l AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Jumat, 30 Maret 2018

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT Tentang : Fiqih kawin hamil Di susun oleh : Ahyadin Semester IV (Empat)

MAKALAH

  FIQIH MUNAKAHAT
Tentang  :  Fiqih kawin hamil




Di susun oleh :
Ahyadin
Semester IV (Empat)

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
 mata kuliah Fiqih muamalah”


Dosen pengampu
M. Aminullah, M.Hum


FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2018/2019

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
      Allah menciptakan mahluk-Nya di dunia ini dengan berpasang-pasangan. Diharapkan dengan berpasang-pasangan tersebut dapat memberikan keturunan yang akan tetap memberikan kesinambungan kehidupan di muka bumi ini. Dengan demikian bumi ini tidak pernah kosong, tetapi terus berkembang dari masa ke masa.
      Ketika Allah mengirimkan banjir kepada umat Nabi Nuh, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya itu untuk membawa hewan-hewan ke dalam kapal penyelamatnya secara berpasangan. Tidak semua hewan dapat terangkut ke dalam kapal ini. Tetapi paling tidak banyak spesies hewan yang diangkut oleh Nabi Nuh ke dalam kapalnya itu. Ini memberikan hikmah bahwa Allah sendiri memerintahkan kepada manusia untuk ikut menjaga keberlangsungan dan kesinambungan generasi mahluk-mahluk-Nya di muka bumi ini.
      Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya untuk memakmurkan dunia ini. Dengan ini Allah membekali manusia dengan akal dan hati. Diharapkan dengan ini manusia dapat berfikir dan membimbingnya memperoleh kebahagiaan. Dengan akal dan hatinya pula manusia diharapkan mendapatkan pasangannya yang baik di bumi ini.
      Berbeda dengan mahluk-mahluk Allah yang lain, dalam mendapatkan pasangannya manusia dikenakan syarat-syarat khusus. Syarat-syarat tersebut terkumpul dalam sebuah akad yang dinamakan pernikahan. Tentunya perbedaan ini disebabkan karena Allah telah memberikan keistimewaan yang sangat besar kepada manusia, yaitu akal dan hati. Diharapakan pula dengan akal dan hati tersebut manusia dapat menemukan pasangannya secara halal dan bisa menjadi pasangan yang sakinah, mawaddah dan warahmah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian kawin hamil
      Pengertian kawin hamil (At-tazawuz bi Al-hamil) yaitu perkawinan seorang pria dengan seorang yang sedang hamil, yaitu dihamili dahulu baru dikawini, atau di hamili oleh orang lain baru dikawini, atau di hamili oleh orang lain baru dikawini oleh orang yang bukan menghamilinya.
B.       faktor yang melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak di luar kawin
      Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak di luar kawin,  antara lain:
1.         Karena usia pelaku masih di bawah batas usia yang di ijinkanuntuk melangsungkan perkawinan.
2.         Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan
3.         Karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan.
4.         Karena akibat dari tindak pidana (pemerkosaan).
5.         Karena tidak mendapat restu orang tua.
6.         Karena laki-laki terikat perkwinan dengan wanita lain dan tidak mendapat ijin untuk melakukan poligami.
7.         Karena pergaulan seks bebas (free sex).
8.         Karena prostitusi/perdagangan jasa seksual.

C.       Hukum kawin hamil 
      Ada beberapa ketentuan hukum yang dapat di kamukakan dalam pembahasan ini , antara lain mengenai sah atau tidaknya perkawinan keduanya, boleh tidaknya melakukan sengama, dan kedudukan nasab (keturunan bayi yang dilahirkan).
Ulama majhab al-arba’ah telah sepakat menetapkan bahwa perkawinan keduanya sah,  dan boleh mengadakan senggama bila laki-laki itu sendiri yang menghamilinya baru ia mengawininya. Tetapi ibnu hazm mengatakan: keduanya boleh di kawinkan dan boleh mengadakan senggama bila ia telah bertobat dan mengalami hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berjina. pendapat ini berdasarkan pada keputusan hukum yang telah di tetapkan oleh sahabat nabi kepada orang-orang yang berbuat seperti itu, antara lain diriwayatkan:
      Ada beberapa ketentuan hukum yang dapat dikemukakan dalam pembahasan ini, antara lain mengenai sah atau tidaknya pekawinan keduanya, boleh tidaknya melakukan senggama,dan kedudukan nasab (keturunan) bayi yang dilahirkan .
Ulama mahzab al-arba’ah telah sepakat menetapkan bahwah perkawinan keduanya sah, dan boleh mengadakan senggama bila laki-laki itu sendiri yang menghamilinya baru iya mengawininya . tetapi ibnu hazm mengatakan: keduanya boleh dikawinkan dan boleh mengadakan senggama bila ia telah bertobat dan mengalami hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina. pendapat ini berdasarkan pada keputusan hukum yang telah di tetapkan oleh sahabat nabi kepada orang-orang berbuat seperti itu, antara lain diriwayatkan:
a.         Ketika jabir bin abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berbuat zina, maka ia berkata: boleh mengawinkanya, asalkan keduanya telah bertobat dan memperbaiki sifat -sifatnya  
b.         Seorang laki-laki mengajukan keberatanya kepada khalifah Abu Bakar, lalu berkata: wahai amirul mmukminin, putriku telah digauli oleh tamuku, dan aku ingin agar keduanya dinikahkan. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan hukuman cambuk kepada keduanya, kemudian di nikahkan.
      Adapun hukum pernikahan seorang  laki-laki dengan perempuan yang hamil oleh orang lain, maka ulama berpendapat sebagai berikut:
1.         Menurut Abu Yusuf, keduanya tidak boleh di kawinkan karena bila dikawinkan, maka perkawinanya fasid atau batal. Pendapat ini berdasarkan kepada:
QS.an-Nuur [24]:3 “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yan berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki  yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin”.
Hadis Nabi Muhammad SAW: “bahwasanya seorang laki-laki mengawini seorang perempuan,  maka ketika ia menikahkannya, ia mendapatkanya dalam keadaan hamil , lalu ia melaporkannya kepada Nabi SAW, maka nabi SAW menceraikan keduanya dan memberikan kepada perempuan itu maskawin ,kemudian di cambuk sebanyak seratus kali”.
2.         Menurut muhammad bin ai-hasan asy-syabani, perkawinannya sah, tetapi diharamkan baginya mengadakan senggama, hingga bayi yang dikandungnya itu lahir. Pendapat ini berdasarkan pada hadist Nabi berikut: “jangan kau menggauli wanita yang hamil hingga lahir (kandungannya).”
3.         Menurut imam abu hanifah dan imam syai’i, perkawinan seorang laki-laki dengan wanita yang telah hamil oleh orang lain adalah sah, karena tidak oleh perkawinan dengan orang lain. Dan boleh pla menggaulinya karena tidak mungkin nasab (keturunan) bai yang di andung itu ternodai oleh sperma suaminya. Maka bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya.




D.      Kawin hamil dalam KHI
      Ketentuan kawil hamil diatur dalam pasal 53 KHI, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53
1      seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3      Dengan dilangsungkan perkawinanpada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulanh setelah anak yang dikandung lahir.

      Mengenal aturan kawin hamil tetap diletakkan pada kategori boleh. Tidak mesti yang dianut oleh kehidupan berdasarkan hukum adat.

      Pada dasarnya, pendefinitifan kebolehan kawin hamil yang diatur dalam KHI sedikit banyak beranjak dari pendekatan kompromistis dengan hukum adat. Kompromi ini, ditinjau dari kenyataan terjadinya ikhtilaf dalam ajaran fiqih dihubungkan pula dengan faktor sosiologi dan psikologis. Dari berbagi faktor yang dikemukakan yang ditarik kesimpulan berdasarkan asas istishah, sehingga dari penggabungan faktor iktilaf dan urf’ perumus KHI berpendapat: lebih besar maslahah membolehkan kawin hamil dari pada melarangnya.

      Kompromi nilai ini perlu, sebab salah satu tujuan utama asas kebolehan kawin hamil bermaksud untuk memberi perlindungan hukum yang pasti kepada anak dalam kandugan. Untuk apa dibolehkan kawin hamil kalau anak yang dalam kandungan tetap berstatus anak zina?

      Suatu hal yang perlu dicatat sehubungan dengan kawin hamil dalam KHI sengaja dirumuskan dengan singkat dan agak bersifat umum.maksudnya untuk memberi keleluasaanbagi pengadilan untuk mencatat dan dan menemukan asas-asas baru melalui trobosan dan konstruksi yang lebih aktual dan rasional.
      Menurut Ahmad Rofik, kebolehan kawin hamil menurut ketentuan pasal 53 KHI terbatas bagi laki-laki yang menghamilinya. Ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. An-nuur [24]: “laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
      Ayat di atas dapat dipahami   bahwa kebolehan kawin dengan perempuan hamil bagi laki-laki yang menghamilinya adalah merupakan pengecualian. Karena laki-laki yang menghamili itulah yang telah menjadi jodoh mereka. Pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukan keharaman wanita yang hamil tadi, adalah isyarat larangan bagi laki-laki yang baik-baik untuk mengawini mereka (QS.Al-Baqarah [2]: 221). Isyarat tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat wahurrima ala al-mu’minun. Jadi, bagi selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil tersebut, diharmkan untuk menikahinya.[1]
E.       Kawin Hamil Dalam Perspektif Fiqih Islam
1.  Pernikahan Wanita Pezina
      Dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 3 dijelaskan bahwa perempuan pezina dilarang menikah kecuali dengan laki-laki pezina juga. Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardhawi (2003:264) dalam bukunya yang berjudul Halal Haram Dalam Islam mengemukakan tentang ta’rif perempuan pezina “...adalah perempuan-perempuan tuna susila yang secara terang-terangan melakukan perzinaan dan menjadikannya sebagi profesi”. Melihat ta’rif tersebut, setidaknya seorang perempuan dapat dikatakan sebagai perempuan pezina jika memenuhi 2 syarat, yaitu adanya kesengajaan untuk melakukan zina dan menjadikan itu sebagai profesi.
Pejelasan Ibnu Qayyim, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Yusuf Qardhawi (2003:266) mengatakan.
Sebagaimana hukuman ini adalah ketetapan al-Qur’an yang sangat demikian jelas, ia juga merupakan pemenuhan fitrah dan logis adanya. Ketika Allah swt. mengharamkan hamba-hamba-Nya menjadi mucikari dan suami perempuan nakal, sesungguhnya Dia juga menciptakan manusia dengan naluri yang tidak menyukai hal itu. Karena itulah, jika ingin memperolok-olok seseorang, masyarakat dahulu mengatakannya sebagai ‘suami pelacur’. Karena itu, Allah swt. meng-haramkannya bagi seorang muslim, agar ia tidak menjadi orang semacam itu.
      Larangan menikahi perempuan pezina, selain terdapat dalam al-Qur’an, juga terdapat dalam sebuah hadis. Yaitu hadis yang menceritakan tentang peristiwa seorang sahabat yang meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk menikahi seseorang pezina. Namun Nabi melarang sahabat itu untuk menikahi perempuan tersebut. Sedangkan larangan-larangan menikahi perempuan pezina secara tegas diungkapakan oleh Allah dalam surat an-Nur ayat 3 (Qardhawi, 2003: 265).
      Perkawinan dengan laki-laki atau perempuan pezina dapat melecehkan kehormatan dirinya sebagai anggota masyarakat. Selain itu juga dapat menggugurkan status kewarganegaraannya atau menghalanginya dari hak-hak tertentu. Selain itu juga, perkawinan itu dapat menyebabkan rusaknya martabat seorang manusia dan merusak nasab yang telah ditentukan oleh Allah yang ditujukan untuk kemaslahatan mereka. Zina dapat menyebabkan bercampur baurnya air mani dan menjadikan rancunya sebuah nasab (Qardhawi, 2003: 266).
      Dalam larangan menikahi perempuan pezina seseungguhnya terdapat hikmah yang sangat besar. Ketika Allah mengharamkan hambanya untuk menjadi mucikari dan suami dari perempuan nakal, seseungguhnya Dia juga menciptakan manusia yang tidak menyukai hal itu. Maka dengan seizin Allah seorang laki-laki yang baik akan mendapatkan istri yang baik pula (Qardhawi, 2003: 266).
      Walaupun begitu, sebenarnya larangan untuk menikahi perempuan pezina merupakan masalah khilafiyah. Tidak semua ulama’ secara sepakat mengatakan bahwa perempuan pezina dilarang dinikahi secara mutlak. Tidak sedikit dari para ulama’-ulama’ itu yang memperbolehkan menikahi perempuan pezina, walaupun ada sebagian diantara mereka yang menetapkan syarat-syarat tertentu agar perempuan pezina tersebut dapat dinikahi (Ash-Shiddieqy, 1978:279).
      Imam Malik dan Imam Ahmad, seperti yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy memperbolehkan menikahi perempuan pezina yaitu perempuan jalang atau pelacur. Sedangkan Imam Ahmad juga memperbolehkan menikahi perempuan pezina tetapi dengan syarat perempuan tersebut telah bertobat. Ketika perempuan tersebut belum bertobat maka diharamkan untuk menikahinya (Ash-Shiddieqy, 1978:285).
2.  Kawin Hamil Dalam Pandangan Ulama’ Fiqih
      Dalam fiqih Islam sendiri para ulama’ sebenarnya masih berbeda pendapat tentang hukum menikahi perempuan yang hamil karena zina. Tak sedikit ulama’ yang mengharamkan pernikahan ini. Alasannya pun bermacam-macam. Ada yang mengharamkan karena berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena zina tersebut mempunyai iddah seperti perempuan hamil pada umumnya. Sehingga perempuan tersebut haram dinikahi sampai melahirkan anaknya. Selain itu para ulama’ juga ada yang berpendapat bahwa tidak boleh menikahi perempuan tersebut kecuali oleh laki-laki yang berzina dengannya.
      Salah satu ulama’ yang mengatakan diperbolehkannya menikahi perempuan yang hamil karena zina adalah Imam Nawawi. Beliau menjelaskan bahwa anak yang dikandung oleh perempuan tersebut tidak akan bisa dinasabkan kepada seorang lelaki pun, maka dari itu kehamilannya pun dianggap tidak ada atau tidak berpengaruh sama sekali terhadapnya. Sehingga status kehamilan perempuan tersebut tidak akan menghalangi dirinya untuk melaksanakan akad nikah (An-Nawawi, 2005:413).
      Ketika seorang perempuan berzina, maka tidak wajib baginya adanya ‘iddah, ini seperti yang ditegaskan Imam Nawawi. Baik perempuan itu dalam keadaan hamil maupun tidak setelah melakukakan perbuatan zina tersebut. Sehingga hukum yang berlaku terhadap perempuan hamil sebab berzina berbeda dengan perempuan yang hamil sebab pernikahan yang sah. Perbedaan itu ialah karena perempuan yang hamil sebab pernikahan yang sah akan dikenai ‘iddah jika ditinggal mati suaminya atau dicerai, sedangkan perempuan yang hamil karena zina tidak mempunyai masa ‘iddah (An-Nawawi, 2005:413).
      Imam Nawawi memberikan keterangan lebih lanjut, bahwa perempuan pezina yang tidak hamil boleh (mubah) dinikahi oleh orang yang berzina dengannya maupun oleh orang lain. Sedangkan apabila perempuan tersebut dalam keadaan hamil, maka menikahinya sebelum melahirkan dihukumi makruh. Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat Imam Abu Hanifah seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi (An-Nawawi, 2005:414).
      Jika para ulama’ Syafi’iyyah dan Hanafiyyah berpandangan bahwa perempuan yang hamil karena zina boleh dinikahi oleh siapapun, maka pendapat ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qudamah seperti yang dikutip M. Ali Hasan. Mereka berpandangan bahwa perempuan yang hamil karena zina tidak boleh menenikah kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya. Menurut Imam Abu Yusuf, bila perkawinan itu tetap dilangsungkan maka perkawinan itu dianggap batal atau fasid. Ibnu Qudamah menambahkan, bahwa seorang laki-laki tidak boleh mengawini perempuan yang diketahuinya telah hamil karena zina dengan orang lain kecuali dengan dua syarat, yaitu perempuan tersebut telah melahirkan dan perempuan tersebut telah menjalani hukuman dera atau cambuk (Hasan, 2006:256-258).
      Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan para ulama’ Syafi’iyyah, Imam Malik dan Imam Ahmad seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi mengatakan bahwa perempuan yang berzina tetap memiliki ‘iddah seperti perempuan pada umumnya. Apabila perempuan tersebut tidak hamil maka ‘iddahnya adalah tiga kali masa suci. Sedangkan apabila perempuan tersebut sedang dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai perempuan tersebut melahirkan. Sehingga konsekuensinya adalah perempuan tersebut tidak boleh dinikahi sebelum masa hamilnya habis. Imam Malik menerangkan lebih lanjut, bahwa apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan pezina tetapi laki-laki tersebut tidak mengetahuinya dan setelah pernikahan itu baru diketahui bahwa ternyata perempuan itu hamil karena zina, maka pada saat ini juga hubungan pernikahannya dianggap batal (An-Nawawi, 2005:414).
      Tetapi pendapat Imam Malik ini tentunya sangatlah aneh dan janggal. Karena seorang ayah dapat dengan itu dapat mengingkari anak hasil dari hubungannya dengan seorang perempuan yang menyebabkan kehamilan diluar nikah. Ini seperti yang diuangkapkan oleh Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah.
      Dengan demikian, sekalipun diketahui bahwa anak yang dilahirkan jelas-jelas anaknya, darah dagingnya, namun kalau ia lahir di luar perkawinan yang sah, maka ayah anak tersebut dengan mudah menyangkalnya dan melepaskan tanggung jawabnya. Hal ini akan memberikan stigmatisasi terhadapa anak, karena ia akan menyandang gelar anak zina sekaligus diltelantarkan oleh bapaknya (Munti & Anisah, 2005:158).[2]
F.        Kasus-Kasus seputar menikahi wanita yang sedang hamil
1.   Kasus Pertama
      Seorang wanita sudah menikah dan sedang dalam keadaan hamil, lalu berhubungan seksual dengan suaminya, maka hukumnya halal. Sebab hubungan suami isteri tidak terlarang, bahkan pada saat hamil sekali pun. Lagi pula, dia melakukannya dengan suaminya sendiri. Maka hukumnya halal.
2.   Kasus Kedua
      Seorang wanita sudah menikah dan sedang dalam keadaan hamil. Suaminya meninggal atau menceraikannya. Maka wanita ini diharamkan menikah, apalagi melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain.
Sebab wanita itu masih harus menjalankan masa iddah, yaitu masa di mana dia harus berada dalam posisi tidak boleh menikah, bahkan termasuk ke luar rumah dan sebagainya. Dan masa iddah wanita yang hamil adalah hingga dia melahirkan anaknya.
3.   Kasus Ketiga
      Seorang wanita hamil di luar nikah yang syar'i (berzina), lalu untuk menutupi rasa malu, keluarganya menikahkannya dengan orang lain. Yaitu laki-laki lain yang tidak menzinainya.
Dalam hal ini, para ulama mengharamkan terjadinya hubungan seksual antara mereka. Adapun apakah boleh terjadi pernikahan saja, tanpa hubungan seksual, ada dua pendapat yang berkembang.
Pendapat pertama, hukumnya haram. Dan kalau dinikahkan juga, maka pernikahan itu tidak sah alias batil. Di antara para ulama yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama.
Karena yang namanya suami isteri tidak mungkin diharamkan dalam melakukan hubungan seksual. Jadi menikah saja pun diharamkan, kecuali setelah anak dalam kandungan itu lahir.
Pendapat kedua, hukumnya halal dan pernikahan itu sah. Asalkan selama anak itu belum lahir, suami itu tetap tidak melakukan hubungan seksual dengannnya. Suami harus menunggu hingga lahirnya bayi dalam perut. Baik dalam keadaan hidup atau mati.Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dan Imam Abu Hanifah.
Perbedaan pendapat para ulama ini berangkat dari satu dalil yang dipahami berbeda. Dalil itu adalah dalil tentang haramnya seorang laki-laki menyirami ladang laki-laki lain.
Dari Rufai' bin Tsabit bahwa Nabi SAW bersabda, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyiramkan airnya pada tempat yang sudah disirami orang lain." (HR Tirmizi dan beliau menghasankannya)
Jumhur ulama yang mengharamkan pernikahan antara mereka mengatakan bahwa haramnya 'menyirami air orang lain' adalah haram melakukan akad nikah. Sedangkan As-Syafi'i dan Abu Hanifah mengatakan bahwa yang haram adalah melakukan persetubuhannya saja, ada pun melakukan akad nikah tanpa persetubuhan tidak dilarang, karena tidak ada nash yang melarang.
4.   Kasus Keempat
      Seorang wanita belum menikah, lalu berzina hingga hamil. Kemudian untuk menutupi rasa malunya, dia menikah dengan laki-laki yang menzinainya itu.
Dalam hal ini para ulama sepakat membolehkannya. Karena memang tidak ada larangan atau pelanggaran yang dikhawatirkan. Setidaknya, Al-Imam Asy-syafi'i dan Abu Hanifah rahimahumallah membolehkannya. Bahkan mereka dibolehkan melakukan hubungan seksual selama masa kehamilan, asalkan sudah terjadi pernikahan yang syar'i antara mereka.
Karena illat (titik point) larangan hal itu adalah tercampurnya mani atau janin dari seseorang dengan mani orang lain dalam satu rahim yang sama. Ketika kemungkinan itu tidak ada, karena yang menikahi adalah laki-laki yang sama, meski dalam bentuk zina, maka larangan itu pun menjadi tidak berlaku.
Seringkali ada orang yang tetap mengharamkan bentuk keempat ini, mungkin karena agak rancu dalam memahami keadaan serta titik pangkal keharamannya.
Pendeknya, kalau wanita hamil menikah dengan laki-laki yang menzinainya, maka tidak ada dalil atau illat yang melarangnya. Sehingga hukumnya boleh dan sesungguhnya tidak perlu lagi untuk menikah ulang setelah melahirkan. Karena pernikahan antara mereka sudah sah di sisi Allah SWT. Bahkan selama masa kehamilan itu, mereka tetap diperbolehkan untuk melakukan hubungan suami isteri. Jadi mengapa harus diulang?
Perbedaan Antara Wanita Pezina dengan Wanita Yang Pernah Berzina
      Satu hal lagi yang perlu dijelaskan duduk perkaranya adalah perbedaan hukum antara dua istilah. Istilah yang pertama adalah 'wanita pezina', sedangkan yang kedua adalah 'wanita yang pernah berzina'.
Antara keduanya sangat besar bedanya. Wanita pezina itu adalah wanita yang pernah melakukan zina, belum bertaubat, bahkan masih suka melakukannya, baik sesekali atau seringkali. Bahkan mungkin punya pandangan bahwa zina itu halal.
Wanita yang bertipologi seperti ini memang haram dinikahi, sampai dia bertaubat dan menghentikan perbuatannya secara total. Dan secara tegas, Allah SWT telah mengharamkan laki-laki muslim untuk menikahi wanita pezina. Dan wanita seperti inilah yang dimaksud di dalam surat An-Nur berikut ini.
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min”. (QS. An-Nur: 3)
Adapun wanita yang pernah berzina, lalu dia menyesali dosa-dosanya, kemudian bertaubat dengan taubat nashuha, serta bersumpah untuk tidak akan pernah terjatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya, maka wanita seperti ini tidak bisa disamakan dengan wanita pezina.
Ayat di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan pernikahan bagi dirinya, hanya lantaran dia pernah jatuh kepada dosa zina.[3]


  

BAB III
PENUTUP
           
A.    Kesimpulan
      Dari keterangan dan pendapat-pendapat ulama diatas setidaknya dapat disimpulkan menjadi empat pendapat.
1.             Pendapat pertama yang mengatakan bahwa perempuan yang hamil diluar nikah boleh melangsungkan akad pernikahan baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki lain. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Hanafiyyah seperti yang dikutip Imam Nawawi.
2.             Pendapat kedua mengatakan bahwa perempuan yang hamil diluar nikah hanya boleh melangsungkan akad pernikahan dengan laki-laki yang menghamilinya saja. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qadamah. Pendapat ini juga merupakan bunyi pasal KHI yang menyebutkan bahwa perempuan yang hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya saja.
3.             Pendapat ketiga mengatakan bahwa perempuan hamil di luar nikah tidak boleh melangsungkan akad pernikahan. Perempuan tersebut baru boleh menikah baik dengan laki-laki yang berzina dengannya maupun dengan orang lain dengan syarat telah melahirkan kandungannya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Malik dan Imam Ahmad.
4.             Pendapat keempat, perempuan yang pernah berzina baik dalam keadaan hamil maupun tidak, tidak boleh melangsungkan akad pernikahan kecuali dengan sesama pezina. Pendapat ini merupakan pendapatnya Dr. Yusuf Qardhawi dan Ibnu Qayyim.
B.   Saran-Saran
      Kendatipun terdapat banyak pendapat diatas yang dapat kita ikuti, tetapi tidak akan membuat kita leluasa untuk memilihnya. Banyak pertimbangan-pertimbangan yang akan mempengaruhi pilihan kita. Kehidupan dalam masyarakat majmuk serta hidup dalam mayarakat yang masih memegang adat ketimuran dengan erat tentunya menjadi sekian diantara beberapa pertimbangan yang akan menyambangi kita. Dampak positif serta negatif di masyarakat dalam memilih pendapat tersebut tentunya juga tak luput dalam mempengaruhi sebuah kebijakan yang akan kita ambil.
      Contohnya adalah mengenai laki-laki yang mengawini perempuan hamil yang dihamili oleh laki-laki lain. Dalam hal ini M. Ali Hasan berpendapat bahwa kendatipun ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa perkawinan yang dilangsungkan itu sah, tetapi akan memberikan dampak negatif. Sebab, laki-laki akan dianggap sebagai tumbal (penutup aib), apakah dia mengawini perempuan itu dengan sukarela atau karena imbalan. Apalagi kalau laki-laki tersebut bukanlah seorang pezina atau laki-laki hidung belang. Maka sebenarnya laki-laki yang pantas menjadi pasangan perempuan itu adalah laki-laki yang pezina juga (Hasan, 2006:262).
Selain itu juga, belum ada pemberian hukum khusus yang diberikan kepada perempuan yang hamil karena menjadi korban perkosaan. Baik dalam KHI maupun Fiqih Islam agaknya memberikan pemahaman tentang hukum yang sama antara perempuan yang hamil karena zina dan perempuan yang hamil karena perkosaaan. Seharusnya hukum yang diberikan tidak disamakan dengan perempuan pezina, karena perbuatan perkosaan itu terjadi bukan atas kehendaknya sendiri. Perempuan tersebut sejatinya hanyalah korban dari perbuatan zina oleh orang lain, bukan pelaku yang menghendaki perbuatan zina tersebut.






DAFTAR PUSTAKA

Mardani. 2016, Hukum keluarga islam di indonesia. Jakarta: Kencana prenadamedia group
Departemen Agama RI. 2000. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Halal Haram Dalam Islam. Solo: Era Intermedia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1978. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ad-Danusyiri,M. Najmuddin Huda. 2014. Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) & Fiqih Islam.https://asatir-revolusi.blogspot.co.id/2014/11/kawin-hamil-dalam-perspektif-kompilasi.html (Diakses tanggal 17 maret 2018)







    [1]   Mardani, Hukum keluarga islam di indonesia. (Jakarta: Kencana prenadamedia group, 2016), Hlm,. 89-93. Cetakan pertama.
  [2]   M. Najmuddin Huda Ad-Danusyiri, Kawin Hamil Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) & Fiqih Islam.https://asatir-revolusi.blogspot.co.id/2014/11/kawin-hamil-dalam-perspektif-kompilasi.html (Diakses tanggal 17 maret 2018)

Selasa, 27 Maret 2018

MAKALAH Tentang : Akad mudharabah dan akad syirkah atau musyarakah - Ahyadin


MAKALAH
Tentang  :  Akad mudharabah dan akad syirkah atau musyarakah









Di susun oleh :
Ketua kelompok     :    1. Ahyadin
Anggota kelompok :    2. Jainudin


“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugs
 mata kuliah Fiqih muamalah”


Dosen pengampu
M. Aminullah, M.Hum


FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR

      Syukur kami panjatkan  kehadirat Allah SWT, berkat qudrah dan iradah-Nya kami dapat  menyelesaikan Makalah, “FIQIH MUAMALAH”  yang bertemakan "Akad  mudharabah dan musyrakah atau syirkah”. Shalawat dan salam  tidak lupa pula kami sanjung sajikan  kepangkuan nabi besar Muhammad SAW. yang telah membawa kita ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
          Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Fiqih muamalah. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik beserta sarannya.
        Akhirul kalam kepada Allah SWT jugalah kita berserah diri dengan harapan semoga yang telah kami buat dalam tugas ini dapat bermanfaat serta mendapat ridho dan maghfirah-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin....




                                                                     Bima, 04 oktober 2017

                                                                                  Penulis



PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Akad mudharabah merupakan salah satu produk pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syari’ah. Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah (selanjutnya disebut UUPS). Pasal 19 UUPS menyebutkan, bahwa salah satu akad pembiayaan yang ada dalam perbankan syari’ah adalah akad mudharabah. Selain itu bank Indonesisa juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor, 10/16/PBI/2008 Tentang Prinsip Syari’ah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syari’ah, juga menyebutkan mudharabah adalah salah satu akad pembiayaan yang ada didalam perbankan syari’ah.
Akad Mudharabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal, dengan ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Didalam pembiayaan mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal) membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib). Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkan dalam agama Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang.
Keberadaan bank syariah saat ini telah menyebar diberbagai daerah di indonesia. Kegiatan usaha Bank syariah berpedoman pada prinsip syariah, hal ini yang membedakannya dengan Bank Konvensional. Adapun prinsip syariah tersebut tertuang dalam pasal 1 angka 13 Undang-Undang Perbankan, bahwa perjanjian kerjasama antara pihak bank dengan pihak lain dalam hal penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau usaha lainnya harus sesuai dengan syariah. Di antara bentuk pembayaan kegiatan usaha tersebut adalah pembiayaan dengan penyertaan modal (musyarakah).
Berkaitan dengan syirkah, keberadaan pihak yang bekerjasama dan pokok modal, sebagai obyek akad syirkah, dan shighat (ucapan perjanjian atau kesepakatan) merupakan ketentuan yang harus terpenuhi. Sebagai syarat dari pelaksanaan akad syirkah.







B.    Rumusan Masalah
 Didalam Makalah ini akan dibahas dua masalah muamalah meliputi :
1.      Pengertian dan Dasar Hukum Mudharabah
2.      Syarat dan Rukun Mudharabah
3.      Jenis-jenis Dan Asas-asas Mudharabah
4.      Asas-asas Perjanjian Mudharabah
5.      Sebab-sebab Batalnya Mudharabah
6.      Pengertian dan Landasan Akad Musyarakah
7.      Macam-macam Akad Musyarakah
8.      Syarat dan Rukun Akad Musyarakah
9.      Hukum Akad Musyarakah
10.    Perkara yang membatalkan Akad Musyarakah




BAB I
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Dan Dasar Hukum Mudharabah
  Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha, artinya berjalan di bumi untuk mencari karunia Allah yaitu rizeki.
Sedangkan pengertian mudharabah yang secara teknis adalah suatu akad kerja sama untuk suatu usaha antara dua belah pihak dimana pihak yang pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modalnya dan sedangkan pihak yang lain menjadi pengelolanya.  Akad Mudharabah adalah salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam berdagang.
Akad Mudharabah adalah salah satu akad kerja sama kemitraan berdasarkan prinsip berbagi untung dan rugi (profit and loss sharing principle), dilakukan sekurang-kurangnya oleh dua pihak, dimana yang pertama memiliki dan menyediakan modal, disebut shohibul maal, sedang ke dua memiliki keahlian dan bertanggung jawab atas pengelolaan dana atau menajemen usaha halal tertentu, disebut mudhorib.
Jadi akad mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana atau modal atau shahibul maal) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana atau modal atau mudharib) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Jika kerugian akibat dari kelalaian pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Sedangkan landasan dasar akad mudharabah terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.  Al-Qur’an
... وءاخرون يضربون فى الأرض يبتغون من فضل الله ....
“… dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT …” (al-Muzzammil: 20)
فاء ذا قضيت الصلوة فا نتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله ....
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT …” (al-Jumu’ah: 10)
ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم ...
“Tidak ada dosa ( halangan ) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu ….......”  (al-Baqarah: 198)


2.  Al-Hadits
روى ابن عباس رضي الله عنهما انه قال : كان سيدنا العباس بن عبد المطلب إذا دفع المال مضاربة اشترط على صاحبه أن لايسلك به بحرا ولاينزل به واديا ولا يشترى به دابة ذات كبد رطبة فإن فعل ذلك ضمن فبلغ شرطه رسول الله صلى الله عليه و سلم فأجازه
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib “jika memberikam dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berdahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR Thabrani)
عن صالح بن صهيب عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ثلاث فيهن البركة البيع إلى أجل والمقارضة وأخلاط البر بالشعير للبيت لا للبيع
Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)
3.  Ijma
Ibnu Syihab pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya: “Bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan harta anak yatim dengan cara Mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh Al-Fadhal. ”Ibnu Qadamah dalam kitab Al-Mughni dari malik bin Ila’ bin Abdurrahman dari bapaknya: “Bahwa Utsman telah melakukan qirad (Mudharabah)”. Semua riwayat tadi didengarkan dan dilihat oleh sahabat sementara tidak ada satu orang pun mengingkari dan menolaknya, maka hal itu merupakan ijma’ mereka tentang kemubahan Mudharabah ini.
       4.  Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada yang kaya. Disitu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan meraka.
B.    Syarat dan Rukun Mudharabah
Syarat yang harus dipenuhi dalam akad Mudharabah adalah:
1.      Harta atau Modal
    a.     Modal harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya, seandainya modal berbentuk barang, maka barang tersebut harus dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang beredar (atau sejenisnya).
  b.     Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
c.     Modal harus diserahkan kepada mudharib, untuk memungkinkannya melakukan usaha.
2.      Keuntungan
a.    Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti. Keuntungan yang menjadi milik pekerja dan pemilik modal harus jelas prosentasinya.
b.    Kesepakatan rasio prosentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak.
c.     Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada shahib al-mal.
3.       Aqidani (dua orang yang akan akad)
Di syaratkan orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak disyaratkan harus muslim. Mudharabah dibolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di Negara islam.Adapun ulama malikiyah memakhruhkan mudharabah dengan kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika meraka melakukan riba.
     Rukun yang harus dilaksanakan dalam akad Mudharabah adalah:
Menurut madzhab Hanafiyah rukun mudharabah adalah ucapan tanda penyerahan dari pihak yang menyerahkan dalam suatu perjanjian (ijab) dan ucapan tanda setuju (terima) dari pihak yang menerima dalam suatu akad perjanjian atau kontrak (qabul), jika pemilik modal dengan pengelola modal telah melafalkan ijab qabul, maka akad itu telah memenuhi rukunnya dan sah.
 Sedangkan menurut Jumhur Ulama’ ada tiga rukun dari mudharabah yaitu:
1.     Dua pihak yang berakad (pemilik modal atau shahib al-maal dan pengelola dana atau pengusaha atau mudharib); Keduanya hendaklah orang berakal dan sudah baligh(berumur 15 tahun) dan bukan orang yang dipaksa. Keduanya juga harus memiliki kemampuan untuk diwakili dan mewakili.
2.     Materi yang diperjanjikan atau objek yang diakadkan terdiri dari atas modal (maal), usaha (berdagang dan lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan tersebut), keuntungan;
3.     Sighat, yakni serah atau ungkapan penyerahan modal dari pemilik modal (ijab) dan terima atau ungkapan menerima modal dan persetujuan mengelola modal dari pemilik modal (qabul).
C.    Jenis-jenis Mudharabah
Akad Mudharabah dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
1.  Mudharabah Mutlaqah
Mudharabah Mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahib al-mal (penyedia dana) dengan mudharib (pengelola) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan yang sebesar-besarnya kepada mudharib untuk mengelola dananya. Jadi bank memiliki kebebasan penuh untuk menyalurkan dana modal ini ke bisnis manapun yang diperkirakan menguntungkan.
Penerapan umum dalam produk ini adalah:
a.  Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
b.  Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tabungan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
   c.  Tabungan Mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjajian yang disepakati namun tidak diperkenankan mengalami saldo negatif.
  d. Untuk tabungan Mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan. Sebagai bukti penyimpanan serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung.
2.  Mudharabah Muqayyadah (On Balance Sheet)
Mudharabah muqayyadah on balance sheet adalah akad Mudharabah yang disertai pembatasan penggunaan dana dari shahib al-mal untuk investasi-investasi tertentu.
Jenis Mudharabah ini merupakan simpanan khusus di mana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Karakteristik jenis simpanan ini adalah:
a.    Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
   b.    Pemilik dana wajib menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank, wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.
c.  Sebagai tanda bukti simpanan, bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
Contoh pengelolaan dana dapat diperintahkan untuk:
a.   Tidak mencampurkan dana pemilik dana dengan dana lainnya.
b.   Tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa pinjaman, tanpa jaminan; atau
c.    Mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga.

D.    Asas-asas Perjanjian Mudharabah
Asas-asas dalam perjanjian Mudharabah adalah;
1.    Perjanjian Mudharabah dapat dibuat secara formal maupun informal, secara tertulis maupun lisan. Namun, sesuai dengan ketentuan al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282-283 yang menekankan agar perjanjian-perjanjian dibuat secara tertulis.
2.    Perjanjian Mudharabah dapat pula dilangsungkan diantara shahib al-mal dan beberapa mudharib, dapat pula dilangsungkan diantara beberapa shahib al-maal dan beberapa mudharib.
3.    Pada hakekatnya kewajiban utama shahib al-mal ialah menyerahkan modal Mudharabah kepada mudharib. Bila hal itu tidak dilakukan, maka perjanjian Mudharabahmenjadi tidak sah.
4.     Shahib al-maal dan mudharib haruslah orang yang cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
5.     Shahib al-maal menyediakan dana, mudharib menyediakan keahlian, waktu, pikiran, dan upaya.
6.    Mudharib berkewajiban mengembalikan pokok dana investasi kepada shahib al-maal ditambah bagian dari keuntungan shahib al-maal.
7.    Syarat-syarat perjanjian Mudharabah wajib dipatuhi mudharib.
8.     Shahib al-maal berhak melakukan pengawasan atas pelaksanaan perjanjian Mudharabah.
9.     Shahib al-maal harus menentukan bagian tertentu dari laba kepada mudharib dengan nisbah (prosentase).
10.   Mudharabah berakhir karena telah tercapainya tujuan dari usaha tersebut. Sebagaimana dimaksud dalam perjanjian Mudharabah atau pada saat berakhirnya jangka waktu perjanjian Mudharabah atau karena meninggalnya salah satu pihak, yaitu shahib al-maal atau mudharib, atau karena salah satu pihak memberitahukan kepada pihak lainnya mengenai maksudnya untuk mengakhiri perjanjian Mudharabah itu.
E.    Sebab-sebab Batalnya Mudharabah
Mudharabah  menjadi batal karena hal-hal berikut:
1.     Tidak terpenuhinya syarat sahnya Mudharabah. Apabila terdapat satu syarat yang tidak dipenuhi, sedangkan mudharib sudah terlanjur menggunakan modal Mudharabah untuk bisnis perdagangan, maka dalam keadaan seperti ini mudharib berhak mendapatkan upah atas kerja yang dilakukannya, karena usaha yang dilakukannya atas izin pemilik modal dan mudharib melakukan suatu pekerjaan yang berhak untuk diberi upah.
         Semua laba yang dihasilkan dari usaha yang telah dikerjakan adalah hak pemilik modal. Jika terjadi kerugian maka pemilik modal juga yang menanggungnya. Karena mudharib dalam hal ini berkedudukan sebagai buruh dan tidak dapat dibebani kerugian kecuali karena kecerobohannya.
2.    Pengelola atau mudharib sengaja tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam memelihara modal, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Jika seperti itu dan terjadi kerugian maka, pengelola berkewajiban untuk menjamin modal karena penyebab dari kerugian tersebut. Pengelola meninggal dunia atau pemilik modalnya, maka Mudharabah akan menjadi batal.
3.    Jika pemilik modal yang wafat, pihak pengelola berkewajiban mengembalikan modal kepada ahli waris pemilik modal serta keuntungan yang diperoleh diberikan kepada ahli warisnya sebesar kadar prosentase yang disepakati. Tapi jika yang wafat itu pengelola usaha, pemilik modal dapat menuntut kembali modal itu kepada ahli warisnya dengan tetap membagi keuntungan yang dihasilkan berdasarkan prosentase jumlah yang sudah  disepakati.
       Jika  Mudharabah  telah batal, sedangkan modal berbentuk ‘urudh  (barang dagangan),  maka pemilik  modal dan pengelola  menjual atau  membaginya, karena  yang  demikian  itu  merupakan  hak  berdua.  Dan  jika si pengelola setuju  dengan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, maka pemilik modal dipaksa menjualnya, karena si pengelola mempunyai hak di dalam keuntungan dan dia tidak dapat memperolehnya  kecuali  dengan menjualnya. Demikian  menurut madzhab Asy Syafi’i dan Hambali.
Contoh praktek mudharabah, Pak rizal merencanakan berdagang sayurn di sebuah kompleks prunnas ”cahaya indah”  untuk memulai usahanya, pak rizal miminjam uang sebagi modal usaha pada bank islam sebanyak Rp.1000.000.00 dengan perjanjian bagi hasil, yaitu pak rizal memperoleh bagian keuntungan sebanyak 70 % dan bank mendapatkan hasil keuntungan sebanyak 30 %, dengan masa pengembalian pinjaman sebulan.setelah persetujuan kedua belah pihak disepakati dan ditanda tangani, pak rizal diberikan pinjaman uang tunai sejumlah Rp.1000.000.00. pada hari pertama, pak rizal bersih sebesar  Rp.50.000.00 pak rizak mencatat keuntungan tersebut pada buku cacatan khusus. Pada pekan pertama, paka rizal telah mengumpulkan keuntungan bersih sebanyak Rp.300.000.00 setiap inggu pak rizal menyetor pada bank melalui mudharabah. Pada akhir bulan keuntungan bersih yang diperoleh pak rizal sebanyal Rp.1.200.000.00 setelah pembagian hasil dengan bank, pak rizal memperoleh Rp.8.40.000.00 (70 %) dan bank mendapatkan keuntungan Rp.3.60.000.00 (30 %) tepat saat jatuh tempo,pak rizal mengembalikan pijaman modal beserta keuntungan sebanyak Rp.1.360.000.00. pada bulan kedua, pak rizal meneruskan pinjamannya dengan ketentuan yang sama insyallah, pada bulan ketiga, pak rizal tidak perlu mminjan lagi uang untuk modal uasaha selanjutnya, mengingat pak rizal sudah mendapatkan hasil keuntungan yang memadai untuk menjalankan keberlangsungan usahanya.
F.    Pengertian dan Landasan Akad Musyarakah
Istilah lain dari  musyarakah  adalah  syarikah  atau  syirkah. Menurut bahasa arab,  syirkah  berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyruku (fi’il mudhari’), syarikan atau syirkatan atau syarikatan  (masdar atau kata dasar);  yang artinya menjadi  sekutu atau syarikat (kamus al munawar) menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga  tidak boleh dibedakan  lagi satu bagian  dengan bagian  lainnya. Sedangkan pengertian syirkah secara istilah, dikemukakan oleh beberapa ulama sebagai berikut:
1.      Definisi menurut wahbah az zuhaili, ialah:
 “Kesepakatan dalam pembagian hak dan usaha”
2.      Definisi syirkah menurut taqiyuddin abi bakr Muhammad al husaini, ialah:
“Ungkapan tentang penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih menurut cara yang telah diketahui”
3.      Definisi syirkah menurut sayyid sabiq, ialah:
 “Akad antara dua orang dalam (penanaman) modal dan (pembagian)   keuntungan”.
Sedangkan landasan dasar syari’ah Akad Musyarakah yaitu:
1.   QS. Shad ayat 24
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُم
"…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."
2.    Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata :
قال الله : انا ثالث الشركين مالم يخن احدهما صاحبه فاءذا خانه خرجت من بينهما
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
G.       Macam-macam Akad Musyarakah
a. Syirkah al-milk (kerjasama non kontraktual), mengimplikasikan kepemilikan bersama dan terjadi ketika dua atau lebih orang secara kebetulan mendapatkan kepemilikan bersama beberapa aset tanpa melalui persetujuan kerja sama. Contohnya yaitu seperti menerima hibah atau wasiat secara bersama-sama.
     1). Syirkah milk ikhtiyar
     Syirkah milk ikhtiyar adalah kerja sama yang muncul karena adanya kontrak antara dua orang yang bersekutu. Misalnya, Dua orang yang membeli, memberi, atau berwasiat tentang sesuatu dan keduanya menerima maka jadilah pembeli, yang diberi, dan yang diberi wasiat bersekutu diantara kedunya, yakni kerja sama milik.
2)  Syirkah milk al jabr
     Syirkah milk al jabr adalah kerja sama yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yng bukan didasarkan atas perbuatan keduanya ( secara paksa). Misalnya,dua orang mewariskan sesuatu maka yang diberi waris menjadi sekutu mereka.       
   b.Syirkah al uqud menunjukkan kebersamaan dua atau lebih orang untuk menjalankan suatu usaha yang bertujuan membagi keuntungan dengan investasi bersama sebagai kelaziman pada periode pembentukan kerjasama tersebut, berupa kerjasama dalam jumlah modal tertentu.Syirkah ‘uqud’ mempunyai empat bentuk, yaitu Syirkah ‘inan, mufawadah, wujuh, dan abdan.
1.  Syirkah al ‘Inan
Syirkah inan’ adalah persekutuan atau kerja sama antara dua orang dalam harta milik untuk berdagang secara bersama-sama dan membagi laba atau kerugian bersma-sama. Kerja sama ini boleh dilakukan umat islam. Modal dan pengolahannya tidk harus sama masing-masing pemodal dapat berbeda, yang satu bisa lebih besar dari yang lainnya. Begitu juga dalam menikmati hasil berbeda, bisa banyak dan bisa sedikit sesuai denga persetujan yang mereka buat bersama.
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’I, keuntungan harus dibagi diantara para mitra secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal yang disetor, tanpa memandang kinerja masing-masing mitra.
Hal itu senada dengan perkataan Ali bin Abi Thalib r.a: “keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional dengan modal mereka”.
 Jika terjadi kerugian para Ulama’ sepakat, bahwa kerugian harus dibagi diantara masing-masing mitra secara proporsional terhadap saham masing-masing dalam modal. Jika modal syirkah rusak sebelum dijalankanya akad, maka akad dinyatakan batal.
Madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa pembagian keuntungan dapat berbeda diantara mitra, jika mereka membuatnya sebagai syarat dalam kontrak. Argumentasi ini berdasarkan pada pandangan bahwa keuntungan adalah buah dari interaksi antara modal dan kerja. Hal ini dikarenakan salah satu mitra mungkin lebih berpengalaman, berkompeten ataupun expert dari mitra yang lain.
2.  Syirkah al Mufawadah
    Syirkah muwafadah adalah transaksi dua orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan daam jumlah modal, penentuan keuntungan, pengolahan, dan agama yang diaanut.
     Ulama membolehkan kerja sama ini dengan persamaan dan modal. Jika tidak, kerja ini menjadi batal. Nabi SAW. Sangat mendukung kerja sama semacam ini karena akan membesarkan berkah.
3.  Syirkah Al Wujuh
     Syirkah Al Wujuh adah kerja sama dua pemmimin dalam pandangan masyarakat tanpa modal, untuk membeli barang secara tidak kontan (kredit) dan akan menjualnya secara kontan. Kemudian keuntungan yang diperoleh dibagi diantara mereka dengan syrat tertentu.kerja sama seperti ini menimbulkan dua pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
a).Pendapat yang tidak membolehkan adalah para ulama dari kalangan malikiyah,syafi’iyah, dan immiyah. Mereka berlasan bahwa kerja sama ini sangat rentan terhadap penipuan karena tidak dibatasi oleh pekerjaan tertentu.
b).Pendapat yang membolehkan adalah ulama dari lingkungan hanafiyah, hambaliyah, dan Zaidiah, beralasan bahwa kerja sama ( syirkah wujuh ) telah mengandung insur adalah perwkilan dari seorang kepada partnernya dalm penjualan dan pembli.
4.  Syirkah Al-A’maal/abdan
     Jika Syirkah Al-A’maal dilakukan dengan dasar al Mufawadloh, maka setiap mitra memiliki kewajiban yang sama, begitu juga ketika dibangun dengan dasar al ‘Inan.Setiap mitra memiliki kewajiban untuk menangani bisnis atau pekerjaan, begitu juga tanggung jawab yang melekat di dalamnya. Namun demikian, al Mufawadloh dalam konteks ini tidak berlaku secara mutlak, hanya berlaku dalam hal tanggung jawab dan penyelesaian pekerjaan, selebihnya berlaku hukum al-‘Inan.
     Pembagian keuntungan dapat berbeda diantara mitra, jika mereka membuatnya sebagai syarat dalam kontrak. Mitra diperbolehkan mendapatkan upah yang lebih sebanding dengan tanggung jawab kerja yang diembannya. Begitu juga dengan pembagian resiko, yakni sebanding dengan tanggung jawab kerja.
H.   Syarat dan Rukun Akad Musyarakah
Dari segi hukumnya melakukan kerjasama dengan menggunakan sistem  musyarakah  adalah suatu hal yang dibenarkan dalam Islam. Keabsahannya juga bergantung pada syarat-syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Adapun rukun musyarakah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah:
1.      Shigat (lafal) ijab dan qabul
2.      Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
3.      Obyek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh).
Dalam akad kerja sama musyarakah, pernyataan ijab qabul harus menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak. Pihak-pihak yang melakukan akad juga harus cakap hukum seperti berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Selain itu juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Selain itu juga setiap mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang lain dengan perjanjian yang disepakati bersama.
Sedangkan syarat Musyarakah secara umum adalah:
1.       Harus mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan
2.      Pembagian keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal atau kewajiban.
3.      Pembagian keuntungan yang jelas.
I.     Hukum Akad Musyarakah
        Hukum Akad  Musyarakah ada kalanya  shahih  ataupun  fasid.  Akad Musyarakah  fasid  adalah  akad  syirkah  dimana salah  satu   syarat  yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semua syarat terpenuhi, maka syirkah tersebut dinyatakan shahih.
J.     Perkara yang membatalkan Akad Musyarakah
Akad syirkah atau Musyarakah merupakan akad yang diperbolehkan dan tidak mengikat (jaiz ghairi lazim), masing-masing mitra memiliki hak untuk menghentikan kontrak. Pada prinsipnya, kontrak Musyarakah akan berhenti jika salah satu mitra menghentikan kontrak, atau meninggal dunia atau modal yang ditanamkan mengalami kerugian. Mayoritas ulama kecuali Madzhab Maliki berpendapat bahwa tiap mitra berhak untuk menghentikan kontrak kapan saja ia kehendaki. Selain itu, akad syirkah juga bisa batal karena:
1)    Salah satu mitra meninggal dunia, murtad, atau mengalami gangguan jiwa (gila).
2)   Dalam akad Syirkah al Amwal, akan menjadi batal jika modal (ra’sul maal) mengalami kehancuran.
3)    Dalam akad al mufawadlah, akan menjadi batal jika tidak ada persamaan dalam kontribusi modal, pembagian keuntungan, pekerjaan ataupun tanggung jawab dan kewajiban finansial lainnya.


  
BAB II
PENUTUP

kesimpulan
Mudharabah adalah salah satu bentuk akad pembiayaan yang akan di berikan kepada nasabah dalam suatu Bank. secara umum Mudharabah terbagi kepada dua jenis, yaitu:Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
Dalam sistem Mudharabah ini akadnya adalah kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Manfaat dari Mudharabah ini adalah Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat
Ø Menurut jumhur ulama’ ada tiga rukun dari Mudharabah yaitu:
1.      Dua pihak yang berakad (pemilik modal/shahib al-mal dan pengelola dana/pengusaha/mudharib)
2.      Materi yang diperjanjikan atau objek yang diakadkan
3.      Sighat (ijab-qabul)
Ø Mudharabah dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
1.      Mudharabah Mutlaqah
2.      Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet
Ø Mudharabah  menjadi batal karena hal-hal berikut:
1.      Tidak terpenuhinya syarat sahnya Mudharabah
2.      Pengelola atau mudharib  sengaja tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam memelihara modal
3.      Pengelola meninggal dunia atau pemilik modalnya
Akad musyarakah merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dengan kondisi masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana.
Macam-macam Akad Musyarakah itu ada dua :
1.       Syirkah al uqud
2.       Syirkah al-milk
Hukum Akad Musyarakah
1.      Syirkah al ‘Inan
2.      Syirkah al Mufawadah
a.       Syirkah Al Wujuh
b.       Syirkah Al-A’maal/abdan



DAFTAR PUSTAKA

Ø   M. Rizal qosim.pengalaman fikih jilid 1 untuk kelas xi madraah aliyah (yogyakarta:pustaka mandiri,2009)



 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020