Tafsir ahkam II
Tentang : Makanan
dan menepati janji
Di susun oleh :
Ahyadin
Semester IV (Empat)
“Makalah
ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai
salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah tafsir ahkam II”
Dosen pengampu
Muh.Yunan Putra, Lc, M.Hi
FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seoarang muslim memandang makanan sebagai sarana untuk mencapai
sesuatu, bukan sebagai tujuan utama. Maka dari itu ia makan untuk menjaga
kesehatan tubuhnya. Yang menjadikannya layak untuk mendapatkan kemuliaan dan
kebahagiaan di akhirat. Ia makan bukan untuk sekedar makan serta bukan karena
nafsunya belaka. Oleh karenanya, sekiranya ia belum lapar, ia tidak makan, maka
ia tidak makan. Ada sebuah hadits rasullah Saw menyebutkan
Kami adalah kaum (orang-orang) yang tidak makan sebelum kami lapar;
dan apabila kami makan, maka tidak sampai kenyang.
Makanan yang
kita konsumsi menyediakan bahan baku dan energi untuk pergrakan sistem didalam
tubuh yang sangat kompleks,pertumbuhan terus menerus,serta perbaikan dalam
regenerasi sel. Setiap hari, tubuh kita sibuk membuang sel-sel yang
telah tua,rusak,ataupun mati,serta dengan se-sel yang baru dan sehat.
Untuk memelihara tubuh agar tetap sehat, kita perlu makan makanan
yang menyediakan energi dari bahan baku sebaik mungkin. Makanan ini kita sebut
sebagai “Makanan Berkhasiat”. Selain itu juga,kita juga perlu menghindari
makanan yang dapat mengganggu proses-proses di atas atau dapat merugikan kita
Janji memang ringan
diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah
mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak
orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah
menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi
janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak
memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji
dengan orang-orang kafir.
Manusia dalam
hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap
kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam
pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan
meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa
meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia
menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak
terpuji yang terdepan adalah menepati janji.
Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan
memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَأَوْفُوا
بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ
تَوْكِيْدِهَا …
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji
dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….”
(An-Nahl: 91)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَأَوْفُوا
بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
“Dan
penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.”
(Al-Isra’: 34)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makanan
Makanan adalah bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan
yang dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dan nutrisi. Makanan
yang di butuhkan manusia biasanya di buat melalui bertani atau berkebun yang
meliputi sumber hewan dan tumbuhan.
Pada umumnya bahan makanan mengandung beberapa unsur atau senyawa
seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, enzim, pigmen, dan
lain-lain. Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan, tanpa makanan makhluk
hidup akan sulit dalam mengerjakan aktivitas sehari-hari. Seperti beribadah,
Makanan dapat membantu manusia dalam mendapatkan energi, dan membantu
pertumbuhan badan dan otak. Setiap makanan mempunyai kandungan gizi yang
berbeda. Protein, karbohidrat, dan lemak adalah satu contoh gizi yang akan di
dapatkan dari makanan. Karbohidrat merupakan sumber tenaga sehari-hari. salah
satu contoh makanan yang mengandung karbohidrat adalah nasi. Protein di gunakan oleh tubuh
untuk membantu pertumbuhan baik otak maupun tubuh. lemak digunakan sebagai
cadangan makanan dan cadangan energi. lemak digunakan saat tubuh
kekurangan karbohidrat, dan lemak akan memecah menjadi glukosa yang sangat
berguna bagi tubuh saat membutuhkan energy. Dapat di pastikan bahwa setiap
Negara memmpunyai makanan khas masing-masing.[1]
B.
Ayat-ayat
yang membicarakan tentang makanan dan menepati janji
a.
Tentang
makanan
1.
Al-baqarah
2:35, 57, 58, 61, 168, 172, 173, 259.
2.
Maryam
:37, 93
3.
An-nisa
4:160
4.
Al-maidah
5:4, 5, 42, 66, 75, 89, 95, 96.
5.
Al-anfal
8:69
6.
Yusuf :37, 59, 70, 72
7.
Al-kahfi
18:19, 62
8.
Taha
20:18
9.
Al-anbiya
:8
10.
Al-mu’minun
:52
11.
Al-furqan
:7, 20
12.
Al-qasas
:24
13.
Al-ahzab
:53
14.
As-saffat
:62
15.
Fussilat
:10
16.
Ad-dukhan
:44
17.
Al-haqqah
:36
18.
Al
muzzamil :13
19.
Al-insan
:8, 9
20.
Abasa
: 24
21.
Al-ghasyiyah
:6
22.
Quraisy
: 4
b.
Tentang
menepati janji
1.
Al-baqarah
2:177
2.
Ali
‘imran 3:76
3.
Al-aidah
5:1, 7, 9, 12
4.
At-taubah
:8, 111
5.
Al
ahzab :23
6.
Al-fath
:10
C.
Adab-adab
makan
1.
Berdo’alah
sebelum memulai makan dan apabila lupa maka bacalah do’a yang telah di
perintahkan oleh rasulullah SAW.
2.
Makan
hendaknya jangan berlebihan, yakni secukupnya, tidak terlalu kenyang dan tidak
pula masih dalam keadaan lapar saat selesai makan.
3.
Hendaknya
makan bersama-sama atau berjama’ah maka akan diberi berkah.
4.
Hendaknya
makan dengan tangan kanan dan tidak mengambil makanan yang jauh jaraknya dari
hadapan kita.
5.
Saat
berada di suatu pesta atau acara yang ada jamuan makanannya, janganlah kita
makan sebelum di izinkan oleh tuan rumah.
6.
Memulai
makan dari pinggir piring atau nampan tempat makan.
7.
Rasulullah
SAW menyukai makan labu.
8.
Sunnah
memakan kurma segar bersama qitstsa (sejenis mentimun).
9.
Sunnah
memakan kurma ‘ajwah tujuh butir setiap hari.
10.
Hendaknya
makan dan minum dengan tangan kanan karena syaitan makan minum dengan tangan
kirinya.
11.
Hendaknya
mengajak orang lain untuk ikut makan bila makanan mencukupi.
12.
Makanlah
makanan yang halal.
13.
Jangan
berlebih-lebihan saat makan, karena Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.
14.
Biasakan
untuk memberikan makanan kepada orang yang kelaparan, seperti mereka yang suka
meminta-minta atau semacamnya, semoga Allah menjadikannya amal ibadah buat kita.
15.
Mengajak
pembantu yang memasakkan makanan untuk makan bersama dengan tuan atau
majikannya.
16.
Jangan
mencela makanan tapi pujilah makanan.
17.
Makanlah dengan tiga jari.
18.
Jangan
meniup makanan dan minuman meski dalam keadaan makanan dan minuman itu panas.[2]
19.
Menjilati
jari setelah selesai makan, karena kita tidak tahu makanan mana yang ada
berkahnya.
20.
Perhatikan
pula tentang kebersihan makanan yang
akan kita makan.
21.
Jangan
makan sambil bersandar.
22.
Jangan
makan dari wadah emas dan perak.
23.
Jangan
makan dalam posisi tertelungkup.
24.
Do’a
sesudah makan.
25.
Sesudah
makan hendaknya mencuci tangan sampai bersih yakni sampai hilang bau makanan di
tangannya.
26.
Dan
hal lain yang mesti kita perhatikan setelah makan adalah, bersiwak, atau
berkumur-kumur untuk menghilangkan bau makanan di mulut
27.
Bila
makanan sangat panas maka hendaknya di dinginkan terlebih dahulu, karena itu
lebih besar berkahnya.[3]
D.
Keutamaan
makanan yang halal
1.
Rasullah
Saw. Barangsiapa memakan makanan yang halal selama empat puluh hari, maka Allah
menerangi Hatinya dan mengalirkan sumber-sumber hikmah dari hati kelidahnya”
2.
Diriwayatkan
bahwa sa’ad meminta kepada Allah untuk memohon kepada Allah Swt agar dia
mengabulkan doa-doanya. Maka rasulullah Saw bersabda: “baguskanlah makanmu,
maka terkabul doa-doamu”.
3.
Rasullah
Saw bersabda “barang siapa membeli sebuah pakaian seharga sepuluh dirham dan
didalamnya terdapat satu dirham yang diperoleh dengan cara yang haram, maka
Allah tidak akan menerima sholatnya selama yang haram itu ada padanya”.
4.
Rasullah
saw berasbda “setiap daging tumbuh dari makanan yang haram maka api neraka
lebih pantas untuknya”,
5.
Rasulullah
Saw bersabda “ibadah itu sepuluh bagian. Yang sembilan diantaranya dalam mencari
rezeki yang halal”.
6.
Ibnu
abbas ra berkata “Allah tidak akan menerima sholat seseorang yang didalam
perutnya terdapat makanan yang haram.[4]
E.
Tafsir
ayat al-qur’an tentang makanan dan menepati janji
a.
Tafsir
Syaikh Abdurrahman bin nashir as’di tengtang makanan surah Al-baqarah ayat
172-173
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172)
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَا
أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا
إِثْمَ عَلَيْهِ ,إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيْمٌ (173){
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang
baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya saja kalian menyembah. Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya), sedangkan ia tidak (dalam keadaan) menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.s Al-baqarah 2:172-173).
Ayat ini adalah perintah kepada kaum muslimin secara khusus setelah
perintah kepada manusia umumnya, yang demikian itu karena pada dasarnya
merekalah yang mengambil manfaat dari perintah-perintah dan larangan-larangan,
disebabkan keimanan mereka, perintah Allah untuk makan hal-hal yang baik dari
rizki dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-nikmat tersebut yang dapat
menyampaikan kepada hakikat syukur. Maka
Allah memerintahkan kepada mereka apa
yang diperintahkan kepada para nabi dalam firmannya,
يَأَّ
يُّهَا اْلرُّسُوْلٌ كٌلوُاْ منَ اْطَّيِّبَتِ وَا عْمَلُوْاصَلِحًا
“Hai
rasul-rasul makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal sholeh”. (Al-mu’minun :51)
Bersyukur dalam ayat ini adalah beramal yang sholeh. Disini Allah
tidak berkata yang halal, karena seseorang mukmin itu Allah bolehkan baginya
hal-hal yang baik dari rizki yang terlepas dari akibat buruk, dan juga karena
keimanan seorang mukmin itu menghalangi drirnya dari menikmati apa yang bukan miliknya. Dan firmannya {اِنْ
كُنْتُمْ إِيَّاُه تَعْبُدوْنَ} “jika benar-benar kepadaNya kamu
menyembah” maknanya maka bersyukurlah kepadanya. Hal ini menunjukan bahwa
barangsiapa yang tidak bersyukur kepada Allah berarti ia tidak menyembah
semata-mata kepadaNya, sebagaiman orang yang bersyukur kepadanya, berarti ia
telah beribadah kepadaNya dan menunaikan apa yang telah diperintahkan. Ayat ini
juga menunjukan bahwa memakan hal-hal yang baik adalah penyebab amal shalih dan
diterimanya amal tersebut.
Allah memerintahkan untuk bersyukur setelah mendapatkan kenikmatan,
karena dengan bersyukur akan memelihara kenikmatan yang ada tersebut, dan akan
memunculkan kenikmatan yang sebelumnya tidak ada , sebagaimana sikap kufur
nikmt akan menjauhkan kenikmatan yang tidak ada dan menghilangkan kenikmatan
yang telah ada.[5]
Ayat-ayat 173, dan ketika Allah menyebutkan bolehnya hal-hal baik, dia juga sebutkan haramnya hal-hal yang
kotor (keji), melalui firmannya, {..............} “Allah hanya mengharamkan
bagimu bangkai”. Yaitu binatang yang mati hanya disembelih secara syar’i,
karena bangkai itu kotor lagi berbahaya, karena kejelekan dzatnya, dan karena
mayoritas bangkai itu adalah dari penyakit, sehingga menambah penyakitnya,
namun pembuat syariat mengecualikan dari keumuman tersebut, bangkai belalang
dan ikan, karena kedua bangkai itu halal lagi baik. Juga,{............}“darah” yaitu yang mengalir (mengucur) sebagaimana
yang telah dibatasi oleh ayat yang lain,{..........}“dan binatang yang
ketika disembelih disebutkan nama selain Allah” yakni disembelih untuk selain
Allah seperti hewan yang disembelih untuk patung berhala dari batu, kuburan,
dan sebagainya. Hal-hal yang telah disebutkan di atas tidak membatasi bagi
hal-hal yang diharamkan . hal-hal tersebut disebutkan dalam ayat ini hanya untuk menjelaskan jenis dari
hal-hal yang kotor tersebut di maksudkan dari pemahaman terbalik dalam
firmannya,{.........}“hal-hal yang baik” keumuman apa- apa yang
diharamkan dapat dipahami dari ayat terdahulu dari firmanNya,{........ }“halal
lagi baik” sebagaimana yang telah berlalu. Sesungguhnya hal-hal yang kotor
itu atau yang semacamnya diharamkan
untuk kita, sebagai bentuk kasih sayangNya kepada kita dan pemeliharaan
diri dari hal-hal yang berbahaya.[6]
Walaupun demikian,{ فَمَن اضْطُرَّ }“barang
siapa dalam keadaan terpaksa memakannya” maksudnya terpaksa beralih kepada yang
haram karena lapar dan tidak punya apa-apa, atau dipaksa,{ غَيْرَ بَاغٍ }“sedang dia tidak menginginkannya”, yakni tidak mencari yang haram padahal dia mampu mendapatkan yang
halal atau karena tidak adanya rasa lapar,{ وَلا عَادٍ }“dan
tidak pula melampaui batas”, yakni kelewat batas dalam menikmati apa yang
telah diharamkan tersebut karena keterpaksaan tadi, maka barang siapa yang
terpaksa dan ia tidak mampu mendapatkan yang halal dan ia makan menurut batas
kebutuhan mendasar saja dan tidak lebih dari itu{ فَلا
إِثْمَ }“maka
tidak ada dosa”, yakni kesalahan {عَلَيْهِ}“baginya”,
dan apabila dosa telah dihilangkan, maka perkara itu kembali kepada asal-muasalnya.
Dan manusia dalam kondisi seperti ini diperintahkan untuk makan, bahkan ia
dilarang untuk mencelakakan drinya atu
membunuh dirinya, maka wajiblah atasnya untuk makan, bahkan ia berdosa jika
tidak makan hingga ia meninggal, yang akhirnya dia telah membunuh dirinya
sendiri. Pembolehan dan keringanan ini adalah rahmat dari Allah terhadap
hamba-hambanya. Oleh karena itu Allah
menutup ayat ini dengan dua namaNya yang mulia lagi sangat sesuai tersebut,
seraya berfirman { إِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ }“sesungguhnya
Allah maha pengampun lagi maha penyayang”
Ketika kehalalan itu di syaratkan dengan dua hal tersebut dan
manusia dalam kondisi seprti ini kemungkinan tidak mengerahkan segala upayanya
dalam merealisasikannya, maka
rmenggambarkan bahwasannya dia adalah maha pengampun , dia akan
mengampuninya dari kesalahan yang terjadi dalam kondisi seperti ini khususnya,
yang sesungghnya keterpaksaan itu telah
mendesaknya dan kesulitan itu telah menghilangkan segalah perasaannya.
اَلضَّرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“kedaruratan
membolehkan hal-hal yang diharamkan’’
Setiap hal yang telah di haramkan sedang manusia sangat membutuhkan
nya (karena darurat), maka hal itu telah di bolehkan oleh zat yang maha
memiliki lagi maha penyayang, karena itu segala pujian hanya baginya dan rasa syukur yang pertama dan yang terakhir,
yang lahir maupun yang bathin.[7]
a. Tafsir al-
misbah M. Quraish Shihab tentang makanan surah al-baqarah
ayat 172-173
}يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا
لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (173){
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang
baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya saja kalian menyembah.Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.s Al-baqarah 2:172-173).
kesadaran iman yang bersemi di hati mereka,
menjadikan ajakan Allah kepaada orang-orang beriman sedikit berbeda dengan
ajakan nya kepada seluruh manusia. Bagi orang-orang mukmin, tidak lagi di sebut
kata halal, sebagaimana yang di sebut pada ayat 168 yang lalu, karena keimanan
yang bersemi di dalam hati merupakan jaminan kejauhan mereka dari yang tidak
halal. Mereka disini bahkan di
perintah untuk di sertai dengan dorongan kuat yang tercermin penutup ayat 172
ini, yaitu bersyukurlah pada Allah, jika benar-benar hanya kepadanya kamu
menyembah.
Syukur adalah
mengakui dengan tulus bahwa anugrah yang di peroleh samata-mata bersumber dari
Allah sambil menggunakannya sesuai tujuan penganugrahnya, atau menempatkannya
pada tempat yang semestinya.
Setelah menekankan perlunya makan makanan yang baik-baik, di
jelaskannya makanan yang buruk, dalam bentuk redaksi yang mengesankan bahwa
hanya yang di sebut itu yang terlarang, walau pada hakikatnya tidak demikian.[8]
“Yang di maksud bangkai”
adalah binatang yang berhembus nyawahnya tidak melalui cara yang sah, seperti
yang mati tercikik, dipukul, jatuh, di tanduk, dan di terkam binatang buas,
namun tidak sempat di sembelih, dan [yang di sembelih untuk berhala], di
kecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air (ikan dan sebagainya)
dan belalang.
Binatang yang mati karena faktor ketuaan atau mati karena terjangkit
peyakit pada dasarnya mati karena zat beracun sehingga bila di konsumsi
manusia, sangat mungkin mengakiabatkan keracunan. Demikian juga binatang karena
tercekik dan di pukul, darahnya mengendap di dalan tubuhnya. Ini mengidap zat
beracun yang membayahakan manusia.
Darah, yakni darah
yang mengalir bukan yang subtansi asalnya mebeku seprti lipah dan hati. Daging
babi, yakni seluruh tubuh babi, termasuk tulang, lemak, dan kulitnya.
Binatang yang ketika di sembeliah di sebut nama selain Allah, artinya bahwa binatang semacam itu baru haram di makan bila di
sembelih dalam keaadaan selain nama Allah, adapun bila tidak di sebut nama nya,
maka binatang halal yang do sembelih demikain, masih dapat di toleransi untuk
di makan.
Kasih sayang Allah melimpah pada makhluk, karena itu dia selalu
menghendaki kemudahan buat maunusia. Dia tidak menempatkan sesuatu yang
menyulitkan mereka, dan karena itu pula larangan diatas di kecualikan oleh
bunyi kelanjutan ayat; tetapi barang siapa dalam keadaaan terpaksa memakannya
sedang ia tidak mengingikannya dan tidak pula melamapaui batas maka tidak ada
dosa baginya[9].
Keaadaan terpaksa
adalah keadaan yang di duga dapat di mengakibatkan kematian, sedang tidak
mengingikannya adalah tidak memakannya padahal ada makanan halal yangdapat dia
makan, tidak pula memakannya mememnuhinya keinganan seleranya. Sedang yang
di maksud dengan tidak melampaui batas adalah tidak memakanya dalam kadar
yang melebihi kebutuhan menutupi rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaaan
terpaksa dengan ketetuan demikian di tetapkan Allah, sesungghnya Allah maha
pengampun lagi maha penyayang.
Penutup ayat ini juga dipahami juga sementara ulama sebagai isyarat
bahwa keadaan darurat tidak dialami seseorang kecuali akibat dosa yang
dilakukannya, yang di pahami dari kata maha pengampun. Keputusan yang
mengatur seseorang merasa jiwanya terancam tidak akan menyentuh hati seorang
mukmin, sehingga dia akan bertahan dan bertahan sampai datangnya jalan keluar
dan pertolongan Allah. Bukankah Allah telah menganugerahkan kemampuan kepada
manusia untuk tidak menyentuh makanan, melalui ketahanan yang dimilikinya juga
lemak, daging, dan tulang yang membungkus badanya?
Penjelasan tentang makanan-makanan yang diharamkan diatas,
dikemukakakan dalam konteks mencela masysrakat jahiliyah, baik di mekah maupun
di madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang
mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya
oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut sendiri nyawanya oleh
Allah?
Penjelasan tentang keburukan ini dilanjutkan dengan uraian ulang
tentang mereka yang menyembunyikan kebenaran, baik menyangkut kebenaran Nabi
Muhammad, urusan kiblat, haji, dan umrah, maupun menyembunyikan atau akan
menyembunyikan tuntunan Allah menyangkut makanan. Orang-orang yahudi misalnya,
menghalalkan hasil suap, orang-orang nasrani membenarkan sedikit minuman keras,
kendati dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari mereka yang meminumnya
dengan banyak.[10]
C.
Pengertian
Janji
Janji menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan
dan kesanggupan untuk berbuat. Pengertian lain menyebutkan, bahwa yang
disebut dengan janji adalah pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu
ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi.
Menepati janji berarti berusaha untuk
memenuhi semua yang telah dijanjikan kepada orang lain di masa yang akan
datang. Orang yang menepati janji orang yang dapat memenuhi semua yang
dijanjikannya. Lawan dari menepati janji adalah ingkar janji. Menepati janji
merupakan salah satu sifat terpuji yang menunjukkan keluhuran budi manusia
sekaligus menjdi hiasan yang dapat mengantarkannya mencapai kesuksesan dari
upaya yang dilakukan.[11]
Ø Al Qur’an, menggunakan tiga istilah yang maknanya berjanji, yaitu :
1.
Wa
’ada. Contohnya : Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar
2.
Ahada.
Contohnya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan jan- jinya (Q.S.Al: Mu’minun :8 ).
3.
Aqada.
Contohnya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Aqad (perjanjian) di sini mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan
perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Selanjutnya, janji dalam Arti ’aqad/’aqada menurut Abdullah bin
Ubaidah ada 5 macam :
1.
‘aqad
iman / kepercayaan yang biasa disebut ‘aqidah.
2.
‘aqad
nikah
3.
‘aqad
jual beli
4.
‘aqad
dalam arti perjanjian umuni
5.
‘aqad
sumpah.
وَأَوْفُوا
بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai
pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
إِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ, وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ, وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ :آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ
“Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta,
apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim,
Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu).[12]
D.
Hukum
Ingkar Janji
Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara,
jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya
untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya menepatijanji adalah
barometer yang dengannya diketahui orang yang baik dari yang jelek, dan orang
yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)
Al-Qur`an sangat memperhatikan masalah janji dan memberi
dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah SWT. berfirman dalam
Surat An-Nahl ayat 91, yang artinya:
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….”( Surat An-Nahl ayat 91)
Allah SWT. juga berfirman dalam Surat Al-Isra' ayat 34, yang
artinya: “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti
dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
Allah SWT.
memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan
melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada
Allah SWT., janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya
sendiri seperti nadzar.
Ingkar janji adalah akhlak Iblis dan para munafikin. Seruan ini
mungkin bisa didengar, tetapi bagaimana dengan orang yang telah mati hatinya
dan dikuasai oleh setan? Apakah mereka mau dan mampu mendengar?
Ingkar janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama Islam,
meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau tidak, kita
telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka perangai yang
tercela.
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: “Kedustaan tidak dibolehkan
baik serius atau main-main, dan tidak boleh salah seorang kalian menjanjikan
anaknya dengan sesuatu lalu tidak menepatinya.” (Shahih Al-Adabul
Mufrad no. 300)
Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi,
menjelaskan, bahwa Nabi SAW. bersabda (yang artinya): “Jagalah
enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah bila
berbicara, tepatilah jika berjanji tunaikanlah apabila kalian diberi
amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan
kalian (dari sesuatu yang dilarang).”
Semua orang
tidak akan suka kepada orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan
dijauhi di tengah-tengah masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka.
Allah berfirman dalam Surat Al-Anfal Ayat 55-56, yang artinya: “Sesungguhnya
binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, karena
mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil
perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada
setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).[13]
E.
Keutamaan
dan Keistimewaan menepati janji
1.
Memenuhi
janji termasuk sifat orang-orang bertakwa sekaligus sebab utama dalam menggapai
ketakwaan(Q.s Ali-imran : 76)
2.
Orang
yang menepati janji, akan terbebas dari tuntutan baik dunia maupun di akhirat.
Setiap janji akan diminta pertanggungjawabannya.(Q.s Al-isra’ : 34)
3.
Orang
menepati janji, akan terhindar dari sifat munafik, sebab, perilaku orang yang
munafik salah satunya adalah ingkar janji.
4.
Orang
menepati janji akan meneladani sifat Allah SWT, yang tidak mengingkari
janji-Nya, (Q.s Ar-rum : 6)
5.
Orang
yang menepati janji dapat menjadi jalan untuk masuk surga firdaus. Surga
firdaus ini hanya diperintukan bagi orang yang memiliki sifat-sifat baik, (Q.s
Al-mukminun : 8)
6.
Orang
yang menepati janji akan dipercaya orang lain. Kepercayaan adalah modal utama
dalam meraih kebaikan dunia maupun di akhirat. Salah stu sifat Nabi SAW. Yang
mengantarkannya dipilih oleh Allah menjadi Nabi dan rasul-Nya adalah karena ia
orang yang dipercaya.
7.
Orang
yang menepati janji akan digolongkan menjadi golongan Nabi muhammad Saw.
8.
Orang
yang menepati janji akan terhindar dari dosa besar dan akan meraih keutamaan.
Mengingkari janji antara sesama muslim hukumnya haram, sekalipun terhadap orang
kafir, lebih-ebih terhadap sesama muslim jadi, memenuhi janji termasuk
keutamaan, sedangkan mengingkarinya dosa besar.
9.
Orang
yang menepati janji akan digolongkan termasuk orang yang berakal.(Q.s Ar-ra’d :
19-20).
10.
Menepati
janji akan terjalinnya antar individu ke harmaonisan yang semakin erat.
Menepati janji merupakan wujud dari memuliakan, menghargai, dan menghormati
manusia.[14]
F.
Tafsir
ayat tentang Menepati janji al-baqarah ayat 177 dan al-maidah ayat 1
a.
Tafsir
Syaikh abdurrahman bin nashir as-sa’di surah al-baqarah ayat: 177
لَيْسَ
الْبِرَّاَنْ تُوَ لُّوْا وُجُوْ هَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ
الْبَرَّ مَنْ اَمَنَ بِا للهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ وَالْمَلَئِكَةِ وَالْكِتَبِ
وَالنَّبِيِّنَ, وَاَتَي الْمَا لَ عَلَى حُبِّهِ ذَ وِى الْقُرْ بَيْ وَالْيَتَمَى
وَالْمَسَكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ, وَالسَّا ئِلِيْنَ وَفِى الرِّ قَابِ, وَاَقَامَ
الصَّلَوتَي الزَّكَوْتَ, وَالْمُفٌوْنَ بِاَهْدِهِمْ اِذض عَاهَدُوا, وَالصَّبِرِ
يْنَ فِى الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَاءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِ, أُولَئِكَ الَّذِيْنَ صَدَقُواوَالُئِكَ
هُمُ الْمُتَّقُوْنَ. { 177}
Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.( surah al-baqarah ayat: 177)
Allah berfirman, “bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan”, maksudnya, hal itu bukanlah suatu kebajikan
yang dimaksudkan dari hamba sehingga banyaknya pembahasan dan perdebatan tentunya
adalah merupakan usaha yang melelahkan yang tidak menghasilkan kecuali
perpecahan dan perselisihan. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah.[15]
“Bukankan orang yang perkasa itu adalah dengan perkelahian, akan
tetapi orang yang perkasa itu adalah orang yang mampu menahan dirinya marah,”
[16]
“Dan orang-orang yang menepati janjinya bila berjanji.” Janji adalah komitmen terhadap apa yang telah diwajibkan oleh
hamba itu sendiri, maka termasuk dalam hal itu adalah seluruh hak-hak Allah,
karena Allah telah mewajibkan semuanya atas hamba-hambanya dan mereka berkomitmen
terhadapnya, di mana mereka masuk dalam janji tersebut dan wajib atas mereka
untuk menunaikannya, dan juga hak-hak hamba telah diwajibkan oleh Allah atas
mereka dan hak-hak yang telah diwajibakan oleh seorang hamba sendiri, seperti
sumpah dan nadzar atau semacamnya.[17]
b. Tafsir al-
misbah M. Quraish Shihab tentang menepati
janji surah al-Maidah ayat 1
يَاَ يُّهَا اْلًّذِ يْنَ اَمَنوْا
اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ, اُهِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ اِلْاَنْعَامِ اِلَّامَا يُتْلَى
عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌ, اِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَا
يُرِيْدُ{1}
Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan disebutkan kepadamu.
(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram
(haji dan umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.( Q.s al-Maidah : 1)
Surah an-nisa’ mencakup sekian banyak ayat yang mengandung uraian
tentang akad, baik secara tegas maupun tersirat. yang tegas antara lain akad
nikah dan shidaq (mahar), serta akad perjanjian keamanan dan kerja sama yang
tersirat antara lain akad wasiat, wadi’ah (titipan), wakalah (perwakilan) dan
lain-lain. Maka sangat wajar jika awal ayat pada surat al- maidah ini memulai
pesannya kepada kaum beriman agar memenuhi semua akad perjanjian yang tersurat
dan yang tersirat yang di kandung oleh surat yang lalu.[18]
Al-biqa’i mengemukakan hubungan yang lebih rinci. Menurutnya, pada
akhir surat yang lalu (Q.S. An- nisa’ [4]; 160), telah di uraiakan bahwa orang-orang
yahudi melakukan kedzoliman dengan mengabaikan perjanjian mereka itu kepada
Allah, telah di jatuhi sanksi, yakni berupa di haramkannya atas mereka aneka
makanan yang baik-baik yang telah di halalkan bagi mereka, yakni yang di
jelaskan dalam Q.S Al-an’am [6]; 145.
Dalam surat An-nisa, Allah melanjutkan kecamannya kepada ahli Al- kitab dan
mengakhirinya dengan uraian tentang warisan serta keharusan memenuhi perjanjian
dan ketetapan-ketetapan Allah yang maha mengetahui. Dari sini sangat wajar dan
amat sesuai bila surat ini di mulai dengan tuntunan kepada orang beriman untuk
memenuhi akad dan ketentuan yang ada sambil mengingatkan nikmatnya menyangkut
di halalkannya binatang ternak buat mereka. Allah memulai tuntunannya ini
dengan menyeru; hai orang- orang yang beriman, untuk menbuktikan
kebenaran imannya kalian, penuhilah akad-akad itu, yakni baik akad
antara kamu dengan Allah yang terjalin melalui pengakuan kamu dengan beriman
kepada Nabinya atau melalui nalar yang di anugrahkannya kepada kamu, demikain
juga perjanjian yang terjalin antara kamu dengan sesama manusia, bahkan
perjanjian antara kamu dengan diri kamu sendiri. Bahkan semua perjanjian,
selama tidak mengandung pengharam yang halal atau penghalallan yang haram.[19]
Salah satu akad yang perlu kamu
adalah bahwa telah di halalkan bagi kamu apa yang sebelum ini di
haramkan atas Ahli Al-kitab yaitu binatang ternak itu, kecuali atau tetapi
yang di bacakan pada kamu dalam Al-quran surat Al- an’am dan ayat ketiga surat
ini serta yang terdapat dalam sunnah yang shohih, maka itu adalah haram, antara
lain sabda Rasulullah. Yang mengharamkan semua binatang yang bertaring. Yang
demikian itu, dengan tidak menghalalkan, baik dengan melakukan maupun sekedar
meyakini kehalalan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan buruang, yakni
berihram untuk melaksanakan haji, umrah atau memasuki tanah haram. Sesungguhnya
Allah menetapkan bukum- bukum halal atau haram. Boleh atau tidak menurut
yang dia kehendaki, dan berdasar pengetahuan dan hikmahnya. Karena itu penuhilah
ketentuan-ketentuanNya. Berusalah mengetahui latar belakangnya. Bila kamu
menemukan hikmah dan rahasianya maka bersyukurlah dan bila tidak atau belum
kamu temukan, maka laksanakanlah dengan penuh ketaatan dan rendah hati.[20]
Ayat-ayat yang di mulai dengan panggilan (ya ayyuha alladzina
amanu) adalah ayat-ayat yang turun di mekah. Panggilan semacam ini bukan
saja panggilan mesra, tetapi juga di
maksudkan agar yang di ajak mempersiapkan diri melaksanan kandungan ajakan.
Dalam konteks ini di riwayatkan bahwa sahabat nabi ibnu mas’ud berkata; “jika
ada panggilan ilahi ya ayyuha alldzina amanu. Maka siapkan lah dengan baik
pendengaranmu karena sesungguhnya ada kebaikan yang dia perintahkan atau
keburukan yang dia larang”.
Kata (Al-aqud) “adalah jama’(“aqad) atau akad yang
pada mulanya mengikat suatu dengan suatu sehingga tidak menjadi dan tidak
berpisah dengannya. jual beli misalnya adalah salah satu bentuk akad, yang
menjadikan barang yang di beli menjadi milik pembelinya, dia dapat melakukuan
apa saja dengan barang itu dan pemiliknya semula yakni penjualnya. Yakni penjualnya
dengan akad jaul beli tidak lagi memiliki wewenang sedikit pun atas barang yang
telah di jualnya. Demikian juga dengan akad pernikahan, yang denganya wanita
dan pria terikat dengan ketentuan-ketentuan, sehingga pria dapat berhubunga
seks dengannya. Dan wanita yang di
nikahinya terikat pula sehingga tidak boleh menikahi pria lain, kecuali bila
ikatan itu di lepaskan lantaran satu dan lain sebab.
Kata (auwfu) sebagaimana penulis kemukakan ketika menafsirkan Q.S
An-nisa’ [4]; 173, pada mulanya berati memberikan sesuatu dengan sempurna,
dalam arti melebihi kadar Yang seharusnya. Menurut thahir ibnu ‘asyur, ketika
turunnya Al-Qur’an masyarakat mendapatkan kesulitan dalam menetapkan ukuran
yang adil karena kurangnya timbangan di kalangan mereka. Biasanya untuk memberi
rasa puas menyangkut kesempurnaan timbangan, mereka melebihkan dari kadar yang
di anggap adil dan seimbang.
Perintah ayat ini menunjukkan betapa Al- Qur’an sangat menekankan perlunya memenuhi akad
dalam segala bentuk dan maknanya dengan penuhan sempurna, kalau perlu
melebihkan dari yang seharusnya, serta mengecam mereka yang meyia-nyiakannya.
Ini karena rasa aman dan bahagia manusia secara pribadi atau kolektif tidak
dapat di penuhi, kecuali bila mereka memenuhi ikatan- ikatan perjanjian yang
mereka jalin. Sedemikian tegas Al-Qur’an dalam kewajiban memenuhi akad hingga
setiap muslim di wajibkan memenuhinya walaupun hal tersebut merugikannya. Ini
kalau di benarkan melepaskan ikatan perjanjian maka rasa aman masyarakat akan
terusik. Kerugian akibat kewajiban seseorang memenuhi perjanjian terpaksa di
tetapkan memelihara rasa aman dan ketenanagan seluruh anggota masyarakat dan
memang kepentingan umum harus dahulukan atas kepentingan perorangan.[21]
Yang di maksud dengan (al-an’am) dalam ayat ini adalah unta,
sapi dan kambing. Makna tersebut
kemudian di perluaskan sehingga mencakup semua binatang atau burung dan
unggas yang memakan tumbuh-tumbuhan dan tidak ada keterangan agama yang
mengharamkannya. Ada juga ulama yang membatasi kata ini dalam pengertian “segala
binatang darat dan laut yang berkaki empat.” Ada juga yang berpendapat
bahwa yang di maksud dengan bahimat al-an’am adalah janin yang telah
mati dan keluar atau di keluarkan dari perut binatang yang telah di sembelih
secara sah. Ini, menurt al- Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani, adalah
pendapat Imam Syafi’i.
Allah mengharamkan berburu bagi yang sedang dalam keadaan berihram,
karena kota Mekah dan sekitar nya adalah kota yang dikehendaki Nya menjadi kota
yang aman dan tentram, bukan saja bagi manusia, tetapi bagi seluruh makhluk,
baik bintang maupun tumbuh-tumbuhan. Di sisi lain, Allah mengarahkan manusia
agar selama berihram, hendaknya hati dan pikiran tertuju sepenuhnya kepada
Allah.
Yang dimaksud dengan larangan berburu adalah larangan menangkap
binatang yang tidak jinak, baik dengan tangan atau alat, seperti tali, jala,
tombak, panah, dan lain-lain, atau dengan menggunakan binatang terlatih.
Di atas penulis telah menyinggung sepintas hubungan antara perintah
memenuhi akad dengan dihalakannya binatang ternak. Tidak banyak ulama menjelaskan
hubungan tersebut, bahkan sebagian mendapat kesulitan menghubungkannya, dengan alasan
bahwa di halalkannya binatang ternak bakanlah bagian dari akad yang harus
dipenuhi, kecuali dengan menghubungkan dengan pengecualian yang di sebut dalam
lanjutan ayat di atas.
Thahir ibn ‘Asyur berpendapat bahwa pernyataan di halalkan kepada
kamu binatang ternak, merupakan pendahuluan bagi larangan-larangan yang datang
sesudah seperti tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan
hurum, tolong-menolonglah dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam dosa
dan permusuhan. Dengan menyebutkan terlebih dahulu anugrah Allah menyangkut apa
yang di halalkan, maka di harapkan jiwa kaum muslimin akan dengan tenang
menerima ketetapan-ketetapan Allah, seakan-akan ayat ini menyatakan; jika kami
mengharamkan untuk kamu sekian banyak hal, maka sesungguhnya Kami telah
menghalalkan buat kamu lebih banyak dari yang diharamkan itu; jika Kami
mewajibkan atas kamu sebagian banyak kewajiban, maka sesungguhnya kelapangan
yang Kami anugrahkan jauh lebih banyak. Ini bukti bahwa Allah tidak menghendaki
kecuali kemaslahatan dan kebaikan manusia.[22]
Ayat ini disebut-sebut oleh ulama sebagai ayat yang sangat singkat
redaksinya, tetapi sangat padat kandungannya. Filisof al-Kindi pernah diminta
untuk menyusun kalimat singkat yang sarat makna seperti ayat-ayat Al-Qur’an.
Tetapi setelah tekun sekian hari menyindiri dan berpikir, dia mengaku tak
mampu, bahkan tak seorang pun akan mampu; “Aku membuka mushaf Al-Qur’an,
kutemukan surah Al-ma’idah dan ku perhatikan, ternyata ayatnya berbicara
tentang kewajiban menepati perjanjian, melarang melanggarnya, menghalalkan
secara umum, kemudian mengecualikan setelah pengecualian, kemudian menjelaskan
tentang kekuasaan Allah dan hikmah kebijaksanaan-Nya.
Semua itu hanya dalam dua baris. Sungguh, hal yang demikian tidak mungkin akan
mampu di lakukan oleh siapa pun!”
Insya Allah pada uraian tentang akhir surat Yasin – semoga Allah
memberi keluangan dan kemampuan untuk menafsirkannya – kita akan kembali
menemukan ucapan al-Kindi yang serupa.[23]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seoarang muslim memandang
makanan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan utama. Maka
dari itu ia makan untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Yang menjadikannya layak
untuk mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan di akhirat. Ia makan bukan untuk
sekedar makan serta bukan karena nafsunya belaka. Oleh karenanya, sekiranya ia
belum lapar, ia tidak makan, maka ia tidak makan. Makanan adalah bahan, biasanya
berasal dari hewan atau tumbuhan yang dimakan oleh makhluk hidup untuk
memberikan tenaga dan nutrisi. Makanan yang di butuhkan manusia biasanya di
buat melalui bertani atau berkebun yang meliputi sumber hewan dan tumbuhan.
Janji menurut Kamus Bahasa Indonesia
adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk
berbuat. Pengertian lain menyebutkan, bahwa yang disebut dengan janji
adalah pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu ketentuan yang harus
ditepati atau dipenuhi.
Ø Al Quran, menggunakan tiga istilah yang maknanya berjanji, yaitu :
1.
Wa
’ada. Contohnya : Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar
2.
Ahada.
Contohnya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan jan- jinya (Q.S.Al: Mu’minun ).
3.
Aqada.
Contohnya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Aqad (perjanjian) di sini mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan
perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
DAFTAR PUSTAKA
v Shihab, M.
Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah
: Pesan, kesan, dan keserasia
Al-Qur’an. Jakarta: lentara hati.
v
As-sa’di, Syaikh Nashir bin
abdurrahman. 2016. Tafsir Al-Qur’an
: Surat: Al-Fatihah, Al-baqarah,
Ali imran. Jakarta: Darul haq.
v Islam, muhammad
al. 2016. Tuntunan adab-adab sunnah rasulullah saw untuk kehidupan
sehari-hari. Cetakan x -bogor:
pustaka qur’an dan hadits,
v Setiawan, Anggi. 2013. “Makalah Tentang Pentingnya Menepati
Janji | berbagi ilmu”, http://anggistlicious.blogspot.co.id/2013/11/makalah-tentang-pentingnya-menepati.html. Diakes tanggal 14
februari 2018.
v hardiyani, Innike. 2015. “my blog
is my lite (health) makalah makanan sehat dan tidak sehat”, http://innikehardiyani.blogspot.co.id/2015/03/makalah-makanan-sehat-dan-tidak-sehat.html. Diakses Tanggal 15 Februari
2018.
v madani, Bacaan. 2017. “manfaat dan
keutamaan menepati janji – bacaan madani”, http://www.bacaanmadani.com/2017/03/manfaat-dan-keutamaan-menepati-janji.html?m=1, Diakses tanggal 18 februari 2018
pukul 9.25.
v
alif, Irfan. 2015. “keutamaan memakan makanan yang halal”,
http://m.halhalal.com/keutamaan-memakan-makanan-halal/, Diakses tanggal 18 februari 2018
pukul 10.30.
[1] Innike
hardiyani. my blog is my lite (health) makalah makanan sehatdan tidak sehat,
http://innikehardiyani.blogspot.co.id/2015/03/makalah-makanan-sehat-dan-tidak-sehat.html.
(Diakses Tanggal 15 Februari 2018).
[2] Muhammad
al-islam. Tuntunan adab-adab sunnah rasulullah saw untuk kehidupan
sehari-hari (bogor: pustaka
qur’an dan hadits, 2016), Hlm. 70.
[4] Irfan alif. keutamaan
memakan makanan yang halal, http://m.halhalal.com/keutamaan-memakan-makanan-halal/ (Diakses tanggal 18 februari 2018).
[5] Syaikh
Abdurrahman bin nashir as’di. Tafsir Al-qur’an (Jakarta: Darul haq, 2016),
Hlm. 218. Jilid 1
[6] Ibid., hlm. 219.
[7] Syaikh
Abdurrahman bin nashir as’di. Tafsir Al-qur’an ( Jakarta: Darul haq, 2016),
hlm. 220. Jilid 1
[8] M. Quraish Shihab. Tafsir
al-mishbah pesan, kesan dan keserasian Al- qur’an. Jakarta: lentera hati, 2002), Hlm. 384. Jilid 1
[11] Bacaan madani. manfaat dan keutamaan menepati janji –
bacaan madani, http://www.bacaanmadani.com/2017/03/manfaat-dan-keutamaan-menepati-janji.html?m=1. (Diakses tanggal 18 februari 2018).
[12] Tim dai zulfah
saudi arabia. 100 hadis populer untuk hafalan (surabaya: pustaka eLBA. 2014). Hlm. 30
[13] Anggi setiawan. Makalah Tentang
Pentingnya Menepati Janji | berbagi ilmu,
http://anggistlicious.blogspot.co.id/2013/11/makalah-tentang-pentingnya-menepati.html. (Diakes tanggal 14 februari 2018).
[14] Bacaan madani. manfaat
dan keutamaan menepati janji – bacaan madani, http://www.bacaanmadani.com/2017/03/manfaat-dan-keutamaan-menepati-janji.html?m=1. (Diakses tanggal 18 februari 2018).
[15] Syaikh
Abdurrahman bin nashir as’di. Tafsir Al-qur’an ( Jakarta: Darul haq, 2016),
hlm. 224. Jilid 1
[17] Syaikh Abdurrahman bin nashir as’di. Tafsir Al-qur’an (
Jakarta: Darul haq, 2016), hlm. 2207. Jilid 1
[18] M. Quraish
Shihab. Tafsir al-mishbah pesan, kesan dan keserasian Al- qur’an. (Jakarta:
lentera hati, 2002), Hlm. 5. Jilid 3
[19] Ibid,. Hlm. 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar