga menciptakan manusia dengan naluri yang tidak menyukai hal itu. Karena itulah, jika ingin memperolok-olok seseorang, masyarakat dahulu mengatakannya sebagai ‘suami pelacur’. Karena itu, Allah swt. meng-haramkannya bagi seorang muslim, agar ia tidak menjadi orang semacam itu.
      Larangan menikahi perempuan pezina, selain terdapat dalam al-Qur’an, juga terdapat dalam sebuah hadis. Yaitu hadis yang menceritakan tentang peristiwa seorang sahabat yang meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk menikahi seseorang pezina. Namun Nabi melarang sahabat itu untuk menikahi perempuan tersebut. Sedangkan larangan-larangan menikahi perempuan pezina secara tegas diungkapakan oleh Allah dalam surat an-Nur ayat 3 (Qardhawi, 2003: 265).
      Perkawinan dengan laki-laki atau perempuan pezina dapat melecehkan kehormatan dirinya sebagai anggota masyarakat. Selain itu juga dapat menggugurkan status kewarganegaraannya atau menghalanginya dari hak-hak tertentu. Selain itu juga, perkawinan itu dapat menyebabkan rusaknya martabat seorang manusia dan merusak nasab yang telah ditentukan oleh Allah yang ditujukan untuk kemaslahatan mereka. Zina dapat menyebabkan bercampur baurnya air mani dan menjadikan rancunya sebuah nasab (Qardhawi, 2003: 266).
      Dalam larangan menikahi perempuan pezina seseungguhnya terdapat hikmah yang sangat besar. Ketika Allah mengharamkan hambanya untuk menjadi mucikari dan suami dari perempuan nakal, seseungguhnya Dia juga menciptakan manusia yang tidak menyukai hal itu. Maka dengan seizin Allah seorang laki-laki yang baik akan mendapatkan istri yang baik pula (Qardhawi, 2003: 266).
      Walaupun begitu, sebenarnya larangan untuk menikahi perempuan pezina merupakan masalah khilafiyah. Tidak semua ulama’ secara sepakat mengatakan bahwa perempuan pezina dilarang dinikahi secara mutlak. Tidak sedikit dari para ulama’-ulama’ itu yang memperbolehkan menikahi perempuan pezina, walaupun ada sebagian diantara mereka yang menetapkan syarat-syarat tertentu agar perempuan pezina tersebut dapat dinikahi (Ash-Shiddieqy, 1978:279).
      Imam Malik dan Imam Ahmad, seperti yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy memperbolehkan menikahi perempuan pezina yaitu perempuan jalang atau pelacur. Sedangkan Imam Ahmad juga memperbolehkan menikahi perempuan pezina tetapi dengan syarat perempuan tersebut telah bertobat. Ketika perempuan tersebut belum bertobat maka diharamkan untuk menikahinya (Ash-Shiddieqy, 1978:285).
2.  Kawin Hamil Dalam Pandangan Ulama’ Fiqih
      Dalam fiqih Islam sendiri para ulama’ sebenarnya masih berbeda pendapat tentang hukum menikahi perempuan yang hamil karena zina. Tak sedikit ulama’ yang mengharamkan pernikahan ini. Alasannya pun bermacam-macam. Ada yang mengharamkan karena berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena zina tersebut mempunyai iddah seperti perempuan hamil pada umumnya. Sehingga perempuan tersebut haram dinikahi sampai melahirkan anaknya. Selain itu para ulama’ juga ada yang berpendapat bahwa tidak boleh menikahi perempuan tersebut kecuali oleh laki-laki yang berzina dengannya.
      Salah satu ulama’ yang mengatakan diperbolehkannya menikahi perempuan yang hamil karena zina adalah Imam Nawawi. Beliau menjelaskan bahwa anak yang dikandung oleh perempuan tersebut tidak akan bisa dinasabkan kepada seorang lelaki pun, maka dari itu kehamilannya pun dianggap tidak ada atau tidak berpengaruh sama sekali terhadapnya. Sehingga status kehamilan perempuan tersebut tidak akan menghalangi dirinya untuk melaksanakan akad nikah (An-Nawawi, 2005:413).
      Ketika seorang perempuan berzina, maka tidak wajib baginya adanya ‘iddah, ini seperti yang ditegaskan Imam Nawawi. Baik perempuan itu dalam keadaan hamil maupun tidak setelah melakukakan perbuatan zina tersebut. Sehingga hukum yang berlaku terhadap perempuan hamil sebab berzina berbeda dengan perempuan yang hamil sebab pernikahan yang sah. Perbedaan itu ialah karena perempuan yang hamil sebab pernikahan yang sah akan dikenai ‘iddah jika ditinggal mati suaminya atau dicerai, sedangkan perempuan yang hamil karena zina tidak mempunyai masa ‘iddah (An-Nawawi, 2005:413).
      Imam Nawawi memberikan keterangan lebih lanjut, bahwa perempuan pezina yang tidak hamil boleh (mubah) dinikahi oleh orang yang berzina dengannya maupun oleh orang lain. Sedangkan apabila perempuan tersebut dalam keadaan hamil, maka menikahinya sebelum melahirkan dihukumi makruh. Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat Imam Abu Hanifah seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi (An-Nawawi, 2005:414).
      Jika para ulama’ Syafi’iyyah dan Hanafiyyah berpandangan bahwa perempuan yang hamil karena zina boleh dinikahi oleh siapapun, maka pendapat ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qudamah seperti yang dikutip M. Ali Hasan. Mereka berpandangan bahwa perempuan yang hamil karena zina tidak boleh menenikah kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya. Menurut Imam Abu Yusuf, bila perkawinan itu tetap dilangsungkan maka perkawinan itu dianggap batal atau fasid. Ibnu Qudamah menambahkan, bahwa seorang laki-laki tidak boleh mengawini perempuan yang diketahuinya telah hamil karena zina dengan orang lain kecuali dengan dua syarat, yaitu perempuan tersebut telah melahirkan dan perempuan tersebut telah menjalani hukuman dera atau cambuk (Hasan, 2006:256-258).
      Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan para ulama’ Syafi’iyyah, Imam Malik dan Imam Ahmad seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi mengatakan bahwa perempuan yang berzina tetap memiliki ‘iddah seperti perempuan pada umumnya. Apabila perempuan tersebut tidak hamil maka ‘iddahnya adalah tiga kali masa suci. Sedangkan apabila perempuan tersebut sedang dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai perempuan tersebut melahirkan. Sehingga konsekuensinya adalah perempuan tersebut tidak boleh dinikahi sebelum masa hamilnya habis. Imam Malik menerangkan lebih lanjut, bahwa apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan pezina tetapi laki-laki tersebut tidak mengetahuinya dan setelah pernikahan itu baru diketahui bahwa ternyata perempuan itu hamil karena zina, maka pada saat ini juga hubungan pernikahannya dianggap batal (An-Nawawi, 2005:414).
      Tetapi pendapat Imam Malik ini tentunya sangatlah aneh dan janggal. Karena seorang ayah dapat dengan itu dapat mengingkari anak hasil dari hubungannya dengan seorang perempuan yang menyebabkan kehamilan diluar nikah. Ini seperti yang diuangkapkan oleh Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah.
      Dengan demikian, sekalipun diketahui bahwa anak yang dilahirkan jelas-jelas anaknya, darah dagingnya, namun kalau ia lahir di luar perkawinan yang sah, maka ayah anak tersebut dengan mudah menyangkalnya dan melepaskan tanggung jawabnya. Hal ini akan memberikan stigmatisasi terhadapa anak, karena ia akan menyandang gelar anak zina sekaligus diltelantarkan oleh bapaknya (Munti & Anisah, 2005:158).[2]
F.        Kasus-Kasus seputar menikahi wanita yang sedang hamil
1.   Kasus Pertama
      Seorang wanita sudah menikah dan sedang dalam keadaan hamil, lalu berhubungan seksual dengan suaminya, maka hukumnya halal. Sebab hubungan suami isteri tidak terlarang, bahkan pada saat hamil sekali pun. Lagi pula, dia melakukannya dengan suaminya sendiri. Maka hukumnya halal.
2.   Kasus Kedua
      Seorang wanita sudah menikah dan sedang dalam keadaan hamil. Suaminya meninggal atau menceraikannya. Maka wanita ini diharamkan menikah, apalagi melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain.
Sebab wanita itu masih harus menjalankan masa iddah, yaitu masa di mana dia harus berada dalam posisi tidak boleh menikah, bahkan termasuk ke luar rumah dan sebagainya. Dan masa iddah wanita yang hamil adalah hingga dia melahirkan anaknya.
3.   Kasus Ketiga
      Seorang wanita hamil di luar nikah yang syar'i (berzina), lalu untuk menutupi rasa malu, keluarganya menikahkannya dengan orang lain. Yaitu laki-laki lain yang tidak menzinainya.
Dalam hal ini, para ulama mengharamkan terjadinya hubungan seksual antara mereka. Adapun apakah boleh terjadi pernikahan saja, tanpa hubungan seksual, ada dua pendapat yang berkembang.
Pendapat pertama, hukumnya haram. Dan kalau dinikahkan juga, maka pernikahan itu tidak sah alias batil. Di antara para ulama yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama.
Karena yang namanya suami isteri tidak mungkin diharamkan dalam melakukan hubungan seksual. Jadi menikah saja pun diharamkan, kecuali setelah anak dalam kandungan itu lahir.
Pendapat kedua, hukumnya halal dan pernikahan itu sah. Asalkan selama anak itu belum lahir, suami itu tetap tidak melakukan hubungan seksual dengannnya. Suami harus menunggu hingga lahirnya bayi dalam perut. Baik dalam keadaan hidup atau mati.Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dan Imam Abu Hanifah.
Perbedaan pendapat para ulama ini berangkat dari satu dalil yang dipahami berbeda. Dalil itu adalah dalil tentang haramnya seorang laki-laki menyirami ladang laki-laki lain.
Dari Rufai' bin Tsabit bahwa Nabi SAW bersabda, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyiramkan airnya pada tempat yang sudah disirami orang lain." (HR Tirmizi dan beliau menghasankannya)
Jumhur ulama yang mengharamkan pernikahan antara mereka mengatakan bahwa haramnya 'menyirami air orang lain' adalah haram melakukan akad nikah. Sedangkan As-Syafi'i dan Abu Hanifah mengatakan bahwa yang haram adalah melakukan persetubuhannya saja, ada pun melakukan akad nikah tanpa persetubuhan tidak dilarang, karena tidak ada nash yang melarang.
4.   Kasus Keempat
      Seorang wanita belum menikah, lalu berzina hingga hamil. Kemudian untuk menutupi rasa malunya, dia menikah dengan laki-laki yang menzinainya itu.
Dalam hal ini para ulama sepakat membolehkannya. Karena memang tidak ada larangan atau pelanggaran yang dikhawatirkan. Setidaknya, Al-Imam Asy-syafi'i dan Abu Hanifah rahimahumallah membolehkannya. Bahkan mereka dibolehkan melakukan hubungan seksual selama masa kehamilan, asalkan sudah terjadi pernikahan yang syar'i antara mereka.
Karena illat (titik point) larangan hal itu adalah tercampurnya mani atau janin dari seseorang dengan mani orang lain dalam satu rahim yang sama. Ketika kemungkinan itu tidak ada, karena yang menikahi adalah laki-laki yang sama, meski dalam bentuk zina, maka larangan itu pun menjadi tidak berlaku.
Seringkali ada orang yang tetap mengharamkan bentuk keempat ini, mungkin karena agak rancu dalam memahami keadaan serta titik pangkal keharamannya.
Pendeknya, kalau wanita hamil menikah dengan laki-laki yang menzinainya, maka tidak ada dalil atau illat yang melarangnya. Sehingga hukumnya boleh dan sesungguhnya tidak perlu lagi untuk menikah ulang setelah melahirkan. Karena pernikahan antara mereka sudah sah di sisi Allah SWT. Bahkan selama masa kehamilan itu, mereka tetap diperbolehkan untuk melakukan hubungan suami isteri. Jadi mengapa harus diulang?
Perbedaan Antara Wanita Pezina dengan Wanita Yang Pernah Berzina
      Satu hal lagi yang perlu dijelaskan duduk perkaranya adalah perbedaan hukum antara dua istilah. Istilah yang pertama adalah 'wanita pezina', sedangkan yang kedua adalah 'wanita yang pernah berzina'.
Antara keduanya sangat besar bedanya. Wanita pezina itu adalah wanita yang pernah melakukan zina, belum bertaubat, bahkan masih suka melakukannya, baik sesekali atau seringkali. Bahkan mungkin punya pandangan bahwa zina itu halal.
Wanita yang bertipologi seperti ini memang haram dinikahi, sampai dia bertaubat dan menghentikan perbuatannya secara total. Dan secara tegas, Allah SWT telah mengharamkan laki-laki muslim untuk menikahi wanita pezina. Dan wanita seperti inilah yang dimaksud di dalam surat An-Nur berikut ini.
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min”. (QS. An-Nur: 3)
Adapun wanita yang pernah berzina, lalu dia menyesali dosa-dosanya, kemudian bertaubat dengan taubat nashuha, serta bersumpah untuk tidak akan pernah terjatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya, maka wanita seperti ini tidak bisa disamakan dengan wanita pezina.
Ayat di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan pernikahan bagi dirinya, hanya lantaran dia pernah jatuh kepada dosa zina.[3]


  

BAB III
PENUTUP
           
A.    Kesimpulan
      Dari keterangan dan pendapat-pendapat ulama diatas setidaknya dapat disimpulkan menjadi empat pendapat.
1.             Pendapat pertama yang mengatakan bahwa perempuan yang hamil diluar nikah boleh melangsungkan akad pernikahan baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki lain. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Hanafiyyah seperti yang dikutip Imam Nawawi.
2.             Pendapat kedua mengatakan bahwa perempuan yang hamil diluar nikah hanya boleh melangsungkan akad pernikahan dengan laki-laki yang menghamilinya saja. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qadamah. Pendapat ini juga merupakan bunyi pasal KHI yang menyebutkan bahwa perempuan yang hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya saja.
3.             Pendapat ketiga mengatakan bahwa perempuan hamil di luar nikah tidak boleh melangsungkan akad pernikahan. Perempuan tersebut baru boleh menikah baik dengan laki-laki yang berzina dengannya maupun dengan orang lain dengan syarat telah melahirkan kandungannya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Malik dan Imam Ahmad.
4.             Pendapat keempat, perempuan yang pernah berzina baik dalam keadaan hamil maupun tidak, tidak boleh melangsungkan akad pernikahan kecuali dengan sesama pezina. Pendapat ini merupakan pendapatnya Dr. Yusuf Qardhawi dan Ibnu Qayyim.
B.   Saran-Saran
      Kendatipun terdapat banyak pendapat diatas yang dapat kita ikuti, tetapi tidak akan membuat kita leluasa untuk memilihnya. Banyak pertimbangan-pertimbangan yang akan mempengaruhi pilihan kita. Kehidupan dalam masyarakat majmuk serta hidup dalam mayarakat yang masih memegang adat ketimuran dengan erat tentunya menjadi sekian diantara beberapa pertimbangan yang akan menyambangi kita. Dampak positif serta negatif di masyarakat dalam memilih pendapat tersebut tentunya juga tak luput dalam mempengaruhi sebuah kebijakan yang akan kita ambil.
      Contohnya adalah mengenai laki-laki yang mengawini perempuan hamil yang dihamili oleh laki-laki lain. Dalam hal ini M. Ali Hasan berpendapat bahwa kendatipun ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa perkawinan yang dilangsungkan itu sah, tetapi akan memberikan dampak negatif. Sebab, laki-laki akan dianggap sebagai tumbal (penutup aib), apakah dia mengawini perempuan itu dengan sukarela atau karena imbalan. Apalagi kalau laki-laki tersebut bukanlah seorang pezina atau laki-laki hidung belang. Maka sebenarnya laki-laki yang pantas menjadi pasangan perempuan itu adalah laki-laki yang pezina juga (Hasan, 2006:262).
Selain itu juga, belum ada pemberian hukum khusus yang diberikan kepada perempuan yang hamil karena menjadi korban perkosaan. Baik dalam KHI maupun Fiqih Islam agaknya memberikan pemahaman tentang hukum yang sama antara perempuan yang hamil karena zina dan perempuan yang hamil karena perkosaaan. Seharusnya hukum yang diberikan tidak disamakan dengan perempuan pezina, karena perbuatan perkosaan itu terjadi bukan atas kehendaknya sendiri. Perempuan tersebut sejatinya hanyalah korban dari perbuatan zina oleh orang lain, bukan pelaku yang menghendaki perbuatan zina tersebut.






DAFTAR PUSTAKA

Mardani. 2016, Hukum keluarga islam di indonesia. Jakarta: Kencana prenadamedia group
Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Halal Haram Dalam Islam. Solo: Era Intermedia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1978. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ad-Danusyiri,M. Najmuddin Huda. 2014. Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) & Fiqih Islam.https://asatir-revolusi.blogspot.co.id/2014/11/kawin-hamil-dalam-perspektif-kompilasi.html (Diakses tanggal 17 maret 2018)







    [1]   Mardani, Hukum keluarga islam di indonesia. (Jakarta: Kencana prenadamedia group, 2016), Hlm,. 89-93. Cetakan pertama.
  [2]   M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri, Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) & Fiqih Islam.https://asatir-revolusi.blogspot.co.id/2014/11/kawin-hamil-dalam-perspektif-kompilasi.html (Diakses tanggal 17 maret 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020