l makala sejarah peradilan islam pada masa bani abbasiyah oleh ahyadin | AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Kamis, 28 Maret 2019

makala sejarah peradilan islam pada masa bani abbasiyah oleh ahyadin


MAKALAH
SEJARAH PERADILAN ISLAM
Tentang : Peradilan islam pada masa bani abbasiyah

Di susun oleh :
Ahyadin

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah sejarah peradilan islam”

Dosen pengampu
M. Yunan putra Lc. MHi


INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
BIMA
2019




Assalamu’alaikum wr.wb.
          Segala puja dan puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami untuk memenuhi tugas Peradilan Islam dan Peradilan Agama di Indonesia mengenai Peradilan Islam masa Abbasiyah.
          Pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih pada teman-teman seperjuangan yang juga selalu memberikan motivasi, baik berupa sharing pendapat, motivasi dan hal-hal lainnya dalam rangka pembuatan makalah ini.
          Kami sangat menyadari tidak ada manusia yang sempurna begitu juga dalam penulisan makalah ini, apabila nantinya terdapat kekurangan, kesalahan dalam makalah ini, kami selaku penulis sangat berharap kepada seluruh pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua baik dari kami selaku penulis dan para pembaca.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Bima, 26 Maret 2019

       Penulis










KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA








Abbas adalah nama seorang imam pada suatu daulah di dalam sejak Islam yang selanjutnya disebut Abbasiyah karena dibangsakan, dalam hal ini berarti kaum yang beriman dan menegakkan kekuasaan daulah Ibn Abbas. Dan daulah Abbasiyah berpusat di kota Baghdad. (A. Hasymi, 1975). Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas.
Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dam budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Dengan kata lain 524 tahun sehingga rentan waktu yang begitu panjang tentu saja ada tuntutan zaman yang menghendaki dan mendesak adalah perubahan dan perkembangan mengingat pula waktu yang demikian lama itu harus dilewati oleh beberapa generasi, sehingga para pakar sejarah kebudayaan Islam membagi daulah Abbasiyah menjadi 4 (empat) periode seperti :
1.         Masa Abbasy I: semenjak lahirnya daulah Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai meninggalnya khalifah Al-Wasiq tahun 232 H/847 M
2.         Masa Abbasy II tahun 232-334 H/847-946 M, mulai Khalifah Al Mutawakkil sampai berdirinya daulah Buwaihi di Baghdad
3.         Masa Abbasy III tahun 334-447 H/946-1055 M, berdirinya daulah Buwaihi sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad.
4.         Masa Abbasy IV tahun 447-656 H/1055-1258 M dan masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar dibawah pimpinan Hulagu. (Musyrifah Sunanto , 2003)
1.         Bagaimana peradilan pada masa Abbasiyah?
2.         Bagaimana lembaga Qadhi al-Qudha’?
3.         Bagaiamana kebijakan politik abbasiyah pada peradilan?
4.         Siapa sajakah hakim termashur pada masa Abbasiyah?
5.         Bagaimana contoh kasus pada masa Abbasiyah?
1.         Mengetahui peradilan pada masa Abbasiyah.
2.         Mengetahui lembaga Qadhi al-Qudha’.
3.         Mengetahui kebijakan politik abbasiyah pada peradilan.
4.         Mengetahui hakim termashur pada masa Abbasiyah.
5.         Mengetahui contoh kasus pada masa Abbasiyah.
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “.
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
a.         Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali .
b.         Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik,ekonomi sosial dan kebudayaan.
c.         Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
d.        Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
e.         Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah. Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah. dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persia. Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180).
Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy. Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
1.     Periode pertama (750–847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan.
Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya berlanjut ke generasi sesudahnya  merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al- Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim, 2003:52-53). Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2.     Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut:
a.         Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b.         Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c.         Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3.     Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit.
Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
4.     Periode keempat (1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang-orang Syi’ah.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.


5.     Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Pada masa Daulah Abbasiyah para hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab empat atau mazhab yang lainnya. Denagan demikian, syarat hakim harus mujtahid sudah diadakan. Kemudian organisasi kehakiman juga mengalami perubahan, antara lain telah diadakan jabata penuntut umum (kejaksan) disamping telah dibentuk instansi diwan qadhi al-qudhah, sebagai berikut:
a.         Diwan Qadhi al-qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi al-qadhah (ketua mahkamah agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-badan yang lain yang ada hukuman dengan kehakiman dibawah diwan qahdi al-qadhah.
b.         Qudhah al-aqaali (hakim provinsi yang mengetahui pengadilan tinggi)
c.         Qudhah al-amsaar (hakim kota yang mengetuai pengadilan negeri; al-qadhah atau al-hisbah)
d.        Al-suthah al-qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibu kota negara dipimpin oleh al-mudda’il ummy (jaksa agung), dan tiap-tiap kota oleh Naib Ummy (jaksa)
Meskipun secara politis qadhi al-qudha’ diangkat dan kedudukannya berada di bawah sultan, akan tetapi sebenarnya ia adalah penyeimbang kekuasaan sultan dan pelaksana kekuasaan lainnya, seperti diwan dan wizarat. Mengingat sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, tidak mungkin melaksanakan seluruh kekuasaan Negara. Karena itu beberapa kekuasaan eksekutif kemudian didelegasikan kepada pelaksana kekuasaan lainnya.
Imam al-Mawardi dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah, merinci sepuluh tugas kekuasaan yudikatif, yaitu:
1.         Memutus atau menyelesaikan perselisihan, pertengkaran atau konflik dengan mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara secara sukarela atau memaksa keduanya berdamai
2.         Membebaskan orang yang tidak bersalah dari sanksi dan hukuman serta memberikan sanksi kepada yang salah
3.         Menetapkan penguasaan harta benda orang yang tidak bisa menguasai sendiri karena gila, masih anak-anak atau idiot
4.         Mengelola harta wakaf dengan menjaga, mengembangkan, dan menahannya serta mengalokasikannya ke posnya (pemanfaat)
5.         Melaksanakan wasiat berdasarkan syarat bahwa pemberi wasiat dalam hal yang diperbolehkan oleh syara’ dan tidak melanggarnya
6.         Menikahkan gadis-gadis dengan orang-orang yang sekufu’ (level) jika mereka tidak mempunyai wali dan sudah masuk usia menikah
7.         Melaksanakan hudud kepada orang yang berhak menerimanya. Jika menyangkut hak Allah Swt., ia melaksanakannya tanpa penggugat, jika telah terbukti atas pengakuan dan barang bukti. Jika menyangkut hak manusia pelaksanaan hudud ditentukan oleh permintaan penggugat
8.         Memikirkan kemaslahatan umat dengan melarang segala gangguan di jalan dan halaman rumah
9.         Mengawasi para saksi dan pegawainya serta memilih orang yang mewakilinya, dan jika mereka jujur, kredibel dan istiqamah, ia mengangkatnya, dan jika ia berkhianat, maka diganti dengan pejabat baru
10.     Menegakkan kesamaan di depan hukum antara orang yang kuat dan lemah, dan menegakkan keadilan dalam peradilan baik bagi orang bangsawan maupun rakyat biasa.
Selain itu dalam sejarah Islam yang bisa menduduki jabatan Hakim Agung adalah golongan ulama yang telah lama mengabdi di bidang yurisdiksi Islam dan merupakan tokoh yang teguh pendirian. Para hakim agung dari berbagai madzhab, selain mengajar ilmu agama di sekolah dan menjadi khatib di masjid, mengabdi pada salah satu komponen pengadilan, yakni diwan al-mazhalim, al-hisbah, dan al-‘askariyah. Secara umum kewenangan badan-badan peradilan yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif adalah:
a.      Al-Qadha’
Al-Qadha’ adalah lembaga yang berfungsi memberi penerangan dan pembinaan hokum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf. Lembaga ini sudah dirintis sejak zaman Rasululloh Saw., dan disempurnakan pada masa sesudahnya, terutama Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Pada masa kedua dinasti tersebut setiap perkara diselesaikan dengan berpedoman pada madzhab masing-masing yang dianut oleh masyarakat.
b.     Al-Hisbah
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Pejabat badan hisbah disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya perlu segera, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum, mencegah terjadinya pelanggaran hak tetangga serta menghukum orang yang mempermainkan hukum syara’. 
c.      Al-Mazhalim
Al-Mazhalim adalah salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan Negara. Selain itu ia juga menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat tertinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan terhadap  rakyat biasa. Secara operasional qadhi al-mazhalim bertugas menyelesaikan masalah yang tidak dapat diputuskan oleh diwan al-qadha’ dan diwan al-muhtasib, serta meninjau kembali putusan yang dibuat oleh dua hakim tersebut ayau menyelesaikan perkara banding.
d.     Al-Mahkam Al-‘Askariyah
Selain tiga bidang peradilan di atas, pada masa pemerintahan Bani Abbas juga dibentuk mahkamah/peradilan militer (al-Mahkam al-Askariyah) dengan hakimnya adlah qadhi al-‘askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah ada sejak zaman Sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.
Pada masa ini ada beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan, antara lain adalah:
1.     Lembaga qadhi al-qudhah (Mahkamah Agung)
Lembaga qadhi al-qudhah yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Kalau untuk zaman sekarang bisa disebut Mahkamah Agung. Badan hukum ini diputuskan pendiriannya sejak masa Harun Al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara dengan tugas sebagai pengangkat hakim-hakim daerah. Apabila diidentikan dengan Indonesia, pada zaman Abbasiyah sudah ada Mahkamah Agung dan Jaksa Agung serta peradilan-peradilan di tingkat perovensi dan kota/kabupaten. Artinya setiap wilayah sudah memiliki peradilan. 
Beberapa qadhi yang terkenal pada masa Abbasiyah adalah sebagai berikut:
a.         Abu Yusuf, Ya’qub bin Ibrahim (lahir tahun 131 H/ 731 M – wafat tahun 182 H/ 789 M) beliau adalah qadhi qudhah Harun Al-Rasyid.
b.         Yahya bin Aksam (lahir tahun 159 H/ 755 M – wafat tahun 242 H/857 M) beliau adalah qadhi qudhah al-Makmun.
c.         Ahmad bin Abu Daud (lahir tahun 160 H/ 777 M – wafat tahun 240 H/ 854 M) beliau adalah qadhi al-Mu’tashim.
d.        Sahnun al-Maliki (lahir tahun 160 H/ 777 M – wafat tahun 240 H/ 854 M) beliau adalah qadhi Maghrib.
e.         Al-‘izz bin Abd. Al-Salam (lahir tahun 578 H/ 1181 M – wafat tahun 660 H/ 1262 M) beliau adalah qadhi Mesir.
f.          Ibnu Khillikaan (lahir tahun 608 M/ 1211 M – wafat tahun 660 H/ 1282 M) beliau adalah qadhi Damaskus.
g.         Ibnu Daqiqi ‘Ied (lahir tahun 625 H/ 1228 M – wafat tahun 702 H/ 1302 M) beliau adalah qadhi Mesir dan Sha’id
Inilah sebagian qadhi qudhah dan qadhi yang banyak mendapatkan perhatian umum terkenal dalam masyarakat fikih dan di pandang sebagai pembimbing ilmu al-furu’ dalam periode kedua dari bani Abbasiyah.
2.     Wilayah Hisbah
a.      Pengertian Wilayah Hisbah.
Secara etimologi al-hisbah merupakan kata benda yang berasal dari kata al-ihtisab artinya “menahan upah” kemudian maksud meluas menjadi  ”pengawasan yang baik”. Sedangkan secara terminologi, al-Mawardi  mendefinisikan dengan “suatu perintah terhadap kebaikan ( Ma’ruf) bila terjadi penyelewengan terhadap kebenaran dan mencegah kemungkaran”.Kriteria kebaikan yaitu segala perkataan, perbuatan, atau niat yang baik yang diperintahkan oleh syariat. Sedangkan perbuatan mungkar yang dilarang oleh syariat.
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Pejabat badan hisbah disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya perlu segera, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum seperti mencegah penduduk yang mengakibatkan sempitnya jalan-jalan umum ,mengganggu kelancaran lalu lintas, dan melanggar hak-hak tetangga serta menghukum orang yang mempermainkan hukum syara‟. Misalnya menghukum orang yang melakukan hal-hal keji seperti berzina, mengkonsumsi minuman keras, berbuat curang dalam muamalah melakukan jual beli yang di larang syariat, penipuan dalam takaran dan timbangan dan lain sebagainya
b.     Satus Dan Wewenang Wilayah Hisbah
Pada masa Abbasiyah wilayah hisbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadhah. Hal ini dijelaskan oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan muntasib. Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadha). Pada masa ini kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-qudhah, baik mengangkat maupun memberhentikannya.
Tugas lembaga al-hisbah adalah memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas al-hisbah. Tugas hakim ialah memutus perkara terhadap perkara-perkara yang disidangkan dan menghukum yang kalah serta mengembalikan hak orang yang menang. Sedangkan tugas muhtasib adalah hanya mengawasi berlakunya undang-undang dan adab-adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Jadi kedudukan peradilan lebih tinggi dari pada al-hisbah.
Dalam beberapa kasus, seorang muhtasib juga bertugas seperti hakim, yaitu pada kasus-kasus yang memerlukan putusan segera. Hal ini dilakukan karena terkadang ada suatu masalah yang harus segera diselesaikan agar tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk, dan jika melakukan proses pengadilan hakim akan memakan waktu yang sangat lama.
Contohnya orang yang mengganggu kepentingan umum misalnya mengganggu kelancaran lalu lintas. Menegakkan hak asasi manusia seperti mencegah buruh membawa beban di luar batas kemampuannya atau kendaraan-kendaraan yang mengangkut barang melebihi kuota.
Jadi, seorang muhtasib harus mampu mengajak masyarakat menjaga ketertiban umum. Sistem penerapan wilayah hisbah, muhtasib tidak berhak untuk memutuskan hukum sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat bertindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral yang jika dianggap perlu muhtasib dapat memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran moral. Berdasarkan hal ini kewenangan muhtasib lebih mendekati kewenangan polisi, tetapi bedanya, ruang gerak muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum, sedangkan untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan dalam kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan dan hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian, dan lain-lain.
c.      Persamaan dan Perbedaan Al-Hisbah dan Peradilan
Lembaga peradilan dan al-hisbah dapat saling melengkapi satu sama lain walaupun terdapat persamaan dan perbedaan dalam beberapa segi. Persamaan tersebut adalah:
a.         Baik hakim maupun muhtasib, keduanya menerima dan mendengarkan pengaduan dari orang yang bersengketa.
b.         Keduanya berupaya memberantas kezaliman dan menegakkan keadilan.
Adapun perbedaannya adalah:
a.         Dari segi kewenangan: Muhtasib tidak berhak menerima dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan hakim pengadilan.
b.         Muhtasib hanya mengurus perkara-perkara yang kecil yang bukan termasuk kewenangan hakim pengadilan misalnya, perkara penipuan dalam takaran dan timbangan.
c.         Kedudukan peradilan lebih tinggi dari pada al-hisbah.
d.        Hakim cenderung menunggu perkara yang masuk, sedangkan muhtasib cenderung mencari kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan.[12]
Jadi, wilayah al-hisbah secara garis besarnya seperti jabatan penuntut umum, sedangkan muhtasib disamakan dengan penuntut umum karena mereka adalah orang-orang yang bertugas memelihara hak-hak umum dan tata tertib masyarakat. Walaupun dalam beberapa segi terdapat perbedaan, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa tugas al-hisbah di dalam hukum Islam merupakan dasar bagi penuntut umum sekarang.
3.     Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)
a.      Pengertian Wilayah Al-Mazalim
Kata wilayah al-Mazalim merupakan gabungan dua kata, yaitu wilayah dan al-Mazalim. Kata wilayah secara literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan pemerintahan. Sedangkan kata al-Mazalim adalah bentuk jamak dari mazlimah yang secara literal berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.
Sedangkan secara terminologi wilayah al-mazalim berarti “kekuasaan pengadilan yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasib, yang bertugas memeriksa kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat biasa.
b.     Wewenang Wilayatul Al-Mazalim
Lembaga ini dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-mazalim waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadhi al-Mazalim atau Sahib al-Mazalim. Pada masa ini wilayah al-mazalim mendapat perhatian besar. Diceritakan pada hari Ahad, Khalifah al-Makmun sedang membuka kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadu kezaliman yang dilakukan oleh pejabat, datang seorang wanita dengan pakaian jelek tampak dalam kesedihan. Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang Khalifah, al-Abbas, menzaliminya dengan merampas tanah haknya. Kemudian sang khalifah memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam, untuk menyidang kasus tersebut di depan sang Khalifah. Di tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al-Abbas sehingga para pengawal istana mencelanya. Kemudian Al-Makmun berkata, “Dakwaannya benar, kebenaran membuatnya berani berbicara dan kebatilan membuat anakku mem bisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak si wanita dan hukuman kepada sang anak khalifah.
Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat , karena disini qadhi al-mazhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding. Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.[17]
4.     Al-Mahkamah Al-Askariyah
Pada masa pemerintahan Abbasiyah juga di bentuk mahkamah atau peradilan militer (al-Mahkamah al-Askariyah) dengan hakimnya adalah qadhi al- ‘askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah ada sejak zaman Sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.
5.     Badan Arbitrase
Pada masa ini, di samping Lembaga Pengadilan, ada juga hakam-hakam (badan arbitrase) yang memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Nazhab tahkim ini, dibenarkan oleh Islam. Undang-undang modern pun telah banyak mengambilnya. Tahkim dalam pegertian bahasa arab berarti “Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu” dalam pengertian istilah tahkim adalah “dua orang atau lebih yang mengtahkim kepada seseorang diantara mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara‟ atas sengketa mereka itu‟. Maka kedudukan tahkim lebih rendah dari kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam.
6.     Tempat Persidangan, waktu dan pakain untuk hakim
Persidangan-persidangan pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah -tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu yang sama diadakan beberapa perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna. Bagi para qadhi atau ulama‟ memiliki pakaian khusus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa khalifah Harun al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum. Dalam pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaana merek.
Persidangan dilakukan di gedung tengah kota dengan hari persidangan yang sudah ditentukan. Pada hari raya atau hari-hari besar tidak ada persidangan. Keputusan yang dijatuhkan pada hari selain hari-hari yang ditentukan dipandang tidak sah.
Saat mengadili para hakim memakai pakaian khusus (jubah dan surban hitam sebagai lambang dari Daulah Abbasiyah), berwibawa dan memiliki pengawal khusus yang mengatur pengajuan perkara serta meneliti dakwaan-dakwaan mereka.
Pada masa ini pengadilan sudah memiliki gedung khusus dan sudah mulai memerhatikan administrasi peradilan, seperti adanya penetapan hari sidang dan adanya semacam panitera menurut Ibnu Khaldun, pada masa itu telah diadakan pembukuan putusan secara sempurna dan pencatatan wasiat dan utang.
7.     Muculnya Mazhab-Mazhab
Pada masa Abbasiyah tepatnya pada masa khlifah Al-Manshur dari Khalifah Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadits. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas (w.179 H) di Hijaz sebagai ulama Madinah dari kalangan Muhadditsin dan fuqoha‟. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al- Syafi‟i (w.204 H) dari Makkah dan Madinah hingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jami‟ Amru bin Ash di Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qa‟idah-Qa‟idah Ijtihad. Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al- Syafi‟i lahir pula Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadits. Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur sangat menjunjung tinggi kebebasan berpikir sehingga terutama di Bagdad, pergerakan ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat. Pembukuan hadits sudah dimulai masa Umar bin Abdul Aziz, kemudian pada masa itu khalifah selanjutnya menganjurkan kepada ulama untuk membukukan berbagai ilmu pengetahuan. Masa ini lahirlah istilah-istilah fikih dan lahir pula mazhab-mazhab fikih.
Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi‟i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas dan penduduknya heterogen dari segi aliran-aliran mazhab, maka hakim yang diangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari mazhab Syafi‟i, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab Hanbali dan bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih daripada itu seperti mazhab Syi‟ah, Auza‟i, Daud az -Zhahiri, Ath-Thobari, dan lain sebagainya. Sehingga yang terjadi adalah apabila ada dua pihak yang berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termasyur di negeri itu, maka tunjuklah seorang qadhi yang akan memutuskan perkara itu sesuai dengan mazhab yang diikuti oleh kedua belah pihak yang berperkara. Sehingga pada pemerintahan Harun al-Rasyid di bentuk suatu jabatan penting dalam pemerintahannya yang disebut dengan Qadhi al-Qudhat’ (Hakim Agung).
Berkembangnya mazhab-mazhab karena adanya dukungan penguasa. Misalnya, mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi qadhi dalam tiga masa pemerintahan Abbasiyah, yaitu al-Mahdi, al-Hadi, dan Harun ar-Rasyid. Mazhab Maliki berkembang atas dukungan al-Mansur di khilafah Timur. Ketika Yahya bin Yahya diangkat menjadi qadhi oleh penguasa Andalusi, di Afrika, Muiz Badis mewajibkan seluruh penduduk mengikuti mazhab Maliki. Sedangkan mazhab syafi‟i membesar di Mesir setelah Shalahuddin al-Ayubi merebut negeri itu. Mazhab Hanbali menjadi kuat setelah al-Mutawakkil diangkat menjadi khalifah. Ketika itu Mutawakkil tidak akan mengangkat seseorang qadhi kecuali atas persetujuanAhmad bin Hanbal.
Perkembangan selanjutnya adalah pada masa pemerintahan Sultan Al- Zahir Baybars (665 H/ 127 M), di mana ia membentuk sistem peradilan yang menggabungkan antara empat mazhab besar dan dikepalai oleh masing-masing Hakim Agung. Untuk Hakim Agung mazhab Imam Syafi‟i, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain. Karena selain menangani urusan yuridiksinya, juga diserahi tanggung jawab mengawasi penyantunan anak yatim piatu, perwakafan, dan menangani masalah baitul mal. Sedangkan Hakim Agung yang lain mengurusi peradilan dan fatwa bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya.
Dengan demikian pada masa ini Hakim Agung tidak hanya memiliki tugas memutus perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi memiliki tugas-tugas lain di luar yuridiksinya, bahkan dapat memegang sampai tujuh jabatan sekaligus.
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qur‟an dan al-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara.
Beberapa qadhi yang terkenal pada masa Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1.         Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim (lahir tahun 131 H/731 M, wafat tahun 182 H/789 M) beliau adalah qadhi al-qudha’ Harun al-Rasyid.
2.         Yahya bin Aksam (lahir tahun 159 H/755 M, wafat tahun 242 H/857 M) beliau adalah qadhi al-qudha’ al-Makmun
3.         Ahmad bin Abu Daud (lahir tahun 160 H/777 M, wafat tahun 240 H/854 M) beliau adalah qadhi al-Mu’tashim
4.         Sahnun al-Maliki (lahir tahun 160 H/777 M, wafat tahun 240 H/854 M) beliau adalah qadhi Maghrib
5.         Al-‘Izz bin Abd. Al-Salam (lahir tahun 578 H/1181 M, wafat tahun 660 H/1262 M) beliau adalah qadhi Mesir
6.         Ibnu Khillikaan (lahir tahun 608 H/1211 M, wafat tahun 660 H/1282 M) beliau adalah qadhi Damaskus
7.         Ibnu Daqiqi ‘Ied (lahir tahun 625 H/1228 M, wafat tahun 702 H/1302 M) beliau adalah qadhi Mesir dan Sha’id.
Inilah sebagian dari qadhi-qadhi besar yang banyak mendapat perhatian umum terkenal dalam masyarakat fikih dan dipandang sebagai pembimbing ilmu al-furu’ dalam periode kedua dari Bani Abbasiyah. Di samping qadhi-qadhi yang disebutkan di atas, masih terdapat beberapa orang qadhi yang dikenal pernah menjabat pada masa Abbasiyah, yaitu:
1.         Al-Harits bin Miskin, salah seorang murid keenam Imam Malik sebagai hakim agung di Mesir, yang diangkat oleh Khalifah Al-Mutawakkil ‘Ala Allah (232 H-247 H), menggantikan seorang Hakim Agung bernama Abu Baker bin Al-Laits
2.         Ibnu Abi Syawarib, menjabat sebagai hakim pada masa kekhalifahan al-Mu’taz Billah, Muhammad (252 H-255 H)
3.         Pada masa kekhalifahan al-Qahir Billah, Abu Manshur (320 H-322 H) dikenal beberapa orang hakim, Abu al-Hasan (hakim) Abu Umar, Al-Hasan bin Abdullah, Ibnu Abu al-Syawarib dan Abu Thalib bin al-Bahlul
4.         Abu Al-Hasan Muhammad bin Ummu saibah Al-Hasyimi diangkat sebagai hakim agung pada 363 H, oleh khalifah Al-Muthi’ Lillah, Abu al-Qasim (334 H-363 H)
5.         Al-Syarif Abu Ahmad al-Husain bin Musa al-Musawi pada 394 H, ditugaskan oleh Baha’ al-Daulah (gelar bagi Abu Nashr) untuk menjabat jabatan di pengadilan dalam masalah-masalah haji, tindakan kezaliman dan pengaduan-pengaduan orang yang menuntut, pada masa kekhalifahan Al-Qadir Billah, Abu al-Abbas (381 H-422 H)
6.         Abu Thahir bin al-Karkhi, seorang hakim di wilayah Mushil menjabat pada masa kekhalifahan al-Rasyid Billah (529 H-530 H)
7.         Zakiyuddin al-Thahir seorang hakim agung pada masa kekhalifahan al-Nashir Lidinillah (575 H-622 H)
8.         Syamsuddin Ahmad al-Khuwai diangkat sebagai hakim di Damaskus oleh Khalifah al-Mustanshir  Billah, Abu Ja’far (623 H-640 H), pada 635 H dia adalah hakim pertama yang membangun markas-markas kesaksian di negeri itu.
Dalam catatan sejarah, al-Mansur khalifah Abbasiyah yang mempunyai nama Abu Ja‟far menyuruh pengawalnya membunuh Abu Muslim al-Khurasani dan Sulaiman bin Katsir. Al-Manshur juga menangkap pemimpin-pemimpin kelompok Rawandiyah dan memenjarakan 200 orang pengikut kelompok tersebut.
Masa pemerintahan Khalifah al-Mahdi memutar balik jarum jam, ia memulai pemerintahannya dengan membebaskan semua tahanan kecuali yang dipenjara menurut Undang-undang. Ia juga memerhatikan pengaduan dan penganiayaan. Miswar bin Musawir menceritakan bahwa ia telah dianiaya oleh seorang pegawai al-Mahdi yang merampas kebunnya. Ia mengadukan perkara tersebut kepada al-Mahdi sehingga kebun tersebut dikembalikan kepadanya. Al-Mahdi juga mengembalikan harta-harta yang dirampas oleh ayahnya, al-Mansur, kepada pemiliknya masing-masing sesuai pesan ayahnya sendiri dan membatalkan pemungutan pajak. Al-Mahdi telah mengadili pengaduan, menghentikan pembunuhan, memberi jaminan kepada pihak yang bimbang dan takut, dan membela pihak yang teraniaya. Al-Mahdi mengadili dan menghukum Ya’kub bin Daud (menteri pengganti Abu Abdullah) yang akhirnya dipenjara sepanjang masa pemerintahannya, menghukum Isa bin Musa.
Pada masa pemerintahan al-Ma’mun (813-833 M), putra dari Khalifah Harun al-Rasyid (766-809 M) pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Karena menjadi aliran resmi dari pemerintah, kaum Mu’tazilah mulai bersikap menyiarkan ajaran-ajaran mereka secara paksa, terutama paham mereka bahwa al-qur’an bersifat makhluk dalam arti diciptakan dan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Kaum Mu’tazilah telah mendukung khalifah menentang ahli as-sunnah dan ulama-ulama hadits dalam perkara ini. Masalah ini berlanjut sampai masa pemerintahan al-Mutawakkil. Banyak korban karena masalah ini. Baik yang dibunuh maupun yang dipenjara. Raja Musa bin Jenghis Khan memenjarakan tiga orang yang masih bersaudara dan membebaskannya karena kesaksian yang diberikan oleh seorang wanita. Nama-nama hakim ketika itu adalah Abi laila, Yahya bin Aktsan at-Tamimi, Ahmad bin Abu Daud al-Mu‟tazili, Abu Yusuf, Abu Walid.
Dari uraian di atas beberapa kasus hukum yang terjadi pada masa Abbasiyah tampak sekali khalifah pada masa ini juga menjadi qadhi menyelesaikan permasalah yang ada pada masa kepemimpinannya menjadi khalifah.


1.     Peradilan pada Masa Abbasiyah
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
a.         Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali .
b.         Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik,ekonomi sosial dan kebudayaan.
c.         Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
d.        Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
e.         Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah. Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah. dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi. Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180).
2.     Lembaga Qadhi al-Qudha’
Pada masa Daulah Abbasiyah para hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab empat atau mazhab yang lainnya. Denagan demikian, syarat hakim harus mujtahid sudah diadakan. Kemudian organisasi kehakiman juga mengalami perubahan, antara lain telah diadakan jabata penuntut umum (kejaksan) disamping telah dibentuk instansi diwan qadhi al-qudhah, sebagai berikut:
a.         Diwan Qadhi al-qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi al-qadhah (ketua mahkamah agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-badan yang lain yang ada hukuman dengan kehakiman dibawah diwan qahdi al-qadhah.
b.         Qudhah al-aqaali (hakim provinsi yang mengetahui pengadilan tinggi)
c.         Qudhah al-amsaar (hakim kota yang mengetuai pengadilan negeri; al-qadhah atau al-hisbah)
d.     Al-suthah al-qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibu kota negara dipimpin oleh al-mudda’il ummy (jaksa agung), dan tiap-tiap kota oleh Naib Ummy (jaksa)
3.     Kebijakan Politik Abbasiyah pada Peradilan
a.         Lembaga qadhi al-qudhah (Mahkamah Agung)
b.         Wilayah Hisbah
c.         Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)
d.        Al-Mahkamah Al-Askariyah
e.         Badan Arbitrase
f.          Tempat Persidangan, waktu dan pakain untuk hakim
g.         Muculnya Mazhab-Mazhab
4.     Hakim Termashur pada Masa Abbasiyah
a.         Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim (lahir tahun 131 H/731 M, wafat tahun 182 H/789 M) beliau adalah qadhi al-qudha’ Harun al-Rasyid.
b.         Yahya bin Aksam (lahir tahun 159 H/755 M, wafat tahun 242 H/857 M) beliau adalah qadhi al-qudha’ al-Makmun
c.         Ahmad bin Abu Daud (lahir tahun 160 H/777 M, wafat tahun 240 H/854 M) beliau adalah qadhi al-Mu’tashim
d.        Sahnun al-Maliki (lahir tahun 160 H/777 M, wafat tahun 240 H/854 M) beliau adalah qadhi Maghrib
e.         Al-‘Izz bin Abd. Al-Salam (
f.          Ibnu Khillikaan (lahir tahun lahir tahun 578 H/1181 M, wafat tahun 660 H/1262 M) beliau adalah qadhi Mesir 608 H/1211 M, wafat tahun 660 H/1282 M) beliau adalah qadhi Damaskus
g.         Ibnu Daqiqi ‘Ied (lahir tahun 625 H/1228 M, wafat tahun 702 H/1302 M) beliau adalah qadhi Mesir dan Sha’id.
5.     Contoh Kasus Pada Masa Abbasiyah
Dalam catatan sejarah, al-Mansur khalifah Abbasiyah yang mempunyai nama Abu Ja‟far menyuruh pengawalnya membunuh Abu Muslim al-Khurasani dan Sulaiman bin Katsir. Al-Manshur juga menangkap pemimpin-pemimpin kelompok Rawandiyah dan memenjarakan 200 orang pengikut kelompok tersebut.
 Masa pemerintahan Khalifah al-Mahdi memutar balik jarum jam, ia memulai pemerintahannya dengan membebaskan semua tahanan kecuali yang dipenjara menurut Undang-undang. Ia juga memerhatikan pengaduan dan penganiayaan. Miswar bin Musawir menceritakan bahwa ia telah dianiaya oleh seorang pegawai al-Mahdi yang merampas kebunnya. Ia mengadukan perkara tersebut kepada al-Mahdi sehingga kebun tersebut dikembalikan kepadanya. Al-Mahdi juga mengembalikan harta-harta yang dirampas oleh ayahnya, al-Mansur, kepada pemiliknya masing-masing sesuai pesan ayahnya sendiri dan membatalkan pemungutan pajak. Al-Mahdi telah mengadili pengaduan, menghentikan pembunuhan, memberi jaminan kepada pihak yang bimbang dan takut, dan membela pihak yang teraniaya. Al-Mahdi mengadili dan menghukum Ya’kub bin Daud (menteri pengganti Abu Abdullah) yang akhirnya dipenjara sepanjang masa pemerintahannya, menghukum Isa bin Musa.
Demikianlah makalah ini kami susun, semoga bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan bagi kami khususnya. Dan kami menyarankan bagi para pembaca yang ingin menulis mengenai peradilan pada masa Abbasiyah, hendaknya tidak menjadikan makalah ini sebagai acuhan tunggal, melainkan menggunakan banyak reerensi yang lainnya.
















Koko, Alaidin. 2011. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo, cetakan ke 1.
Nuraviva Siti. 2015. Manajemen Peradilan Islam Di Era Abbasiyah (Studi Komparatif Manajemen Peradilan Islam Masa Islam Klasik). Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Suleman Frangki. 2016. Peradilan Masa Bani  Abbasiyah. Manado: Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 14 No. 1 Tahun 2016 Institut Agama Islam Negeri (IAIN Manado).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020