l Makalah fiqih jinayah | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Jumat, 29 Maret 2019

Makalah fiqih jinayah





MAKALAH
                     

   FIQIH JINAYAH      
“JINAYAH”

                                                                                              





   Disusun Oleh
Ahyadin

Dosen pengampu
M. Yunan putra Lc. Mhi

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah fiqih jinayah”

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
BIMA
2019



KATA PENGANTAR

          Syukur alhamdullah kami panjatkan Allah SWT Tuhan semesta alam. Tak lupa shalawat serta salam kita haturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW  yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat meyelesaikan makalah ini dengan baik. Aamiin
          Pada kesempatan kali ini akan berusaha mencoba membahas materi Jinayah yang dimana berisi tentang apa itu ilmu jinayah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
          Makalah ini di sajikan berdasarkan rangkuman dari hasil pengamatan yang bersumber dari berbagai informasi, referensi,  dan berita, Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu saran yang konstruktif sangat kami harapkan.
                      




                                                                                                   Bima, 15 Februari 2019

Penulis,


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jinayat dan Jarimah
 Pengertian jinayah secara bahasa adalah
اِسْمٌ لِمَا يَجْنِيْهِ الْمَرْءُ مِنْ شَرٍّ وَمَا اكْتَسَبَهُ
‘’Nama bagi hasil perbuatan bagi seseorang yang buruk dan apa yang di usahakan’’.
Pengertian jinayah secara istilah Fuqaha sebagaimana yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah :
فَالْجِنَا يَةُ اِسْمٌ لِفِعْلٍ مُحَرَّمٌ شَرْعًا,سَوَاءٌ وَقَعَ الْفِعْلُ عَلَى نَفْسٍ أَوْ مَالٍ اَوْ غَيْرُ ذَالِكْ
‘’Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut  mengenai jiwa, harta, atau lainnya’’.[1]
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq adalah:
Yang di maksud dengan jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang.dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda”.[2]
Dalam konteks ini pengertian Jinayah sama dengan jarimah.
Menurut bahasa, jarimah berasal dari kata (جَرَمَ ) yang sinonimnya ( كَسَبَ وَقَطَعَ ) artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha disini khusus untuk usaha yang tidak  baik atau usaha yang di benci oleh manusia.[3]
Menurut istilah, Imam Al Mawardi mengemukakan sebagai berikut :
اَلْجَرَاءِمُ مَحْظُوْرَاتٌ شَرْعِيَّةٌ زَجَرَاللهُ تَعَالَى عَنْهَابِحَدٍّأَوْ تَعْزِيْرٍ
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syara’, yang di ancam dengan hukuman had atau ta’dzir.[4]
Perbuatan yang di larang ( مَحْظُوْرَاتٌ ) adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.sedangkan lafadz syari’ah (شَرِيْعَةٌ ) dalam definisi tersebut mengandung pengertian bahwa suatu perbuatan yang baru di anggap sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara’ dan diancam dengan hukuman. Dengan demikian apabila perbuatan itu tidak ada larangan nya dalam syara’ maka perbuatan tersebut hukumnya mubah sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
اَلْأَصْلُ فِى الْأَ شْيَاءِ الْاءِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَي التَّحْرِيْمِ
‘’Pada dasarnya semua perkara di bolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya’’.[5]

B.  Rukun atau Unsur Jinayah
          Pengertian jinayah yang mengacu paada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan diancam dengan had atau ta’zir telah mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori jinayah adalah berasal dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’. Artinya perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut diancam hukuman.
          Karena larangan tersebut berasal dari syara’, maka larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khitab) dan orang yang mampu memahami pembebanan (taklif) dari syara’ tersebut.
          Makhrus Munajaat, M.Hum (2009) menyatakan bahwa seseorang dikenal hukum jinayah jika memenuhi dua unsur yaitu umum dan khusus. Unsur umu terdiri dari :
1)             Unsur Formal (Ar-Rukn, Al-Syar’i)
          Yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjukkan sebagai jarimah atau dapat juga diartikan adanya ketentuan yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan hukuman ancaman atas perbuatan tersebut. Jarimah tidak akan terjadi sebelum dinyatakan dalam nash. Alasan harus ada unsur ini antara lain firma Allah SWT dalam Q.S Al-ISra : 15 yang mengajarkan bahwa Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum mengutus utusan-Nya. Ajaran ini berisi ketentuan bahwa hukuman akan ditimpahkan kepada mereka yang membangkang ajaran Rasul Allah. Khusus untuk jarimah ta’zir, harus ada peraturan dan undang-undang yang telah dibuat oleh penguasa.
2)             Unsur Material (Ar-Rukh, Al-Madzi)
          Yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan atau adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah baik melakukan perbuatan yang dilarang ataupun melakukan perbuatan yang diharuskan. Hadist Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad SAW atas sesuatu yang msih terkandung dalam hati, selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakan dengan nyata.
3)             Unsur Moral (Al-Rukh, Al-Adabi)
          Yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat jarimah. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitab artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukkalaf atau orang yang telah baligh, sehat akal dan ikhtiar. Sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.
          Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jinayah, jika perbuatan tersebut mempunyai unsur tadi. Tanpa ketiga unsur tersebut suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.
C. Macam-Macam Jinayah
          Para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al-Qur’an atau Al-Hadist, atas dasar ini mereka membagi menjadi 3 macam yaitu :
1)             Jarimah Hudud
          Menurut bahasa adalah menahan (menghukum), sedangkan menurut istilah hudud berarti sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/dipukul (dijiid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tanga sebelah atau kedua-duanya aatau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum. Jarimah Hudud ini dalam beberapa kasus dijelaskan dalam Q.S An-Nur : 2, Q.S Al-Maidah : 33 dan 38 tentang pezinaan, qadzaf (menuduh berbuat zina), meminum khamar, pencurian, perampokan, pemberontakan dan murtad.
2)             Jarimah Qishash/Diyat
          Hukum qishash adalah pembalasan yang setimpal atas pelanggaran yang bersifat pengerusakan badan atau menghilangkan jiwa, seperti dalam firman Allah SWT dalam Q.S Al-Maidah : 45, Q.S Al-Baqarah : 178. Diat adalah denda yang wajib dikeluarkan baik berupa barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukum diat sebab membunuh atau melukai seseorang karena ada pengampunan, keringanan hukuman dan hal lain. Pembunuhan yang terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan tidak sengaja atau pembunuhan karena kesalahan (khoto’). Hal ini dijelaskan dalam Q.S An-Nisa : 92 tentang pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tersalah, pelukan sengaja dan pelukan semi sengaja.
3)             Jarimah Ta’zir
          Hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak ditetapkan hukumannya dala Al-Qur’an dan Hadist yang bentuknya sebagai hukuman ringan. Menurut hukum islam, pelaksanaan hukum ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam. Hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya. Ta’zir ini dibagi menjadi 3 yaitu :
          Jarimah hudud atau qishash/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat namun sudah merupakan maksiat misalnya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga dan pencurian aliran listrik.
          Jarimah-jarimah yang ditentukan Al-Qur’an dan Al-Hadist namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanat dan menghina agama.
          Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini, nilai ajaran islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum. Berdasarkan niat pelakunya, jarimah dibagi mendai 2 yaitu : (1) Jarimah yang disengaja (Al-jarimah, Al-masquddah), (2) Jarima karena kesalahan (Al-jarimah ghayr, Al-maqsuddah/jarima, Al-khata’).
  

            DAFTAR PUSTAKA

Qodir Audah, Abdul. At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, juz 1, Dar Al Kitab Al ‘Araby, Bierut,
Sabiq, Sayid. 1982 Fiqh As-sunnah, juz II, BeirutDar Al Fikr,  cetakan II.
Abu Zahrah, MuhammadAl jarimah wa Al ‘Uqbah fi Al fiqh Al Islamiy, kairoMaktabah Al Angelo Al Mishriyah.
https://chacinggingsolz.blogspot.com/2016/06/jinayah-dan-jarimah-fiqih.html. Diakes tanggal 12 februari 2019.
Ilmu, Sumber. 2017. “MAKALAH FIQH JINAYAH Sumber-sumber hukum pidana islam”, https://acehdroe.blogspot.com/2017/11/makalah-fiqh-jinayah-sumber-sumber.htmlDiakses Tanggal 12 Februari 2019.
  

[1].   Abdul Qodir Audah, At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, juz 1, Dar Al Kitab Al ‘Araby, Bierut, tanpa  tahun, hlm. 67.
             [2]   Sayid Sabiq, Fiqh As-sunnah, juz II, Dar Al Fikr, Beirut, cetakan II. 1982, hlm. 110.
             [3].   Muhammad Abu Zahrah, Al jarimah wa Al ‘Uqbah fi Al fiqh Al Islamiy, Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, kairo, tanpa tahun, hlm. 22.
             [4].   Muhammad Abu Zahrah, Al jarimah wa Al ‘Uqbah fi Al fiqh Al Islamiy, Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, kairo, tanpa tahun, hlm. 22.
[5].  Jalaluddin As Syuyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Dar Al Fikr, tanpa tahun,hlm. 43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020