l MAKALAH PERLINDUNGAN ANAK DAN KDRT Tentang : Realitas masalah pelanggaran hak anak- AHYADIN | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Senin, 23 April 2018

MAKALAH PERLINDUNGAN ANAK DAN KDRT Tentang : Realitas masalah pelanggaran hak anak- AHYADIN


MAKALAH
PERLINDUNGAN ANAK DAN KDRT
Tentang : Realitas masalah pelanggaran hak anak






Di susun oleh :
Ahyadin
Darmin
Sumiati

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah perlindungan anak dan KDRT

Dosen pengampu
Muhammad fitrah M.hi

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
BIMA
2017

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Laatar belakang
     Anak merupakan anugerah terbesar dan terindah bagi setiap orang, terutama mereka yang telah menikah. Anak juga merupakan tanggung jawab terbesar dan terberat bagi setiap orang tua. Pasalnya anak merupakan amanat dari TUHAN yang diberikan hanya kepada pasangan yang dikehendakinya dan tidak semua orang tua dianugerahi anak. Namun tahukah bagaimana hak asasi anak? Hak asasi anak pada dasarnya merupakan segala sesuatu yang membuat anak-anak senang, karena dalam hati dan pikiran anak hanya terdapat kesenangan dan keceriaan. Cara mereka belajar juga melalui keceriaan atau dalam bahasa pendidikannya adalah bermain sambil belajar. Begitu pula cara anak memahami lingkungan sekitar berbeda dengan cara orang dewasa. Jika cara orang dewasa adalah secara real dan terjun langsung untuk memahami lingkungan, cara anak adalah dengan bermain dan bertanya pada orang yang lebih tua. Cara ini memang unik, dimana anak mengajukan banyak sekali pertanyaan mulai dari hal yang sederhana hingga yang sangat rumit.
     Namun tahukah anda, dewasa ini perkembangan teknologi moderen merubah seluruh pola pikir mengenai apa yang telah saya uraikan diatas? Uraian diatas mengungkapkan secara singkat mengenai hak asasi anak yang amat sederhana, yakni kesenangan dan keceriaan atau dalam kata lain kita sebut sebagai bermain. Ya. Hal-hal diatas sekarang ini sangat diremehkan oleh sebagian besar orang tua. Bahkan ada yang tega hingga menjual anaknya atau juga bahkan menganiaya dan membunuh anaknya. Ini bukan hal yang wajar terjadi, ini adalah pelanggaran hak asasi anak. Anak yang seharusnya bermain dan belajar sekarang harus ditambah dengan bekerja.
     Mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal yang wajar dilakukan, karena alasan ekonomi sosial dan sebagainya. Namun bagi sebagian orang lainnya dan anak itu sendiri menganggap ini adalah pelanggaran hak asasi anak yang amat kejam. Kejam, pasalnya anak yang masih polos, suci, dan sedang dalam tahap tumbuh dan berkembang harus menghadapi masalah yang seharusnya dihadapi oleh orang tua. Nah berawal dari itu, saya akan menguraikan pelanggaran terhadap hak asasi anak. Saya akan mengawali dengan definisi dan saya akhiri dengan solusi yang diharapkan mampu menyelesaikan pelanggaran hak asasi anak


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian anak
     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia[1], anak didefinisikan sebagai keturunan yang kedua, dan manusia yang masih kecil.
     Menurut Kamus Collins Cobuild advanced Dictionary of English[2], anak didefinisikan sebagai a child is a human being who is not yet an adult (anak adalah manusia yang belum mencapai usia dewasa).
     Dalam agama Islam, anak didefiniskan sebagai makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan.[3] Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberi nafkah baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam,anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai pewaris ajaran islam pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh akan dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara.
     Menurut  The  Minimum Age  Convention  Nomor 138 tahun 1973,[4] pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.
     Dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.[5]
     UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun.
     Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun (Huraerah, 2006: 19).[6]
B.            Landasan Hukum Hak Asasi Anak
a.    Peraturan Perundang-undangan
1.        UUD 1945 & Pancasila
2.      UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3.      Keputusan Presiden No. 73 tahun 2003
4.        UU No. 4 tahun 1990 tentang Kesejahteraan Anak
5.      Keputusan Presiden No. 1990
6.      UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
7.        UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8.      UUPA (Undang-undang Perlindungan Anak)
b.    Peraturan Dunia
1.        Konvensi Hak Anak – Convention on the Right of the Child yang telah diratifikasi dengan Keppres 36 Tahun 1990
2.        ILO Convention No.182 concerning the Prohibition ang Immediate Action for the Elemnination of the Worst Forms of Child Labour
3.        Deklarasi Stockholm tahun 1972
4.        Deklarasi Rio tahun 1992
5.        Deklarasi Johannesberg tahun 2002
6.        Jakarta Declaration on Environment and Develompent tanggal 18 September 1997
C.            Hak Asasi Anak
Menurut Undang-undang
     Dalam UU No. 4 tahun 1990 tentang Kesejahteraan Anak, hak asasi anak mengenai Kesejahteraan Anak tertuang pada pasal 2 hingga pasal 8, yakni sebagai berikut:
1.        Anak berhak  atas  kesejahteraan,  perawatan,  asuhan  dan  bimbingan  berdasarkan  kasih  sayang  baik  dalam  lingkungan  keluarganya  maupun  di  dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar;
2.        Anak berhak  atas  pelayanan  untuk  mengembangkan  kemampuan  dan kehidupan sosialnya dengan baik dan berguna;
3.        Anak berhak atas  pemeliharaan  dan  perlindungan,  baik  semasa  dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan;
4.        Anak berhak atas  perlindungan  terhadap  lingkungan  hidup  yang  dapat membahayakan  atau menghambat  pertumbuhan  dan  perkembangan  secara wajar.;
     Sedang pada UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak diatur dalam ketentuan Pasal 4  sampai  dengan Pasal  18.  Perlu  diketahui  bahwa  di  dalam  UU  Perlindungan Anak,  diberikan  batasan  tentang  usia  seseorang  dikategorikan  sebagai  seorang anak  apabila  ia  belum  berusia  18  tahun  termasuk  anak  yang  masih dalam kandungan. Di antara hak-hak anak yang diatur dalam UU Perlindungan  tersebut adalah:
1.        hak untuk  hidup,  tumbuh  dan  berkembang  dan  berpartisipasi  secara  wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2.        hak atas sebuah nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
3.        hak untuk  beribadah  menurut  agamanya,  berpikir  dan  berekspresi  sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua;
4.        hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;
5.        apabila karena  susuatu  hal  orang  tuanya  tidak  bisa mengasuh  sendiri,  anak tersebut berhak diasuh dan diangkat oleh orang  lain  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.        hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social.
7.        hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran;
8.        hak untuk menyatakan  dan  di  dengar  pendapatnya, menerima, mencari  dand lmemberikan  informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya;
9.        hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu Luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya;
Menurut UNICEF[7]
Menurut UNICEF anak berhak untuk:
1. Hidup, tumbuh dan berkembang
2. Bermain
3. Berekreasi (piknik/wisata)
4. Berkreasi
5. Beristirahat
6. Memanfaatkan waktu luang
7. Berpartisipasi
8. Bergaul dengan anak sebayanya
9. Menyatakan dan didengar pendapatnya
10. Dibesarkan dan diasuh orangtua kandungnya sendiri
11. Berhubungan dengan orangtuanya bila terpisahkan
12. Beribadah menurut agamanya
Untuk mendapatkan:
13. Nama
14. Identitas
15. Kewarganegaraan
16. Pendidikan dan pengajaran
17. Informasi sesuai usianya
18. Pelayanan kesehatan
19. Jaminan sosial
20. Kebebasan sesuai hukum
21. Bantuan hukum dan bantuan lain.
Perlakuan diskriminasi
1.  Ekploitasi ekonomi maupun seksual
2.  Penelataran
3.  Kekejaman, kekerasan,penganiayaan
4.  Ketidakadilan
5.  Perlakuan salah lainnya
6.  Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
7.  Pelibatan dalam sengketa bersenjata
8.  Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
9.  Pelibatan dalam peperangan
10.Sasaran penganiayaan dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi
D.      Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan pada LPA bima
1.    Faktor yang menyebabkan terjadinya atau pengaruh yang menyebabkan pelanggaran hak anak
Faktor internal
Ø  faktor ekonomi
Ø   ketidak paham dengan kewajibannya serta     fungsinya
Ø   kelalaian orang tua
Faktor eksternal
Ø    merampas hak anak
Ø    hak psikologi
Ø    hak pendidikan
Ø    hak hidup
Ø    hak kebebasan atau memilih
Ø    hak sosial
Ø    hak perlindungan
2.    Dampak dari pelanggaran hak anak
Ø  Kecenderungan untuk membalas dendam karena pengaruh psikologi
Ø  Bahaya bgi kepribadian si anak
Ø  Psikologi anak terganggu
3.    Upaya tanngung jawab pemerintah terhadap pelanggaran hak anak
Ø  Mendirikan instasi perlindungan anak
Ø  Pemberdayaan wanita
Ø  Pekerja sosial
Ø  Membuat undang-undang
4.    Jumlah kasus yang telah terjadi di bima

Ø  15 kasus mengenai perebutan anak maupun pencabulan
Ø  1 kasus mengenai pelecehan seksual yang di lakukan oleh bapak kandungnya sendiri

5.    Bentuk Pemenuhan hak anak
Ø  Pemenuhan mengenai pendidikannya
Ø  Undang-undang perlindungan hak anak
Ø  Rutan dipindahkan dengan orang dewasa[8]
E.            Tambahan jawaban dari beberapa pertanyaan di atas
a.    Faktor yang menyebabkan terjadinya atau pengaruh yang menyebabkan pelanggaran hak anak?
1.    Pertama, penyebabnya ia katakan ada anak yang berpotensi menjadi korban. "Ada anak nakal, bandel, tidak bisa diam, tidak menurut, cengeng, pemalas, penakut. Anak-anak seperti inilah yang sangat rentan oleh kekerasan fisik dan psikis. Karena ada faktor bawaan seperti anak tersebut memang hiperaktif, selain itu ada faktor dari ketidaktahuan orangtua, maupun guru sebagai pendidik anak-anak," jelasnya saat memberikan materi dalam seminar Perlindungan Terhadap Anak di Convention Hall Hotel Grasia, Sabtu (14/2/2015)
2.    Penyebab kedua, Arist katakan ada anak atau orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Ia menjelaskan untuk anak yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan disebabkan oleh beberapa hal yakni meniru atau mengimitasi dari orangtua, teman, siaran televisi, video game, film. Selain itu, pernah mengalami sebagai korban bullying dari sesama anak, korban kekerasan dari anak dewasa, dan adanya tekanan dari kelompok.
         Sedangkan untuk orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku, Arist menggolongkan menjadi dua yakni pelaku kekerasan fisik psikis dan pelaku kekerasan seksual.
          Dalam golongan pelaku kekerasan fisik maupun psikis, biasanya disebabkan oleh faktor kepribadian. Contohnya otoriter, kaku, kasar, agresif. Selain itu, bisa disebabkan adanya tekanan pekerjaa, ekonomi, masalah keluarga dan lain-lain.
         Dalam golongan pelaku kekerasan seksual, Arist kembali menjelaskan penyebabnya terdiri dari faktor pengaruh pergaulan teman, kelainan biologis, problem seksual dalam diri atau dalam keluarga, dan pengaruh akses pornografi maupun miras.
3.    Yang ketiga, adanya peluang kekerasan tanpa pengawasan atau perlindungan. Biasanya, hal tersebut sering dialami oleh anak-anak yang tinggal dengan pembantu, ayah atau ibu diri, maupun paman atau saudaranya. Peluang terjadinya kekerasan fisik, psikis maupun seksual ada banyak sekali penyebabnya, karena memang tidak ada pengajaran potensi bahaya, anak dibiarkan bermain dengan orang dewasa tanpa diawasi sehingga mereka dengan bebas bisa dipeluk, dipangku oleh siapa saja dan lain-lain," jelasnya.
4.    Penyebab keempat karena adanya pencetus dari korban dan pelaku. Contohnya, adanya pencetus dari korban, biasanya anak-anak rewel, aktifitas mereka berlebihan, tidak menurut perintah, merusak barang-barang. Perilaku tersebut umunya mencetuskan kekerasan fisik dan psikis. Kalau ciri-ciri anak ke toilet sendiri, berpakaian seksi, sering dipeluk dan dipangku, dapat mencetuskan kekerasan seksual.[9]
         Sedangkan terkait pencetus yang berasal dari pelaku, untuk kekerasan fisik dan psikis biasanya disebabkan oleh kondisi dalam keadaan tertekan, ekonomi, masalah rumah tangga. Lanjutnya, pencetus kekerasan seksual dikarenakan adanya rangsangan oleh pornografi maupun pengaruh minuman keras dan dorongan seksual yang tak tersalurkan.[10]

b.    Dampak dari pelanggaran hak anak?
1.    Kerusakan fisik atau luka fisik(2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif ,(3)Memiliki perilaku menyimpang, seperti: menarik diri dari lingkungan,  penyalahgunaan obat dan alkohol sampai dengan kecenderungan bunuh diri. (4)Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri, dan lain-lain.(5)Pendidikan anak yang terabaikan.[11]
2.      Anak yang dieksploitasi akan banyak kehilangan haknya untuk belajar dan bermain. Anak yang dieksploitasi akan banyak menghabiskan waktu di lingkungan kerja sehingga mereka akan kehilangan haknya untuk belajar. Banyak anak yang putus sekolah. Padahal sekolah adalah saat-saat terbaik dimana anak dapat memperluas wawasan dan cakrawala berpikir. Saat cara berpikir mereka hanya terfokus kepada mencari uang dan bertahan hidup, setelah dewasa nanti mereka tidak akan memikirkan bagaimana memajukan negara agar tidak ada lagi anak-anak yang harus bekerja. Dan saat bekerja anak juga akan kehilangan waktu bermainnya. Bermain merupakan kegiatan yang memberikan kenangan baik bagi anak yang dapat memberikan cara berpikir imajinatif dan kreatif bagi anak. Apabila anak tidak bahagia dimasa kecilnya, saat dewasa nanti ia akan mencari berbagai pelampiasan atas ketidakbahgiannya semasa kecil, misalnya saja melakukan hal-hal bodoh dan berbahaya.
3.      Perubahan perilaku anak ke arah perilaku orang dewasa yang terjadi lebih cepat. Anak-anak yang diekploitasi akan bergaul dengan siapa saja secara bebas tanpa melihat umur. Secara perlahan, anak tersebut akan membantah orang tuanya karena pola pikir jika ia sudah bisa mencari uang sendiri ia bisa berbuat sesuka hatinya. Anak-anak yang terlalu cepat dewasa, akan mencari pelampiasan dengan uang yang dimilikinya.
4.      Ketergantungan akan materi karena sudah mengenalnya sebelum waktu yang tepat. Dengan ketergantungan terhadap uang, anak-anak akan malas untuk menyelesaikan pendidikannya. Misalnya saja, bila seorang anak sudah bisa menghasilkan Rp 100.000 dalam satu hari, ia akan tergiur untuk melanjutkan belajarnya karena tanpa belajar disekolah ia sudah memilik penghasilan yang cukup untuknya. Padahal saat proses belajar itu anak akan dibukakan cara berpikir yang seluas-luasnya yang dapat menghasilkan uang jauh lebih banyak dari pada bekerja seperti biasanya.
5.      Anak akan kekurangan kasih sayang sehingga ia akan mencari sosok lain yang bisa memberikan kasih sayang. Hal inilah yang akan sangat berbahaya bagi anak. Jika anak kekurangan kasih sayang dari lingkungan sekitarnya, ia akan mencari sosok lain yang bisa memberikannya tanpa mengetahui apakah sosok tersebut adalah orang yang baik atau bahkan akan menjerumuskannya kepada sesuatu yang lebih buruk. 
6.      Kendornya standar moral dan dampak inter-generasional. Anak-anak yang sering disiksa, dianisaya, dijerumuskan dalam pelacuran, dihina, dan dipaksa bekerja akan mendapat stardar moralitas yang rendah. Nilai-nilai moralitasyang harus ia hadapi akan kabur dan kesempatannya untuk menemukan model moralitas masyarakat yang normal akan berkurang. Dalam pikiran mereka akan tertanam bahwa perlakuan buruk yang dirasakan oleh mereka adalah benar dan memang begitulah kehidupan. Pada akhirnya anak akan melakukan perbuatan buruk itu saat ia memiliki kesempatan. Tidak ada yang ingin tumbuh dan berkembang di negara dengan nilai-nilai moralitas yang rendah.
7.      Terhambatnya potensi anak untuk berkembang saat dikucilkan. Saat seorang anak dikucilkan baik dari lingkungan sekolah dan sekitar rumahnya, anak tersebut tidak akan berani untuk mengembangkan potensinya, ia akan menjadi tertutup karena sudah merasa takut terlebih dahulu, takut diejek ataupun dihina. Perkembangan mentalnya juga akan terhambat karena kurangnya interaksi dengan orang lain, anak tersebut bisa saja menjadi depresi dan emosional ataupun menjadi pendiam dan tertutup. Padalah seharusnya lingkungan melindungi anak dari tindakan diskriminatif.
8.      Cacat fisik dan trauma. Akibar dari kekerasan fisik yang ditujukan kepada anak, bisa menyebabkan cacat fisik dan trauma yang jelas saja akan menyulitkan caranya hidup. Dan ditambah lagi pandangan orang-orang asing yang memandang dengan ngeri atau heran pada cacat yang diderita, hal ini akan membuat korban menjadi minder. Dan trauma yang diderita bisa saja akan memakan waktu lama untuk sembuh sehingga menghambat perkembangan potensi yang ada pada anak.[12]

c.    upaya penegakan hak asasi di indonesia
     Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS 1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak memungkinkan untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.
     Kemajuan yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950 tersebut, penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.
Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).
     Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM “guna mendukung tujuan pembangunan nasional”. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.
Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.
     Pada masa itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice (keadilan kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice (keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan administratif), political justice (keadilan politik), economic justice (keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice karena memang merupakan salah satu aspek transitional justice yang berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut. Di samping itu, bentuk penegakan transitional criminal justice merupakan elemen yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang diupayakan.
     Upaya penegakan transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.
     Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.
     Selain itu Upaya penegakan HAM dapat melalui jalur Pengadilan HAM, mengikuti ketentuan-ketentuan antara lain, sebagai berikut:
     Kewenangan memeriksan dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut di atas oleh Pengadilan HAM tidak berlaku bagi pelaku yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan UURI No.26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM adhoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada tempat dan waktu perbuatan tertentu (locus dan tempos delicti ) yang terjadi sebelum diundangkannya UURI No. 26 Tahun 2000.
Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat jujur, maka pemeriksaan perkaranya dilakukan majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang. Lima orang tersebut, terdiri atas 2 orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc (diangkat di luar hakim karir). Sedang penegakan HAM melalui KKR penyelesaian pelanggaran HAM dengan cara para pelaku mengungkapkan pengakuan atas kebenaran bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM terhadap korban atau keluarganya, kemudian dilakukan perdamaian. Jadi KKR berfungsi sebagai mediator antara pelaku pelanggaran dan korban atau keluarganya untuk melakukan penyelesaian lewat perdamaian bukan lewat jalur Pengadilan HAM.[13]
F.             Dampak Dari Adanya Pelanggaran Hak Asasi Anak Di Indonesia
a.    Anak yang sering di marahi oleh orang tuanya cenderung meniru perilaku buruk /perlakuan kejam dari orang tuanya
b.    Anak terpaksa putus sekolah karena mencari nafkah
c.    Anak tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya
d.   Anak mengalami depresi
e.    Anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak
f.     Kesejahteraan Anak Sirna
G.           Langkah-Langkah Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberantas Pelanggaran Ham Anak Di Indonesia
     Seharusnya pemerintah benar-benar menjaga Hak Asasi Manusia khususnya pada anak-anak, karena di Indonesia tingkat pelanggaran HAM pada Anak-anak sangat tinggi, seharusnya dilakukan penyuluhan pada mereka agar mereka mengerti dan merasa terhormat atas UUD HAK Anak-anak. Selain itu harus juga selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus pelanggaran hak asasi anak serta menghukumnya dengan ketentuan hukum ytang berlaku. Dan pemerintah harus bener-bener menjunjung program itu, jangan sampai ada lagi pelanggaran HAM di tanah air ini.[14]

H.           Hambatan Dalam Pemberantasan Pelanggaran HAM oleh Orang Tua Kepada Anak
hambatan-hambatan dalam pemberantasan HAM oleh orang tua kepada anak meliputi :
§   Karena terjadi diruang lingkup keluarga maka sulit untuk dipantau oleh orang luar.
§   Kebanyakan dari keluarga korban menutupi kasus karena anggap aib.
§   Para korban enggan melapor dengan alasan memperoleh ancaman dari pelaku.
§   Kasus baru akan terungkap setelah jatuh korban banyak dan korban sudah mengalami dampak ekstream dari pelanggaran HAM.
§   Pelaku sangat pandai menutupi kesalahannya dengan berbagai cara.
§   Pendidikan orang tua yang kurang mempuni.
§   Lingkungan sosial yang tidak mendukung.
§   Lingkungan keluarga yang acuh tak acuh.[15]




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini yaitu:
a.         HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak dalam kandungan yang berlaku seumur hidup  dan tidak dapat diganggu gugat siapapun.
b.         Bentuk Pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap anak yaitu penyiksaan fisik, penyiksaan emosi, pengabaian, dan pelecehan seksual.
c.         Dampak dari adanya pelanggaran Hak Asasi Anak adalah:
1.    Anak yang sering di marahi oleh orang tuanya cenderung meniru perilaku buruk /perlakuan kejam dari orang tuanya
2.    Anak terpaksa putus sekolah karena mencari nafkah
3.    Anak tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya
4.    Anak mengalami depresi
5.    Anak tidak mendapatkan pendidikan
d.        Salah satu langkah yang harus dilakukan Pemerintah adalah harus selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus pelanggaran hak asasi anak serta menghukumnya dengan ketentuan hukum ytang berlaku

B.  SARAN
    Untuk mencegah dan menghentikan pelanggaran terhadap hak asasi anak dibutuhkan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan individu, pendekatan sosial, dan pendekatan medis.









DAFTAR PUSTAKA

Huraerah, Abu, M. Si., 2006.  Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Penerbit Nuansa.
Dikutip dari KBBI edisi tahun 2008 halaman 57-58

Dikutip dari pak ade rahman dan baiq baid hurriyati. LPA bima

Dikutip dari Cobuild advanced Dictionary of English penerbit Harper Collins Publishers 2009

Dikutip dari https://andibooks.wordpress.com/definisi-anak/  yang diakses pada 05 April 2018.

Dhaif: lemah, tidak berdaya, hina; dikutip dari KBBI edisi tahun 2008 halaman 308

Pasal 1 ayat 1, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Dikutip dari   Menurut UNICEF    laman https://www.facebook.com/permalink.php?id=343100722454999&story_fbid=431020583663012 yang diakses pada 06 April 2018







     [1]      Dikutip dari KBBI edisi tahun 2008 halaman 57-58
[2]  Dikutip dari Cobuild advanced Dictionary of English penerbit Harper Collins Publishers 2009
      [3]      Dikutip dari https://andibooks.wordpress.com/definisi-anak/  yang diakses pada 05 April 2018.
     [4]      Dhaif: lemah, tidak berdaya, hina; dikutip dari KBBI edisi tahun 2008 halaman 308
     [5]      Pasal 1 ayat 1, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
      [6]    Huraerah, Abu, M. Si., 2006.  Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Penerbit Nuansa.
       [7]      Dikutip dari   Menurut UNICEF    laman https://www.facebook.com/permalink.php?id=343100722454999&story_fbid=431020583663012 yang diakses pada 06 April 2018
     [8]   Dikutip dari pak ade rahman dan baiq baid hurriyati. LPA
      [10]   Daniel Ari Purnomo dan iswidodo. Empat Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak ...http://jateng.tribunnews.com/2015/02/14/empat-faktor-penyebab-terjadinya-kekerasan-terhadap-anak(di akses tanngal 17 April 2018 pukul  20.00 Wita)
    [15]    Nanda Willcent Midwifery Of Indonesia. Tentang Nanda Willcent: Makalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia ..., http://nandawillcent.blogspot.co.id/2017/08/makalah-pelanggaran-hak-asasi-manusia.html (Diakses tanggal 18 April 2018 pukul 20.45)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020