l AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Senin, 23 April 2018

MAKALAH WASIAT, WAKAF, DAN HIBAH-AHYADIN


MAKALAH
HUKUM WARIS
Tentang  :  Wakaf, Wasiat, dan Hibah


Di susun oleh :
Ahyadin
Semester IV (Empat)

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
 mata kuliah hukum waris”

Dosen pengampu
Zuhrah, S.h, M,h


FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2018/2019

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim
     Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Masalah Wasiat, Hibah, dan Wakaf” dengan baik. Shalawat dan salam selalu tercurah keharibaan junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
     Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini, baik moril maupun materiil.
     Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.



Bima, 02 April 2018

        Penulis



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
     Secara sederhana wasiat diartikan dengan “Penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya”. Dari kata “penyerahan harta kepada pihak lain”, wasiat itu termasuk dalam lingkup hibah. Namun karena harta yang diserahkan itu baru dimiliki oleh yang menerima setelah matinya pemilik, dia merupakan pemberian dalam bentuk khusus. Perbedaannya dengan warisan – meskipun sama-sama dimiliki setelah matinya pemilik – ialah bahwa dalam wasiat peralihan harta atas kehendak si pemilik yang diucapkannya semasih hidup, pada warisan tidak ada kehendak dari pemilik harta selama dia masih hidup.
     Adapun hikmah dan tujuan hukum dari wasiat ini adalah manfaat bagi sesama hamba Allah dan tidak ada pihak yang dirugikan. Dengan cara ini umat akan mendapatkan kemudahan dari tindakan ini. Di samping itu, wakaf dalam arti kata ialah menahan dan menghentikan. Secara terminology diartikan dengan “menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah”. Walaupun bentuk nyatanya wakaf itu menyerahkan harta kepada orang lain dan oleh karenanya dapat disebut pemberian, namun ia mempunyai bentuk tersendiri dengan nama sendiri. Menghentikan pengalihan hak mengandung arti tidak dapat lagi dijual, dihibahkan dan diwariskan oleh orang yang punya. Dengan demikian dia berarti sudah lepas dari yang punya; namun dia tidak lagi dimiliki oleh siapa-siapa. Karena itu barang yang diwakafkan itu telah menjadi milik Allah sebagai pemilik mutlak dari harta. Karena hasilnya digunakan untuk kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah, dia menyerupai shadaqah. Dia berbeda dengan shadaqah dalam beberapa hal, pertama yang dimiliki oleh yang menerima waqaf hanyalah manfaatnya dan bukan bendanya. Kedua: pahala yang didapat dari yang memberi shadaqah hanyalah sekali waktu memberikannya, sedangkan pahala yang diterima oleh yang berwakaf adalah berkepanjangan selama barang tersebut dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena itu, wakaf itu disebut juga “shadaqah yang mengalir terus”.



BAB II
PEMBAHASAN
A.           WAKAF
1.  Pengertian Wakaf
     Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Menurut istilah “waqaf/wakaf” adalah menahan suatu benda yang kekal abadi secara fisik zatnya serta dapat digunakan untuk sesuatu yang benar dan bermanfaat.
     Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut. 
     Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
     Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
     Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
     Keempat, Hambali mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

2.    Dasar Wakaf
     Dasar wakaf terdapat dalam QS. Al-Imron : 92,  yang artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
3.    Rukun Wakaf
     Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
4. Syarat-Syarat Wakaf  
1.  Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)
     Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2.  Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)
     Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3.  Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih)
     Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
4.  Syarat-syarat Shigah
     Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
5..  Jenis-jenis Wakaf
1.         Wakaf Mutlak (‘AM) - merujuk kepada amalan menyerahkan harta wakaf dengan tidak menyatakan sesuatu tujuan tertentu dalam perwakafan hartanya. Harta itu boleh dibangunkan bagi apa-apa maksud, selagi tidak bertentangan dengan syarak.
2.         Wakaf Muqayyad (KHAS) – amalan mewakafkan harta dimana pewakaf menyatakan tujuan wakaf secara spesifik semasa menwakafkan hartanya. Harta wakaf tersebut hendaklah digunakan hanya untuk tujuan yang dinyatakan secara khusus itu.
     Contohnya mewakafkan tanah khas untuk pembinaan masjid, surau, perkuburan dan sebagainya.
6. Harta Yang Bisa Diwakafkan
     Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat untuk orang banyak, misalnya:
a. sebidang tanah
b. pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
c. bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
B.     WASIAT
1. Pengertian Wasiat
     Dalam definisi wasiat secara lughawi, wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti "pesan, menyambung, menaruh belas kasihan, menjadikan, memerintahkan, dan mewajibkan".Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. Secara umum pemberian wasiat dikaitkan dengan kondisi seseorang (yang memberi wasiat) dalam keadaan sakit menjelang kematian.  Sementara wasiat meliputi atas sesuatu pekerjaan, jasa, maupun harta peninggalan. Dengan demikian, lingkup wasiat dalam pembahasan fiqih meliputi pesan atas sesuatu harta dari seseorang menjelang kematian.
2.    Dasar hukum wasiat
     Dasar hukum wasiat terdapat dalam QS. Al-baqarah: 180, yang artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) akan mati, apabila ia mempunyai harta yang banyak, berwasiat untuk walidani (ibu dan bapak) dan aqrobun (kaum kerabatnya), secara makruf ini adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.”
3.    Rukun Wasiat
Ada 3 macam rukun wasiat, yaitu:
Pertama : Harus ada orang yang berwasiat (mushi), harus memenuhi persyaratan, yaitu:
1.         Baligh (dewasa),
2.         Berakal sehat (aqil)
3.         Bebas menyatakan kehendaknya,
4.         Merupakan tindakan tabarru’ (derma sukarela atau amal),
5.         Beragama islam
Kedua : Harus ada seseorang atau badan hukum yang menerima wasiat (musha-lahu). Dan orang yang menerima wasiat (musha-lahu) ia harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1.         Harus data diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang menerima wasiat itu,nama orang tersebut,badan organisasi tertentu,atau mesjid-mesjid.
2.         Telah wujud (ada) pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada suara yuridis misalnya anak yang masih dalam kandungan.
3.         Bukan tujuan kemaksiatan
Ketiga : Sesuatu yang di wasiatkan (musha-bihi) :
1.         Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tak bergerak, atau dapat menjadi objek perjanjian,
2.         Benda itu sudah (wujud pada waktu diwasiatkan),
3.         Hak milik itu betul-betul kepunyaan si pewasiat (mushi)
C.      HIBAH
1.    Pengertian Hibah
     Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Quran beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan jika subyeknya Allah berati memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53).
     Secara bahasa, dalam kamus al-Munjid, hibah berasal dari akar kata wahaba-yahabu-hibatan, berarti memberi atau pemberian. Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.
     Menurut istilah, pengertian hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, di antaranya: Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, merumuskan pengertian hibah sebagai: "Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela". Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.
     Abd al-Rahman al-Jazirî dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-­Arba ’ah, menghimpun empat pengertian hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.
     Dari beberapa pengertian hibah tersebut dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau perjanjian yang menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun.
2.    Rukun dan Syarat Hibah
a.  Pemberi Hibah (Wahib)
     Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
     Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c.  Barang yang dihibahkan (Mauhub)
 Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d.  Akad (Ijab dan Qabul),
     Akad (ijab qobul) misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.
3.    Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
1.         Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya  menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
2.         Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.

4.     Hukum Mencabut Hibah
     Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecuali hibah orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ
Artinya: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
     Sabda Rasulullah SAW.  Artinya: “Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim)
5.    Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :
1.         Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
2.         Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah.
3.         Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain.

6.    Hukum hibah
     Pada dasarnya memberikan sesuatu kepada oranglain hukumnya adalah mubah(jaiz). Dalam hukum asal mubah tersebut hukum hibah dapat menjadi wajib, haram dan makruh.

a.  Wajib.
     Hibah yang diberikan kepada istri dan anak hukumnya wajib sesuai dengan kemampuannya. Rosululloh SAW bersabda yang artinya: “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan adillah terhadap anak anak kalian”.
b.  Haram
     Hibah menjadi haram hukumnya apabila harta yang telah dihibahkan ditarik kembali.
c.  Makruh
     Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan sesuatu baik berimbang maupun lebih banyak hukumnya adalah makhruh.
7.    Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
1.         Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
2.         Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
3.         Dapat mempererat tali silaturahmi
4.         Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.

D.           PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WAKAF, WASIAT, HIBAH
Beberapa persamaan dan perbedaan antara wakaf dan hibah antara lain adalah:
1.         Dalam wakaf dan hibah terdapat orang yang memberikan hartanya (yang disebut wakif dan wahib), barang yang diberikan, dan orang yang menerimanya.
2.         Apabila seseorang yang berwakaf telah mengatakan dengan tegas atau berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada adanya kehendak untuk mewakafkan hartanya atau mengucapkan kata-kata, maka telah terjadi wakaf itu tanpa diperlukan penerimaan (qabul) dari pihak lain. Sedangkan hibah, selain adanya perkataan dan perbuatan yang tegas dari wahib untuk menyerahkan barangnya (ijab) perlu ada pula penerimaan dari penerima harta yang dihibahkan (qabul).
3.         Benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang hanya sekali pakai maupun tahan lama. Tidak diperbolehkan mewakafkan ataupun menghibahkan barang yang terlarang untuk diperjualbelikan, seperti barang tanggungan (borg), barang haram dan sejenisnya.
4.         Benda wakaf hanya boleh diberikan kepada sekelompok orang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Sedangkan hibah bisa diberikan kepada perorangan ataupun kelompok baik untuk kepentingan orang banyak maupun kepentingan individu.
5.         Barang wakaf tidak bisa menjadi milik seseorang sedangkan barang yang dihibahkan bsa menjadi milik seseorang
6.         Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya.
7.         Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal dunia.



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
          Menurut pendapat kelompok kami wakaf, wasiat, dan hibah adalah sama-sama memberikan sesuatu kepada orang lain, namun ada perbedaan antara ketiganya. Benda yang boleh diwakafkan adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang hanya sekali pakai maupun tahan lama.



DAFTAR PUSTAKA


Ramulyo, M. Idris, 2000, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undanag-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika
 Departemen Agama RI, 2007, Fiqih Wakaf, Jakarta








MAKALAH PERLINDUNGAN ANAK DAN KDRT Tentang : Realitas masalah pelanggaran hak anak- AHYADIN


MAKALAH
PERLINDUNGAN ANAK DAN KDRT
Tentang : Realitas masalah pelanggaran hak anak






Di susun oleh :
Ahyadin
Darmin
Sumiati

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah perlindungan anak dan KDRT

Dosen pengampu
Muhammad fitrah M.hi

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
BIMA
2017

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Laatar belakang
     Anak merupakan anugerah terbesar dan terindah bagi setiap orang, terutama mereka yang telah menikah. Anak juga merupakan tanggung jawab terbesar dan terberat bagi setiap orang tua. Pasalnya anak merupakan amanat dari TUHAN yang diberikan hanya kepada pasangan yang dikehendakinya dan tidak semua orang tua dianugerahi anak. Namun tahukah bagaimana hak asasi anak? Hak asasi anak pada dasarnya merupakan segala sesuatu yang membuat anak-anak senang, karena dalam hati dan pikiran anak hanya terdapat kesenangan dan keceriaan. Cara mereka belajar juga melalui keceriaan atau dalam bahasa pendidikannya adalah bermain sambil belajar. Begitu pula cara anak memahami lingkungan sekitar berbeda dengan cara orang dewasa. Jika cara orang dewasa adalah secara real dan terjun langsung untuk memahami lingkungan, cara anak adalah dengan bermain dan bertanya pada orang yang lebih tua. Cara ini memang unik, dimana anak mengajukan banyak sekali pertanyaan mulai dari hal yang sederhana hingga yang sangat rumit.
     Namun tahukah anda, dewasa ini perkembangan teknologi moderen merubah seluruh pola pikir mengenai apa yang telah saya uraikan diatas? Uraian diatas mengungkapkan secara singkat mengenai hak asasi anak yang amat sederhana, yakni kesenangan dan keceriaan atau dalam kata lain kita sebut sebagai bermain. Ya. Hal-hal diatas sekarang ini sangat diremehkan oleh sebagian besar orang tua. Bahkan ada yang tega hingga menjual anaknya atau juga bahkan menganiaya dan membunuh anaknya. Ini bukan hal yang wajar terjadi, ini adalah pelanggaran hak asasi anak. Anak yang seharusnya bermain dan belajar sekarang harus ditambah dengan bekerja.
     Mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal yang wajar dilakukan, karena alasan ekonomi sosial dan sebagainya. Namun bagi sebagian orang lainnya dan anak itu sendiri menganggap ini adalah pelanggaran hak asasi anak yang amat kejam. Kejam, pasalnya anak yang masih polos, suci, dan sedang dalam tahap tumbuh dan berkembang harus menghadapi masalah yang seharusnya dihadapi oleh orang tua. Nah berawal dari itu, saya akan menguraikan pelanggaran terhadap hak asasi anak. Saya akan mengawali dengan definisi dan saya akhiri dengan solusi yang diharapkan mampu menyelesaikan pelanggaran hak asasi anak


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian anak
     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia[1], anak didefinisikan sebagai keturunan yang kedua, dan manusia yang masih kecil.
     Menurut Kamus Collins Cobuild advanced Dictionary of English[2], anak didefinisikan sebagai a child is a human being who is not yet an adult (anak adalah manusia yang belum mencapai usia dewasa).
     Dalam agama Islam, anak didefiniskan sebagai makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan.[3] Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberi nafkah baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam,anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai pewaris ajaran islam pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh akan dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara.
     Menurut  The  Minimum Age  Convention  Nomor 138 tahun 1973,[4] pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.
     Dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.[5]
     UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun.
     Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun (Huraerah, 2006: 19).[6]
B.            Landasan Hukum Hak Asasi Anak
a.    Peraturan Perundang-undangan
1.        UUD 1945 & Pancasila
2.      UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3.      Keputusan Presiden No. 73 tahun 2003
4.        UU No. 4 tahun 1990 tentang Kesejahteraan Anak
5.      Keputusan Presiden No. 1990
6.      UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
7.        UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8.      UUPA (Undang-undang Perlindungan Anak)
b.    Peraturan Dunia
1.        Konvensi Hak Anak – Convention on the Right of the Child yang telah diratifikasi dengan Keppres 36 Tahun 1990
2.        ILO Convention No.182 concerning the Prohibition ang Immediate Action for the Elemnination of the Worst Forms of Child Labour
3.        Deklarasi Stockholm tahun 1972
4.        Deklarasi Rio tahun 1992
5.        Deklarasi Johannesberg tahun 2002
6.        Jakarta Declaration on Environment and Develompent tanggal 18 September 1997
C.            Hak Asasi Anak
Menurut Undang-undang
     Dalam UU No. 4 tahun 1990 tentang Kesejahteraan Anak, hak asasi anak mengenai Kesejahteraan Anak tertuang pada pasal 2 hingga pasal 8, yakni sebagai berikut:
1.        Anak berhak  atas  kesejahteraan,  perawatan,  asuhan  dan  bimbingan  berdasarkan  kasih  sayang  baik  dalam  lingkungan  keluarganya  maupun  di  dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar;
2.        Anak berhak  atas  pelayanan  untuk  mengembangkan  kemampuan  dan kehidupan sosialnya dengan baik dan berguna;
3.        Anak berhak atas  pemeliharaan  dan  perlindungan,  baik  semasa  dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan;
4.        Anak berhak atas  perlindungan  terhadap  lingkungan  hidup  yang  dapat membahayakan  atau menghambat  pertumbuhan  dan  perkembangan  secara wajar.;
     Sedang pada UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak diatur dalam ketentuan Pasal 4  sampai  dengan Pasal  18.  Perlu  diketahui  bahwa  di  dalam  UU  Perlindungan Anak,  diberikan  batasan  tentang  usia  seseorang  dikategorikan  sebagai  seorang anak  apabila  ia  belum  berusia  18  tahun  termasuk  anak  yang  masih dalam kandungan. Di antara hak-hak anak yang diatur dalam UU Perlindungan  tersebut adalah:
1.        hak untuk  hidup,  tumbuh  dan  berkembang  dan  berpartisipasi  secara  wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2.        hak atas sebuah nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;
3.        hak untuk  beribadah  menurut  agamanya,  berpikir  dan  berekspresi  sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua;
4.        hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;
5.        apabila karena  susuatu  hal  orang  tuanya  tidak  bisa mengasuh  sendiri,  anak tersebut berhak diasuh dan diangkat oleh orang  lain  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.        hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social.
7.        hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran;
8.        hak untuk menyatakan  dan  di  dengar  pendapatnya, menerima, mencari  dand lmemberikan  informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya;
9.        hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu Luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya;
Menurut UNICEF[7]
Menurut UNICEF anak berhak untuk:
1. Hidup, tumbuh dan berkembang
2. Bermain
3. Berekreasi (piknik/wisata)
4. Berkreasi
5. Beristirahat
6. Memanfaatkan waktu luang
7. Berpartisipasi
8. Bergaul dengan anak sebayanya
9. Menyatakan dan didengar pendapatnya
10. Dibesarkan dan diasuh orangtua kandungnya sendiri
11. Berhubungan dengan orangtuanya bila terpisahkan
12. Beribadah menurut agamanya
Untuk mendapatkan:
13. Nama
14. Identitas
15. Kewarganegaraan
16. Pendidikan dan pengajaran
17. Informasi sesuai usianya
18. Pelayanan kesehatan
19. Jaminan sosial
20. Kebebasan sesuai hukum
21. Bantuan hukum dan bantuan lain.
Perlakuan diskriminasi
1.  Ekploitasi ekonomi maupun seksual
2.  Penelataran
3.  Kekejaman, kekerasan,penganiayaan
4.  Ketidakadilan
5.  Perlakuan salah lainnya
6.  Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
7.  Pelibatan dalam sengketa bersenjata
8.  Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
9.  Pelibatan dalam peperangan
10.Sasaran penganiayaan dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi
D.      Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan pada LPA bima
1.    Faktor yang menyebabkan terjadinya atau pengaruh yang menyebabkan pelanggaran hak anak
Faktor internal
Ø  faktor ekonomi
Ø   ketidak paham dengan kewajibannya serta     fungsinya
Ø   kelalaian orang tua
Faktor eksternal
Ø    merampas hak anak
Ø    hak psikologi
Ø    hak pendidikan
Ø    hak hidup
Ø    hak kebebasan atau memilih
Ø    hak sosial
Ø    hak perlindungan
2.    Dampak dari pelanggaran hak anak
Ø  Kecenderungan untuk membalas dendam karena pengaruh psikologi
Ø  Bahaya bgi kepribadian si anak
Ø  Psikologi anak terganggu
3.    Upaya tanngung jawab pemerintah terhadap pelanggaran hak anak
Ø  Mendirikan instasi perlindungan anak
Ø  Pemberdayaan wanita
Ø  Pekerja sosial
Ø  Membuat undang-undang
4.    Jumlah kasus yang telah terjadi di bima

Ø  15 kasus mengenai perebutan anak maupun pencabulan
Ø  1 kasus mengenai pelecehan seksual yang di lakukan oleh bapak kandungnya sendiri

5.    Bentuk Pemenuhan hak anak
Ø  Pemenuhan mengenai pendidikannya
Ø  Undang-undang perlindungan hak anak
Ø  Rutan dipindahkan dengan orang dewasa[8]
E.            Tambahan jawaban dari beberapa pertanyaan di atas
a.    Faktor yang menyebabkan terjadinya atau pengaruh yang menyebabkan pelanggaran hak anak?
1.    Pertama, penyebabnya ia katakan ada anak yang berpotensi menjadi korban. "Ada anak nakal, bandel, tidak bisa diam, tidak menurut, cengeng, pemalas, penakut. Anak-anak seperti inilah yang sangat rentan oleh kekerasan fisik dan psikis. Karena ada faktor bawaan seperti anak tersebut memang hiperaktif, selain itu ada faktor dari ketidaktahuan orangtua, maupun guru sebagai pendidik anak-anak," jelasnya saat memberikan materi dalam seminar Perlindungan Terhadap Anak di Convention Hall Hotel Grasia, Sabtu (14/2/2015)
2.    Penyebab kedua, Arist katakan ada anak atau orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Ia menjelaskan untuk anak yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan disebabkan oleh beberapa hal yakni meniru atau mengimitasi dari orangtua, teman, siaran televisi, video game, film. Selain itu, pernah mengalami sebagai korban bullying dari sesama anak, korban kekerasan dari anak dewasa, dan adanya tekanan dari kelompok.
         Sedangkan untuk orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku, Arist menggolongkan menjadi dua yakni pelaku kekerasan fisik psikis dan pelaku kekerasan seksual.
          Dalam golongan pelaku kekerasan fisik maupun psikis, biasanya disebabkan oleh faktor kepribadian. Contohnya otoriter, kaku, kasar, agresif. Selain itu, bisa disebabkan adanya tekanan pekerjaa, ekonomi, masalah keluarga dan lain-lain.
         Dalam golongan pelaku kekerasan seksual, Arist kembali menjelaskan penyebabnya terdiri dari faktor pengaruh pergaulan teman, kelainan biologis, problem seksual dalam diri atau dalam keluarga, dan pengaruh akses pornografi maupun miras.
3.    Yang ketiga, adanya peluang kekerasan tanpa pengawasan atau perlindungan. Biasanya, hal tersebut sering dialami oleh anak-anak yang tinggal dengan pembantu, ayah atau ibu diri, maupun paman atau saudaranya. Peluang terjadinya kekerasan fisik, psikis maupun seksual ada banyak sekali penyebabnya, karena memang tidak ada pengajaran potensi bahaya, anak dibiarkan bermain dengan orang dewasa tanpa diawasi sehingga mereka dengan bebas bisa dipeluk, dipangku oleh siapa saja dan lain-lain," jelasnya.
4.    Penyebab keempat karena adanya pencetus dari korban dan pelaku. Contohnya, adanya pencetus dari korban, biasanya anak-anak rewel, aktifitas mereka berlebihan, tidak menurut perintah, merusak barang-barang. Perilaku tersebut umunya mencetuskan kekerasan fisik dan psikis. Kalau ciri-ciri anak ke toilet sendiri, berpakaian seksi, sering dipeluk dan dipangku, dapat mencetuskan kekerasan seksual.[9]
         Sedangkan terkait pencetus yang berasal dari pelaku, untuk kekerasan fisik dan psikis biasanya disebabkan oleh kondisi dalam keadaan tertekan, ekonomi, masalah rumah tangga. Lanjutnya, pencetus kekerasan seksual dikarenakan adanya rangsangan oleh pornografi maupun pengaruh minuman keras dan dorongan seksual yang tak tersalurkan.[10]

b.    Dampak dari pelanggaran hak anak?
1.    Kerusakan fisik atau luka fisik(2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif ,(3)Memiliki perilaku menyimpang, seperti: menarik diri dari lingkungan,  penyalahgunaan obat dan alkohol sampai dengan kecenderungan bunuh diri. (4)Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri, dan lain-lain.(5)Pendidikan anak yang terabaikan.[11]
2.      Anak yang dieksploitasi akan banyak kehilangan haknya untuk belajar dan bermain. Anak yang dieksploitasi akan banyak menghabiskan waktu di lingkungan kerja sehingga mereka akan kehilangan haknya untuk belajar. Banyak anak yang putus sekolah. Padahal sekolah adalah saat-saat terbaik dimana anak dapat memperluas wawasan dan cakrawala berpikir. Saat cara berpikir mereka hanya terfokus kepada mencari uang dan bertahan hidup, setelah dewasa nanti mereka tidak akan memikirkan bagaimana memajukan negara agar tidak ada lagi anak-anak yang harus bekerja. Dan saat bekerja anak juga akan kehilangan waktu bermainnya. Bermain merupakan kegiatan yang memberikan kenangan baik bagi anak yang dapat memberikan cara berpikir imajinatif dan kreatif bagi anak. Apabila anak tidak bahagia dimasa kecilnya, saat dewasa nanti ia akan mencari berbagai pelampiasan atas ketidakbahgiannya semasa kecil, misalnya saja melakukan hal-hal bodoh dan berbahaya.
3.      Perubahan perilaku anak ke arah perilaku orang dewasa yang terjadi lebih cepat. Anak-anak yang diekploitasi akan bergaul dengan siapa saja secara bebas tanpa melihat umur. Secara perlahan, anak tersebut akan membantah orang tuanya karena pola pikir jika ia sudah bisa mencari uang sendiri ia bisa berbuat sesuka hatinya. Anak-anak yang terlalu cepat dewasa, akan mencari pelampiasan dengan uang yang dimilikinya.
4.      Ketergantungan akan materi karena sudah mengenalnya sebelum waktu yang tepat. Dengan ketergantungan terhadap uang, anak-anak akan malas untuk menyelesaikan pendidikannya. Misalnya saja, bila seorang anak sudah bisa menghasilkan Rp 100.000 dalam satu hari, ia akan tergiur untuk melanjutkan belajarnya karena tanpa belajar disekolah ia sudah memilik penghasilan yang cukup untuknya. Padahal saat proses belajar itu anak akan dibukakan cara berpikir yang seluas-luasnya yang dapat menghasilkan uang jauh lebih banyak dari pada bekerja seperti biasanya.
5.      Anak akan kekurangan kasih sayang sehingga ia akan mencari sosok lain yang bisa memberikan kasih sayang. Hal inilah yang akan sangat berbahaya bagi anak. Jika anak kekurangan kasih sayang dari lingkungan sekitarnya, ia akan mencari sosok lain yang bisa memberikannya tanpa mengetahui apakah sosok tersebut adalah orang yang baik atau bahkan akan menjerumuskannya kepada sesuatu yang lebih buruk. 
6.      Kendornya standar moral dan dampak inter-generasional. Anak-anak yang sering disiksa, dianisaya, dijerumuskan dalam pelacuran, dihina, dan dipaksa bekerja akan mendapat stardar moralitas yang rendah. Nilai-nilai moralitasyang harus ia hadapi akan kabur dan kesempatannya untuk menemukan model moralitas masyarakat yang normal akan berkurang. Dalam pikiran mereka akan tertanam bahwa perlakuan buruk yang dirasakan oleh mereka adalah benar dan memang begitulah kehidupan. Pada akhirnya anak akan melakukan perbuatan buruk itu saat ia memiliki kesempatan. Tidak ada yang ingin tumbuh dan berkembang di negara dengan nilai-nilai moralitas yang rendah.
7.      Terhambatnya potensi anak untuk berkembang saat dikucilkan. Saat seorang anak dikucilkan baik dari lingkungan sekolah dan sekitar rumahnya, anak tersebut tidak akan berani untuk mengembangkan potensinya, ia akan menjadi tertutup karena sudah merasa takut terlebih dahulu, takut diejek ataupun dihina. Perkembangan mentalnya juga akan terhambat karena kurangnya interaksi dengan orang lain, anak tersebut bisa saja menjadi depresi dan emosional ataupun menjadi pendiam dan tertutup. Padalah seharusnya lingkungan melindungi anak dari tindakan diskriminatif.
8.      Cacat fisik dan trauma. Akibar dari kekerasan fisik yang ditujukan kepada anak, bisa menyebabkan cacat fisik dan trauma yang jelas saja akan menyulitkan caranya hidup. Dan ditambah lagi pandangan orang-orang asing yang memandang dengan ngeri atau heran pada cacat yang diderita, hal ini akan membuat korban menjadi minder. Dan trauma yang diderita bisa saja akan memakan waktu lama untuk sembuh sehingga menghambat perkembangan potensi yang ada pada anak.[12]

c.    upaya penegakan hak asasi di indonesia
     Meskipun Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS 1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak memungkinkan untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.
     Kemajuan yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950 tersebut, penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.
Sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).
     Pada tahun 1993 memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993, yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM “guna mendukung tujuan pembangunan nasional”. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden secara de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa yang berada di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM menjadi tidak terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi di mana-mana.
Sejak runtuhnya rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM, yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan diterimanya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai “perangkat lunak” berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.
     Pada masa itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice (keadilan kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice (keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan administratif), political justice (keadilan politik), economic justice (keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan bahkan historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice karena memang merupakan salah satu aspek transitional justice yang berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut. Di samping itu, bentuk penegakan transitional criminal justice merupakan elemen yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang diupayakan.
     Upaya penegakan transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua jalur sekaligus, yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.
     Sedangkan jalur ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.
     Selain itu Upaya penegakan HAM dapat melalui jalur Pengadilan HAM, mengikuti ketentuan-ketentuan antara lain, sebagai berikut:
     Kewenangan memeriksan dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut di atas oleh Pengadilan HAM tidak berlaku bagi pelaku yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan UURI No.26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM adhoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada tempat dan waktu perbuatan tertentu (locus dan tempos delicti ) yang terjadi sebelum diundangkannya UURI No. 26 Tahun 2000.
Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat jujur, maka pemeriksaan perkaranya dilakukan majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang. Lima orang tersebut, terdiri atas 2 orang hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc (diangkat di luar hakim karir). Sedang penegakan HAM melalui KKR penyelesaian pelanggaran HAM dengan cara para pelaku mengungkapkan pengakuan atas kebenaran bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM terhadap korban atau keluarganya, kemudian dilakukan perdamaian. Jadi KKR berfungsi sebagai mediator antara pelaku pelanggaran dan korban atau keluarganya untuk melakukan penyelesaian lewat perdamaian bukan lewat jalur Pengadilan HAM.[13]
F.             Dampak Dari Adanya Pelanggaran Hak Asasi Anak Di Indonesia
a.    Anak yang sering di marahi oleh orang tuanya cenderung meniru perilaku buruk /perlakuan kejam dari orang tuanya
b.    Anak terpaksa putus sekolah karena mencari nafkah
c.    Anak tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya
d.   Anak mengalami depresi
e.    Anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak
f.     Kesejahteraan Anak Sirna
G.           Langkah-Langkah Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberantas Pelanggaran Ham Anak Di Indonesia
     Seharusnya pemerintah benar-benar menjaga Hak Asasi Manusia khususnya pada anak-anak, karena di Indonesia tingkat pelanggaran HAM pada Anak-anak sangat tinggi, seharusnya dilakukan penyuluhan pada mereka agar mereka mengerti dan merasa terhormat atas UUD HAK Anak-anak. Selain itu harus juga selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus pelanggaran hak asasi anak serta menghukumnya dengan ketentuan hukum ytang berlaku. Dan pemerintah harus bener-bener menjunjung program itu, jangan sampai ada lagi pelanggaran HAM di tanah air ini.[14]

H.           Hambatan Dalam Pemberantasan Pelanggaran HAM oleh Orang Tua Kepada Anak
hambatan-hambatan dalam pemberantasan HAM oleh orang tua kepada anak meliputi :
§   Karena terjadi diruang lingkup keluarga maka sulit untuk dipantau oleh orang luar.
§   Kebanyakan dari keluarga korban menutupi kasus karena anggap aib.
§   Para korban enggan melapor dengan alasan memperoleh ancaman dari pelaku.
§   Kasus baru akan terungkap setelah jatuh korban banyak dan korban sudah mengalami dampak ekstream dari pelanggaran HAM.
§   Pelaku sangat pandai menutupi kesalahannya dengan berbagai cara.
§   Pendidikan orang tua yang kurang mempuni.
§   Lingkungan sosial yang tidak mendukung.
§   Lingkungan keluarga yang acuh tak acuh.[15]




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini yaitu:
a.         HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak dalam kandungan yang berlaku seumur hidup  dan tidak dapat diganggu gugat siapapun.
b.         Bentuk Pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap anak yaitu penyiksaan fisik, penyiksaan emosi, pengabaian, dan pelecehan seksual.
c.         Dampak dari adanya pelanggaran Hak Asasi Anak adalah:
1.    Anak yang sering di marahi oleh orang tuanya cenderung meniru perilaku buruk /perlakuan kejam dari orang tuanya
2.    Anak terpaksa putus sekolah karena mencari nafkah
3.    Anak tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya
4.    Anak mengalami depresi
5.    Anak tidak mendapatkan pendidikan
d.        Salah satu langkah yang harus dilakukan Pemerintah adalah harus selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus pelanggaran hak asasi anak serta menghukumnya dengan ketentuan hukum ytang berlaku

B.  SARAN
    Untuk mencegah dan menghentikan pelanggaran terhadap hak asasi anak dibutuhkan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan individu, pendekatan sosial, dan pendekatan medis.









DAFTAR PUSTAKA

Huraerah, Abu, M. Si., 2006.  Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Penerbit Nuansa.
Dikutip dari KBBI edisi tahun 2008 halaman 57-58

Dikutip dari pak ade rahman dan baiq baid hurriyati. LPA bima

Dikutip dari Cobuild advanced Dictionary of English penerbit Harper Collins Publishers 2009

Dikutip dari https://andibooks.wordpress.com/definisi-anak/  yang diakses pada 05 April 2018.

Dhaif: lemah, tidak berdaya, hina; dikutip dari KBBI edisi tahun 2008 halaman 308

Pasal 1 ayat 1, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Dikutip dari   Menurut UNICEF    laman https://www.facebook.com/permalink.php?id=343100722454999&story_fbid=431020583663012 yang diakses pada 06 April 2018







     [1]      Dikutip dari KBBI edisi tahun 2008 halaman 57-58
[2]  Dikutip dari Cobuild advanced Dictionary of English penerbit Harper Collins Publishers 2009
      [3]      Dikutip dari https://andibooks.wordpress.com/definisi-anak/  yang diakses pada 05 April 2018.
     [4]      Dhaif: lemah, tidak berdaya, hina; dikutip dari KBBI edisi tahun 2008 halaman 308
     [5]      Pasal 1 ayat 1, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
      [6]    Huraerah, Abu, M. Si., 2006.  Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Penerbit Nuansa.
       [7]      Dikutip dari   Menurut UNICEF    laman https://www.facebook.com/permalink.php?id=343100722454999&story_fbid=431020583663012 yang diakses pada 06 April 2018
     [8]   Dikutip dari pak ade rahman dan baiq baid hurriyati. LPA
      [10]   Daniel Ari Purnomo dan iswidodo. Empat Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak ...http://jateng.tribunnews.com/2015/02/14/empat-faktor-penyebab-terjadinya-kekerasan-terhadap-anak(di akses tanngal 17 April 2018 pukul  20.00 Wita)
    [15]    Nanda Willcent Midwifery Of Indonesia. Tentang Nanda Willcent: Makalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia ..., http://nandawillcent.blogspot.co.id/2017/08/makalah-pelanggaran-hak-asasi-manusia.html (Diakses tanggal 18 April 2018 pukul 20.45)

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020