MAKALAH
HUKUM WARIS
Di susun oleh :
Ahyadin
Semester IV (Empat)
“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah hukum waris”
Dosen
pengampu
Zuhrah,
S.h, M,h
FAKULTAS
SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim
Syukur Alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Masalah
Wasiat, Hibah, dan Wakaf” dengan baik. Shalawat dan salam selalu tercurah
keharibaan junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan
pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini,
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang
telah banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini, baik moril maupun
materiil.
Kami menyadari makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, karena tak ada gading yang tak retak. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Bima, 02 April 2018
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Secara sederhana wasiat
diartikan dengan “Penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif
berlaku setelah mati pemiliknya”. Dari kata “penyerahan harta kepada pihak
lain”, wasiat itu termasuk dalam lingkup hibah. Namun karena harta yang
diserahkan itu baru dimiliki oleh yang menerima setelah matinya pemilik, dia
merupakan pemberian dalam bentuk khusus. Perbedaannya dengan warisan – meskipun
sama-sama dimiliki setelah matinya pemilik – ialah bahwa dalam wasiat peralihan
harta atas kehendak si pemilik yang diucapkannya semasih hidup, pada warisan
tidak ada kehendak dari pemilik harta selama dia masih hidup.
Adapun hikmah dan tujuan
hukum dari wasiat ini adalah manfaat bagi sesama hamba Allah dan tidak ada
pihak yang dirugikan. Dengan cara ini umat akan mendapatkan kemudahan dari
tindakan ini. Di samping itu, wakaf dalam arti kata ialah menahan dan
menghentikan. Secara terminology diartikan dengan “menghentikan pengalihan hak
atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai
pendekatan diri kepada Allah”. Walaupun bentuk nyatanya wakaf itu menyerahkan
harta kepada orang lain dan oleh karenanya dapat disebut pemberian, namun ia
mempunyai bentuk tersendiri dengan nama sendiri. Menghentikan pengalihan hak
mengandung arti tidak dapat lagi dijual, dihibahkan dan diwariskan oleh orang
yang punya. Dengan demikian dia berarti sudah lepas dari yang punya; namun dia
tidak lagi dimiliki oleh siapa-siapa. Karena itu barang yang diwakafkan itu telah
menjadi milik Allah sebagai pemilik mutlak dari harta. Karena hasilnya
digunakan untuk kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah, dia
menyerupai shadaqah. Dia berbeda dengan shadaqah dalam beberapa hal, pertama
yang dimiliki oleh yang menerima waqaf hanyalah manfaatnya dan bukan bendanya.
Kedua: pahala yang didapat dari yang memberi shadaqah hanyalah sekali waktu
memberikannya, sedangkan pahala yang diterima oleh yang berwakaf adalah
berkepanjangan selama barang tersebut dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena
itu, wakaf itu disebut juga “shadaqah yang mengalir terus”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
WAKAF
1. Pengertian Wakaf
Kata “wakaf” atau “waqf”
berasal dari bahasa arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti “menahan” atau
“berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Menurut istilah
“waqaf/wakaf” adalah menahan suatu benda yang kekal abadi secara fisik zatnya
serta dapat digunakan untuk sesuatu yang benar dan bermanfaat.
Sebagai satu istilah
dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi
benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya
(al-manfa‘ah). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat
dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda
pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai
berikut.
Pertama, Hanafiyah
mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan
menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk
tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan
bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif
itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang
diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta
tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah
berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki
(walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang
berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan
pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah
mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal
materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki
oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah
(al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus
harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah
rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan
(al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hambali
mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta
(tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu
menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia?
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum
Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
2.
Dasar
Wakaf
Dasar wakaf terdapat
dalam QS. Al-Imron : 92, yang artinya: “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
3.
Rukun
Wakaf
Rukun Wakaf Ada empat
rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif).
Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat
wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
4. Syarat-Syarat Wakaf
1. Syarat-syarat orang yang
berwakaf (al-waqif)
Syarat-syarat al-waqif ada
empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta
itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia
kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh,
orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan
keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).
Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan
tidak sah mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan
(al-mauquf)
Harta yang diwakafkan
itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa
persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu
mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah
diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul),
maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan
itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu
mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau
disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf
(al-mauquf alaih)
Dari segi klasifikasinya
orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan
tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas
orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan
yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya
tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang
sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang
yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang
yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim,
merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf.
Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang
akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang
dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan
untuk kepentingan Islam saja.
4. Syarat-syarat Shigah
Berkaitan dengan isi
ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah
mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau
ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan
segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu.
Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh
syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka
penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat
lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan
penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia
dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
5.. Jenis-jenis Wakaf
1.
Wakaf
Mutlak (‘AM) - merujuk kepada amalan menyerahkan harta wakaf dengan tidak
menyatakan sesuatu tujuan tertentu dalam perwakafan hartanya. Harta itu boleh
dibangunkan bagi apa-apa maksud, selagi tidak bertentangan dengan syarak.
2.
Wakaf
Muqayyad (KHAS) – amalan mewakafkan harta dimana pewakaf menyatakan tujuan
wakaf secara spesifik semasa menwakafkan hartanya. Harta wakaf tersebut
hendaklah digunakan hanya untuk tujuan yang dinyatakan secara khusus itu.
Contohnya mewakafkan
tanah khas untuk pembinaan masjid, surau, perkuburan dan sebagainya.
6. Harta Yang Bisa Diwakafkan
Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan
sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak
habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh pula
dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu, harta
yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat untuk
orang banyak, misalnya:
a.
sebidang tanah
b. pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
c. bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
b. pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
c. bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
B. WASIAT
1. Pengertian Wasiat
Dalam definisi wasiat
secara lughawi, wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti "pesan,
menyambung, menaruh belas kasihan, menjadikan, memerintahkan, dan
mewajibkan".Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian
kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak
memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. Secara umum pemberian wasiat
dikaitkan dengan kondisi seseorang (yang memberi wasiat) dalam keadaan sakit
menjelang kematian. Sementara wasiat meliputi atas sesuatu pekerjaan,
jasa, maupun harta peninggalan. Dengan demikian, lingkup wasiat dalam
pembahasan fiqih meliputi pesan atas sesuatu harta dari seseorang menjelang
kematian.
2.
Dasar
hukum
wasiat
Dasar hukum wasiat
terdapat dalam QS. Al-baqarah: 180, yang artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) akan mati, apabila ia mempunyai harta yang banyak, berwasiat
untuk walidani (ibu dan bapak) dan aqrobun (kaum kerabatnya), secara makruf ini
adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.”
3.
Rukun
Wasiat
Ada 3 macam rukun wasiat, yaitu:
Pertama : Harus ada orang yang berwasiat (mushi), harus memenuhi
persyaratan, yaitu:
1.
Baligh
(dewasa),
2.
Berakal
sehat (aqil)
3.
Bebas
menyatakan kehendaknya,
4.
Merupakan
tindakan tabarru’ (derma sukarela atau amal),
5.
Beragama
islam
Kedua : Harus ada seseorang atau badan hukum yang menerima wasiat
(musha-lahu). Dan orang yang menerima wasiat (musha-lahu) ia harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
1.
Harus
data diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang menerima wasiat
itu,nama orang tersebut,badan organisasi tertentu,atau mesjid-mesjid.
2.
Telah
wujud (ada) pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada suara yuridis
misalnya anak yang masih dalam kandungan.
3.
Bukan
tujuan kemaksiatan
Ketiga : Sesuatu yang di wasiatkan (musha-bihi) :
1.
Dapat
berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tak bergerak,
atau dapat menjadi objek perjanjian,
2.
Benda
itu sudah (wujud pada waktu diwasiatkan),
3.
Hak
milik itu betul-betul kepunyaan si pewasiat (mushi)
C. HIBAH
1.
Pengertian
Hibah
Kata hibah adalah bentuk
masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Quran beserta kata derivatifnya
sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan jika subyeknya
Allah berati memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, Maryam,
19:5, 49, 50, 53).
Secara bahasa, dalam
kamus al-Munjid, hibah berasal dari akar kata wahaba-yahabu-hibatan, berarti
memberi atau pemberian. Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada
orang lain.
Menurut istilah,
pengertian hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, di antaranya:
Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, merumuskan pengertian hibah
sebagai: "Akad yang menjadikan
kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara
sukarela". Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang
kepada orang lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan
harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.
Abd al-Rahman al-Jazirî
dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba ’ah, menghimpun empat pengertian
hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah memberikan
sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut
mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada
orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat
menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara
sadar sewaktu hidup.
Dari beberapa pengertian
hibah tersebut dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau perjanjian yang
menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup
tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun.
2.
Rukun
dan Syarat Hibah
a. Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi
hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri,
dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Hendaknya penerima hibah
itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata
atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan
ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c. Barang yang dihibahkan
(Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub),
diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai
atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status
kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d. Akad (Ijab dan Qabul),
Akad (ijab qobul)
misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini
kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
3.
Macam-macam
Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1.
Hibah
barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup
materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa
ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor,
baju dan sebagainya.
2.
Hibah
manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau
barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi
milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima
hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari
hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah
muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat
jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
4.
Hukum Mencabut Hibah
Jumhur ulama berpendapat
bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecuali hibah orang tua terhadap
anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
لاَيَحِلُّ
لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا
إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ
Artinya: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang
kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu
Dawud).
Sabda Rasulullah
SAW. Artinya: “Orang yang menarik kembali
hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu”
(HR. Bukhari Muslim)
5.
Hibah
yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :
1.
Hibahnya
orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu
demi menjaga kemaslahatan anaknya.
2.
Bila
dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah.
3.
Apabila
dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari
pihak lain.
6.
Hukum
hibah
Pada dasarnya memberikan
sesuatu kepada oranglain hukumnya adalah mubah(jaiz). Dalam hukum asal mubah
tersebut hukum hibah dapat menjadi wajib, haram dan makruh.
a. Wajib.
Hibah yang diberikan
kepada istri dan anak hukumnya wajib sesuai dengan kemampuannya. Rosululloh SAW
bersabda yang artinya: “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan adillah terhadap
anak anak kalian”.
b. Haram
Hibah menjadi haram
hukumnya apabila harta yang telah dihibahkan ditarik kembali.
c. Makruh
Menghibahkan sesuatu
dengan maksud mendapatkan imbalan sesuatu baik berimbang maupun lebih banyak
hukumnya adalah makhruh.
7.
Hikmah
Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
1.
Menumbuhkan
rasa kasih sayang kepada sesama
2.
Menumbuhkan
sikap saling tolong menolong
3.
Dapat
mempererat tali silaturahmi
4.
Menghindarkan
diri dari berbagai malapetaka.
D.
PERSAMAAN
DAN PERBEDAAN WAKAF, WASIAT, HIBAH
Beberapa persamaan dan perbedaan antara wakaf dan hibah antara lain
adalah:
1.
Dalam
wakaf dan hibah terdapat orang yang memberikan hartanya (yang disebut wakif dan
wahib), barang yang diberikan, dan orang yang menerimanya.
2.
Apabila
seseorang yang berwakaf telah mengatakan dengan tegas atau berbuat sesuatu yang
menunjukkan kepada adanya kehendak untuk mewakafkan hartanya atau mengucapkan
kata-kata, maka telah terjadi wakaf itu tanpa diperlukan penerimaan (qabul)
dari pihak lain. Sedangkan hibah, selain adanya perkataan dan perbuatan yang
tegas dari wahib untuk menyerahkan barangnya (ijab) perlu ada pula penerimaan
dari penerima harta yang dihibahkan (qabul).
3.
Benda
wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang
memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran
Islam. Sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang
hanya sekali pakai maupun tahan lama. Tidak diperbolehkan mewakafkan ataupun
menghibahkan barang yang terlarang untuk diperjualbelikan, seperti barang
tanggungan (borg), barang haram dan sejenisnya.
4.
Benda
wakaf hanya boleh diberikan kepada sekelompok orang yang bisa dimanfaatkan
untuk kepentingan orang banyak. Sedangkan hibah bisa diberikan kepada
perorangan ataupun kelompok baik untuk kepentingan orang banyak maupun
kepentingan individu.
5.
Barang
wakaf tidak bisa menjadi milik seseorang sedangkan barang yang dihibahkan bsa
menjadi milik seseorang
6.
Harta
Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma
pada masa hidupnya.
7.
Harta
Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan
seseorang tersebut baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat
meninggal dunia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut pendapat
kelompok kami wakaf, wasiat, dan hibah adalah sama-sama memberikan sesuatu
kepada orang lain, namun ada perbedaan antara ketiganya. Benda yang boleh
diwakafkan adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang
memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran
Islam. Sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang
hanya sekali pakai maupun tahan lama.
DAFTAR PUSTAKA
Ramulyo, M. Idris, 2000, Perbandingan Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undanag-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: Sinar Grafika
Departemen Agama RI, 2007, Fiqih Wakaf, Jakarta
Ayunda, Ayu. 2014, Ayunda Ayu: WAKAF WASIAT HIBAH http://seeayunda.blogspot.co.id/2014/09/wakaf-wasiat-hibah.html( Diakses tanggal 29 Maret 2018)
Terima kasih sangat membatu tugas saya😁😇👍
BalasHapusSama-sama saudara/i, terimakasih telah mengunjungi blog ini......
BalasHapus