l AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Sabtu, 30 Maret 2019

DOSEN DOSEN YANG PERNAH MENGAJAR FAKULTAS SYARIAH ANGKATAN PERDANA


اسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Nama-nama dosen yang pernah mengajar fakultas syariah prodi hukum keluarga, dari tahun 2016-2019, sekarang semester 4. Kepada para dosen-dosen dan Dr. Kami mahasiswa As Iaim mengucapkan terima kasih banyak atas ilmu yang di ajarkan...

  1. Husnatul mahmudah, M.hum
  2. Kaharuddin, M.pdi
  3. Sri wahyunti, M.E.i
  4. Muh. Yunan putra, Lc. Hmi
  5. M.Aminullah, M.hum
  6. Syarif hidayatullah, M.hi
  7. Muchlis, M.pdi
  8. Umar, M.pdi
  9. Syamsuddin, S.h, M.h
  10. Dewi masita, M.pdi
  11. Zurah, S.h, M.hi
  12. Fuaddudin, M.pd
  13. Mus Mulyadin, M.pd
  14. Taufik firmanto, S.h, L.l.M
  15. Rafiudin, Mm
  16. Nasarudin, M.pdi
  17. Nurlaela, M.pd
  18. Hendra, M.pd, Psi.
  19. Khairudin, M.a
  20. Sudirman, M.si
  21. Dr. Ridwan, S.h, M.h
  22. Muhammad fitrah, M.hi
  23. Syafrudin, M.pdi
  24. Muhammad ilham M.h
  25. Irwan syafrudin, M.pdi
  26. Wahyudiasyah, M.h
  27. Nurul zuhriyah, M.pd
  28. Jainuddin, M.hum
  29. Yayuk kusumawati, M.pd
  30. Juhriyati, M.h
  31. Muhammad Ilham, M.h


Jika ada kesalahan dalam penulisan nama dan gelar kami mahasiswa fakultas syariah hukum keluarga prodi hukum keluarga meminta maaf yang sebesar besarnya.



Jumat, 29 Maret 2019

Makalah hukuman dalam fiqih jinayah



 MAKALAH

FIQIH JINAYAH
Tentang : HUKUMAN





Di susun oleh :
ahyadin

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah fiqih jinayah”

Dosen pengampu
M. Yunan putra Lc. MHi

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
BIMA
2018

KATA PENGANTAR

            Syukur alhamdullah kami panjatkan Allah SWT Tuhan semesta alam. Tak lupa shalawat serta salam kita haturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW  yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat meyelesaikan makalah ini dengan baik. Aamiin
            Pada kesempatan kali ini akan berusaha mencoba membahas materi Fiqih jinayah yang dimana berisi tentang apa itu Hukuman dalam hukum pidana islam. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
            Makalah ini di sajikan berdasarkan rangkuman dari hasil pengamatan yang bersumber dari berbagai informasi, referensi,  dan berita, Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu saran yang konstruktif sangat kami harapkan.

             




                                                                                    Bima, 06 Maret 2019
                       
Penulis,


  
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
          Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syari’at.
          Adapun tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari “ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat perbuatan-perbutan yang tidak semestinya dilakukan. Contohnya seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, dll. Yang dapat merugikan orang banyak. Dari uraian tersebut terlihat bahwa manusia pada zaman sekarang ahklak dan moralnya kurang terdidik. Perbuatan-perbuatan seperti itu akan merugikan diri sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Hukuman-hukuman yang pantas untuk orang-orang tersebut haruslah yang bisa membuat dia jera dan tidak mau mengulangi kesalahan-kesalah yang diperbuatnya.
B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:
1.        Apa pengertian dari hukuman?
2.        Apa tujuan ditetapkannya hukuman menurut Hukum Pidana Islam?
3.        Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun adalah sebagai berikut:
1.        Untuk mengetahui apa pengertian dari hukuman?
2.        Untuk mengetahui apa tujuan ditetapkannya hukuman menurut Hukum Pidana Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan Dasar Hukuman
          Hukuman atau Hukum Pidana dalam Islam disebut al-‘Uqubaah yang meliputi baik hal-hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.
          A. Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
          Menurut Abdul Qadir Audah, definisi hukuman adalah sebagai berikut, Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.
          Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.
          Hukuman ditetapkan demikian untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dan tertib sosial. Bagi Allah sendiri tidaklah akan memadharatkan kepada-Nya apabila manusia di muka bumi ini melakukan kejahatan dan tidak akan memberi manfaat kepada Allah apabila manusia di muka bumi taat kepada-Nya.
          Hukum itu harus mempunyai dasar, baik dari al-Qur’an, hadis, atau lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan hukuman untuk kasus ta’zir. Selain itu hukuman itu harus bersifat pribadi. Artinya hanya dijatuhkan kepada yang melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa: “Seseorang tidak menanggung dosanya orang lain”.
          Terakhir, hukuman itu harus bersifat umum; maksudnya berlaku bagi semua orang, karena semua manusia sama dihadapan hukum.
B.   Tujuan dan Macam-macam Hukuman
a.       Tujuan Hukuman
          Hukuman diterapkan meskipun tidak disenangi demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat. Dengan demikian, hukuman yang baik adalah:
1)        Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau menurut ibn Hammam dalam Fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).
2)        Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, apabila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman, maka hukuman diperberat. Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan masyarakat menghendaki ringannya hukuman, maka hukumannya diperingan.
3)        Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya, seperti seorang bapak yang memberi pelajaran kepada anaknya, dan seperti seorang dokter yang mengobati pasiennya.
4)        Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh ke dalam suatu maksiat. Sebab dalam konsep Islam seorang manusia akan terjaga dari berbuat jahat apabila:
a)           Memiliki iman yang kokoh seperti dinyatakan dalam hadits Nabi: “Seseorang tidak akan melakukan zina ketika ia beriman”. (HR. Muslim)
b)          Berakhlak mulia, seperti jujur terhadap dirinya dan terhadap orang lain, atau merasa malu bila melakukan maksiat, atau selalu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.
c)           Dengan adanya sanksi duniawi diharapkan mampu menjaga seseorang dari terjatuh ke dalam tindak pidana. Disamping itu harus diusahakan menghilangkan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan dalam masyarakat berdasarkan konsep sadz al-dzariah (upaya menutup jalan dari terjadinya kejahatan).

C.       Macam-macam Hukuman
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidananya.
a)   Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua:
1.    Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya.
2.    Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, saksi palsu, dan melanggar aturan lalu-lintas.
b)    Ditinjau dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman lain, hukuman dapat dibagi menjadi empat:
1. Hukuman pokok (al-‘uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang asal bagi satu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan.
2. Hukuman pengganti (al-‘uqubat al-badaliyah), yaitu hukuman yang menempati tempat hukuman pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti hukuman diyat/denda bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan qishashnya oleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila karena suatu alasan hukum pokok yang berupa had tidak dapat dilaksanakan.
3. Hukuman tambahan (al-‘uqubat al-taba’iyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari harta terbunuh.
4. Hukuman pelengkap (al-‘uqubat al-takmiliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya. Hukuman ini harus berdasarkan keputusan hakim tersendiri. Sedangkan hukuman pengganti tidak memerlukan keputusan hakim tersendiri.
c)       Ditinjau dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, maka hukuman dapat dibagi dua:
1.    Hukuman yang memiliki satu batas tertentu, di mana hakim tidak dapat menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman had.
2.    Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah, dimana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada terdakwa, seperti dalam kasus-kasus maksiat yang diancam dengan ta’zir.
d)      Ditinjau dari sasaran hukum, hukuman dibagi menjadi empat:
1.    Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan kepada badan manusia, seperti hukuman jilid.
2.    Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman mati.
3.    Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti hukuman penjara atau pengasingan.
4.    Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti diyat, denda, dan perampasan.

D.      Gabungan Hukuman
          Para ulama berbeda pendapat mengenai gabungan dan penyerapan hukuman, Imam Malik, misalnya, mengenal teori al-takakhul, yaitu apabila seseorang melakukan jarimah qadzaf dan minum khamr. Sesudah itu, tertangkap. Menurut teori ini, hukumannya cukup satu, yaitu delapan puluh kali jilid. Alasannya, karena jenis dan tujuannya sama. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad, hukuman mati itu menyerap semua jenis hukuman. Demikian pula jika kejahatannya itu berkenaan dengan hak Allah murni. Sedangkan jika kejahatan itu merupakan gabungan antara hak Allah dan hak adami, maka hukuman yang dijatuhkan adalah hak adami dulu, baru hukuman yang berkaitan dengan hak Allah. Menurut Imam Syafi’i, setiap jarimah tidak dapat digabungkan, melainkan harus dijatuhi hukuman satu per satu.
E.       Pelaksanaan Hukuman
          Yang melaksanakan hukuman adalah petugas yang ditunjuk oleh imam untuk melaksanakan hal itu. Sebagian ulama berpendapat bahwa untuk hukuman qishashdapat dilakukan sendiri (keluarga korban) dengan pengawasan imam. Akan tetapi, menurut sebagian ulama yang lain pelaksanaan qishash juga diserahkan kepada petugas yang berpengalaman, sehingga tidak melampaui batas yang telah ditentukan.
          Adapun alat untuk melaksanakan hukuman mati menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad harus menggunakan pedang, berdasarkan hadits: “Tidak ada qishash (hukuman mati) kecuali dengan pedang” (HR al-Bazar dan ibn ‘Adi dari Abu Bukrah).
          Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan sebagian ulama Hanabilah alat untuk melaksanakan qishash harus dengan alat yang sama dengan alat yang digunakan untuk membunuh korban. Allah berfirman: Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukuman qishash. Oleh karena itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa (QS al-Baqarah: 194).
          Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang terbaik bagi orang-orang yang bersabar (QS al-Nahl: 126).
          Para ulama hukum Islam terkemuka dewasa ini membolehkan penggunaan alat selain pedang. Asal lebih cepat mematikan dan lebih meringankan penderitaan terhukum, misalnya dengan menggunakan kursi listrik.
          Hal ini didasarkan pada hadis Nabi: “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan kepada segala sesuatu. Oleh karena itu apabila kamu membunuh (memberi hukuman mati), maka bunuhlah dengan cara yang baik. Dan apabila kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kamu mempertajam mata pedangnya dan meringankan penderitaan binatang yang disembelihnya (HR Muslim dari Saddad bin’Aks).
F.        Syubhat dan Hal-hal Yang Dapat Mempengaruhi Hukuman
Hukuman hapus apabila:
1.             Pelaku meninggal dunia, kecuali untuk hukuman yang berupa denda, diyat, dan perampasan harta.
2.             Hilangnya anggota badan yang harus dikenai hukuman, maka hukumannya berpindah kepada diyat dalam kasus jarimah qishash.
3.             Tobat dalam kasus jarimah hirabah, meskipun Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir bila kemaslahatan umum menghendakinya.
4.             Perdamaian dalam kasus jarimah qishash dan diyat. Dalam hal ini pun Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir bila kemaslahatan umum menghendakinya.
5.             Pemaafan dalam kasus qishash dan diyat serta dalam kasus jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak adami.
6.             Diwarisinya qishash. Dalam hal ini pun Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir, seperti anak membunuh anaknya.
7.             Kadaluwarsa. Menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad di dalam hudud tidak ada kadaluwarsa.
          Sedangkan dalam jarimah ta’zir mereka membolehkan adanya kadaluwarsa bila Ulil Amri menganggap padanya kemaslahatan umum.
          Sedangkan menurut mazhab Hanafi dalam kasus jarimah ta’zir bisa diterima adanya kadaluwarsa. Adapun dalam jarimah qishash, diyat, dan jarimah qadzaf tidak diterima adanya kadaluwarsa.
          Dalam hal ini diterimanya kadaluwarsa dalam jarimah ta’zir, itu bilamana pembuktiannya melalui persaksian dan para saksinya tidak memberikan persaksiannya dalam waktu enam bulan setelah kasus itu terjadi.
          Dari paparan diatas ada kesan yang kuat bahwa di dalam menjatuhkan hukuman, kepentingan korban kejahatan dan kepentingan pelaku kejahatan harus dipertimbangkan secara seimbang. Dengan demikian rasa keadilan masyarakat bisa tercapai. 



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan:
          Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’ guna memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia
          Tujuan Hukuman: 1. Mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau menurut ibn Hammam dalam Fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif); 2. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, apabila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman, maka hukuman diperberat. Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan masyarakat menghendaki ringannya hukuman, maka hukumannya diperingan; 3. Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya, seperti seorang bapak yang memberi pelajaran kepada anaknya, dan seperti seorang dokter yang mengobati pasiennya; 4. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh ke dalam suatu maksiat.
B.       Saran
          Demikian makalah ini yang dapat kami sajikan, kami berharap makalah ini dapat berkembang dengan berjalannya diskusi yang akan dijalankan oleh teman-teman. Kurang lebihnya kami mohon maaf, untuk itu kepada para pembaca mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.



  


DAFTAR PUSTAKA

Abd, al-Aziz. Amir, 1969. Al-Ta’zir fi al-Syariah, Dar al-Fikr al-Arabi: Mesir. cetakan IV.
Abu Ya’la. 1957. Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Mustafa al-Bab al-Halabi: Kairo.
Abu Zahrah. tt. Al-Uqubat, Dar al Fikr al-Arabi: ttp.
Al-Ramli. tt. Nihayah al-Muhtaj, al-Bab al-Halabi: Mesir.
Eldin H. Zainal, 2011. Hukmu pidana islam. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis.
Husnel Anwar Matondang, 2010. Al-islam; Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi,Bandung: Cita Pustaka Media Perintis.
Ibn Abi al-Din (Abidin). 1966. Radd al-Mukhtar ‘ala Dzu al-Mukhtar, Musthafa al-Babal-Halabi: Mesir.
Ibn al-Human. tt. Syarh Fath al-Qadir, ttp.
Ibn Qayyim. 1961. Al-Thuruq al-Hukumiyah fi Siyasah al-Syariyah, Muassasah al-Arabaiyah, ttp.
Mardani, 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah. Jakarta: Sinar Grafika.
Prof. Drs. Djazuli, H.A. 1997. Fiqh Jinayah Edisi 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cet. 2.








Makalah fiqih jinayah





MAKALAH
                     

   FIQIH JINAYAH      
“JINAYAH”

                                                                                              





   Disusun Oleh
Ahyadin

Dosen pengampu
M. Yunan putra Lc. Mhi

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah fiqih jinayah”

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
BIMA
2019



KATA PENGANTAR

          Syukur alhamdullah kami panjatkan Allah SWT Tuhan semesta alam. Tak lupa shalawat serta salam kita haturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW  yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat meyelesaikan makalah ini dengan baik. Aamiin
          Pada kesempatan kali ini akan berusaha mencoba membahas materi Jinayah yang dimana berisi tentang apa itu ilmu jinayah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
          Makalah ini di sajikan berdasarkan rangkuman dari hasil pengamatan yang bersumber dari berbagai informasi, referensi,  dan berita, Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu saran yang konstruktif sangat kami harapkan.
                      




                                                                                                   Bima, 15 Februari 2019

Penulis,


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jinayat dan Jarimah
 Pengertian jinayah secara bahasa adalah
اِسْمٌ لِمَا يَجْنِيْهِ الْمَرْءُ مِنْ شَرٍّ وَمَا اكْتَسَبَهُ
‘’Nama bagi hasil perbuatan bagi seseorang yang buruk dan apa yang di usahakan’’.
Pengertian jinayah secara istilah Fuqaha sebagaimana yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah :
فَالْجِنَا يَةُ اِسْمٌ لِفِعْلٍ مُحَرَّمٌ شَرْعًا,سَوَاءٌ وَقَعَ الْفِعْلُ عَلَى نَفْسٍ أَوْ مَالٍ اَوْ غَيْرُ ذَالِكْ
‘’Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut  mengenai jiwa, harta, atau lainnya’’.[1]
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq adalah:
Yang di maksud dengan jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang.dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda”.[2]
Dalam konteks ini pengertian Jinayah sama dengan jarimah.
Menurut bahasa, jarimah berasal dari kata (جَرَمَ ) yang sinonimnya ( كَسَبَ وَقَطَعَ ) artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha disini khusus untuk usaha yang tidak  baik atau usaha yang di benci oleh manusia.[3]
Menurut istilah, Imam Al Mawardi mengemukakan sebagai berikut :
اَلْجَرَاءِمُ مَحْظُوْرَاتٌ شَرْعِيَّةٌ زَجَرَاللهُ تَعَالَى عَنْهَابِحَدٍّأَوْ تَعْزِيْرٍ
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syara’, yang di ancam dengan hukuman had atau ta’dzir.[4]
Perbuatan yang di larang ( مَحْظُوْرَاتٌ ) adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.sedangkan lafadz syari’ah (شَرِيْعَةٌ ) dalam definisi tersebut mengandung pengertian bahwa suatu perbuatan yang baru di anggap sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara’ dan diancam dengan hukuman. Dengan demikian apabila perbuatan itu tidak ada larangan nya dalam syara’ maka perbuatan tersebut hukumnya mubah sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
اَلْأَصْلُ فِى الْأَ شْيَاءِ الْاءِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَي التَّحْرِيْمِ
‘’Pada dasarnya semua perkara di bolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya’’.[5]

B.  Rukun atau Unsur Jinayah
          Pengertian jinayah yang mengacu paada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan diancam dengan had atau ta’zir telah mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori jinayah adalah berasal dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’. Artinya perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut diancam hukuman.
          Karena larangan tersebut berasal dari syara’, maka larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khitab) dan orang yang mampu memahami pembebanan (taklif) dari syara’ tersebut.
          Makhrus Munajaat, M.Hum (2009) menyatakan bahwa seseorang dikenal hukum jinayah jika memenuhi dua unsur yaitu umum dan khusus. Unsur umu terdiri dari :
1)             Unsur Formal (Ar-Rukn, Al-Syar’i)
          Yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjukkan sebagai jarimah atau dapat juga diartikan adanya ketentuan yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan hukuman ancaman atas perbuatan tersebut. Jarimah tidak akan terjadi sebelum dinyatakan dalam nash. Alasan harus ada unsur ini antara lain firma Allah SWT dalam Q.S Al-ISra : 15 yang mengajarkan bahwa Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum mengutus utusan-Nya. Ajaran ini berisi ketentuan bahwa hukuman akan ditimpahkan kepada mereka yang membangkang ajaran Rasul Allah. Khusus untuk jarimah ta’zir, harus ada peraturan dan undang-undang yang telah dibuat oleh penguasa.
2)             Unsur Material (Ar-Rukh, Al-Madzi)
          Yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan atau adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah baik melakukan perbuatan yang dilarang ataupun melakukan perbuatan yang diharuskan. Hadist Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad SAW atas sesuatu yang msih terkandung dalam hati, selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakan dengan nyata.
3)             Unsur Moral (Al-Rukh, Al-Adabi)
          Yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat jarimah. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitab artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukkalaf atau orang yang telah baligh, sehat akal dan ikhtiar. Sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.
          Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jinayah, jika perbuatan tersebut mempunyai unsur tadi. Tanpa ketiga unsur tersebut suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.
C. Macam-Macam Jinayah
          Para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al-Qur’an atau Al-Hadist, atas dasar ini mereka membagi menjadi 3 macam yaitu :
1)             Jarimah Hudud
          Menurut bahasa adalah menahan (menghukum), sedangkan menurut istilah hudud berarti sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/dipukul (dijiid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tanga sebelah atau kedua-duanya aatau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum. Jarimah Hudud ini dalam beberapa kasus dijelaskan dalam Q.S An-Nur : 2, Q.S Al-Maidah : 33 dan 38 tentang pezinaan, qadzaf (menuduh berbuat zina), meminum khamar, pencurian, perampokan, pemberontakan dan murtad.
2)             Jarimah Qishash/Diyat
          Hukum qishash adalah pembalasan yang setimpal atas pelanggaran yang bersifat pengerusakan badan atau menghilangkan jiwa, seperti dalam firman Allah SWT dalam Q.S Al-Maidah : 45, Q.S Al-Baqarah : 178. Diat adalah denda yang wajib dikeluarkan baik berupa barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukum diat sebab membunuh atau melukai seseorang karena ada pengampunan, keringanan hukuman dan hal lain. Pembunuhan yang terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan tidak sengaja atau pembunuhan karena kesalahan (khoto’). Hal ini dijelaskan dalam Q.S An-Nisa : 92 tentang pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tersalah, pelukan sengaja dan pelukan semi sengaja.
3)             Jarimah Ta’zir
          Hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak ditetapkan hukumannya dala Al-Qur’an dan Hadist yang bentuknya sebagai hukuman ringan. Menurut hukum islam, pelaksanaan hukum ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam. Hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya. Ta’zir ini dibagi menjadi 3 yaitu :
          Jarimah hudud atau qishash/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat namun sudah merupakan maksiat misalnya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga dan pencurian aliran listrik.
          Jarimah-jarimah yang ditentukan Al-Qur’an dan Al-Hadist namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanat dan menghina agama.
          Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini, nilai ajaran islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum. Berdasarkan niat pelakunya, jarimah dibagi mendai 2 yaitu : (1) Jarimah yang disengaja (Al-jarimah, Al-masquddah), (2) Jarima karena kesalahan (Al-jarimah ghayr, Al-maqsuddah/jarima, Al-khata’).
  

            DAFTAR PUSTAKA

Qodir Audah, Abdul. At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, juz 1, Dar Al Kitab Al ‘Araby, Bierut,
Sabiq, Sayid. 1982 Fiqh As-sunnah, juz II, BeirutDar Al Fikr,  cetakan II.
Abu Zahrah, MuhammadAl jarimah wa Al ‘Uqbah fi Al fiqh Al Islamiy, kairoMaktabah Al Angelo Al Mishriyah.
https://chacinggingsolz.blogspot.com/2016/06/jinayah-dan-jarimah-fiqih.html. Diakes tanggal 12 februari 2019.
Ilmu, Sumber. 2017. “MAKALAH FIQH JINAYAH Sumber-sumber hukum pidana islam”, https://acehdroe.blogspot.com/2017/11/makalah-fiqh-jinayah-sumber-sumber.htmlDiakses Tanggal 12 Februari 2019.
  

[1].   Abdul Qodir Audah, At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, juz 1, Dar Al Kitab Al ‘Araby, Bierut, tanpa  tahun, hlm. 67.
             [2]   Sayid Sabiq, Fiqh As-sunnah, juz II, Dar Al Fikr, Beirut, cetakan II. 1982, hlm. 110.
             [3].   Muhammad Abu Zahrah, Al jarimah wa Al ‘Uqbah fi Al fiqh Al Islamiy, Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, kairo, tanpa tahun, hlm. 22.
             [4].   Muhammad Abu Zahrah, Al jarimah wa Al ‘Uqbah fi Al fiqh Al Islamiy, Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, kairo, tanpa tahun, hlm. 22.
[5].  Jalaluddin As Syuyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Dar Al Fikr, tanpa tahun,hlm. 43.
 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020