l MAKALAH ANTROPOLOGI HUKUM, Tentang : NIKA MBOJO- AHYADIN | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Selasa, 27 Maret 2018

MAKALAH ANTROPOLOGI HUKUM, Tentang : NIKA MBOJO- AHYADIN


                              MAKALAH


ANTROPOLOGI HUKUM
Tentang : pernikahan adat bima



Di susun oleh :
Ahyadin
Semester iv (empat)

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah antropologi hukum keluarga”

Dosen pengampu
Syarif hidayatullaah M.HI

JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA
2017


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya sehingga makalah Antrpologi hukum, tentang “perkawinan dalam perspektif masyarakat bima” bisa terselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta seluruh pengikutnya. Disusunnya makalah ini dengan maksud agar kita bisa memahami  dan mengetahui bagaimana adat, tradisi-tradisi dan budaya-budaya masyarakat lain khususnya perkawinan dalam etnis mbojo “bima”. Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan penulisan makalah ini. Akan tetapi kami harap agar pembaca bisa memaklumi kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah kami, atas dasar itu kritik dan saran kami harapkan dari pembaca demi kesempurnaan makalah yang kami buat ini dan lebih bermanfaat bagi kita semua. Amin……


                                                                                              
                                                                                               Bima, 24 Maret 2018

                                                                                                      Penyusun

                                                                                              



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar belakang
     Adab dan upacara perkawinan etnis mbojo, erat hubunganya dengan ketentuan-ketentuan di dalam ajaran agama penduduknya, yakni agama islam. Hal ini disebabkan oleh karena etnis mbojo adalah penganut agama islam yang fanatik. Hal tersebut juga ada hubungan historis dimana sultan-sultan bima sejak memerintah selalu mendasar kan pemerintahannya dan urusan kemasyarakatan berdasakan ketentuan didalam ajaran agama islam.
     semangat keutuhan keluarga dan masyarakat serta sifat ke gotong royongan diantara mereka. ini dapat dilihat dalam sikap anggota keluarga dalam memutuskan sebagai persiapan upacara melalui mbolo weki atau musyawarah keluarga serta melalui sumbangan keluarga (teka ro ne’e). Masyarakat ikut serta bertanggung jawab karena memang adat adalah masyarakat pendukungnya.Hal ini akan di jumpai dalam upacara-upacara pamaco, dende, akad nikah atau ramah tamah. Sifat musyawarah dan kegotong-royongan masyarakat khususnya dalam adat upacara perkawinan akan terus berjalan sampai waktu yang tak dapat diramalkan. Sifat kegotong-royongan yang nampak dengan jelas di dalam masyarakat khususnya etnis mbojo dalam masyarakat bima patut di hormati demikian pula semangat musyawarah di dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat  merupakan inti dalam pelaksanaan upacara perkawinan.    
     Pada masa kesultanan Bima, ajaran islam memberikan inspirasi sebagai sumber undang-undang dan peraturan dalam kerajaan yang diatur menurut tata cara islam sehingga dalam kehidupan masyarakat dalam beberapa aspek diwarnai dan dijiwai oleh ajaran islam. Karena itu, masyarakat bima dewasa ini memiliki adat istiadat yang bercorak islam sebagai warisan yang diterima secara turun temurun yang berlaku sejak zaman kesultanan Bima. Diantara adat istiadat daerah bima diantaranya ialah maslah perkawinan.
B.            Rumusan Masalah
a.       Bagaimana bentuk perkawinan dalam konteks budaya bima?
b.      Apa syarat-syarat perkawninan dalam konteks budaya bima?
c.       Bagaimana tata cara plaksanaan dalam perkawinan budaya bima?
C.            Tujuan
a.       Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perkawinan masyarakat bima
b.      Mengetahui syarat-syarat perkawinan masyarakat bima
c.       Mengetahui tata cara pelaksanaan perkawinan masyarakat bima
DAFTAR ISI

Cover makalah..................................................................................................
Cover dalam.....................................................................................................
Kata pengantar.................................................................................................
Daftar isi...........................................................................................................
BAB I Pendahuluan..............................................................................................
a.       Latar belakang......................................................................................
b.      Rumusan masalah.................................................................................
c.       Tujuan...................................................................................................
BAB II Pembahasan......................................................................................... .... 1
A.    Asal nama daerah bima......................................................................... .... 1
B.     Adat perkawinan.................................................................................. .... 1
a.         Bentuk-bentuk perkawinan...........................................................
b.         Cara memilih jodoh.......................................................................
c.         Syarat-syarat Perkawinan..............................................................
C.     Adat sebelum perkawinan....................................................................
1.         pengantar mahar atau wa’a co’i.....................................................
2.         Penentuan waktu karawi...............................................................
D.    Adat dalam prosesi pelaksanaan perkawainan.....................................
1.         kapanca.......................................................................................... ....
2.         Akad nikah....................................................................................
3.         Mboho oindeu...............................................................................
4.          Pamaco.........................................................................................
E.     Adat Sesudah Menikah........................................................................
F.      Pernikahan masyarakat bima ditinjau dari hukum islam.......................
1.      Mahar/Wa’a Co’i................................................................................
2.      Tempat Akad/Upacara Perkawinan...............................................
3.       Walimah.........................................................................................
4.      Hiburan dalam perkawinan............................................................
BAB III Penutup..............................................................................................
a.       Kesimpulan...........................................................................................
b.      Mahar....................................................................................................
c.       Mengenai aturan baku..........................................................................


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Asal nama daerah  bima
     Bima, yang sekarang mencakup kota bima dan kabupaten bima, Bima dulu bernama mbojo dan hingga sekarang tetap populer dikalangan masyarakat dengan istilah dana mbojo, yang artinya tanah bima; nggahi mbojo yang artinya bahasa bima dou mbojo yang artinya orang  bima, dan lain-lain. menurut informasi dan cerita-cerita dari orang tua dan ahli adat bima, kata mbojo itu berasal dari kata babuju, yaitu tanah yang tinggi, sebagai busut jantan yang agak besar (bahasa bima, dana ma babuju) tempat bersemayam raja-raja ketika dilantik dan disumpah yang letak di dara kini dekat makam pahlawan di bima Amin,1971;9. sedangkan kata bima berasal dari nama petualang dari jawa yang bergelar sang bima yang telah berusaha mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di bima, yang keseluruhannya menjadi kerajaan bima.
     Dalam kitab silsilah raja-raja Bima dinyatakan bahwa sang bima adalah adik dari darmawangsa dan berasal dari jawa dan ketika berlayar ke timur ia singgah di wadu pa’a (salaeh, dkk., 1979: 20), yang pada waktu itu masih bernama Mbojo dan daerah tersebut sudah ada dengan nama aslinya Mbojo (salaeh, dkk., 1979: 20).[1]
Dari keterngan di atas dapat di simpulkan bahwa nama bima bukan nama aslinya, tetapi nama peringatan sang bima yang berjasa dalam menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di bima, sedangkan nama aslinya ialah mbojo, dan kalau dalam bahasa indonesia di sebut daerah bima, bukan daerah mbojo. Begitu juga terhadap julukan orang atau penduduknya, seharusnya dengan istilah orang bima, bahasa bima, dan lai-lain. Kalau dalam bahasa bima, sangat janggal dan tak pernah terdengar sebutan: daerah mbojo, dou mbojo, nggahi bima; tetapi yang lazim di sebut: dana mbojo yang artinya daerah bima, dou mbojo yang artinya orang bima, nggahi mbojo yang artinya bahasa bima.[2]
B.            Adat Perkawinan
a.    Bentuk-bentuk perkawinan
     Pada umumnya, perkawinan di Bima dilangsungkan setelah musim panen. Juga pada bulan-bulan bersejarah menurut agama islam, misalnya: bulan maulud, rajab, dan zulhijjah. Adanya pemilihan bulan-bulan tersebut terletak pada faktor ekonomis, yaitu ketetapan pada bulan-bulan tersebut terjadi musim panen. Selain bulan-bulan yang disebutkan tadi, juga ada bulan yang merupakan pantangan untuk dilangsungkan perkawinan. Bulan tersebut adalah bulan zulqaidah. Dalam anggapan masarakat bima, bulan ini disebut wura hela. Wura = bulan, hela = kosong, artinya yang diselingi oleh dua hari raya yaitu  idul fitri dan hari raya idul adha. dasar pertimbangan mereka tersebut terletak pada faktor ekonomi, dimana sebelum sebelum bulan zulqaidah mereka baru saja mengadakan perayaan-perayaan sehingga perekonomian menipis dan dalam menghadapi hari raya kurban mareka juga memerlukan persiapan-persiapan seperlunya. Adanya pemilihan bulan-bulan terrtentu dan adanya bulan yang menjadi pantangan dalam masyarakat bima untuk melaksanakan acara perkawinan, hanyalah pertimbangan dalam segi ekonomi saja.
      Adapun tujuan perkawinan menurut adat Bima ada empat macam, sebagai berikut:
a.    Untuk memenuhi kehendak agama. Masyarakat Mbojo adalah masyarakat yang fanatik terhadap  agama islam. Perkawinan di laksanakan sesuai dengan anjuran di dalam agama islam, yakni untuk menghindari manusia dari perbuatan terlarang seperti berzina dengan wanita yang belum dinikahi. Betapa besarnya pengaruh agama islam dalam adat perkawinan etnis Mbojo dapat dilihat dari cara penyelenggaraan adat yang sanggat kental dan erat hubunganya dengan peraturan-peraturan di dalam agama islam, seperti akad nikah dilakukan di masjid setiap perkawinan di hadiri oleh perkawinan mengharuskan adanya mahar yang disebut co’i. Agama islam menganjurkan agama setiap pemuda dan pemudi yang mampu agar segara meyelenggarakan perkawinan untuk menghindari dari perbuatan tidak halal. Dasar inilah yang memberikan dorongan bagi dilaksanakannya suatu perkawinan.
b.    Untuk memenuhi kebutuhan biologis. Tujuan ini melekat pada setiap perkawinan, hanya mungkin kadarnya yang berbeda. Bila diperhatikan kondisi yang terjadi dalam masyarakat bima bahwa tujuan perkawinan yang dilakukan juga untuk memenuhi kebutuhan seksual dan hak tersebut bersifat manusiawi.
c.    untuk meneruskan keturunan. Seseorang anggota masyarakat yang sudah melaksanakan perkawinan dan hidup bercukupan, tapi apabila mereka belum memiliki atau mendapatkan anak maka hal tersebut merupakan sesuatu yang dianggap belum mempunyai makanan di dalam masyarakat karena dengan keturunan itu sebenarnya sebagai warisan apabila keluarganya sudah meninggal dunia. Demikian pula bagi pihak orang tua menghendaki dipercepatnya perkawinan fitnah dan malu jika anak gadisnya yang berbuat menyimpang dari ketentuan adat dan agama, bahkan tujuan perkawinan itu belum tercapai apabila belum memperoleh keturunan. Di sinilah peran keturunan itu dalam kehidupan masyarakat.
d.   Untuk ststus sosial. Tentang tujuan perkawinan etnis Mbojo dalam masyarakat bima adalah menyangkut urusan kerabat karena dengan adanya perkawinan akan menyebabkan lahirnya generasi baru yang meneruskan kerabat tersebut dalam hal ini menyangkut juga urusan derajat lebih-lebih bagi golongan yang mempunyai sosial tinggi. Urusan derajat atau status sosial dalam adat perkawinan etnis Mbojo dalam masyarakat bima memegang peran yang penting, bahkan pekerjaan seseorang pemuda sangat menentukan berhasil tidaknya di dalam meminang seseorang yang diidamkannya. Sedangkan kemampuan ekonomi atau kesanggupan untuk membayar mas kawin seringkali dikesampingkan jika ternyata pemuda yang meminang tersebut tergolong orang yang mempunyai status sosisl yang lebih tinggi.[3]
      Dikalangan etnis mbojo dikenal dua bentuk perkawainan yang lazim menurut istilah setempat, yakni perkawinan yang dikehendaki oleh adat dan bentuk yang meyimpang dari kehendak akad pada umumnya. Perkawinan yang diinginkan oleh adat dinamakan perkawinan yang baik disebut “londo taho”. Londo taho adalah perkawinan yang disepakati oleh kedua belah pihak keluarga dengan didahlui oleh pinangan pihak laki-laki kepada orangtua si gadis melalui cara-cara yang telah ditentukan oleh adat. Sedangkan adat ”londo iha” sering disebut “selarian”, sebagai jalan keluar dari keadaan bilamana salah satu pihak keluarga tidak menyetujui rencana perkawinan tersebut. Faktor dari selarian ini dilakukan seperti sang gadis hamil terlebih dahulu atau sebaliknya pemuda meragukan keberhasilannya bila pinangan dilaksanakan.
     Londo Taho atau perkawinan biasa menurut etnis Mbojo disebut perkawinan yang baik, hanyalah perkawinan yang didasarkan atas persetujuan pihak keluarga gadis berdasarkan lamaran dari pihak pemuda. Pemuda terlebih dahulu mengadakan hubungan percintaan dengan calon istrinya atau gadis idamannya. Antara keduanya sudah ada persesuaian atau sepakat untuk melangsungan perkawinan. Pemuda, baik dengan inisiatif sendiri atau tidak, menyampaikan maksudnya kepada orang tuanya, bila disetujui barulah diadakan peminangan.
     Pelaksanan peminangan bagi etis Mbojo dilaksanakan menurut adat yang berlaku, yaitu melalui juru pinang yang disebut ”Ompo panati”. Ompo panati atas nama keluarga si pemuda menyampaikan niat dan tujuan si pemuda kepada orang tua si gadis dengan menggunakan bahasa yang disusun rapi, sopan, serta menarik.[4]
            Bila pihak orang tua gadis menyetujui pinangan tersebut, mulailah dibicarakan pelaksanaan perkawinan dalam waktu yang dekat atau dalam jangka waktu yang tidak lama lagi. dalam hubungan ini, kedua belah pihak sudah mulai membuat persiapan dengan didahulukan musyawarah antara keluarga masing-masing. Musyawarah tersebut menyangkut waktu pelaksanaan upacara, pembiyaan, serta besarnya masing-masing sumbangan anggota keluarga. Dengan demikian,  perkawinan yang dilangsungkan dengan cara ini akan membawa konsekuensi kedua belah pihak untuk ikut serta tanggung jawab atas terselenggaranya perkawinan.
    Di sinilah nampak semangat gotong-royong dan kuatnya tali kekeluargan. perkawinan yang demikian itu merupakan cita-cita bagi semua orang tua etnis mbojo yang dalam hidupnya memiliki anak gadis “sampela siwe” atau pemuda “sampela mone”. Namun, harapan tersebut tidaklah senantiasa terlaksana. Sering terjadi seorang pemuda dan seorang gadis saling mencintai satu sama lain, mereka telah sepakat melangsungkan perkawinan, tetapi orang tua si gadis telah mempunyai pilihan lain, yaitu seorang pemuda yang menurutnya sangat sesuai dengan seleranya. Tidak penting apakah pemuda tersebut dicintai oleh anaknya, maka lamaran pemuda akan ditolak secara halus misalnya dengan kata-kata kiasan, “tiloa campo wara macampa na”, atau dengan kata, “anak gadisnya masih kecil” dan sebagainya. Maka, jalan lain bagi kedua insan yag telah bercinta tersebut,  kecuali berlari kerumah penghulu.
    Perkawinan dengan cara selarian dianggab sebagai londo iha, artinya perkawinannya yang tidak baik. Biasanya perkawinan dengan cara selarian menyebabkan keretakan hubungan keluaga dari masing-masing pihak. Selarian juga karena tumbuhnya keragu-raguan salah satu pihak, mungkin si pemuda berkeyakinan bahwa si gadis telah memiliki pemuda lain, padahal mereka telah menjalin ikatan janji. Dalam kasus ini juga terdapat penyelesaian yang baik bilamana orang tua gadis memaafkan si pemuda yang membawa lari anak gadisnya. selain faktor-faktor tersebut, status sosial si pemuda menurut anggapan orang tua gadis sesuai dengan status sosial anaknya, atau mungkin karena tidak adanya persesuaian tentang besarnya co’i yang dikehendaki oleh orang tua si gadis.
b.    Syarat-syarat Perkawinan
     Masyarakat bima telah meletakkan syarat-syarat untuk kawin sepenuhnya didasarkan pada hukum islam. Namun, apabila pihak orang tua gadis yang kurang setuju terhadap pemuda yang melamar anaknya, jelas untuk menolak lamaran secara terang-terangan dianggap kurang menghormati perasaan. Maka dari itu, caranya adalah dengan mengajukan permintaan pembayaran co’i yang tinggi. Jika tidak ada persetujuan jumlah yang diminta, sudah dapat dipastikan perkawinan ditunda. Co’i dan persetujuan orang tua si gadis dapat diterima atau tidak, dengan kata lain, kedudukan untuk menentukan pilihannya memang dimungkinkan, tetapi pada akhirnya orang tua dan kerabatnyalah yang menentukan apakah pilihan tersebut sesuai atau tidak.
     Dalam etnis mbojo, perkawinan anak kadang-kadang dilakukan di masa lalu dengan istilah “cepe kanefe”. Perkawinan cara ini mengharuskan kedua belah pihak hingga akil balig tidak ikut campur. Ini menunjukkan bahwa umur sama sekali menjadi persyaratan kawin.
     Di kalangan etnis mbojo, seorang wanita yang tidak menikah hingga di usia tuanya dinamakan “mbaru tua”. Hal ini terjadi mungkin disebabkan kemauan orang tua untuk mengawinkan dengan seseorang, tetapi si wanita tidak menyetujui atau wanita tersebut tergolong dari keluarga kaya sehingga keluarganya mengnginkan anaknya kawin dengan seorang pemuda yang kaya  pula. Dan biasanya, pihak pemuda tidak berani mendekati wanita tersebut karena takut ditolak.[5]
c.    Cara memilih jodoh
     Sebelum sampai jenjang perkawinan, seorang pemuda atau “sampela mone” dan seorang gadis atau “sampela siwe” dalam etnis mbojo terlebih dahulu mengadakan hubungan kasih sayang atau percintaan. Hubungan tersebut di dalam masyarakat bima disebut “ne’e angi”. Di dalam masa ne’e angi, baik pemuda maupun gadis mbojo tidak mungkin untuk lebih banyak bergaul dan bertukar pikiran secara langsung dengan “sodi angi” atau pacaran. Sebab seorang pemuda akan sangat segan ke rumah si gadis pujaannya, demikian juga si gadis sangat takut untuk menjamu pemuda tersebut di saksikan oleh orang tua dan keluarganya. Pendek kata, masih ada beberapa masyarakat bima etnis mbojo yang terikat dengan adat istiadat. Namun demikian, ada fasilitator yang digunakan untuk memfasilitas hubungan pemuda dan gadis adalah dalam pesta perkawinan, pasar, perjalanan, dan tontonan atau ketika sedang bercocok tanam. Tetapi pemuda dan pemudi dalam etnis mbojo sangat peka terhadap perasaan masing-masing isyarat yang paling menonjol adalah keinginan untuk melihat di balik “rimpu”  (pakaian muslim mbojo sejenis cadar). Hubungan tersebut akan sampai pada suatu saat dimana seorang pemuda atau gadis setuju untuk melangsungkan perkawinan atau nikah, dan tidak lanjutnya seorang pemuda menyampaikan maksudnya kepada orangtuanya. Dan jika kedua orangtuanya setuju atas kehendak anaknya, maka orang tua si pemuda akan mengutus ompu panati untuk meminang gadis yang dicintainya. Tetapi pinangan tersebut tidak diikuti dengan perkawinan  segera. Inilah disebut “lao sodi siwe” atau menanyakan status seorang gadis dan apabila lamaran diterima, maka terikatlah pemuda dan gadis itu dalam hubungan pertunangan.
     Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa kebiasaan etnis mbojo dalam hal memilih jodoh, pada dasarnya seorang gadis memilih calon suaminya, tetapi kebebasan tersebut akhirnya harus tunduk pada keputusan orang tua atau keluarga kedua belah pihak. Inilah perkawinan sebaik-baiknya etnis mbojo.[6]
C.      Adat  Sebelum Perkawinan
     Dalam uraian tentang mencari jodoh telah dilangsungkan  perkawinan dengan sebaik-baiknya dikalangan etnis mbojo, bahwa kebebassan memilih jodoh tunduk pada persetujuan orang tua serta keluarga dari kedua belah pihak sebagai awal dari upacara adat sebelum perkawinan disebut “panati”. panati atau lamaran dillakukan oleh sampela mone  melaluai juru lamar atau ompu panati bilamana antara si gadis dan pemuda saling mencintai dan sepakat untuk melangsungkan perkawinan, atau orang tua kedua belah pihak merencanakan untuk mengawinkan anaknya.
   Panati dilakukan oleh sebuah  delegasi yang terdiri dari beberapa orang terpandang atau keluarga terdekat si pemuda. Dalam etnis Mbojo, jarang orang tua si pemuda yang bertindak sebagai ompu panati karena yang memimpin biasanya adalah ompu panati yang ahli dalam hal  lamar-melamar si gadis. Ompu panati adalah perantara  dan juru bicara dan wakil dari pihak  sampela mone bahkan sampai proses penyelesaian upacara perkawinan peranannya akan tetap menonjol.
Adakalanya lamaran tersebut diterima atau ditolak. Ada beberapa sebab mengapa lamaran ompu panati tersebut ditolak. Hal ini oleh karena pihak orang tua si gadis sudah punya calon sendiri atau perbedaan tingkat sosial ekonomi dengan pemuda yang melamar atau adanya anggapan dari orang tua si gadis bahwa pemuda yang melamar tergolong orang yang tidak baik, misalnya pemabuk, penjudi, pencuri, dan sebagainya. Akan tetapi bila lamaran itu diterima maka dilakukanlah “wi’i ngahi”.
Wi’i ngahi dalam etnis Mbojo masyarakat bima, yaitu apabila lamaran sudah diterima oleh orang tua dan keluarga si gadis, maka semua keluarga si pemuda akan merasa legah termasuk juga ompu panati. Pemuda dan si gadis berada dalam masa saat bertunangan resmi disebut “sodi angi” dan dalam upacaranya disebut wi’i nggahi, artinya pemberian sesuatu sebagai tanda pertunagan yang resmi. Dalam prosesi adat ini, rombongan pihak pemuda membawa barang-barang keperluan si gadis, seperti cincin, minyak wangi, beberapa lembar pakaian dan puncaknya adalah pada saat di pasangnya sebuah cincin pada jari manis si gadis yang biasanya dilakukan oleh adik perempuan si pemuda.
     Tujuan dari upacara ini sebagai peresmian pertunangan dan sebagai pemakluman kepada mereka yang menyaksikan upacara tersebut. Upacara wi’i nggahi ini akan membawa kosenkuensi antara lain bahwa tunangan telah resmi. Dengan demikian, kedua belah pihak kini berada diambang pelaksanaan perkawinan. Pihak suami setelah peresmian  pertunangan, sering kali harus mengabdi kepada calon mertuanya. Di dalam etnis mbojo hal yang demikian, pengabdian pra nikah kepada calon mertua disebut “ge’e ngguru” dimana calon menantu bekerja di sawah, ladang, rumah, dan atau di mana saja sesuai keinginan dan perintah calon mertuanya. Dalam masa ini tidak ada hubungan langsung dengan calon istrinya kecuali hubungan kekeluargaan biasa saja.[7]
1.    Penentuan waktu karawi
     Penentuan “waktu  karawi” dalam upacara perkawinan menyangkut kerabat dari pihak laki-laki dan perempuan untuk ikut menentukan perencanaan waktu, permbiayaan, dan pelaksanaan perkawinan yang menjadi tanggungjawab keluarga, orangtua si pemuda mengundang keluarga terdakat seperti saudara, nenek,  serta kerabat lainnya untuk  “mbolo keluarga” atau musyawarah membicarakan waktu dan segala perlengkapan perkawinan.  Dalam musyawarah ini, juga dibicarakan sekitar keperluan atau biaya yang dibutuhkan yang bertujuan untuk menimbuhkan partisipasi semua anggota keluarga kerabat bergotong royong memikul biaya. Musyawarah tersebut akhirnya memutuskan pelaksanaan-pelaksanaan tersebut segera di sampaikan oleh ompu panati kepada pihak keluarga si gadis. Dalam ungkapan bahasa bima, kalimat kalimat yang di lakukan ompu panati sebagai berikut “mai kabouku nggahi ra wi’i kai warasi tadir Allah, bunesi ntika nggahi ra wi’i de takalampa rawiku wura ake”, artinya lebih kurang bahwa “kami datang menyambung kata-kata yang disampaikan dan diniatkan bersama kemarin, sekiranya tuhan menghendakinya, maka alangkah baiknya kita laksanakan hajat(perkawinan) pada bulan ini”.
Dengan adanya pemberitahuan maksud tersebut, maka keluarga pihak  gadislah yang kemudian menentukan waktunya setelah lebih terperinci mengenai hari dan tanggal pelaksanaanya. Keputusan oleh pihak keluarga si gadis sangat penting karena menyangkut pelaksaan persiapan hajat pernikahan tersebut.[8]
2.    pengantar mahar atau wa’a co’i
     “wa’a co’i” artinya upacara pengantar barang dan uang yang menjadi maskawin dalam perkawinan. Upacara “wa’a co’i” selalu-selalu di hadiri oleh wakil-wakil dari calon pengantin laki-laki dan wakil dari calon pengantin puteri dengan disaksikan oleh penghulu, kepala desa, pemuka masyarakat lainnya, serta para anggota kerabat kedua belah pihak. Upacara wa’a co’i ini dilakukan, baiknya pada pagi hari maupun sore hari, sangat tergantung jauh dekatnya rumah orang tua calon pengantin puteri. Demikian pula besar anggota rombongan anggota wa’a co’i sangat tergantung dari jumlah barang yang di bawa sebagai maskawin sesuai dengan persetujuan dari kedua belah pihak sebelumnya. Yang memimpin upacara tua rombongan pihak keluarga calon pengantin putra adalah ompu panati.
     Bila rombongan pengantar telah tiba di rumah orang tua pengantin putri, mereka di terimah oleh orang tua calon pengantin. Upacara tersebut di adakan di paruga, yakni bangunan bambu dan beratapkan daun kelapa dan alang-alang yang di bangun khusus untuk upacara tesebut. Para tamu adakalanya duduk di atas tikar dengan posisi berhadapan atau tidak duduk di kursi dengan bangku pajang. Barang-barang yang di serahkan lebih dahulu di hitung dengan disaksikan oleh punghulu, kepala desa, dan pemuka masyarakat lainnya. Terkadang, penyerahan mahar tersebut. Banyak di lakukan dengan pembuatan berita acara penyerahan yang berisi jumlah dan harga barang. Berita acara tersebut di tanda tangani oleh pihak pengantin putra disaksikan oleh beberapa pemuka masyarakat dan wakil dari calon pengantin. Pembuatan acara pembayaran co’i tersebut untuk menjaga kenyakinan di kemudian hari dan berdasarkan pengalaman sering kali co’i tersebut tidak di bayar dengan lunas jika terjadi perselisihan atau percerain di antara suami dan istri dan co’i yang belum di bayar juga harus di selesaikan. Jika tidak ada bukti tertulis, sering kali perselisihan ini berakhir ke meja pengadilan. Dengan cara pembuatan berita acara tersebut calon pengantin tidak perlu khawatir akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Pembicaraa-pembicaraan dalam upacara tersebut hanya di lakukan oleh ompu panati dengan salah seorang pemuka masyarakat yang di ungdang sebagai wakil keluarga wanita. Sering juga di sebut hadirin di berikan makan dan minum ala kadarnya. Setelah itu, barulah seorang penghulu membacakan doa selamat atas selesainya acara.
Mengenai jumlah co’i, biasanya jumlahnya mula-mula di tentukan oleh pihak keluarga calon Pengantin putri tetapi unsur musyawarah tetap memberikan kemungkinan tawar menawar sehingga jumlah yang lebih tingi menurut permintaan keluarga calon pengantin putri dapat di kurangi berdasarkan persetujuan bersama.
Beberapa peristiwa menunjukan adanya pemuda yang tidak mampu membayar co’i yang ditetapkan oleh keluarga pihak gadis, akan tetapi keluarga pihak gadis sangat menyetujui bahkan sangat ingin agar anak gadisnya kawin dengan pemuda tersebut, mengingat keluarga gadis jauh lebih tinggi dan demikian pula pendidikannya. Dalam hal ini, orang tua si gadis secara sembunyi memberikan jumlah co’i yang diminta pada pemuda tersebut. Co’i atau barang yang telah di berikan kepada keluarga si gadis seakan-akan memang benar barang dengan uang tersebut dari si pemuda.  Model ini menunjukkan betapa pentingnya co’i dalam etnis mbojo. Karena semakin besar co’i yang di bayar oleh pihak pemuda semakin terkenal namanya di kalangan masyarakat. Demikian pula, keluarga  si calon putri akan mengusahakan pesta yang semakin meriah pula.
Beberapa kelompok dalam etnis mbojo masih mengharapkan upacara yang meriah yang boleh karenanya kedudukan jumlah co’i menjadi sangat penting dan tidak bisa di pisahkan dengan status sosial. Kadang-kadang dalam kenyataan sebagian besar dari co’i yang di serahkan pihak keluarga pemuda kepada pihak kelurga si gadis di pergunakan untuk biaya pesta, maka akan terlihat adanya perbedaan dengan maskawin atau mahar sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan islam. Oleh karena itu, co’i menurut etnis mbojo adalah maskawin yang di tambah dengan biaya-biaya dalam upacara perkawinan. Oleh karena co’i adalah ketentuan adat, maka besarnya juga di tentukan oleh pihak kelurga si gadis, sekalipun kemungkinan perundingan dengan pihak keluarga dengan si pemuda tetap ada. Dalam hal ini, calon suami dan isteri tidak ikut campur dalam penentuan. Sedangkan maskawin atau mahar menurut ketentuan hukum co’i perkawinan islam adalah hubungan antara si calon suami dengan si calon isteri belaka.[9]
D.      Adat dalam prosesi pelaksanaan perkawainan
1.    kapanca
     Kebiasaan yang terjadi pada etnis mbojo dalam masyarakat bima, sebelum akad nikah dilakukan baik calon pengantin putra maupun calon pengantin putri tetap tinggal di rumah masing-masing tetapi untuk pertemuaan pertama untuk kedua calon pengantin tersebut sudah disediakan “uma ruka” yang dilengkapi dengan perabot yang memadai. Sedangkan untuk pengantin putri dilaksanakan sebuah upacara yang disebut kapanca. Upacara ini bertujuan untuk mengantarkan calon pengantin  putri ke gerbang perkawinan secara simbolis. Upacara ini hanya dihadiri oleh orang-orang wanita, tamu-tamu istri-istri orang terpandang di desa untuk memberikan restu menjelang beberapa saat akad nikah dilaksanakan.
     Di dalam proses upacara kapanca ini, sang calon pengantin putri duduk di atas tempat yang sudah disiapkan, kemudian tamu satu persatu mendekati calon penngantin sambil menggosokkan daun pacar yang telah dihaluskan pada kuku dan kaki calon pengantin putri.
     Pada saat pelaksanaan upacara kapanca tersebut, diadakan zikiran oleh para tamu dan pembacaan barzanji yang diambil dari buku “syaraful anan”. Setelah selesai pembacaan barzanji, ditutup dengan baca do’a, maka para tamu baik laki-laki maupun perempuan dijamu dengan jamuan khusus sampai berakhirnya upacara kapanca tersebut. Adapun pengantin laki-laki tidak dipersandingkan dengan pengantin perempuan, pengantin laki-laki kembali ke rumahnya bersama undangan lainnya.[10]

2.    Akad nikah
     Pada hari kedua yaitu setelah keesokan harinya dari upacara kapanca,  maka dilangsungkan acara inti, yaitu akad nikah. Akad nikah ini biasa berlangsung sore hari. Pihak keluarga mengundang beberapa orang tetangga dan orang sedesanya untuk mengantar pengantin laki-laki kerumah keluarga pengantin perempuan. Acara jamuan berlangsung kira-kira ba’da asar . sedang dari pihak perempuan tidak ketinggalan pula mengumpulkan para undangan untuk menjemput kedatangan rombongan mempelai laki-laki. Rombongan tersebut diiringi dengan suara dan nyanyian rebana sambil zikir, yaitu melagukan syair arab yang menceritakan tentang sejarah hidup nabi saw. Barisan dalam kelompok badra ini sekurang-kurangnya tiga orang dari laki-laki baik yang tua maupun yang muda dengan gerak tangan dan lentur.
     Setelah rombongan mempelai laki-laki tiba dirumah mempelai perempuan, langsung dijemput dan dipersilahkan duduk diruang pengantin perempuan yang telah sabar dan menunggu untuk dinikahkan. Maka dimulailah acara akad nikah yang didahului dengan khutbah nikah oleh penghulu dan dilanjutkan ijap qabul aleh wali dan pengantin perempuan terhadap pengantin laki-laki dihadapan saksi. Setelah selesai akad, lalu diadakan jamuan bagi para tamu dan undangan yang diakhiri dengan do’a oleh penghulu sehingga berakhir pulalah acara akad.
3.    Mboho oindeu
     Yaitu acara penyiraman dengan air kelapa yang dibelah dua diatas kedua pengantin oleh ina bunti dalam hal ini, kedua pengantin berada didalam satu sarung yang dilingkari dengan benang petih. Hal ini dimaksudkan agar kedua pasangan baru agar tetap dalam satu ikatan perkawinan yang kuat dan abadi. Dengan dimulainya “mboho oindeu” oleh kedua pengantin, maka para penonton dan orang-orang yang ada ditempat itu ikut-ikutan pula dengan saling menyiram satu sama lain untuk memeriakan acara mboho oindeu itu.
     Dengan selesai mboho oindeu maka pada sore harinya diadakan “pamaco” ataupun resepsi megenai pemberian sumbangan baik berupa uang, beras, jajan, dan kado untuk keluarga untuk penganti yang lebih popular dikenal dalam masyarakat bima dengan istilah “teke ro ne’e” dilakukan pada pagi hari atau siang hari sebelum acara akad nikah.[11]
4.     Pamaco
     Salah satu kegiatan adat dalam etnis mbojo bima adalah “pamaco” atau “jambuta” upacara pamaco, yakni upacara yang dilaksanakan setelah kedua pengatin tiba diparuga dihadapan para undangan. Biasanya kegiatan ini dilakukan pada sore hari dan perosesi upacara pamaco ini diawali dengan salah seorang keluarga pengantun pria, kemudian para undangan yang terdiri dari kaum wanita dipersilahkan memberikan sumbangan uang atau barang. Para undangan laki-laki menyusul memberikan sumbangan dan sesudah semua undangan memberikan salam kepada pengantin, dipersilahkan duduk kembali ditempat semula, sementara seorang wanita tampil ke depan dan membungkus semua amplop berisi uang atau beberapa kado lainnya dan kepada beberapa undangan disuguhkan makanan dan minuman.
     Demikianlah antara lain prosesi jambuta atau pamaco yang dilakukan yang bertempat di paruga dan dibuat di depan rumah orang tua pengantin pria. Pamaco ini selain bertujuan untuk meminta doa restu para anggota masyarakat, sahabat, dan kenalan, juga untuk memberikan sumbangan berupa uang atau barang oleh masyarakat kepada kedua pengantin. Ini adalah cerminan dari sikap gotong-royong masyarakat mbojo.[12]
E.       Adat Sesudah Menikah
     sekalipun dalam praktiknya etnis Mbojo menyangkut tempat tinggal setelah kawin terserah kepada kedua pengantin untuk menentukannya, tetapi dasar-dasar adat telah menetapkan bahwa tempat tinggal bagi keluarga baru tersebut adalah seharusnya di uma (rumah) yang dibuat sebelum kawin. Uma tersebut dalam etnis Mbojo ditetapkan sebagai co’i. Uma selalu didirikan disamping rumah keluarga pengatin putri. Di sinilah keluarga baru bertempat tinggal.
     Dalam praktek dewasa ini, setiap perkawinan  tidak selalu menyediakan rumah telebih dahulu. Memang dalam co’i selalu disebutkan uma hal pertama yang harus di bayar oleh calon pengatin laki-laki, akan tetapi seringkali uma tersebut dihargai dan dinilai tidak sebanding dengan harga rumah yang sebenarnya.
     Dari informasi yang diterima hal ini disebabkan beberapa kemungkinan antara lain: kemungkinan suami mewarisi dari kedua orangnya yang telah meninggal terlebih dahulu; kemungkinan suami harus tinggal di dekat daerah pertaniannya sendiri, kemungkinan si isteri adalah anak tunggal dan karena itu teramat dicintai oleh orang tuanya. Pola perkampungan penduduk sebenarnya menyulitkan untuk menentukan secara pasti tempat tinggal sesudah kawin. Karena beberapa rumah berada dalam jarak yang terlalu dekat, namun dimanapun keluarga baru tersebut  bertempat tinggal sama sekali tidak mengurangi rasa hormat menghormati antara suami istri, antara keluarga kedua belah pihak atau antara mereka dengan masyarakat.
     Pada saat pelaksanaan upacara kapanca tersebut, diadakan zikiran oleh para tamu dan pembacaan barzanji yang diambil dari buku “syaraful anan”. Setelah selesai pembacaan barzanji, ditutup dengan baca do’a, maka para tamu baik laki-laki maupun perempuan dijamu dengan jamuan khusus sampai berakhirnya upacara kapanca tersebut. Adapun pengantin laki-laki tidak dipersandingkan dengan pengantin perempuan, pengantin laki-laki kembali ke rumahnya bersama undangan lainnya.[13]
F.       Pernikahan masyarakat bima ditinjau dari hukum islam
1.    Mahar/Wa’a Co’i
     Di dalam masyarakat bima salah satu persyaratan perkawinan adalah adanya kesepakatan tentang mahar (co’i) dan apabila tidak dibicarakan secara matang bisa menunda perkawinan. Kaitan dengan mahar ini dalam al-Qur’an surat al-Nisa: 4 Allah telah berfirman: “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi sebagai pemberian yang wajib). Jika kemudian mereka menyerahkan sebagaian dari maskawin itu kepada kamu dengan senang hati, makanlh (ambillah pemberian itu) sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.”[14]
2.    Tempat Akad/Upacara Perkawinan
     Di  dalam kebiasaan masyarakat Bima, akad itu ada yang dilaksanakan di masjid dan atau di rumah. Mengenai akad dan upacara di masjid ada disebuah hadist  yang di riwayatkan oleh trimidzi dan ahmad sebagai berikut : “Dari Aisyah ujarnya: sesungguhnya nabi saw. Telah bersabda:” Umumkanlah pernikahan ini dan tempatkanlah dia dimasjid dan adakanlah keramaian rebana untuk itu” (HR.Ahmad dan Trimidzi).­­­­­­­­­­­­­­­­­­­[15]
3.    Walimah   
     Salah satu kebiasaan masyarakat bima khususnya etnis mbojo melaksanakan walimatul uruz yang mana pada waktu itu dihadiri oleh keluarga baik dari pihak mempelai laki-laki maupun pihak perempuan. mengenai walimah ini di dalam islam disebutkan dalam beberapa hadis antara lain sebagai berikut: “dari anas bin malik ujarnya : aku tidak pernah melihat rosulullah melakukan walimah untuk istri-istrinya sebelum yang beliau lakukan dalam walimah perkawinan yang dengan zainab yaitu beliau menyembelih kambing” (HR. Ibnu madjah). Dalam hadis lain di sebutkan juga sebagai berikut “dari anas bin malik ujurnya: “aku menyaksikan walimah yang diadakan oleh nabi saw tanpa daging dan roti” (HR.ibnu madjah).[16]


4.    Hiburan dalam perkawinan
     Dalam tradisi masyarakat bima pada umumnya hiburan ini diisi dengan  “rawa mbojo” dan “hadrah” Dalam islam anjuran untuk mengadakan hiburan dalam perkawinan ditemukan beberapa hadis antara lain yang diriwayatkan oleh ibnu madjah sebagai berikut: “dari abu husain ujarnya” kami dulu pada hari asyura pernah berada di kota madinah dan para gadis memukul rebana serta bernyanyi. Kami ceritakan kejadian itu kepadanya”. Lalu ia berkata: “rasulullah saw.Pernah masuk ke tempat saya pada pagi hari perkawinanku dan di sisiku dan ada dua orang anak perempuan yang sedang bernyanyi dan mrmukul rebana dan menyanyi syair”:Bapak bapak kami yang telah tewas krtika peramg badar Dalam nyanyianya perempuan itu berkata: “Ditengah kami hadir seorang nabi yang mengetahui apa yang terjadi pada esok hari.Lalu Rasulullah Saw.bersabda apa-apaan ini janganlah ucapkan perkatan itu sekali lagi.Tidakada yang mengetahui kejadian esok hari selain allah” (HR. Ibnu madjah).[17]


  

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
     Adat daan upacara perkawinan etnis mbojo erat hubungnnya dengan ketenuan-ketentuan didalam ajaran agama penduduknya,yakni agama islam. Hal ini di sebabkan karena etnis mbojo adalah penganut agama islam yang fanatik.
     Dan keseluruhan adat dan atau cara perkawinan etnis mbojo, tampak dengan jelas semangat keutuhan keluargadan mayrakatert sifat kegotong royongan diantara mereka.sifat musyawarah dan kegotong royongan masyarakat khususnya dalam adat dan perkawinan akan terus bejalan smpai wku yang tak dapat diramalan.sifat kegotong royongan yang  Nampak dengan jelas di dalam etnis mbojo patut dihormat, demikian pla semangt musyawarah didalam kehidupan berkelurga dan bermasyarakat merupkan inti dalam pelaksanan setiap upacara perkawinan.
     Namun persoalannya adalah, bagaimana islam memandang adat ataupun tradisi.urian berikut ini akan menjelaskan sudut pandang islam tentang pelaksanaan pernikahan dalam budaya bima.
B.       Mahar
     Analiis mengenai perkawinan yang ada di bima yang terkait dengan mahar (co’i) yang dimana kami kurang sependapat mengenai masalah mahar  yang ditentukan oleh orang tua si gadis, memang si gadis lah yang menetukan mengenai mahar itu tapi di balik itu semua si gadis harus tunduk kepada perintah orang tunya sedangkan dalam hadist disebutkan ,wanita lah yang menetukan maharnya apa, bukan orang tua.tentaang mahar ini disebutkan dalam beberapa hadist sebagai berikut “Dari amir bin Rabi’ah bahwa seorang perempuan bani fazarah dinikahkan dengan mahar sepasang sendal. Raululah SAW bersabda apakah   engkau relakan  dirimu dan milikmu dengan sepasang sandal”?. jawaban ya. setelah itu beliau membenarkan” (HR.ibnu majah dan Tirmidzi).
     Bisa disimpulkan mengenai mahar ini wanita lah yang menetukannya kecuali ada kesepakatan dari si wanita bahwa orang tuanya yang akan menentukannya, tapi kalau tidak ada kesepakatan dari si wanita maka orang tua tidak punya hak untuk memaksakan anaknya harus tunduk kepada perinthnya mngeni mahar ini.
C.       Mengenai Aturan Baku
     Pernikahan atau nika ra neku dalam tradisi Bima memiliki aturan baku. Aturan itu cukup ketat sehingga satu kesalahan bisa membuat rencana pernikahan (nika) menjadi tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon mempelai laki-laki tidak diperkenankan berpapasan dengan calon mertua. Dia harus menghindari jalan berpapasan. Jika kebetulan berpapasan maka calon dianggap tidak sopan. Untuk itu harus dihukum dengan menolaknya menjadi menantu. Aturan yang ketat itu tentu menjadi bermakna karena ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Kini, tentu saja aturan tersebut sudah ditinggalkan. Misalnya ngge’e nuru atau tinggal bersama calon mertua untuk mengabdi di sana.
     Kami rasa aturan ini tidak adil karena hanya dengan berpapasan dengan calon mertua saja bisa meembatalkan perkawinan, padahaal jika kita fikir itu bukanlah salah satu masalah yang serius .untuk membtalkn perkawinan yang sudah begitu terencana. Bias saja si pria tidak sengaja berpapasan dan itu bukan keinginannya.


















     
   
DAFTAR PUSTAKA
Nurmukminah, M. Fachrir rahman. 2011,  Nika mbojo antara islam dan tradisi. Mataram: Alam tara institute
                   
rahman,  M. Fachrir. 2012,  Islam di nusa tenggara barat proses masuk dan penyearannya. Mataram:  Alam tara institute, cetakan pertama.







           
  




     [1]   M. Fachrir rahman, Islam di nusa tenggara barat proses masuk dan penyearannya (Mataram: Alam tara institute, 2012), Hlm. 5.  
     [2]   M. Fachrir rahman dan Nurmukminah, Nika mbojo antara islam dan tradisi (Mataram: Alam tara institute, 2011), Hlm. 34-35.
     [3]   M. Fachrir rahman dan Nurmukminah, Nika mbojo antara islam dan tradisi (Mataram: Alam tara institute, 2011), Hlm. 57-59.
     [4]   M. Fachrir rahman, Islam di nusa tenggara barat proses masuk dan penyearannya (Mataram: Alam tara institute, 2012), Hlm. 10-11.   
     [5]   M. Fachrir rahman dan Nurmukminah, Nika mbojo antara islam dan tradisi (Mataram: Alam tara institute, 2011), Hlm. 62-64.
     [6]   Ibid., Hlm. 64-65.  
     [7]   Ibid., Hlm. 65-68.   
     [8]   Ibid., Hlm. 68-69.   
     [9]   Ibid., Hlm. 69-72.    
     [10]   Ibid., Hlm. 73-74.    
     [11]    Ibid., Hlm. 75-76.    
     [12]    Ibid., Hlm. 76-77.    
     [13]    Ibid., Hlm. 77-78.    
     [14]   M. Fachrir rahman dan Nurmukminah, Nika mbojo antara islam dan tradisi (Mataram: Alam tara institute, 2011), Hlm. 80-81.
     [15]   Ibid., Hlm. 83.     
     [16]   Ibid., Hlm. 84.     
     [17]   Ibid., Hlm. 85-86.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020