MAKALAH
PERLINDUNGAN ANAK DAN KDRT
Tentang : Realitas masalah pelanggaran hak anak
Di susun oleh :
Ahyadin
Darmin
Sumiati
“Makalah ini
diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah
satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah perlindungan
anak dan KDRT”
Dosen pengampu
Muhammad fitrah M.hi
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
BIMA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Laatar belakang
Anak merupakan anugerah terbesar dan
terindah bagi setiap orang, terutama mereka yang telah menikah. Anak juga
merupakan tanggung jawab terbesar dan terberat bagi setiap orang tua. Pasalnya
anak merupakan amanat dari TUHAN yang diberikan hanya kepada pasangan yang
dikehendakinya dan tidak semua orang tua dianugerahi anak. Namun tahukah
bagaimana hak asasi anak? Hak asasi anak pada dasarnya merupakan segala sesuatu
yang membuat anak-anak senang, karena dalam hati dan pikiran anak hanya
terdapat kesenangan dan keceriaan. Cara mereka belajar juga melalui keceriaan
atau dalam bahasa pendidikannya adalah bermain sambil belajar. Begitu pula cara
anak memahami lingkungan sekitar berbeda dengan cara orang dewasa. Jika cara
orang dewasa adalah secara real dan terjun langsung untuk memahami
lingkungan, cara anak adalah dengan bermain dan bertanya pada orang yang lebih
tua. Cara ini memang unik, dimana anak mengajukan banyak sekali pertanyaan
mulai dari hal yang sederhana hingga yang sangat rumit.
Namun tahukah anda, dewasa ini
perkembangan teknologi moderen merubah seluruh pola pikir mengenai apa yang
telah saya uraikan diatas? Uraian diatas mengungkapkan secara singkat mengenai
hak asasi anak yang amat sederhana, yakni kesenangan dan keceriaan atau dalam
kata lain kita sebut sebagai bermain. Ya. Hal-hal diatas sekarang ini sangat
diremehkan oleh sebagian besar orang tua. Bahkan ada yang tega hingga menjual
anaknya atau juga bahkan menganiaya dan membunuh anaknya. Ini bukan hal yang
wajar terjadi, ini adalah pelanggaran hak asasi anak. Anak yang seharusnya
bermain dan belajar sekarang harus ditambah dengan bekerja.
Mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal
yang wajar dilakukan, karena alasan ekonomi sosial dan sebagainya. Namun bagi
sebagian orang lainnya dan anak itu sendiri menganggap ini adalah pelanggaran
hak asasi anak yang amat kejam. Kejam, pasalnya anak yang masih polos, suci,
dan sedang dalam tahap tumbuh dan berkembang harus menghadapi masalah yang
seharusnya dihadapi oleh orang tua. Nah berawal dari itu, saya akan menguraikan
pelanggaran terhadap hak asasi anak. Saya akan mengawali dengan definisi dan
saya akhiri dengan solusi yang diharapkan mampu menyelesaikan pelanggaran hak
asasi anak
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia[1],
anak didefinisikan sebagai keturunan yang kedua, dan manusia yang masih kecil.
Menurut Kamus Collins Cobuild
advanced Dictionary of English[2],
anak didefinisikan sebagai a child is a human being who is not yet an
adult (anak adalah manusia yang belum mencapai usia dewasa).
Dalam agama Islam, anak didefiniskan
sebagai makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan
dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan.[3]
Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama islam,
maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberi nafkah baik lahir
maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak
mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk
mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam,anak
adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan negara
yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai
pewaris ajaran islam pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anak yang
dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan
yang diterima oleh akan dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut The Minimum Age
Convention Nomor 138 tahun 1973,[4]
pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.
Dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke
bawah.[5]
Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum
berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan
menetapkan batas usia 16 tahun (Huraerah, 2006: 19).[6]
B.
Landasan Hukum
Hak Asasi Anak
a.
Peraturan
Perundang-undangan
1.
UUD 1945 &
Pancasila
2.
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
3.
Keputusan Presiden No. 73 tahun 2003
4.
UU No. 4 tahun
1990 tentang Kesejahteraan Anak
5.
Keputusan Presiden No. 1990
6.
UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak
7.
UU No. 35 tahun
2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8.
UUPA (Undang-undang Perlindungan Anak)
b.
Peraturan Dunia
1.
Konvensi Hak
Anak – Convention on the Right of the Child yang telah diratifikasi
dengan Keppres 36 Tahun 1990
2.
ILO Convention
No.182 concerning the Prohibition ang Immediate Action for the Elemnination of
the Worst Forms of Child Labour
3.
Deklarasi
Stockholm tahun 1972
4.
Deklarasi Rio
tahun 1992
5.
Deklarasi Johannesberg
tahun 2002
6.
Jakarta
Declaration on Environment and Develompent tanggal 18 September 1997
C.
Hak Asasi Anak
Menurut Undang-undang
Dalam UU No. 4 tahun
1990 tentang Kesejahteraan Anak, hak asasi anak mengenai Kesejahteraan Anak
tertuang pada pasal 2 hingga pasal 8, yakni sebagai berikut:
1.
Anak
berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan
dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik
dalam lingkungan keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar;
2.
Anak
berhak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosialnya dengan baik dan berguna;
3.
Anak berhak
atas pemeliharaan dan perlindungan, baik
semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan;
4.
Anak berhak
atas perlindungan terhadap lingkungan hidup
yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan
dan perkembangan secara wajar.;
Sedang pada UU No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak diatur dalam ketentuan Pasal
4 sampai dengan Pasal 18. Perlu diketahui
bahwa di dalam UU Perlindungan Anak,
diberikan batasan tentang usia seseorang
dikategorikan sebagai seorang anak apabila ia
belum berusia 18 tahun termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Di antara hak-hak anak yang diatur dalam UU
Perlindungan tersebut adalah:
1.
hak untuk
hidup, tumbuh dan berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2.
hak atas sebuah
nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
3.
hak untuk
beribadah menurut agamanya, berpikir dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan
orang tua;
4.
hak untuk
mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;
5.
apabila
karena susuatu hal orang tuanya tidak bisa
mengasuh sendiri, anak tersebut berhak diasuh dan diangkat oleh
orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.
hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social sesuai dengan kebutuhan
fisik, mental, spiritual dan social.
7.
hak untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran;
8.
hak untuk
menyatakan dan di dengar pendapatnya, menerima,
mencari dand lmemberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya;
9.
hak untuk
beristirahat dan memanfaatkan waktu Luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain,
berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya;
Menurut UNICEF[7]
Menurut
UNICEF anak berhak untuk:
1. Hidup, tumbuh dan berkembang
2. Bermain
3. Berekreasi (piknik/wisata)
4. Berkreasi
5. Beristirahat
6. Memanfaatkan waktu luang
7. Berpartisipasi
8. Bergaul dengan anak sebayanya
9. Menyatakan dan didengar pendapatnya
10. Dibesarkan dan diasuh orangtua kandungnya sendiri
11. Berhubungan dengan orangtuanya bila terpisahkan
12. Beribadah menurut agamanya
Untuk mendapatkan:
13. Nama
14. Identitas
15. Kewarganegaraan
16. Pendidikan dan pengajaran
17. Informasi sesuai usianya
18. Pelayanan kesehatan
19. Jaminan sosial
20. Kebebasan sesuai hukum
21. Bantuan hukum dan bantuan lain.
1. Hidup, tumbuh dan berkembang
2. Bermain
3. Berekreasi (piknik/wisata)
4. Berkreasi
5. Beristirahat
6. Memanfaatkan waktu luang
7. Berpartisipasi
8. Bergaul dengan anak sebayanya
9. Menyatakan dan didengar pendapatnya
10. Dibesarkan dan diasuh orangtua kandungnya sendiri
11. Berhubungan dengan orangtuanya bila terpisahkan
12. Beribadah menurut agamanya
Untuk mendapatkan:
13. Nama
14. Identitas
15. Kewarganegaraan
16. Pendidikan dan pengajaran
17. Informasi sesuai usianya
18. Pelayanan kesehatan
19. Jaminan sosial
20. Kebebasan sesuai hukum
21. Bantuan hukum dan bantuan lain.
Perlakuan diskriminasi
1. Ekploitasi ekonomi maupun seksual
2. Penelataran
3. Kekejaman, kekerasan,penganiayaan
4. Ketidakadilan
5. Perlakuan salah lainnya
6. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
7. Pelibatan dalam sengketa bersenjata
8. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
9. Pelibatan dalam peperangan
10.Sasaran penganiayaan dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi
1. Ekploitasi ekonomi maupun seksual
2. Penelataran
3. Kekejaman, kekerasan,penganiayaan
4. Ketidakadilan
5. Perlakuan salah lainnya
6. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
7. Pelibatan dalam sengketa bersenjata
8. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
9. Pelibatan dalam peperangan
10.Sasaran penganiayaan dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi
D.
Pertanyaan-pertanyaan
yang ditanyakan pada LPA bima
1.
Faktor yang
menyebabkan terjadinya atau pengaruh yang menyebabkan pelanggaran hak anak
Faktor
internal
Ø faktor ekonomi
Ø ketidak paham
dengan kewajibannya serta fungsinya
Ø kelalaian
orang tua
Faktor eksternal
Ø merampas hak
anak
Ø hak
psikologi
Ø hak
pendidikan
Ø hak hidup
Ø hak
kebebasan atau memilih
Ø hak sosial
Ø hak
perlindungan
2.
Dampak dari
pelanggaran hak anak
Ø Kecenderungan untuk membalas dendam karena pengaruh
psikologi
Ø Bahaya bgi kepribadian si anak
Ø Psikologi anak terganggu
3.
Upaya tanngung
jawab pemerintah terhadap pelanggaran hak anak
Ø Mendirikan instasi perlindungan anak
Ø Pemberdayaan wanita
Ø Pekerja sosial
Ø Membuat undang-undang
4.
Jumlah kasus
yang telah terjadi di bima
Ø 15 kasus mengenai perebutan anak maupun pencabulan
Ø 1 kasus mengenai pelecehan seksual yang di lakukan
oleh bapak kandungnya sendiri
5.
Bentuk Pemenuhan
hak anak
Ø Pemenuhan mengenai pendidikannya
Ø Undang-undang perlindungan hak anak
Ø Rutan dipindahkan dengan orang dewasa[8]
E.
Tambahan jawaban
dari beberapa pertanyaan di atas
a.
Faktor yang
menyebabkan terjadinya atau pengaruh yang menyebabkan pelanggaran hak anak?
1. Pertama,
penyebabnya ia katakan ada anak yang berpotensi menjadi korban. "Ada anak
nakal, bandel, tidak bisa diam, tidak menurut, cengeng, pemalas, penakut. Anak-anak
seperti inilah yang sangat rentan oleh kekerasan fisik dan psikis. Karena ada
faktor bawaan seperti anak tersebut memang hiperaktif, selain itu ada faktor
dari ketidaktahuan orangtua, maupun guru sebagai pendidik anak-anak,"
jelasnya saat memberikan materi dalam seminar Perlindungan Terhadap Anak di
Convention Hall Hotel Grasia, Sabtu (14/2/2015)
2. Penyebab
kedua, Arist katakan ada anak atau orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku
kekerasan. Ia menjelaskan untuk anak yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan
disebabkan oleh beberapa hal yakni meniru atau mengimitasi dari orangtua,
teman, siaran televisi, video game, film. Selain itu, pernah mengalami sebagai
korban bullying dari sesama anak, korban kekerasan dari anak dewasa, dan adanya
tekanan dari kelompok.
Sedangkan untuk orang dewasa yang
berpotensi menjadi pelaku, Arist menggolongkan menjadi dua yakni pelaku
kekerasan fisik psikis dan pelaku kekerasan seksual.
Dalam golongan pelaku kekerasan fisik
maupun psikis, biasanya disebabkan oleh faktor kepribadian. Contohnya otoriter,
kaku, kasar, agresif. Selain itu, bisa disebabkan adanya tekanan pekerjaa,
ekonomi, masalah keluarga dan lain-lain.
Dalam golongan pelaku kekerasan
seksual, Arist kembali menjelaskan penyebabnya terdiri dari faktor pengaruh
pergaulan teman, kelainan biologis, problem seksual dalam diri atau dalam
keluarga, dan pengaruh akses pornografi maupun miras.
3. Yang
ketiga, adanya peluang kekerasan tanpa pengawasan atau perlindungan. Biasanya,
hal tersebut sering dialami oleh anak-anak yang tinggal dengan pembantu, ayah
atau ibu diri, maupun paman atau saudaranya. Peluang terjadinya kekerasan
fisik, psikis maupun seksual ada banyak sekali penyebabnya, karena memang tidak
ada pengajaran potensi bahaya, anak dibiarkan bermain dengan orang dewasa tanpa
diawasi sehingga mereka dengan bebas bisa dipeluk, dipangku oleh siapa saja dan
lain-lain," jelasnya.
4. Penyebab
keempat karena adanya pencetus dari korban dan pelaku. Contohnya, adanya
pencetus dari korban, biasanya anak-anak rewel, aktifitas mereka berlebihan,
tidak menurut perintah, merusak barang-barang. Perilaku tersebut umunya
mencetuskan kekerasan fisik dan psikis. Kalau ciri-ciri anak ke toilet sendiri,
berpakaian seksi, sering dipeluk dan dipangku, dapat mencetuskan kekerasan
seksual.[9]
Sedangkan terkait pencetus yang
berasal dari pelaku, untuk kekerasan fisik dan psikis biasanya disebabkan oleh
kondisi dalam keadaan tertekan, ekonomi, masalah rumah tangga. Lanjutnya,
pencetus kekerasan seksual dikarenakan adanya rangsangan oleh pornografi maupun
pengaruh minuman keras dan dorongan seksual yang tak tersalurkan.[10]
b.
Dampak dari
pelanggaran hak anak?
1.
Kerusakan fisik
atau luka fisik(2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri,
pendendam dan agresif ,(3)Memiliki perilaku menyimpang, seperti: menarik diri
dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol sampai dengan
kecenderungan bunuh diri. (4)Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan
menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri, dan
lain-lain.(5)Pendidikan anak yang terabaikan.[11]
2. Anak yang dieksploitasi akan banyak kehilangan
haknya untuk belajar dan bermain. Anak yang dieksploitasi akan banyak
menghabiskan waktu di lingkungan kerja sehingga mereka akan kehilangan haknya
untuk belajar. Banyak anak yang putus sekolah. Padahal sekolah adalah saat-saat
terbaik dimana anak dapat memperluas wawasan dan cakrawala berpikir. Saat cara
berpikir mereka hanya terfokus kepada mencari uang dan bertahan hidup, setelah
dewasa nanti mereka tidak akan memikirkan bagaimana memajukan negara agar tidak
ada lagi anak-anak yang harus bekerja. Dan saat bekerja anak juga akan
kehilangan waktu bermainnya. Bermain merupakan kegiatan yang memberikan
kenangan baik bagi anak yang dapat memberikan cara berpikir imajinatif dan
kreatif bagi anak. Apabila anak tidak bahagia dimasa kecilnya, saat dewasa
nanti ia akan mencari berbagai pelampiasan atas ketidakbahgiannya semasa kecil,
misalnya saja melakukan hal-hal bodoh dan berbahaya.
3. Perubahan perilaku anak ke arah perilaku orang
dewasa yang terjadi lebih cepat. Anak-anak yang diekploitasi akan bergaul
dengan siapa saja secara bebas tanpa melihat umur. Secara perlahan, anak
tersebut akan membantah orang tuanya karena pola pikir jika ia sudah bisa mencari
uang sendiri ia bisa berbuat sesuka hatinya. Anak-anak yang terlalu cepat
dewasa, akan mencari pelampiasan dengan uang yang dimilikinya.
4. Ketergantungan akan materi karena sudah mengenalnya
sebelum waktu yang tepat. Dengan ketergantungan terhadap uang, anak-anak akan
malas untuk menyelesaikan pendidikannya. Misalnya saja, bila seorang anak sudah
bisa menghasilkan Rp 100.000 dalam satu hari, ia akan tergiur untuk melanjutkan
belajarnya karena tanpa belajar disekolah ia sudah memilik penghasilan yang cukup
untuknya. Padahal saat proses belajar itu anak akan dibukakan cara berpikir
yang seluas-luasnya yang dapat menghasilkan uang jauh lebih banyak dari pada
bekerja seperti biasanya.
5. Anak akan kekurangan kasih sayang sehingga ia akan
mencari sosok lain yang bisa memberikan kasih sayang. Hal inilah yang akan
sangat berbahaya bagi anak. Jika anak kekurangan kasih sayang dari lingkungan
sekitarnya, ia akan mencari sosok lain yang bisa memberikannya tanpa mengetahui
apakah sosok tersebut adalah orang yang baik atau bahkan akan menjerumuskannya
kepada sesuatu yang lebih buruk.
6. Kendornya standar moral dan dampak
inter-generasional. Anak-anak yang sering disiksa, dianisaya, dijerumuskan
dalam pelacuran, dihina, dan dipaksa bekerja akan mendapat stardar moralitas yang
rendah. Nilai-nilai moralitasyang harus ia hadapi akan kabur dan kesempatannya
untuk menemukan model moralitas masyarakat yang normal akan berkurang. Dalam
pikiran mereka akan tertanam bahwa perlakuan buruk yang dirasakan oleh mereka
adalah benar dan memang begitulah kehidupan. Pada akhirnya anak akan melakukan
perbuatan buruk itu saat ia memiliki kesempatan. Tidak ada yang ingin tumbuh
dan berkembang di negara dengan nilai-nilai moralitas yang rendah.
7. Terhambatnya potensi anak untuk berkembang saat dikucilkan.
Saat seorang anak dikucilkan baik dari lingkungan sekolah dan sekitar rumahnya,
anak tersebut tidak akan berani untuk mengembangkan potensinya, ia akan menjadi
tertutup karena sudah merasa takut terlebih dahulu, takut diejek ataupun
dihina. Perkembangan mentalnya juga akan terhambat karena kurangnya interaksi
dengan orang lain, anak tersebut bisa saja menjadi depresi dan emosional
ataupun menjadi pendiam dan tertutup. Padalah seharusnya lingkungan melindungi
anak dari tindakan diskriminatif.
8. Cacat fisik dan trauma. Akibar dari kekerasan fisik
yang ditujukan kepada anak, bisa menyebabkan cacat fisik dan trauma yang jelas
saja akan menyulitkan caranya hidup. Dan ditambah lagi pandangan orang-orang
asing yang memandang dengan ngeri atau heran pada cacat yang diderita, hal ini
akan membuat korban menjadi minder. Dan trauma yang diderita bisa saja akan
memakan waktu lama untuk sembuh sehingga menghambat perkembangan potensi yang
ada pada anak.[12]
c. upaya
penegakan hak asasi di indonesia
Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum
diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang
sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat
maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung
sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik
bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950),
pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju
dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS
1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak memungkinkan untuk
melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.
Kemajuan yang sama, secara konstitusional
juga berlangsung sekembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya
UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa
berlakunya UUDS 1950 tersebut, penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup
baik. Patut diingat bahwa pada masa itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM
masih belum terlalu besar. Di masa itu, Indonesia menyatakan meneruskan
berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional (International
Labor Organization/ILO) yang telah diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda
dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.
Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).
Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).
Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM
berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu
mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan
perlindungan HAM “guna mendukung tujuan pembangunan nasional”. Komnas HAM
dibentuk sebagai lembaga mandiri yang memiliki kedudukan setingkat dengan
lembaga negara lainnya dan berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu
dinyatakan bersifat mandiri karena para anggotanya diangkat secara langsung
oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara de facto dalam kehidupan
bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada di bawah rezim yang
otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti karena
pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.
Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.
Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.
Pada masa itu dikenal transitional
justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai keadilan dalam masa
transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice (keadilan kriminal),
melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice
(keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan administratif),
political justice (keadilan politik), economic justice (keadilan ekonomi),
social justice (keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan
sejarah). Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada
transitional criminal justice karena memang merupakan salah satu aspek
transitional justice yang berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan
dasar baik dari pihak korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut.
Di samping itu, bentuk penegakan transitional criminal justice merupakan elemen
yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang
diupayakan.
Upaya penegakan transitional criminal
justice umumnya dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial
(melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di luar proses
pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM dan
Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM berat
yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan
HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi
sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.
Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan
kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui
jalur demikian haruslah berorientasi pada kepentingan korban dan bentuk
penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara serta merupakan upaya penciptaan kehidupan Indonesia yang
demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa berlakunya kekuasaan hukum dan
dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.
Selain itu Upaya penegakan HAM dapat
melalui jalur Pengadilan HAM, mengikuti ketentuan-ketentuan antara lain,
sebagai berikut:
Kewenangan memeriksan dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut di atas oleh Pengadilan HAM
tidak berlaku bagi pelaku yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan
dilakukan.
Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan UURI No.26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM adhoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada tempat dan waktu perbuatan tertentu (locus dan tempos delicti ) yang terjadi sebelum diundangkannya UURI No. 26 Tahun 2000.
Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat jujur, maka pemeriksaan perkaranya dilakukan majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang. Lima orang tersebut, terdiri atas 2 orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc (diangkat di luar hakim karir). Sedang penegakan HAM melalui KKR penyelesaian pelanggaran HAM dengan cara para pelaku mengungkapkan pengakuan atas kebenaran bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM terhadap korban atau keluarganya, kemudian dilakukan perdamaian. Jadi KKR berfungsi sebagai mediator antara pelaku pelanggaran dan korban atau keluarganya untuk melakukan penyelesaian lewat perdamaian bukan lewat jalur Pengadilan HAM.[13]
Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan UURI No.26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM adhoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada tempat dan waktu perbuatan tertentu (locus dan tempos delicti ) yang terjadi sebelum diundangkannya UURI No. 26 Tahun 2000.
Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat jujur, maka pemeriksaan perkaranya dilakukan majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang. Lima orang tersebut, terdiri atas 2 orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc (diangkat di luar hakim karir). Sedang penegakan HAM melalui KKR penyelesaian pelanggaran HAM dengan cara para pelaku mengungkapkan pengakuan atas kebenaran bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM terhadap korban atau keluarganya, kemudian dilakukan perdamaian. Jadi KKR berfungsi sebagai mediator antara pelaku pelanggaran dan korban atau keluarganya untuk melakukan penyelesaian lewat perdamaian bukan lewat jalur Pengadilan HAM.[13]
F.
Dampak Dari Adanya Pelanggaran Hak Asasi
Anak Di Indonesia
a. Anak
yang sering di marahi oleh orang tuanya cenderung meniru perilaku buruk /perlakuan
kejam dari orang tuanya
b. Anak
terpaksa putus sekolah karena mencari nafkah
c. Anak
tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya
d. Anak
mengalami depresi
e. Anak
tidak mendapatkan pendidikan yang layak
f. Kesejahteraan
Anak Sirna
G.
Langkah-Langkah Yang Dapat Dilakukan
Untuk Memberantas Pelanggaran Ham Anak Di Indonesia
Seharusnya pemerintah benar-benar menjaga
Hak Asasi Manusia khususnya pada anak-anak, karena di Indonesia tingkat
pelanggaran HAM pada Anak-anak sangat tinggi, seharusnya dilakukan penyuluhan
pada mereka agar mereka mengerti dan merasa terhormat atas UUD HAK Anak-anak.
Selain itu harus juga selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap
setiap laporan atau penemuan kasus pelanggaran hak asasi anak serta
menghukumnya dengan ketentuan hukum ytang berlaku. Dan pemerintah harus
bener-bener menjunjung program itu, jangan sampai ada lagi pelanggaran HAM di
tanah air ini.[14]
H.
Hambatan Dalam
Pemberantasan Pelanggaran HAM oleh Orang Tua Kepada Anak
hambatan-hambatan dalam pemberantasan HAM oleh orang
tua kepada anak meliputi :
§
Karena terjadi
diruang lingkup keluarga maka sulit untuk dipantau oleh orang luar.
§
Kebanyakan dari
keluarga korban menutupi kasus karena anggap aib.
§
Para korban
enggan melapor dengan alasan memperoleh ancaman dari pelaku.
§
Kasus baru akan
terungkap setelah jatuh korban banyak dan korban sudah mengalami dampak
ekstream dari pelanggaran HAM.
§
Pelaku sangat
pandai menutupi kesalahannya dengan berbagai cara.
§
Pendidikan orang
tua yang kurang mempuni.
§
Lingkungan
sosial yang tidak mendukung.
§
Lingkungan
keluarga yang acuh tak acuh.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat
diambil dari makalah ini yaitu:
a.
HAM adalah hak
yang melekat pada diri setiap manusia sejak dalam kandungan yang berlaku seumur
hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapapun.
b.
Bentuk
Pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap anak yaitu penyiksaan fisik, penyiksaan
emosi, pengabaian, dan pelecehan seksual.
c.
Dampak dari
adanya pelanggaran Hak Asasi Anak adalah:
1.
Anak yang sering
di marahi oleh orang tuanya cenderung meniru perilaku buruk /perlakuan kejam
dari orang tuanya
2.
Anak terpaksa
putus sekolah karena mencari nafkah
3.
Anak tidak mampu
berinteraksi dengan lingkungannya
4.
Anak mengalami
depresi
5.
Anak tidak
mendapatkan pendidikan
d.
Salah satu
langkah yang harus dilakukan Pemerintah adalah harus selalu mencari dan
menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus pelanggaran
hak asasi anak serta menghukumnya dengan ketentuan hukum ytang berlaku
B. SARAN
Untuk mencegah dan menghentikan pelanggaran
terhadap hak asasi anak dibutuhkan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan
individu, pendekatan sosial, dan pendekatan medis.
DAFTAR PUSTAKA
Huraerah,
Abu, M. Si., 2006. Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Penerbit
Nuansa.
Dikutip dari KBBI edisi tahun 2008 halaman 57-58
Dikutip dari pak ade rahman dan
baiq baid hurriyati. LPA bima
Dikutip dari Cobuild advanced Dictionary of English penerbit
Harper Collins Publishers 2009
Dhaif: lemah, tidak berdaya, hina; dikutip dari KBBI edisi tahun
2008 halaman 308
Pasal 1 ayat 1, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Purnomo dan iswidodo. Daniel Ari, 2015. Empat Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
Terhadap Anak ...http://jateng.tribunnews.com/2015/02/14/empat-faktor-penyebab-terjadinya-kekerasan-terhadap-anak(di
akses tanngal 17 April 2018 pukul 20.00
Wita)
Dikutip dari
Menurut
UNICEF laman https://www.facebook.com/permalink.php?id=343100722454999&story_fbid=431020583663012 yang diakses pada 06 April
2018
Endaryono, Dampak Kekerasan terhadap Anak | Perlu Diketahui. https://perludiketahui.wordpress.com/dampak-kekerasan-terhadap-anak/(Diakses tanggal 18 April
2018 pukul 20.30 Wita)
Syifa Rouhanisya Syifa, 2016. FILSAFAT : Akibat Pelanggaran Hak
Anak. http://syifarhs.blogspot.co.id/2016/12/akibat-pelanggaran-hak-anak.html
(Diakses tanggal 18 April 2018 Pukul 20.40 Wita)
Konsultasi hukum online. UPAYA PENEGAKAN HAM DAN PENCEGAHAN
HAM... - Konsultasi ..., https://id-id.facebook.com/KonsultasiHukumOnline/posts/594572507324788(Diakses tanggal 18
April 2018 pukul 20.41 Wita)
Elsa
Audia, 2014. GeMi Smart: MASALAH PELANGGARAN HAK ASASI ANAK DI ..., http://elsaaudiagrendianika.blogspot.co.id/2014/12/masalah-pelanggaranhak-asasi-anak-di.html
(diakses tanggal 18 April 2018 pukul 20.50)
Nanda Willcent
Midwifery Of Indonesia. 2017. Tentang Nanda Willcent: Makalah
Pelanggaran Hak Asasi Manusia ...,
http://nandawillcent.blogspot.co.id/2017/08/makalah-pelanggaran-hak-asasi-manusia.html (Diakses tanggal 18 April 2018 pukul 20.45)
[2] Dikutip dari Cobuild
advanced Dictionary of English penerbit Harper Collins Publishers 2009
[7] Dikutip dari Menurut UNICEF laman https://www.facebook.com/permalink.php?id=343100722454999&story_fbid=431020583663012 yang diakses pada 06 April
2018
[9] Arist Merdeka Sirait, Empat Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak
...http://jateng.tribunnews.com/2015/02/14/empat-faktor-penyebab-terjadinya-kekerasan-terhadap-anak(di
akses tanngal 17 April 2018 pukul 20.00
Wita)
[10] Daniel Ari Purnomo dan iswidodo. Empat
Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak ...http://jateng.tribunnews.com/2015/02/14/empat-faktor-penyebab-terjadinya-kekerasan-terhadap-anak(di akses tanngal 17 April 2018 pukul 20.00 Wita)
[11] Endaryono, Dampak
Kekerasan terhadap Anak | Perlu Diketahui. https://perludiketahui.wordpress.com/dampak-kekerasan-terhadap-anak/(Diakses tanggal 18 April 2018 pukul 20.30 Wita)
[12] Syifa Rouhanisya Syifa, FILSAFAT : Akibat Pelanggaran Hak
Anak. http://syifarhs.blogspot.co.id/2016/12/akibat-pelanggaran-hak-anak.html
(Diakses tanggal 18 April 2018 Pukul 20.40 Wita)
https://id-id.facebook.com/KonsultasiHukumOnline/posts/594572507324788(Diakses tanggal 18
April 2018 pukul 20.41 Wita)
[14] Elsa Audia, GeMi Smart: MASALAH PELANGGARAN HAK ASASI ANAK DI ..., http://elsaaudiagrendianika.blogspot.co.id/2014/12/masalah-pelanggaranhak-asasi-anak-di.html
(diakses tanggal 18 April 2018 pukul 20.50)
[15] Nanda
Willcent Midwifery Of Indonesia. Tentang Nanda Willcent: Makalah
Pelanggaran Hak Asasi Manusia ...,
http://nandawillcent.blogspot.co.id/2017/08/makalah-pelanggaran-hak-asasi-manusia.html (Diakses tanggal 18 April 2018 pukul 20.45)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar