l AHYADIN RITE AMBALAWI Islam Mosque 3
TERIMAKASIH BANYAK ATAS KUNJUNGAN ANDA SEMOGA BERMANFAAT
 

Selasa, 27 Februari 2018

Makalah tentang makanan dan menepati janji AHYADIN AMBALAWI


           
  Tafsir ahkam II
            Tentang  :  Makanan dan menepati janji
 








Di susun oleh :
Ahyadin
Semester IV (Empat)

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
 mata kuliah tafsir ahkam II”


Dosen pengampu
Muh.Yunan Putra, Lc, M.Hi



FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA TAHUN AJARAN 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seoarang muslim memandang makanan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan utama. Maka dari itu ia makan untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Yang menjadikannya layak untuk mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan di akhirat. Ia makan bukan untuk sekedar makan serta bukan karena nafsunya belaka. Oleh karenanya, sekiranya ia belum lapar, ia tidak makan, maka ia tidak makan. Ada sebuah hadits rasullah Saw menyebutkan
Kami adalah kaum (orang-orang) yang tidak makan sebelum kami lapar; dan apabila kami makan, maka tidak sampai kenyang.
Makanan yang kita konsumsi menyediakan bahan baku dan energi untuk pergrakan sistem didalam tubuh yang sangat kompleks,pertumbuhan terus menerus,serta perbaikan dalam regenerasi sel. Setiap hari, tubuh kita sibuk  membuang sel-sel yang telah tua,rusak,ataupun mati,serta dengan se-sel yang baru dan sehat.
Untuk memelihara tubuh agar tetap sehat, kita perlu makan makanan yang menyediakan energi dari bahan baku sebaik mungkin. Makanan ini kita sebut sebagai “Makanan Berkhasiat”. Selain itu juga,kita juga perlu menghindari makanan yang dapat mengganggu proses-proses di atas atau dapat merugikan kita
        Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.
Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.
Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
              وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا
 “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (An-Nahl: 91)
   Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
              وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
 “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’: 34)                                      
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Makanan
Makanan adalah bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan yang dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dan nutrisi. Makanan yang di butuhkan manusia biasanya di buat melalui bertani atau berkebun yang meliputi sumber hewan dan tumbuhan.
Pada umumnya bahan makanan mengandung beberapa unsur atau senyawa seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, enzim, pigmen, dan lain-lain. Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan, tanpa makanan makhluk hidup akan sulit dalam mengerjakan aktivitas sehari-hari. Seperti beribadah, Makanan dapat membantu manusia dalam mendapatkan energi, dan membantu pertumbuhan badan dan otak. Setiap makanan mempunyai kandungan gizi yang berbeda. Protein, karbohidrat, dan lemak adalah satu contoh gizi yang akan di dapatkan dari makanan. Karbohidrat merupakan sumber tenaga sehari-hari. salah satu contoh makanan yang mengandung karbohidrat  adalah nasi. Protein di gunakan oleh tubuh untuk membantu pertumbuhan baik otak maupun tubuh. lemak digunakan sebagai cadangan makanan dan cadangan energi.  lemak digunakan saat tubuh kekurangan karbohidrat, dan lemak akan memecah menjadi glukosa yang sangat berguna bagi tubuh saat membutuhkan energy. Dapat di pastikan bahwa setiap Negara memmpunyai makanan khas masing-masing.[1]
B.       Ayat-ayat yang membicarakan tentang makanan dan menepati janji
a.    Tentang makanan
1.      Al-baqarah  2:35, 57, 58, 61, 168, 172, 173, 259.
2.      Maryam :37, 93
3.      An-nisa 4:160
4.      Al-maidah 5:4, 5, 42, 66, 75, 89, 95, 96.
5.      Al-anfal 8:69
6.      Yusuf  :37, 59, 70, 72
7.      Al-kahfi 18:19, 62
8.      Taha 20:18
9.      Al-anbiya :8
10.  Al-mu’minun :52
11.  Al-furqan :7, 20
12.  Al-qasas :24
13.  Al-ahzab :53
14.  As-saffat :62
15.  Fussilat :10
16.  Ad-dukhan :44
17.  Al-haqqah :36
18.  Al muzzamil :13
19.  Al-insan :8, 9
20.  Abasa : 24
21.  Al-ghasyiyah :6
22.  Quraisy : 4

b.    Tentang menepati janji
1.      Al-baqarah 2:177
2.      Ali ‘imran 3:76
3.      Al-aidah 5:1, 7, 9, 12
4.      At-taubah :8, 111
5.      Al ahzab :23
6.      Al-fath :10

C.       Adab-adab makan
1.        Berdo’alah sebelum memulai makan dan apabila lupa maka bacalah do’a yang telah di perintahkan oleh rasulullah SAW.
2.        Makan hendaknya jangan berlebihan, yakni secukupnya, tidak terlalu kenyang dan tidak pula masih dalam keadaan lapar saat selesai makan.
3.        Hendaknya makan bersama-sama atau berjama’ah maka akan diberi berkah.
4.        Hendaknya makan dengan tangan kanan dan tidak mengambil makanan yang jauh jaraknya dari hadapan kita.
5.        Saat berada di suatu pesta atau acara yang ada jamuan makanannya, janganlah kita makan sebelum di izinkan oleh tuan rumah.
6.        Memulai makan dari pinggir piring atau nampan tempat makan.
7.        Rasulullah SAW menyukai makan labu.
8.        Sunnah memakan kurma segar bersama qitstsa (sejenis mentimun).
9.        Sunnah memakan kurma ‘ajwah tujuh butir setiap hari.
10.    Hendaknya makan dan minum dengan tangan kanan karena syaitan makan minum dengan tangan kirinya.
11.    Hendaknya mengajak orang lain untuk ikut makan bila makanan mencukupi.
12.    Makanlah makanan yang halal.
13.    Jangan berlebih-lebihan saat makan, karena Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
14.    Biasakan untuk memberikan makanan kepada orang yang kelaparan, seperti mereka yang suka meminta-minta atau semacamnya, semoga Allah menjadikannya amal ibadah buat kita.
15.    Mengajak pembantu yang memasakkan makanan untuk makan bersama dengan tuan atau majikannya.
16.    Jangan mencela makanan tapi pujilah makanan.
17.     Makanlah dengan tiga jari.
18.    Jangan meniup makanan dan minuman meski dalam keadaan makanan dan minuman itu panas.[2]
19.    Menjilati jari setelah selesai makan, karena kita tidak tahu makanan mana yang ada berkahnya.
20.    Perhatikan pula tentang kebersihan makanan yang  akan kita makan.
21.    Jangan makan sambil bersandar.
22.    Jangan makan dari wadah emas dan perak.
23.    Jangan makan dalam posisi tertelungkup.
24.    Do’a sesudah makan.
25.    Sesudah makan hendaknya mencuci tangan sampai bersih yakni sampai hilang bau makanan di tangannya.
26.    Dan hal lain yang mesti kita perhatikan setelah makan adalah, bersiwak, atau berkumur-kumur untuk menghilangkan bau makanan di mulut
27.    Bila makanan sangat panas maka hendaknya di dinginkan terlebih dahulu, karena itu lebih besar berkahnya.[3]
D.      Keutamaan makanan yang halal
1.        Rasullah Saw. Barangsiapa memakan makanan yang halal selama empat puluh hari, maka Allah menerangi Hatinya dan mengalirkan sumber-sumber hikmah dari hati kelidahnya”
2.        Diriwayatkan bahwa sa’ad meminta kepada Allah untuk memohon kepada Allah Swt agar dia mengabulkan doa-doanya. Maka rasulullah Saw bersabda: “baguskanlah makanmu, maka terkabul doa-doamu”.
3.        Rasullah Saw bersabda “barang siapa membeli sebuah pakaian seharga sepuluh dirham dan didalamnya terdapat satu dirham yang diperoleh dengan cara yang haram, maka Allah tidak akan menerima sholatnya selama yang haram itu ada padanya”.
4.        Rasullah saw berasbda “setiap daging tumbuh dari makanan yang haram maka api neraka lebih pantas untuknya”,
5.        Rasulullah Saw bersabda “ibadah itu sepuluh bagian. Yang sembilan diantaranya dalam mencari rezeki yang halal”.
6.        Ibnu abbas ra berkata “Allah tidak akan menerima sholat seseorang yang didalam perutnya terdapat makanan yang haram.[4]

E.       Tafsir ayat  al-qur’an  tentang makanan dan menepati janji
a.    Tafsir Syaikh Abdurrahman bin nashir as’di tengtang makanan surah Al-baqarah ayat 172-173
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ,إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيْمٌ (173){
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kalian menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak (dalam keadaan) menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.s Al-baqarah 2:172-173).
Ayat ini adalah perintah kepada kaum muslimin secara khusus setelah perintah kepada manusia umumnya, yang demikian itu karena pada dasarnya merekalah yang mengambil manfaat dari perintah-perintah dan larangan-larangan, disebabkan keimanan mereka, perintah Allah untuk makan hal-hal yang baik dari rizki dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-nikmat tersebut yang dapat menyampaikan  kepada hakikat syukur. Maka Allah memerintahkan kepada mereka  apa yang diperintahkan kepada para nabi dalam firmannya,
يَأَّ يُّهَا اْلرُّسُوْلٌ كٌلوُاْ منَ اْطَّيِّبَتِ وَا عْمَلُوْاصَلِحًا
“Hai rasul-rasul makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal sholeh”. (Al-mu’minun :51)
Bersyukur dalam ayat ini adalah beramal yang sholeh. Disini Allah tidak berkata yang halal, karena seseorang mukmin itu Allah bolehkan baginya hal-hal yang baik dari rizki yang terlepas dari akibat buruk, dan juga karena keimanan seorang mukmin itu menghalangi drirnya dari menikmati apa yang     bukan miliknya. Dan firmannya {اِنْ كُنْتُمْ إِيَّاُه تَعْبُدوْنَ} “jika benar-benar kepadaNya kamu menyembah” maknanya maka bersyukurlah kepadanya. Hal ini menunjukan bahwa barangsiapa yang tidak bersyukur kepada Allah berarti ia tidak menyembah semata-mata kepadaNya, sebagaiman orang yang bersyukur kepadanya, berarti ia telah beribadah kepadaNya dan menunaikan apa yang telah diperintahkan. Ayat ini juga menunjukan bahwa memakan hal-hal yang baik adalah penyebab amal shalih dan diterimanya amal tersebut.
Allah memerintahkan untuk bersyukur setelah mendapatkan kenikmatan, karena dengan bersyukur akan memelihara kenikmatan yang ada tersebut, dan akan memunculkan kenikmatan yang sebelumnya tidak ada , sebagaimana sikap kufur nikmt akan menjauhkan kenikmatan yang tidak ada dan menghilangkan kenikmatan yang telah ada.[5]
Ayat-ayat 173, dan ketika Allah menyebutkan bolehnya hal-hal  baik, dia juga sebutkan haramnya hal-hal yang kotor (keji), melalui firmannya, {..............} “Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai”. Yaitu binatang yang mati hanya disembelih secara syar’i, karena bangkai itu kotor lagi berbahaya, karena kejelekan dzatnya, dan karena mayoritas bangkai itu adalah dari penyakit, sehingga menambah penyakitnya, namun pembuat syariat mengecualikan dari keumuman tersebut, bangkai belalang dan ikan, karena kedua bangkai itu halal lagi baik. Juga,{............}“darah”  yaitu yang mengalir (mengucur) sebagaimana yang telah dibatasi oleh ayat yang lain,{..........}“dan binatang yang ketika disembelih disebutkan nama selain Allah” yakni disembelih untuk selain Allah seperti hewan yang disembelih untuk patung berhala dari batu, kuburan, dan sebagainya. Hal-hal yang telah disebutkan di atas tidak membatasi bagi hal-hal yang diharamkan . hal-hal tersebut disebutkan dalam  ayat ini hanya untuk menjelaskan jenis dari hal-hal yang kotor tersebut di maksudkan dari pemahaman terbalik dalam firmannya,{.........}“hal-hal yang baik” keumuman apa- apa yang diharamkan dapat dipahami dari ayat terdahulu dari firmanNya,{........ }“halal lagi baik” sebagaimana yang telah berlalu. Sesungguhnya hal-hal yang kotor itu atau yang semacamnya diharamkan  untuk kita, sebagai bentuk kasih sayangNya kepada kita dan pemeliharaan diri dari hal-hal yang berbahaya.[6]
Walaupun demikian,{ فَمَن اضْطُرَّ }“barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya” maksudnya terpaksa beralih kepada yang haram karena lapar dan tidak punya apa-apa, atau dipaksa,{ غَيْرَ بَاغٍ }sedang dia tidak menginginkannya”, yakni tidak mencari yang haram padahal dia mampu mendapatkan yang halal atau karena tidak adanya rasa lapar,{ وَلا عَادٍ }“dan tidak pula melampaui batas”, yakni kelewat batas dalam menikmati apa yang telah diharamkan tersebut karena keterpaksaan tadi, maka barang siapa yang terpaksa dan ia tidak mampu mendapatkan yang halal dan ia makan menurut batas kebutuhan mendasar saja dan tidak lebih dari itu{ فَلا إِثْمَ }“maka tidak ada dosa”, yakni kesalahan  {عَلَيْهِ}“baginya”, dan apabila dosa telah dihilangkan, maka perkara itu kembali kepada asal-muasalnya. Dan manusia dalam kondisi seperti ini diperintahkan untuk makan, bahkan ia dilarang untuk mencelakakan  drinya atu membunuh dirinya, maka wajiblah atasnya untuk makan, bahkan ia berdosa jika tidak makan hingga ia meninggal, yang akhirnya dia telah membunuh dirinya sendiri. Pembolehan dan keringanan ini adalah rahmat dari Allah terhadap hamba-hambanya. Oleh karena itu  Allah menutup ayat ini dengan dua namaNya yang mulia lagi sangat sesuai tersebut, seraya berfirman { إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ }“sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”
Ketika kehalalan itu di syaratkan dengan dua hal tersebut dan manusia dalam kondisi seprti ini kemungkinan tidak mengerahkan segala upayanya dalam merealisasikannya, maka  rmenggambarkan bahwasannya dia adalah maha pengampun , dia akan mengampuninya dari kesalahan yang terjadi dalam kondisi seperti ini khususnya, yang sesungghnya keterpaksaan itu telah  mendesaknya dan kesulitan itu telah menghilangkan segalah perasaannya.
اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“kedaruratan membolehkan hal-hal yang diharamkan’’
Setiap hal yang telah di haramkan sedang manusia sangat membutuhkan nya (karena darurat), maka hal itu telah di bolehkan oleh zat yang maha memiliki lagi maha penyayang, karena itu segala pujian hanya baginya dan  rasa syukur yang pertama dan yang terakhir, yang lahir maupun yang bathin.[7]
a.    Tafsir  al- misbah M. Quraish Shihab tentang makanan surah  al-baqarah ayat 172-173
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (173){
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya saja kalian menyembah.Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.s Al-baqarah 2:172-173).
kesadaran iman yang bersemi di hati mereka, menjadikan ajakan Allah kepaada orang-orang beriman sedikit berbeda dengan ajakan nya kepada seluruh manusia. Bagi orang-orang mukmin, tidak lagi di sebut kata halal, sebagaimana yang di sebut pada ayat 168 yang lalu, karena keimanan yang bersemi di dalam hati merupakan jaminan kejauhan mereka dari yang tidak halal. Mereka disini bahkan di perintah untuk di sertai dengan dorongan kuat yang tercermin penutup ayat 172 ini, yaitu bersyukurlah pada Allah, jika benar-benar hanya kepadanya kamu menyembah.
Syukur adalah mengakui dengan tulus bahwa anugrah yang di peroleh samata-mata bersumber dari Allah sambil menggunakannya sesuai tujuan penganugrahnya, atau menempatkannya pada tempat yang semestinya.
Setelah menekankan perlunya makan makanan yang baik-baik, di jelaskannya makanan yang buruk, dalam bentuk redaksi yang mengesankan bahwa hanya yang di sebut itu yang terlarang, walau pada hakikatnya tidak demikian.[8]
“Yang di maksud bangkai” adalah binatang yang berhembus nyawahnya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercikik, dipukul, jatuh, di tanduk, dan di terkam binatang buas, namun tidak sempat di sembelih, dan [yang di sembelih untuk berhala], di kecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air (ikan dan sebagainya) dan belalang.
Binatang yang mati karena faktor ketuaan atau mati karena terjangkit peyakit pada dasarnya mati karena zat beracun sehingga bila di konsumsi manusia, sangat mungkin mengakiabatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan di pukul, darahnya mengendap di dalan tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang membayahakan manusia.
Darah, yakni darah yang mengalir bukan yang subtansi asalnya mebeku seprti lipah dan hati. Daging babi, yakni seluruh tubuh babi, termasuk tulang, lemak, dan kulitnya.
Binatang yang ketika di sembeliah di sebut nama selain Allah, artinya bahwa binatang semacam itu baru haram di makan bila di sembelih dalam keaadaan selain nama Allah, adapun bila tidak di sebut nama nya, maka binatang halal yang do sembelih demikain, masih dapat di toleransi untuk di makan.
Kasih sayang Allah melimpah pada makhluk, karena itu dia selalu menghendaki kemudahan buat maunusia. Dia tidak menempatkan sesuatu yang menyulitkan mereka, dan karena itu pula larangan diatas di kecualikan oleh bunyi kelanjutan ayat; tetapi barang siapa dalam keadaaan terpaksa memakannya sedang ia tidak mengingikannya dan tidak pula melamapaui batas maka tidak ada dosa baginya[9].
Keaadaan terpaksa adalah keadaan yang di duga dapat di mengakibatkan kematian, sedang tidak mengingikannya adalah tidak memakannya padahal ada makanan halal yangdapat dia makan, tidak pula memakannya mememnuhinya keinganan seleranya. Sedang yang di maksud dengan tidak melampaui batas adalah tidak memakanya dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutupi rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaaan terpaksa dengan ketetuan demikian di tetapkan Allah, sesungghnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Penutup ayat ini juga dipahami juga sementara ulama sebagai isyarat bahwa keadaan darurat tidak dialami seseorang kecuali akibat dosa yang dilakukannya, yang di pahami dari kata maha pengampun. Keputusan yang mengatur seseorang merasa jiwanya terancam tidak akan menyentuh hati seorang mukmin, sehingga dia akan bertahan dan bertahan sampai datangnya jalan keluar dan pertolongan Allah. Bukankah Allah telah menganugerahkan kemampuan kepada manusia untuk tidak menyentuh makanan, melalui ketahanan yang dimilikinya juga lemak, daging, dan tulang yang membungkus badanya?
Penjelasan tentang makanan-makanan yang diharamkan diatas, dikemukakakan dalam konteks mencela masysrakat jahiliyah, baik di mekah maupun di madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut sendiri nyawanya oleh Allah?
Penjelasan tentang keburukan ini dilanjutkan dengan uraian ulang tentang mereka yang menyembunyikan kebenaran, baik menyangkut kebenaran Nabi Muhammad, urusan kiblat, haji, dan umrah, maupun menyembunyikan atau akan menyembunyikan tuntunan Allah menyangkut makanan. Orang-orang yahudi misalnya, menghalalkan hasil suap, orang-orang nasrani membenarkan sedikit minuman keras, kendati dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari mereka yang meminumnya dengan banyak.[10]
C.       Pengertian Janji
         Janji menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pengertian lain menyebutkan, bahwa yang disebut dengan janji adalah pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi.
          Menepati janji berarti berusaha untuk memenuhi semua yang telah dijanjikan kepada orang lain di masa yang akan datang. Orang yang menepati janji orang yang dapat memenuhi semua yang dijanjikannya. Lawan dari menepati janji adalah ingkar janji. Menepati janji merupakan salah satu sifat terpuji yang menunjukkan keluhuran budi manusia sekaligus menjdi hiasan yang dapat mengantarkannya mencapai kesuksesan dari upaya yang dilakukan.[11]



Ø  Al Qur’an, menggunakan tiga istilah yang maknanya berjanji, yaitu :
1.         Wa ’ada. Contohnya :  Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar
2.         Ahada. Contohnya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan jan- jinya (Q.S.Al: Mu’minun :8 ).
3.         Aqada. Contohnya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.  Aqad (perjanjian) di sini mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Selanjutnya, janji dalam Arti ’aqad/’aqada menurut Abdullah bin Ubaidah ada 5 macam :
1.         ‘aqad iman / kepercayaan yang biasa disebut ‘aqidah.
2.         ‘aqad nikah
3.         ‘aqad jual beli
4.         ‘aqad dalam arti perjanjian umuni
5.         ‘aqad sumpah.
       وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
 “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
     إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ, وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ, وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ :آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ
 “Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).[12]
D.      Hukum Ingkar Janji
Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara, jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya menepatijanji adalah barometer yang dengannya diketahui orang yang baik dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)
Al-Qur`an sangat memperhatikan masalah janji dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah SWT. berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 91, yang artinya:
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….”( Surat An-Nahl ayat 91)
Allah SWT. juga berfirman dalam Surat Al-Isra' ayat 34, yang artinya: “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
Allah SWT. memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah SWT., janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar.
Ingkar janji adalah akhlak Iblis dan para munafikin. Seruan ini mungkin bisa didengar, tetapi bagaimana dengan orang yang telah mati hatinya dan dikuasai oleh setan? Apakah mereka mau dan mampu mendengar?
Ingkar janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama Islam, meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka perangai yang tercela.
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: “Kedustaan tidak dibolehkan baik serius atau main-main, dan tidak boleh salah seorang kalian menjanjikan anaknya dengan sesuatu lalu tidak menepatinya.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300)
Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi, menjelaskan, bahwa  Nabi SAW. bersabda (yang artinya): “Jagalah enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah bila berbicara, tepatilah jika berjanji tunaikanlah apabila kalian diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).”
Semua orang tidak akan suka kepada orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka. Allah berfirman dalam Surat Al-Anfal Ayat 55-56, yang artinya: “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).[13]
E.       Keutamaan dan Keistimewaan menepati janji
1.         Memenuhi janji termasuk sifat orang-orang bertakwa sekaligus sebab utama dalam menggapai ketakwaan(Q.s Ali-imran : 76)
2.         Orang yang menepati janji, akan terbebas dari tuntutan baik dunia maupun di akhirat. Setiap janji akan diminta pertanggungjawabannya.(Q.s Al-isra’ : 34)
3.         Orang menepati janji, akan terhindar dari sifat munafik, sebab, perilaku orang yang munafik salah satunya adalah ingkar janji.
4.         Orang menepati janji akan meneladani sifat Allah SWT, yang tidak mengingkari janji-Nya, (Q.s Ar-rum : 6)
5.         Orang yang menepati janji dapat menjadi jalan untuk masuk surga firdaus. Surga firdaus ini hanya diperintukan bagi orang yang memiliki sifat-sifat baik, (Q.s Al-mukminun : 8)
6.         Orang yang menepati janji akan dipercaya orang lain. Kepercayaan adalah modal utama dalam meraih kebaikan dunia maupun di akhirat. Salah stu sifat Nabi SAW. Yang mengantarkannya dipilih oleh Allah menjadi Nabi dan rasul-Nya adalah karena ia orang yang dipercaya.
7.         Orang yang menepati janji akan digolongkan menjadi golongan Nabi muhammad Saw.
8.         Orang yang menepati janji akan terhindar dari dosa besar dan akan meraih keutamaan. Mengingkari janji antara sesama muslim hukumnya haram, sekalipun terhadap orang kafir, lebih-ebih terhadap sesama muslim jadi, memenuhi janji termasuk keutamaan, sedangkan mengingkarinya dosa besar.
9.         Orang yang menepati janji akan digolongkan termasuk orang yang berakal.(Q.s Ar-ra’d : 19-20).
10.     Menepati janji akan terjalinnya antar individu ke harmaonisan yang semakin erat. Menepati janji merupakan wujud dari memuliakan, menghargai, dan menghormati manusia.[14]
F.        Tafsir ayat tentang Menepati janji al-baqarah ayat 177 dan al-maidah ayat 1
a.    Tafsir Syaikh abdurrahman bin nashir as-sa’di surah al-baqarah ayat: 177
لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَ لُّوْا وُجُوْ هَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبَرَّ مَنْ اَمَنَ بِا للهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ وَالْمَلَئِكَةِ وَالْكِتَبِ وَالنَّبِيِّنَ, وَاَتَي الْمَا لَ عَلَى حُبِّهِ ذَ وِى الْقُرْ بَيْ وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ, وَالسَّا ئِلِيْنَ وَفِى الرِّ قَابِ, وَاَقَامَ الصَّلَوتَي الزَّكَوْتَ, وَالْمُفٌوْنَ بِاَهْدِهِمْ اِذض عَاهَدُوا, وَالصَّبِرِ يْنَ فِى الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَاءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِ, أُولَئِكَ الَّذِيْنَ صَدَقُواوَالُئِكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ. { 177}                          
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.( surah al-baqarah ayat: 177)
Allah berfirman, “bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan”, maksudnya, hal itu bukanlah suatu kebajikan yang dimaksudkan dari hamba sehingga banyaknya pembahasan dan perdebatan tentunya adalah merupakan usaha yang melelahkan yang tidak menghasilkan kecuali perpecahan dan perselisihan. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah.[15]
Bukankan orang yang perkasa itu adalah dengan perkelahian, akan tetapi orang yang perkasa itu adalah orang yang mampu menahan dirinya marah,” [16]
“Dan orang-orang yang menepati janjinya bila berjanji.” Janji adalah komitmen terhadap apa yang telah diwajibkan oleh hamba itu sendiri, maka termasuk dalam hal itu adalah seluruh hak-hak Allah, karena Allah telah mewajibkan semuanya atas hamba-hambanya dan mereka berkomitmen terhadapnya, di mana mereka masuk dalam janji tersebut dan wajib atas mereka untuk menunaikannya, dan juga hak-hak hamba telah diwajibkan oleh Allah atas mereka dan hak-hak yang telah diwajibakan oleh seorang hamba sendiri, seperti sumpah dan nadzar atau semacamnya.[17]

b.   Tafsir  al- misbah M. Quraish Shihab tentang menepati janji surah  al-Maidah ayat 1
يَاَ يُّهَا اْلًّذِ يْنَ اَمَنوْا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ, اُهِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ اِلْاَنْعَامِ اِلَّامَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌ, اِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ{1}
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan disebutkan  kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji dan umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.( Q.s al-Maidah : 1)
Surah an-nisa’ mencakup sekian banyak ayat yang mengandung uraian tentang akad, baik secara tegas maupun tersirat. yang tegas antara lain akad nikah dan shidaq (mahar), serta akad perjanjian keamanan dan kerja sama yang tersirat antara lain akad wasiat, wadi’ah (titipan), wakalah (perwakilan) dan lain-lain. Maka sangat wajar jika awal ayat pada surat al- maidah ini memulai pesannya kepada kaum beriman agar memenuhi semua akad perjanjian yang tersurat dan yang tersirat yang di kandung oleh surat yang lalu.[18]
Al-biqa’i mengemukakan hubungan yang lebih rinci. Menurutnya, pada akhir surat yang lalu (Q.S. An- nisa’ [4]; 160), telah di uraiakan bahwa orang-orang yahudi melakukan kedzoliman dengan mengabaikan perjanjian mereka itu kepada Allah, telah di jatuhi sanksi, yakni berupa di haramkannya atas mereka aneka makanan yang baik-baik yang telah di halalkan bagi mereka, yakni yang di jelaskan dalam  Q.S Al-an’am [6]; 145. Dalam surat An-nisa, Allah melanjutkan kecamannya kepada ahli Al- kitab dan mengakhirinya dengan uraian tentang warisan serta keharusan memenuhi perjanjian dan ketetapan-ketetapan Allah yang maha mengetahui. Dari sini sangat wajar dan amat sesuai bila surat ini di mulai dengan tuntunan kepada orang beriman untuk memenuhi akad dan ketentuan yang ada sambil mengingatkan nikmatnya menyangkut di halalkannya binatang ternak buat mereka. Allah memulai tuntunannya ini dengan menyeru; hai orang- orang yang beriman, untuk menbuktikan kebenaran imannya kalian, penuhilah akad-akad itu, yakni baik akad antara kamu dengan Allah yang terjalin melalui pengakuan kamu dengan beriman kepada Nabinya atau melalui nalar yang di anugrahkannya kepada kamu, demikain juga perjanjian yang terjalin antara kamu dengan sesama manusia, bahkan perjanjian antara kamu dengan diri kamu sendiri. Bahkan semua perjanjian, selama tidak mengandung pengharam yang halal atau penghalallan yang haram.[19]
Salah satu akad yang perlu kamu  adalah bahwa telah di halalkan bagi kamu apa yang sebelum ini di haramkan atas Ahli Al-kitab yaitu binatang ternak itu, kecuali atau tetapi yang di bacakan pada kamu dalam Al-quran surat Al- an’am dan ayat ketiga surat ini serta yang terdapat dalam sunnah yang shohih, maka itu adalah haram, antara lain sabda Rasulullah. Yang mengharamkan semua binatang yang bertaring. Yang demikian itu, dengan tidak menghalalkan, baik dengan melakukan maupun sekedar meyakini kehalalan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan buruang, yakni berihram untuk melaksanakan haji, umrah atau memasuki tanah haram. Sesungguhnya Allah menetapkan bukum- bukum halal atau haram. Boleh atau tidak menurut yang dia kehendaki, dan berdasar pengetahuan dan hikmahnya. Karena itu penuhilah ketentuan-ketentuanNya. Berusalah mengetahui latar belakangnya. Bila kamu menemukan hikmah dan rahasianya maka bersyukurlah dan bila tidak atau belum kamu temukan, maka laksanakanlah dengan penuh ketaatan dan rendah hati.[20]
Ayat-ayat yang di mulai dengan panggilan (ya ayyuha alladzina amanu) adalah ayat-ayat yang turun di mekah. Panggilan semacam ini bukan saja panggilan mesra,  tetapi juga di maksudkan agar yang di ajak mempersiapkan diri melaksanan kandungan ajakan. Dalam konteks ini di riwayatkan bahwa sahabat nabi ibnu mas’ud berkata; “jika ada panggilan ilahi ya ayyuha alldzina amanu. Maka siapkan lah dengan baik pendengaranmu karena sesungguhnya ada kebaikan yang dia perintahkan atau keburukan yang dia larang”.
Kata (Al-aqud) “adalah jama’(“aqad) atau akad yang pada mulanya mengikat suatu dengan suatu sehingga tidak menjadi dan tidak berpisah dengannya. jual beli misalnya adalah salah satu bentuk akad, yang menjadikan barang yang di beli menjadi milik pembelinya, dia dapat melakukuan apa saja dengan barang itu dan pemiliknya semula yakni penjualnya. Yakni penjualnya dengan akad jaul beli tidak lagi memiliki wewenang sedikit pun atas barang yang telah di jualnya. Demikian juga dengan akad pernikahan, yang denganya wanita dan pria terikat dengan ketentuan-ketentuan, sehingga pria dapat berhubunga seks  dengannya. Dan wanita yang di nikahinya terikat pula sehingga tidak boleh menikahi pria lain, kecuali bila ikatan itu di lepaskan lantaran satu dan lain sebab.
Kata (auwfu) sebagaimana penulis kemukakan ketika menafsirkan Q.S An-nisa’ [4]; 173, pada mulanya berati memberikan sesuatu dengan sempurna, dalam arti melebihi kadar Yang seharusnya. Menurut thahir ibnu ‘asyur, ketika turunnya Al-Qur’an masyarakat mendapatkan kesulitan dalam menetapkan ukuran yang adil karena kurangnya timbangan di kalangan mereka. Biasanya untuk memberi rasa puas menyangkut kesempurnaan timbangan, mereka melebihkan dari kadar yang di anggap adil dan seimbang.
Perintah ayat ini menunjukkan betapa Al- Qur’an  sangat menekankan perlunya memenuhi akad dalam segala bentuk dan maknanya dengan penuhan sempurna, kalau perlu melebihkan dari yang seharusnya, serta mengecam mereka yang meyia-nyiakannya. Ini karena rasa aman dan bahagia manusia secara pribadi atau kolektif tidak dapat di penuhi, kecuali bila mereka memenuhi ikatan- ikatan perjanjian yang mereka jalin. Sedemikian tegas Al-Qur’an dalam kewajiban memenuhi akad hingga setiap muslim di wajibkan memenuhinya walaupun hal tersebut merugikannya. Ini kalau di benarkan melepaskan ikatan perjanjian maka rasa aman masyarakat akan terusik. Kerugian akibat kewajiban seseorang memenuhi perjanjian terpaksa di tetapkan memelihara rasa aman dan ketenanagan seluruh anggota masyarakat dan memang kepentingan umum harus dahulukan atas kepentingan perorangan.[21]
Yang di maksud dengan (al-an’am) dalam ayat ini adalah unta, sapi dan kambing. Makna tersebut  kemudian di perluaskan sehingga mencakup semua binatang atau burung dan unggas yang memakan tumbuh-tumbuhan dan tidak ada keterangan agama yang mengharamkannya. Ada juga ulama yang membatasi kata ini dalam pengertian “segala binatang darat dan laut yang berkaki empat.” Ada juga yang berpendapat bahwa yang di maksud dengan bahimat al-an’am adalah janin yang telah mati dan keluar atau di keluarkan dari perut binatang yang telah di sembelih secara sah. Ini, menurt al- Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani, adalah pendapat Imam Syafi’i.
Allah mengharamkan berburu bagi yang sedang dalam keadaan berihram, karena kota Mekah dan sekitar nya adalah kota yang dikehendaki Nya menjadi kota yang aman dan tentram, bukan saja bagi manusia, tetapi bagi seluruh makhluk, baik bintang maupun tumbuh-tumbuhan. Di sisi lain, Allah mengarahkan manusia agar selama berihram, hendaknya hati dan pikiran tertuju sepenuhnya kepada Allah.
Yang dimaksud dengan larangan berburu adalah larangan menangkap binatang yang tidak jinak, baik dengan tangan atau alat, seperti tali, jala, tombak, panah, dan lain-lain, atau dengan menggunakan binatang terlatih.
Di atas penulis telah menyinggung sepintas hubungan antara perintah memenuhi akad dengan dihalakannya binatang ternak. Tidak banyak ulama menjelaskan hubungan tersebut, bahkan sebagian mendapat kesulitan menghubungkannya, dengan alasan bahwa di halalkannya binatang ternak bakanlah bagian dari akad yang harus dipenuhi, kecuali dengan menghubungkan dengan pengecualian yang di sebut dalam lanjutan ayat di atas.
Thahir ibn ‘Asyur berpendapat bahwa pernyataan di halalkan kepada kamu binatang ternak, merupakan pendahuluan bagi larangan-larangan yang datang sesudah seperti tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan hurum, tolong-menolonglah dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Dengan menyebutkan terlebih dahulu anugrah Allah menyangkut apa yang di halalkan, maka di harapkan jiwa kaum muslimin akan dengan tenang menerima ketetapan-ketetapan Allah, seakan-akan ayat ini menyatakan; jika kami mengharamkan untuk kamu sekian banyak hal, maka sesungguhnya Kami telah menghalalkan buat kamu lebih banyak dari yang diharamkan itu; jika Kami mewajibkan atas kamu sebagian banyak kewajiban, maka sesungguhnya kelapangan yang Kami anugrahkan jauh lebih banyak. Ini bukti bahwa Allah tidak menghendaki kecuali kemaslahatan dan kebaikan manusia.[22]
Ayat ini disebut-sebut oleh ulama sebagai ayat yang sangat singkat redaksinya, tetapi sangat padat kandungannya. Filisof al-Kindi pernah diminta untuk menyusun kalimat singkat yang sarat makna seperti ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi setelah tekun sekian hari menyindiri dan berpikir, dia mengaku tak mampu, bahkan tak seorang pun akan mampu; “Aku membuka mushaf Al-Qur’an, kutemukan surah Al-ma’idah dan ku perhatikan, ternyata ayatnya berbicara tentang kewajiban menepati perjanjian, melarang melanggarnya, menghalalkan secara umum, kemudian mengecualikan setelah pengecualian, kemudian menjelaskan tentang kekuasaan Allah dan hikmah  kebijaksanaan-Nya. Semua itu hanya dalam dua baris. Sungguh, hal yang demikian tidak mungkin akan mampu di lakukan oleh siapa pun!”
Insya Allah pada uraian tentang akhir surat Yasin – semoga Allah memberi keluangan dan kemampuan untuk menafsirkannya – kita akan kembali menemukan ucapan al-Kindi yang serupa.[23]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
    Seoarang muslim memandang makanan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan utama. Maka dari itu ia makan untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Yang menjadikannya layak untuk mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan di akhirat. Ia makan bukan untuk sekedar makan serta bukan karena nafsunya belaka. Oleh karenanya, sekiranya ia belum lapar, ia tidak makan, maka ia tidak makan. Makanan adalah bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan yang dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dan nutrisi. Makanan yang di butuhkan manusia biasanya di buat melalui bertani atau berkebun yang meliputi sumber hewan dan tumbuhan.
         Janji menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pengertian lain menyebutkan, bahwa yang disebut dengan janji adalah pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi.
Ø  Al Quran, menggunakan tiga istilah yang maknanya berjanji, yaitu :
1.         Wa ’ada. Contohnya :  Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar
2.         Ahada. Contohnya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan jan- jinya (Q.S.Al: Mu’minun ).
3.         Aqada. Contohnya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.  Aqad (perjanjian) di sini mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.















DAFTAR PUSTAKA

v  Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah  :  Pesan, kesan, dan keserasia Al-Qur’an. Jakarta: lentara hati.
v  As-sa’di, Syaikh  Nashir bin abdurrahman. 2016. Tafsir Al-Qur’an  :  Surat: Al-Fatihah, Al-baqarah, Ali imran. Jakarta: Darul haq.
v  Islam, muhammad al. 2016. Tuntunan adab-adab sunnah rasulullah saw untuk kehidupan sehari-hari. Cetakan  x -bogor: pustaka qur’an dan hadits,
v  hardiyani,  Innike. 2015. “my blog is my lite (health) makalah makanan sehat dan tidak sehat”, http://innikehardiyani.blogspot.co.id/2015/03/makalah-makanan-sehat-dan-tidak-sehat.html. Diakses Tanggal 15 Februari 2018.
v  madani, Bacaan. 2017. “manfaat dan keutamaan menepati janji – bacaan madani”, http://www.bacaanmadani.com/2017/03/manfaat-dan-keutamaan-menepati-janji.html?m=1, Diakses tanggal 18 februari 2018 pukul 9.25.
v  alif, Irfan. 2015. “keutamaan memakan makanan yang halal”, http://m.halhalal.com/keutamaan-memakan-makanan-halal/, Diakses tanggal 18 februari 2018 pukul 10.30.







[1]    Innike hardiyani. my blog is my lite (health) makalah makanan sehatdan tidak sehat, http://innikehardiyani.blogspot.co.id/2015/03/makalah-makanan-sehat-dan-tidak-sehat.html. (Diakses Tanggal 15 Februari 2018).
[2]     Muhammad al-islam. Tuntunan adab-adab sunnah rasulullah saw untuk kehidupan sehari-hari (bogor:      pustaka qur’an dan hadits,  2016),  Hlm. 70.
[3]     Ibid., Hlm. 71-78.
[4]     Irfan alif. keutamaan memakan makanan yang halal, http://m.halhalal.com/keutamaan-memakan-makanan-halal/ (Diakses tanggal 18 februari 2018).
[5]    Syaikh Abdurrahman bin nashir as’di. Tafsir Al-qur’an  (Jakarta: Darul  haq,  2016),  Hlm. 218.  Jilid 1
[6]    Ibid., hlm. 219.
[7]    Syaikh Abdurrahman bin nashir as’di. Tafsir Al-qur’an ( Jakarta: Darul  haq,  2016),  hlm. 220. Jilid 1
[8]     M. Quraish Shihab. Tafsir al-mishbah pesan, kesan dan keserasian Al- qur’an. Jakarta:  lentera hati, 2002), Hlm. 384. Jilid 1
[9]     Ibid., hlm. 385.
[10]   Ibid., hlm. 385.
[11]   Bacaan madani. manfaat dan keutamaan menepati janji – bacaan madani, http://www.bacaanmadani.com/2017/03/manfaat-dan-keutamaan-menepati-janji.html?m=1. (Diakses tanggal 18 februari 2018).
[12]   Tim dai zulfah saudi arabia. 100 hadis populer untuk hafalan (surabaya:  pustaka eLBA. 2014). Hlm. 30
[14]   Bacaan madani. manfaat dan keutamaan menepati janji – bacaan madani, http://www.bacaanmadani.com/2017/03/manfaat-dan-keutamaan-menepati-janji.html?m=1. (Diakses tanggal 18 februari 2018).
[15]   Syaikh Abdurrahman bin nashir as’di. Tafsir Al-qur’an ( Jakarta: Darul  haq,  2016),  hlm. 224. Jilid 1
[16]    Diriwayatkan oleh al bukhari, no. 6114; dan muslim, no. 2609: dari abu hurairah
[17]   Syaikh Abdurrahman bin nashir as’di. Tafsir Al-qur’an ( Jakarta: Darul  haq,  2016),  hlm. 2207. Jilid 1
[18]   M. Quraish Shihab. Tafsir al-mishbah pesan, kesan dan keserasian Al- qur’an. (Jakarta:  lentera hati, 2002), Hlm. 5. Jilid 3
[19]   Ibid,. Hlm. 6
[20]   Ibid,. Hlm. 6
[21]   Ibid,. Hlm. 7.
[22]   Ibid,. Hlm. 8.
[23]   Ibid,. Hlm. 9.

 
AHYADIN RITE AMBALAWI © 2016-2020